Nabi Hud AS.  adalah putra Sam bin Nuh AS, berarti beliau adalah cucu Nabi Nuh AS.  beliau diutus kepada kaum ‘Ad di negeri Ahqaf, yaitu suatu kaum yang  berada di sebelah utara Hadramaut dari negeri Yaman.
Mereka tinggal di rumah-rumah yang memiliki tiang-tiang yang besar sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Yaitu) penduduk Iram (ibu  kota tempat tinggal kaum ‘Aad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang  tinggi–Yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di  negeri-negeri lain,” (QS. Al Fajr: 7-8)
Kaum ‘Ad dikenal dengan perawakannya  yang besar dan kuat, memiliki harta yang berlimpah dari hasil bumi dan  kebun-kebun mereka, sehingga mampu membangun rumah-rumah dan istana yang  indah sebagai tempat tinggal mereka. Berkat karunia Allah ini mereka  hidup makmur dan dalam waktu singkat mereka berkembang pesat dan menjadi  suku terbesar diantara suku-suku lainnya.
Tetapi sayang, mereka menganggap bahwa  apa yang mereka dapatkan itu bukan berasal dari Allah, sehingga mereka  tidak mau beribadah kepada Allah dan hanya mau mengabdi kepada  berhala-berhala yang mereka agungkan. Adalah kecenderungan manusia  selalu lalai. Bila kemakmuran dan kemewahan sudah tercapai, mereka lupa  diri dan hanya memperturutkan hawa nafsunya yang tak kenal puas.
Nabi Hud AS menyeru mereka agar  beribadah kepada Allah SWT, supaya hidup mereka bertambah berkah dan  jauh dari kesesatan. Namun kaum ‘Ad tidak mau mendengarnya, bahkan  mereka semakin durhaka dan melampaui batas. Mereka juga berani menantang  datangnya azab dari Allah SWT.
Ketika semakin bertambah kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah. Mereka berkata:
مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً
“Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)
Selain itu, kaum ‘Aad juga melakukan  kesyirikan terhadap Allah dan kedustaan terhadap para rasul. Maka, Allah  mengutus Nabi Hud ke tengah-tengah mereka untuk mengajak mereka agar  menyerahkan semua ibadah hanya untuk Allah satu-satunya dan melarang  dari perbuatan syirik dan kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba  Allah. Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara dan mengingatkan  mereka akan berbagai nikmat yang telah Allah berikan berupa kebaikan  dunia, kelebihan rizki dan kekuatan tubuh. Tapi mereka menolak seruan  tersebut dan menampakkan sikap sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi  Hud. Mereka bahkan mengatakan:
يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا بِبَيِّنَةٍ
“Wahai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)
Mereka telah melakukan kedustaan dengan  pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi-pun, melainkan pasti telah  Allah berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu semua orang  akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat (tanda-tanda  kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka bawa itu  sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama  bahwasanya ajaran agama ini adalah dari sisi Allah. Di samping kokoh dan  sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja,  sesuai dengan situasi dan kondisi. Kebenaran berita yang ada dalam agama  ini berupa perintah terhadap semua kebaikan dan larangan dari segala  kejahatan, turut menjadi bukti kebenaran para rasul. Juga masing-masing  rasul itu membenarkan rasul yang datang sebelumnya dan menjadi saksi  akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus membenarkan dan menjadi saksi pula  bagi rasul yang akan datang setelahnya.
Nabi Hud sendirian dalam berdakwah,  menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan menyatakan  mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi Hud  adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat  sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud dengan sesembahan  mereka. Bila beliau tidak berhenti, niscaya Nabi Hud –menurut ancaman  mereka- akan ditimpa penyakit kegilaan dan kejelekan. Namun Nabi Hud  justru terang-terangan melemparkan tantangan kepada mereka, dan berkata:
إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
مِن دُونِهِ ۖ فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى  اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم ۚ مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ  بِنَاصِيَتِهَا ۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya aku jadikan Allah  sebagai saksiku, dan saksikanlah oleh kalian bahwa sesungguhnya aku  berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari selain-Nya. Sebab  itu jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan janganlah  kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada  Allah Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun  melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di  atas jalan yang lurus.” (Hud: 54-56)
Maka ayat mana lagi yang lebih besar  dari tantangan Nabi Hud kepada musuh-musuhnya yang sangat menentang  seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka telah  melampaui batas, Nabi Hud meninggalkan dan mengancam mereka dengan  turunnya adzab Allah. Maka datanglah adzab tersebut menyebar di seluruh  cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang parah dan sangat membutuhkan  siraman air hujan. Di saat mereka dalam keadaan bergembira dan berkata:
هَٰذَا عَارِضٌ مُّمْطِرُنَا
“Inilah awan yang akan menurunkan hujan.” (Al-Ahqaf: 24)
Allah pun berfirman:
بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُم بِهِ ۖ
“(Bukan)! Bahkan itulah adzab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (Al-Ahqaf: 24)
Yaitu, kalian minta disegerakan dengan  ucapan kalian: “Datangkanlah apa yang engkau janjikan kepada kami kalau  engkau orang yang benar.”
Allah berfirman:
رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ 
“(Yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.” (Al-Ahqaf: 24-25)
Yakni, menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah berfirman:
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ  لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا  صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Yang Allah timpakan angin itu  kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu  lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka  tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (Al-Haqqah: 7)
فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Maka jadilah mereka tidak ada yang  terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah  Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-Ahqaf: 25)
Semua itu terjadi di saat mereka  dahulunya senantiasa tertawa gembira, kemuliaan yang baligh (nyata),  kemewahan dunia yang berlimpah, dan seluruh kabilah dan daerah-daerah di  sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah kirimkan  kepada mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara  terus-menerus agar mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam  kehidupan dunia. Padahal sungguh adzab akhirat itu lebih menghinakan  sedangkan mereka tidak diberi pertolongan.
وَأُتْبِعُوا فِي هَٰذِهِ  الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا  رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّعَادٍ قَوْمِ هُودٍ
“Dan mereka selalu diikuti dengan  kutukan di dunia ini, dan (begitu pula) di hari kiamat. Ingatlah,  sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah,  kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)
Allah menyelamatkan Nabi Hud serta  orang-orang yang beriman bersama beliau. Sesungguhnya di dalam kisah ini  benar-benar terdapat ayat yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah  dan pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para pengikut mereka,  pertolongan Allah kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan pada hari  berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). Juga ayat tentang batilnya  kesyirikan, dan kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan, dan juga  di dalamnya terdapat ayat atau bukti atas kehidupan sesudah mati dan  dikumpulkannya seluruh manusia. Beberapa pelajaran penting dari kisah  Nabi Hud Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh, di dalam kisah ini  terdapat beberapa faedah yang sama pada semua rasul. Faedah-faedah itu  antara lain:
1. Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya  mengisahkan kepada kita berita umat-umat yang bertetangga dengan kita di  Jazirah Arab dan sekitarnya.
Al Qur’an telah menyebutkan metode  paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan. Allah juga  telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang  sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah  lain yang lebih jauh dari kita, di Timur atau di Barat, telah Allah utus  seorang Rasul kepada mereka. Begitu pula telah dipaparkan bagaimana  sambutan, penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima.  Tidak ada satu umat pun melainkan telah Allah utus kepada mereka seorang  Rasul.
Sangat bermanfaat bagi kita untuk  mengingat keadaan daerah-daerah di sekitar kita serta apa yang kita  terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat kita saksikan dari  peninggalan mereka ketika kita melewati (bekas-bekas) tempat kediaman  mereka setiap saat dan kitapun memahami bahasa mereka, dan tabiat mereka  lebih dekat kepada tabiat yang ada pada kita. Tentu saja manfaat ini  sangat besar, dan lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan  umat yang belum pernah kita dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal  bahasa mereka dan tidak sampai kepada kita keadaan mereka seperti yang  Allah ceritakan kepada kita. Dari sini dapat disimpulkan bahwa  mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat dengan pemahaman  mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah mereka  dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibanding yang lain.
Tentunya lebih pantas untuk disebutkan  dengan cara yang lain meskipun juga mengandung kebenaran. Namun  kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau pendidik bila  dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu dan kebaikan  kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat umat  lari dari dakwah atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk  menegakkan hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat. Allah telah  mengisyaratkan hal ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman  Allah:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا حَوْلَكُم مِّنَ الْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا الْآيَاتِ
“Dan sesungguhnya Kami telah  membinasakan negeri-negeri di sekitarmu, dan Kami telah mendatangkan  tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (Al-Ahqaf: 27)
Yakni telah Kami sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Supaya mereka kembali (bertaubat).” (Al-Ahqaf: 27)
Yaitu agar lebih mudah untuk mendapatkan pelajaran.
2. Menjadikan bangunan-bangunan yang  besar dan megah sebagai suatu kebanggaan dan kesombongan serta perhiasan  dan menindas hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang adalah perbuatan  yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui batas  sebagaimana diterangkan Allah dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari  oleh Nabi Hud:
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ
“Apakah kalian mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main.” (Asy-Syu’ara: 128)
Secara umum bangunan untuk istana,  benteng, rumah dan bangunan lainnya, mungkin saja dijadikan tempat  tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri beraneka ragam  dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah (dibolehkan)  dan justru menjadi wasilah (jalan) kepada kebaikan apabila disertai  dengan niat yang lurus. Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng  pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah atau  manfaat lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di  jalan Allah, berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap  musuh. Namun bisa saja itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan  kekejaman terhadap hamba-hamba Allah, atau pemborosan harta yang  sebetulnya dapat digunakan di jalan yang bermanfaat. Ini tentu saja  merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah pada bangsa ‘Aad atau yang  lainnya.
Faedah yang lain, bahwa akal pikiran  ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil atau  pengaruh yang ditimbulkan. Betapapun besar dan luasnya tetap tidak akan  bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia mengimbangi dengan keimanan  kepada Allah dan para rasul-Nya. Sedangkan orang yang menentang  ayat-ayat Allah, mendustakan para rasul Allah, walaupun dia mendapatkan  kesempatan atau diberi tangguh untuk menikmati kehidupan dunia,  kesudahan yang akan dia hadapi nanti sangatlah buruk. Pendengaran,  penglihatan dan akalnya tidak akan dapat membelanya sedikitpun jika  datang keputusan Allah. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam kisah  ‘Aad:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاهُمْ فِيمَا  إِن مَّكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا  وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ  وَلَا أَفْئِدَتُهُم مِّن شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ  اللَّهِ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah  meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah  meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada mereka  pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan  hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka  selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa  yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan.” (Al-Ahqaf: 26)
Dalam ayat lain:
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ  آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مِن شَيْءٍ لَّمَّا جَاءَ  أَمْرُ رَبِّكَ ۖ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena itu tidaklah bermanfaat  sedikitpun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain Allah, di  waktu adzab Rabb-mu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah kepada  mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)
EmoticonEmoticon