Jumat, 23 November 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kepang Ditangan Abu Quddamah As Syami

Kepang di Tangan Abu Qudamah
Di Madinah ada seorang lelaki bernama Abu Qudamah As-Syami.  Dia suka berjihad di jalan Allah dan berperang ke negeri-negeri Romawi.  Suatu hari dia duduk bersama kawan-kawannya di masjid Nabawi.
“Abu Qudamah.. Ceritakanlah kepada kami kisah yang paling menarik dari apa yang kamu saksikan waktu berjihad”, kata salah seorang dari mereka.  “Baik..” Jawab Abu Qudamah
Beberapa tahun yang lalu, aku masuk ke raqqah (tempat di samping telaga/oase yang dialiri air pada musim hujan, kemudian menyusut dan kering sehingga banyak tumbuh-tumbuhan di sana) untuk mencari seekor unta dan membelinya untuk mengangkut senjta. Pada suatu hari, saat aku duduk, tiba-tiba seorang wanita datang menghampiriku dan berkata, “Abu Qudamah, aku mendengar kamu berbicara tentang jihad dan mempropagandakannya.  Aku mempunyai rambut yang tidak dimiliki oleh wanita lain.  Aku memotongnya dan membuatnya seperti kekang kuda serta aku melumurinya dengan debu agar tidak terlihat orang lain.  Aku ingin kamu membawa rambut itu.  Apabila kamu sudah berada di negeri orang kafir, dan para pahlawan telah maju, panah sudah dilemparkan, pedang sudah dihunus, dan tombak sudah diacungkan, jika kamu membutuhkannya silahkan pakai.  Namun jika tidak, berikanlah kepada orang yang membutuhkannya agar dia membawa rambutku ini dan terkena debu peperangan di jalan Allah.  Aku adalah seorang janda, suami dan seluruh keluargaku yang laki-laki wafat di jalan Allah.  Seandainya aku diwajibkan berjihad, pasti aku berjihad”.
Lalu wanita itu memberikan kekang tersebet kepadaku dan berkata, “Ketahuilah Abu Qudamah, suamiku ketika terbunuh meninggalkan seorang anak kepadaku.  Dia adalah salah seorang pemuda terbaik, dia belajar Al-Qur’an, menunggang kuda dan memanah.  Dia rajin shalat malam dan berpuasa di siang hari.  Dia berusia lima belas tahun.  Sekarang dia sedang tidak ada karena menunaikan amanat yang ditinggalkan ayahnya.  Mudah-mudahan dia pulang sebelum kamu berangkat.  Maka aku akan menyuruh dia berjihad bersamamu sebagai hadiah kepada Allah.  Aku meminta kepadamu dengan kemuliaan Islam hendaklah kamu jangan menghalangi diriku dari pahala yang aku minta.”
Aku mengambil kekang itu darinya.  Ternyata kekang itu terbuat dari rambutnya yang dikepang.  Wanita itu berkata lagi, “Taruhlah kekang itu di kantong pelanamu sekarang agar aku melihatnya dan hatiku tenang”.  Lalu aku menaruhnya di kantong pelana kemudian aku keluar dari raqqah bersama sahabatku.
Ketika kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba ada seorang penunggang kuda dan berseru di belakangku, “Abu Qudamah, tolong berhenti sebentar, semoga Allah merahmatimu”.  Aku berhenti.  “Kalian masuk duluan, aku ingin melihat siapa orang ini”, kataku kepada sahabat-sahabatku.
Aku melihat seorang penunggang kuda mendekatiku dan memelukku, “Segala puji bagi Allah yang tidak menghalangiku untuk menemanimu dan tidak memulangkanku dalam keadaan kecewa”, kata penunggang kuda itu.
“Tunjukkan wajahmu kepadaku.  Jika orang sepertimu wajib berperang, aku akan menyuruhmu pergi berjihad.  Tapi jika tidak wajib bagimu berjihad, maka aku akan memulangkanmu”, kataku tegas.  Lalu dia menampakkan wajahnya.  Ternyata dia adalah seorang remaja, wajahnya bagaikan bulan purnama dan tampak sisa-sisa kenikmatan di wajahnya.  “Apakah kamu mempunyai ayah..?” tanyaku.  “Tidak, bahkan aku keluar bersamamu untuk mengikuti jejak ayahku.  Dia mati syahid.  Mudah-mudahan Allah mengaruniakanku kesyahidan seperti ayahku”, jawabnya.
“Apakah kamu mempunyai ibu..?” tanyaku lagi.
“Ya..” jawabnya.
“Kalau begitu pulanglah minta izin kepadanya.  Apabila dia mengizinkan, kamu boleh ikut aku.  Jika tidak tinggallah bersamanya.  Karena mematuhinya lebih utama daripada berjihad.  Karena surga itu berada di bawah bayangan pedang dan di bawah telapak kaki ibu”.
“Abu Qudamah.. apa kamu tidak mengenali aku..?”
“Tidak..”, jawabku.
“Aku adalah anak pemilik titipan itu.  Betapa cepatnya kamu melupakan pesan ibuku, si pemilik kepang.  Insya Allah aku termasuk Syahid ibnu Syahid (orang yang mati syahid dan putra dari orang yang mati syahid pula).  Aku mohon kepadamu dengan nama Allah, janganlah kamu menghalangiku berperang bersamamu di jalan Allah.  Aku adalah seorang pemuda yang hafal kitab Allah, mengetahui Sunnah Rasul, dan aku pandai menunggang kuda dan memanah.  Tidak ada lagi orang yang lebih pandai daripada aku dalam hal menunggang kuda.  Jadi jangan kamu meremehkanku karena usiaku yang masih kecil.  Ibu sudah menyumpahiku untuk tidak pulang.  Kata ibu, ‘Anakku, apabila kamu bertemu pasukan orang kafir, janganlah kamu mundur.  Serahkan jiwamu kepada Allah.  Mohon agar kamu bisa berada di sisi Allah, ayahmu dan saudara-saudaramu para salihin di Surga.  Apabila Allah mengaruniaimu kesyahidan maka berilah aku syafaatmu.  Karena aku mendengar bahwa seorang syahid bisa memberi syafaat kepada tujuh puluh orang keluarganya dan tujuh puluh orang tetangganya.  Kemudian ibu memelukku dan mengangkat tangannya ke langit, ‘Tuhanku, sesembahanku dan pelindungku.  Ini adalah anakku, penyejuk hatiku, dan penenang pikiranku.  Aku menyerahkannya kepada-Mu maka dekatkanlah dia dengan ayahnya'”.  Paparnya.
Kala aku mendengar cerita pemuda itu, aku menangis karena sayang dengan kebaikan dan ketampanannya serta kasihan terhadap hati ibunya dan kagum akan ketabahannya.
“Paman, kenapa kamu menangis..? apabila kamu menangisiku karena usiaku yang muda, maka sesungguhnya Allah menyiksa orang yang lebih muda dariku, jika dia durhaka kepa-Nya”, pemuda itu bertanya penyebab tangisku.
“Aku tidak menangisi kemudaanmu, tetapi aku menangisi hati ibumu.  Bagaimana keadaan dia setelah ditingal kamu”, jawabku.
Lalu kami berjalan dan menginap pada malam itu.  Keesokan harinya kami berangkat.  Pemuda itu tidak pernah berhenti berzikir.  Aku menelitinya, ternyata di antara kami, dia yang paling mahir berkuda dan dia menjadi pelayan kami saat kami berhenti.  Setiap kami berjalan, semangatnya semakin kuat dan hatinya semakin jernih, di wajahnya tampak tanda-tanda keceriaan.
“Kita akan terus berjalan sehingga kita bisa sampai di tempat orang-orang musyrik saat magrib menjelang”, kata pemuda itu dengan penuh semangat.  Kami berhenti, lalu sang pemuda memasak makanan untuk kami berbuka puasa.  Pemuda itu tampak mengantuk, lalu dia tidur nyenyak sekali.  Saat dia tertidur, aku melihatnya tersenyum, “Apa kalian tidak melihat pemuda ini tersenyum saat tidur..?” tanyaku kepada sahabat-sahabatku.
Ketika pemuda itu bangun, aku bertanya, “Kawan.., aku tadi melihat kamu tersenyum dalam tidurmu..?”
“Aku bermimpi indah yang membuatku terpesona dan tertawa”, jawabnya.
“Apa itu..?” tanyaku.
“Aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman hijau yang unik.  Ketika aku berjalan mejelajahinya, aku melihat sebuah istana dari perak yang terasnya terbuat dari intan dan permata, pintunya terbuat dari emas dan tirainya tertutup.  Tiba-tiba aku melihat beberapa gadis mengangkat tirai, wajah mereka bak rembulan.

Kala mereka melihatku, mereka menyapa, ‘Hai.. selamat datang’.  Aku hendak menjulurkan tanganku kepada salah seorang dari mereka, ‘Jangan tergesa-gesa, sekarang belum waktunya’, katanya.

Kemudian aku mendengar salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, ‘Ini adalah suaminya dari si Mardhiyyah’.  Lalu mereka berkata kepadaku, ‘Majulah..’ Aku pun maju.  Ternyata di dalam istana itu ada kamar terbuat dari emas merah dan ranjang yang terbuat dari Zubardjat hijau, sedangkan kaki ranjang itu terbuat dari emas putih.  Di atas ranjang itu ada seorang gadis, wajahnya bersinar bak mentari.  Seandainya Allah tidak meneguhkan pandangannku, niscaya aku tidak sadar lagi karena terpesona oleh keindahan kamar itu dan kecantikan sang gadis.

‘Selamat datang, wahai Wali dan kekasih Allah.  Aku milikmu dan kamu milikku’ kata sang gadis saat melihatku.  Aku hendak memeluknya, namun dia menolak, ‘Tunggu, jangan tergesa-gesa.  Karena kamu jauh dari kecabulan.  Perjanjian anatara aku dan kamu akan diadakan besok setelah shalat zhuhur.  Maka berbahagialah'”.
Mendengar mimpi pemuda itu, aku tidak sabar untuk berkata, “Sahabat.., kamu bermimpi indah dan pasti itu sebagai pertanda baik”.  Kemudian kami tidur dalam keadaan terpesona oleh mimpi sang pemuda.
Keesokan paginya, kami segera menunggang kuda kami, tiba-tiba kami mendengar seorang berseru, “Wahai kuda Allah.. naiklah, berbahagialah dengan surga Allah.  Berangkatlah kalian dalam keadaan ringan dan berat dan berjihadlah..!”
Sesaat kemudian, kami melihat pasukan kafir datang bagaikan kerumunan belalang.  Yang pertama kali menyongsong mereka adalah pemuda itu.  Dia merusak persatuan mereka dan mecerai-beraikan mereka serta mengamuk di tengah-tengah musuh.  Dia membunuh banyak tentara dan membanting banyak perwira.  Saat aku melihatnya begitu, aku segera menyusul dan aku memegang kekang kudanya.  “Kawan, kembalilah.  Kamu ini masih kecil dan tidak mengerti tipu daya perang..!” kataku.
“Paman, tidakkah kamu mendengar firman Allah, ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)’. (Al-Anfal [8]:15).  Apakah paman ingin aku masuk neraka..?”
Saat dia berbicara padaku datang sekelompok pasukan orang-orang musyrik.  Mereka menghalangi aku dari sang pemuda.  Setiap dari kami sibuk melawan musuh-musuh Allah.  Banyak pasukan muslim yang terbunuh.
Ketika perang usai, aku melihat banyak mayat bergelimpangan, tidak terhitung banyaknya.  Aku berjalan di antara para korban dengan kudaku.  Darah mereka mengalir membasahi bumi dan wajah mereka tidak bisa dikenali karena teralu banyak debu dan darah.  Saat aku berjalan di tengah deretan mayat, aku melihat pemuda itu berada di antara selangkangan kuda.  Dia berbalik di tengah genangan darahnya sambil berkata, “Wahai pasukan kaum muslimin.  Tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah”.
Waktu aku mendengar teriakannya, aku mendekatinya.  Aku tidak mengenali wajahnya karena banyaknya darah, debu dan bekas tapak binatang.
Aku Abu Qudamah..”, kataku. “Paman.. mimpi itu benar.  Demi tuhan Ka’bah, aku adalah anak pemilik kepang itu,” kata sang pemuda.
Saat itu aku menjatuhkan diri kepadanya.  Aku mencium keningnya dan mengusap debu dan darah dari tubuhnya.
“Kekasihku.., jangan lupakan pamanmu, Abu Qudamah ini, dengan syafaatmu nanti di hari kiamat,” kataku.
Dia menjawab, “Orang seperti paman tidak mungkin dilupakan.  Jangan usap wajahku dengan bajumu, sebab bajuku lebih berhak daripada bajumu untuk itu.  Biarkan aku menemui Allah dengan keadaan seperti ini, Paman.  Paman, bidadari yang aku ceritakan kepadamu, sekarang dia berdiri di atas kepalaku, menunggu keluarnya ruh dari ragaku seraya berkata kepadaku, ‘Ayo.. cepat aku sudah rindu kepadamu’.


Paman, jika kamu pulang dalam keadaan selamat, tolong bawakan baju yang berlumuran darah ini kepada ibuku yang sedang bersedih.  Sampaikan salamku kepadanya, katakan, ‘Allah telah menerima hadiahmu’.


Paman, aku mempunyai seorang adik perempuan berusia sepuluh tahun.  Tiap kali aku masuk rumah, dia menyambutku dan mengucapkan salam kepadaku.  Apabila aku keluar dia yang terakhir melepaskanku, seraya berkata, ‘Kak, demi Allah jangan tinggalkan kami’.  Apabila paman bertemu dengannya, sampaikan salamku untuknya dan katakan, ‘Kakakmu berpesan biarlah Allah yang menjadi penggantiku untukmu hingga hari kiamat.”
Kemudian pemuda itu tersenyum dan mengucapkan,
“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah.  Dia satu-satunya.  Tiada sekutu bagi-Nya.  Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.  Ini yang Allah dan Rasul-Nya janjikan kepada kami dan Allah serta Rasul-Nya benar”.
Kemudian pemuda itu menghembuskan nafas terakhir.  Kami mengkafaninya dengan pakainnya dan menguburkannya.  Semoga Allah meridhainya dan meridhai kami.
Ketika kami pulang dari perang dan masuk raqqah, di hatiku hanya ada satu tujuan, yaitu rumah ibu sang pemuda.  Di sana aku melihat gadis kecil yang mirip sang pemuda dalam kebaikan dan kecantikannya.  Dia berdiri di depan pintu dan berkata kepada setiap orang yang lewat, “Paman, kamu datang dari mana..?”
Ada yang menjawab, “Dari perang”.
“Apakah kamu pulang bersama kakakku..?”
“Kami tidak mengenalnya”.
Saat aku mendengarnya.  Aku mendekatinya, “Paman kamu datang dari mana..?” tanyanya kepadaku.
“Dari perang”, jawabku
“Apakah kakaku pulang bersama kalian..?”
Kemudian dia menangis dan berkata, “Aku tidak peduli.  Mereka pulang, sedang kakaku tidak kembali”.
Aku tak kuasa menahan keluarnya air mata.  Kemudian aku berkata kepadanya, “Nak, katakan kepada pemilik rumah ini, Abu Qudamah ada di depan pintu”.
Ibu sang pemuda mendengar suaraku, lalu dia keluar dan air mukanya berubah.  Aku mengucapkan salam dan dia membalas salamku, “Kamu datang untuk menyampaikan kabar gembira atau berita duka..?” Tanyanya kepadaku.
“Terangkan kepadaku kabar gembira itu apa dan kabar duka itu apa..?” Kataku balik bertanya.
“Apabila anakku pulang dalam keadaan selamat, maka kamu membawa berita duka.  Dan apabila dia terbunuh di jalan Allah, maka kamu membawa kabar gembira”. Paparnya
“Berbahagialah.. hadiamu sudah diterima Allah SWT” Jawabku.
Lalu dia menangis dan berkata, “Allah menerimanya..?”
“Ya..” Jawabku
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan anakku sebagai tabungan bekal di hari kiamat”.
“Terus apa yang diperbuat oleh gadis, saudari sang pemuda..? Tanyaku.
“Dia yang berbicara denganmu barusan” Jawabnya.
Gadis itu mendekatiku, lau aku berkata kepadanya, “Kakamu menyampaikan salam untukmu, dan dia berkata, ‘Biarlah Allah yang menjadi penggantiku sampai hari Kiamat”.
Gadis itu berteriak sangat keras, lalu dia jatuh pingsan.  Sang ibu menggerakkannya, ternyata dia meninggal
Aku heran menyaksikan kejadian itu.  Kemudian aku meyerahkan pakaian sang pemuda yang ada bersamaku kepada ibunya.  Lalu aku berpamitan kepadanya.  Aku pulang dalam keadaan sedih terhadap nasib sang pemuda dan adiknya serta kagum akan ketabahan sang ibu.
Kepang di Tangan Abu Qudamah


EmoticonEmoticon