Senin, 03 Desember 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sunan Bonamg dan Santrinya

Sebagai seorang wali, Sunan Bonang selalu mengembara untuk mengajarkan agama. Seringkali ia berjalan sendirian, menempuh hutan belantara, mendaki gunung yang tinggi, menuruni jurang yang curam, dan mendatangi dusun-dusun yang terpencil di kaki bukit berhutan lebat.
download (2)
Pada suatu hari ia melakukan perjalanan bersama seorang santrinya. Mereka membawa nasi bungkus yang dibeli di warung pada sebuah desa di perbatasan antar Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah selesai shalat Dzuhur di tepi sebuah telaga yang bening, kedua orang guru dan murid itu beristirahat pada suatu tempat yang lapang dalam naungan daun-daun sebatang pohon beringin yang rimbun.
Mereka membuka nasi bungkus masing-masing, lalu memakannya karena perut sudah keroncongan. Tentu saja diawali dengan membaca basmalah dan doa syukur kepada Tuhan.
Rupanya, karena nikmatnya, santri Sunan Bonang sampai tidak sadar di pinggir mulutnya ada beberapa butir nasi yang menempel. Ketika selesai makan butir-butir nasi tersebut masih disitu. Sunan Bonang sebagai guru lantas menegur, “Hai santri, jorok kamu.”
“Mengapa guru?” tanya santri heran.
“Orang islam tidak boleh jorok, kebersihan adalah sebagian dari iman.”
“Apa saya jorok?”
“Itu, di tepi bibirmu banyak butir nasi tertinggal,” jawab Sunan Bonang sambil menudung telunjuknya.
Maka sebagai santri yang patuh, anak muda itu pun dengan malu-malu segera mengusap bibirnya dan segera membuang butir-butir nasi itu ke tanah. Tiba-tiba Sunan Bonang menghardik:
“Hai santri. Bodoh kamu! Mengapa kau buang begitu saja sisa-sisa nasi itu?”
Santri tersebut makin tidak paham. Ia pun berdalih, “Bukankah guru mengatakan jorok kepada saya karena ada butir-butir nasi di mulut saya? Maka saya buang nasi itu. Apakah harus saya makan?”
“Tidak, bukan kau makan. Memang ada hadits Nabi yang mengatakan beliau menganjurkan agar makanan yang tersisa di ujung jari pun harus dihabiskan, kalau perlu menjilatnya. Tapi maksudnya bukan harfiah begitu. Beliau bermaksud agar kita tidak menyia-nyiakan makanan, meskipun Cuma sedikit.
“Berarti tindakan saya membuang sisa nasi di mulut saya tadi tidak salah?”
“Tidak.”
“Jadi mengapa guru mengatakan saya bodoh dan marah kepada saya?”
“Karena kamu memang bodoh.”
“Maksud guru?”
“Kau boleh membuang sisa-sisa nasi itu, tetapi harus dengan niat. Yaitu, karena nasi itu sudah tidak mungkin kau manfaatkan lagi, maka buanglah dengan niat supaya bisa dimakan oleh makhuk-makhluk Allah yang lain, seperti semut dan sebangsanya. Sebab, kalau tidak dengan niat begitu, berarti kamu memubazirkan rezeki  Allah, karunia Allah. Dan orang-orang yang suka berbuat mubazir adalah saudara syaitan. Termasuk jika kamu membuang makanan basi ke dalam tempat sampah, niatkanlah agar dimakan anjing atau babi. Mereka juga makhluk Allah yang perlu disayangi. Meskipun mereka hukumnya najis mughalladzah, tidak berarti boleh disakiti atau dianiaya.mereka juga harus diperhatikan nasibnya.”


EmoticonEmoticon