Miko adalah ulat hijau pertama yang tinggal di tanaman widuri. Tanaman itu hanya ada di negeri peri. Setiap musimnya, ia hanya berbunga sekali. Bentuk bunga tanaman widuri sangat cantik. Warnanya putih. Kelompaknya berumpak seperti mawar. Aromanya sangat harum. Dahannya menyamping ke berbagai arah. Tumbuhnya pun tidak terlalu tinggi.
Miko sudah lama tinggal di sana. Ia merasa bahagia sekali. Apalagi kalau angin berhembus. Bunga itu akan menebarkan keharuman yang khas. Miko akan menciumnya dalam-dalam.
Rasa Daun Widuri enak sekali. Miko sering memakannya sampai kenyang. Daun yang tua saja begitu enak. Apalagi pucuknya yang jauh lebih segar. Miko biasa meminum titik embun yang menempel di daunnya di pagi hari.
Miko pun selalu merasa aman. Ia tahu cara menyelamatkan diri. Tiap para peri memetik bunga, ia selalu sembunyi di balik dedaunan yang lebat. Sebagai satu-satunya penghuni tanaman itu, Miko sangat senang.
Tetapi, pagi itu ada seekor ulat lain naik ke atas pohon widuri.
"Hai, kamu siapa?" tegur Miko.
"Aku Nomi. Aku kelaparan. Bolehkah aku makan dan tinggal di pohonmu?" Miko diam sebentar, tetapi akhirnya ia tersenyum.
"Namaku Miko. Aku penghuni lama di sini. Kau boleh makan daun ini sepuasnya, Nomi. Persediaan banyak sekali. Tetapi jika para peri datang, kau harus sembunyi agar tidak dibuang atau dibunuh.
"Iya, Terima kasih Miko. Kau baik sekali," jawab Nomi gembira.
Mereka berdua pun mendiami tanaman widuri.
Namun keesokan harinya, ada ulat hijau kurus di dahan lain. "Maaf, aku susah mencari tanaman widuri. Bolehkah aku makan dan diam di sini?"
Miko mempersilakan. Tetapi setiap pagi, siang, dan malam, para ulat baru datang, Bahkan beberapa ulat cokelat memelas ingin tinggal . Miko pun mengatur semuanya agar mereka tidak kehabisan sumber makanan. Tetapi para ulat tidak mengikuti aturan. Mereka makan sepuasnya. Habis di cabang satu, mereka makan di cabang lainnya. Mereka semua sangat rakus, tidak bisa diatur. Akibatnya, daun pada tanaman itu hanya tersisa sedikit, meskipun bunga-bunganya tetap tumbuh indah.
Miko menjadi sedih, ia kemudian mendatangi Nomi. Ia menceritakan kesedihannya.
"Nomi, pendatang-pendatang itu kelewatan, mereka tidak bisa diatur. Mereka menumpang di rumah kita, tetapi mereka serakah. Lihat, daun-daun habis tak tersisa. Aku tak mau mati kelaparan bersama mereka. Dan juga, sebentar lagi para peri akan datang mengambil bunga-bunga di taman."
Miko diam sebentar untuk berpikir. Sementara, Nomi serius menunggu. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Ia hanyalah ulat hijau yang masih kecil.
"Besok malam, aku akan pergi mencari tanaman widuri lain. Apakah kau akan ikut?" ajak Miko. "Aku mengajakmu karena kau sopan dan baik. Kau mengikuti aturan untuk makan teratur. Tidak seperti mereka."
"Ya, aku ikut denganmu. Biarpun mencari tanaman itu susah dan lama, aku akan ikut." tekad Nomi.
Maka, ketika malam tiba, Miko dan Nomi pun pergi.
Besok paginya, para peri tertawa-tawa di taman. Namun, mereka begitu kecewa. Tanaman kesayangan mereka tak berdaun lagi. Mereka melihat para ulat sedang tidur di sana. Mereka marah sekali.
"Kalian membuat bunga-bunga kesayangan para peri tak berdaun lagi," marah salah satu peri.
Ulat-ulat itu panik, lalu berusaha kabur. "Lari! Ayo lari! Bahaya!"
Sayang, mereka kurang sigap. Tubuh mereka semua kegemukan. Mereka tak mampu berlari cepat. Akhirnya, mereka hanya pasrah.
Pada peri kemudian menghitung ulat-ulat yang berhasil mereka tangkap. "Satu, dua, tiga, empat ... dua belas!"
Lalu, mereka memasukkan ulat-ulat itu ke ember, kemudian menghanyutkannya ke sungai.
Para peri kemudian memetik bunga widuri untuk mandi.
Sementara itu, Miko dan Nomi terus berjalan, mencari pohon untuk tempat tinggal baru.
Akhirnya, mereka menemukan sebatang pohon widuri kecil.
"Akhirnya!" seru mereka berbarengan. Mereka pun berdiam di pohon itu dan makan secukupnya.
Dengan sabar, mereka menunggu daun-daun enak itu menguncup, sehingga mereka tak akan kehabisan persediaan makanan lagi.
Sumber: Majalah Bobo Edisi 02
Terbit Tanggl 18 April 2013
Penulis : Dewi Iriani
Miko sudah lama tinggal di sana. Ia merasa bahagia sekali. Apalagi kalau angin berhembus. Bunga itu akan menebarkan keharuman yang khas. Miko akan menciumnya dalam-dalam.
Rasa Daun Widuri enak sekali. Miko sering memakannya sampai kenyang. Daun yang tua saja begitu enak. Apalagi pucuknya yang jauh lebih segar. Miko biasa meminum titik embun yang menempel di daunnya di pagi hari.
Miko pun selalu merasa aman. Ia tahu cara menyelamatkan diri. Tiap para peri memetik bunga, ia selalu sembunyi di balik dedaunan yang lebat. Sebagai satu-satunya penghuni tanaman itu, Miko sangat senang.
Tetapi, pagi itu ada seekor ulat lain naik ke atas pohon widuri.
"Hai, kamu siapa?" tegur Miko.
"Aku Nomi. Aku kelaparan. Bolehkah aku makan dan tinggal di pohonmu?" Miko diam sebentar, tetapi akhirnya ia tersenyum.
"Namaku Miko. Aku penghuni lama di sini. Kau boleh makan daun ini sepuasnya, Nomi. Persediaan banyak sekali. Tetapi jika para peri datang, kau harus sembunyi agar tidak dibuang atau dibunuh.
"Iya, Terima kasih Miko. Kau baik sekali," jawab Nomi gembira.
Mereka berdua pun mendiami tanaman widuri.
Namun keesokan harinya, ada ulat hijau kurus di dahan lain. "Maaf, aku susah mencari tanaman widuri. Bolehkah aku makan dan diam di sini?"
Miko mempersilakan. Tetapi setiap pagi, siang, dan malam, para ulat baru datang, Bahkan beberapa ulat cokelat memelas ingin tinggal . Miko pun mengatur semuanya agar mereka tidak kehabisan sumber makanan. Tetapi para ulat tidak mengikuti aturan. Mereka makan sepuasnya. Habis di cabang satu, mereka makan di cabang lainnya. Mereka semua sangat rakus, tidak bisa diatur. Akibatnya, daun pada tanaman itu hanya tersisa sedikit, meskipun bunga-bunganya tetap tumbuh indah.
Miko menjadi sedih, ia kemudian mendatangi Nomi. Ia menceritakan kesedihannya.
"Nomi, pendatang-pendatang itu kelewatan, mereka tidak bisa diatur. Mereka menumpang di rumah kita, tetapi mereka serakah. Lihat, daun-daun habis tak tersisa. Aku tak mau mati kelaparan bersama mereka. Dan juga, sebentar lagi para peri akan datang mengambil bunga-bunga di taman."
Miko diam sebentar untuk berpikir. Sementara, Nomi serius menunggu. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Ia hanyalah ulat hijau yang masih kecil.
"Besok malam, aku akan pergi mencari tanaman widuri lain. Apakah kau akan ikut?" ajak Miko. "Aku mengajakmu karena kau sopan dan baik. Kau mengikuti aturan untuk makan teratur. Tidak seperti mereka."
"Ya, aku ikut denganmu. Biarpun mencari tanaman itu susah dan lama, aku akan ikut." tekad Nomi.
Maka, ketika malam tiba, Miko dan Nomi pun pergi.
Besok paginya, para peri tertawa-tawa di taman. Namun, mereka begitu kecewa. Tanaman kesayangan mereka tak berdaun lagi. Mereka melihat para ulat sedang tidur di sana. Mereka marah sekali.
"Kalian membuat bunga-bunga kesayangan para peri tak berdaun lagi," marah salah satu peri.
Ulat-ulat itu panik, lalu berusaha kabur. "Lari! Ayo lari! Bahaya!"
Sayang, mereka kurang sigap. Tubuh mereka semua kegemukan. Mereka tak mampu berlari cepat. Akhirnya, mereka hanya pasrah.
Pada peri kemudian menghitung ulat-ulat yang berhasil mereka tangkap. "Satu, dua, tiga, empat ... dua belas!"
Lalu, mereka memasukkan ulat-ulat itu ke ember, kemudian menghanyutkannya ke sungai.
Para peri kemudian memetik bunga widuri untuk mandi.
Sementara itu, Miko dan Nomi terus berjalan, mencari pohon untuk tempat tinggal baru.
Akhirnya, mereka menemukan sebatang pohon widuri kecil.
"Akhirnya!" seru mereka berbarengan. Mereka pun berdiam di pohon itu dan makan secukupnya.
Dengan sabar, mereka menunggu daun-daun enak itu menguncup, sehingga mereka tak akan kehabisan persediaan makanan lagi.
Sumber: Majalah Bobo Edisi 02
Terbit Tanggl 18 April 2013
Penulis : Dewi Iriani
EmoticonEmoticon