17. Jiwa yang Terkoyak (lanjutan novel layla majnun)
“Hatiku bagaikan lilin: jika dipotong sumbunya,
maka akan semakin terang nyalanya!...
mengapa aku tidak merengkuh kematian dengan ikhlas?...
dan biarkan aku beristirahat dengan ketenangan abadi di kakimu.”
Sinar mentari di pagi hari bagaikan pisau tajam yang memotong selubung malam. Perlahan bumi yang tua ini menemukan kehidupan baru lagi, terlahir segar bagaikan bunga yang sangat besar muncul dari
kuncupnya.
Majnun bergegas melangkah maju, kakinya hampir tak menyen- tuh tanah. Seolah secara mendadak ia memiliki sayap yang membuatnya bisa terbang; ia bagaikan seekor ngengat yang menari-nari mendekati cahaya lilin dan berharap-harap dapat memiliki nyala lilin itu untuk dirinya sendiri. Namun Majnun justru terbakar bahkan sebelum ia tiba di dekat lilin yang didambakannya; perpisahannya dengan Layla adalah kepedihan yang tak dapat ia tahan lagi; hal itu bagaikan nyala api yang membakar habis dirinya.
Semakin dekat ia ke tujuannya, semakin mabuk jiwanya akan aroma Layla, semakin jelas telinganya dapat mendengar suaranya, semakin jelas matanya dapat melihat bayang-bayangnya pada apapun yang dilihatnya di pegunungan, lembah, bebatuan dan pasir yang bergerak.
Tak lama kemudian, ia merasa begitu lelah sehingga ia memaksa dirinya untuk berhenti. Dalam beberapa menit, ia merasa bagaikan mayat yang telah dibangkitkan kembali: dengan setiap helaan napas, ia merasa kekuatan dihembuskan kembali ke dalam tubuhnya yang lelah.
Belum lama ia berisitirahat ketika ia melihat dua sosok manusia mendekatinya. Seorang pria yang terikat oleh rantai, tubuhnya kurus hanya berbalutkan kain compang-camping dan rambut serta jenggotnya kusut, sedang diseret oleh seorang wanita. Tampak jelas bahwa si tawanan yang malang itu telah kehilangan akalnya; setiap beberapa menit sekali si wa- nita menyentakkan rantainya dan menghajarnya dengan kayu, menyuruh pria itu agar bergerak dengan cepat. Hal itu membuat si pria berteriak-teriak dengan menderita.
Majnun benar-benar terpana melihat pemandangan itu dan segera berlari menuju sepasang pria dan wanita itu, lalu merampas kayu yang ada di tangan wanita itu. “Demi Allah,” jeritnya, “jangan ganggu pria malang itu! Apa salahnya hingga ia harus menerima perlakuan yang tidak manusiawi seperti ini? Ia mungkin gila, mungkin juga seorang krimi- nal, tapi apapun dirinya, ia adalah seorang manusia dan kau tak punya hak untuk menghukumnya dengan cara seperti ini.”
Si wanita menyahut, “Apakah kau ingin tahu yang sebenarnya? Kalau begitu dengarkan baik-baik. Pria ini tidak gila ataupun seorang kri- minal. Aku adalah seorang janda miskin dan ia adalah penganut Islam fanatik, seorang bodoh yang terlalu berlebihan memuja Allah, dan kami berdua telah melalui penderitaan yang berat. Kami berdua bersedia me- lakukan apapun demi mendapatkan uang yang cukup untuk sekedar mem- beli roti.”
“Karena itulah kami berkeliling dengan cara seperti ini, karenasemua orang akan berpikir bahwa ia gila. Orang-orang merasa iba kepada kami – kepadanya karena ia gila, dan kepadaku karena menanggung beban yang begitu berat – dan mereka memberikan uang kepada kami karena kebaikan hati mereka. Berapapun yang kami dapatkan, hasil itu selalu kami bagi dua.”
Majnun terjatuh di pasir dan mulai memohon kepadanya, “Demi Allah, lepaskan rantai ini dari tangan serta kaki pria malang ini, dan pasangkan pada tubuhku, karena akulah yang seharusnya dirantai, bukan dirinya! Kau lihat sendiri bagaimana gilanya diriku!”
“Ya, aku adalah salah seorang dari mereka-mereka yang kurang beruntung yang jiwanya terkoyak oleh cinta. Ikatlah aku dan izinkan aku turut serta bersamamu! Biarkan aku jadi tontonan dalam ikatan rantai ini dan berapapun uang yang kau dapatkan seluruhnya akan menjadi milikmu; aku tak tertarik dengan uang.”
Wanita itu tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran Majnun.
Segera saja ia melepaskan rantai dari tangan serta kaki si pria fanatik itu, lalu ia mengikatkan rantai itu ke tangan serta kaki Majnun. Dengan kepergian si penganut fanatik, wanita itu menyentak-nyentakkan rantai Majnun dan menyeretnya pergi, di bibirnya tersungging sebuah senyum ceria. Majnun pun menyukai perannya dan setiap pukulan kayu wanita itu ke tubuhnya bagaikan belaian lembut sang kekasih.
Si wanita dan tawanan barunya berkelana dari satu oase ke oase lainnya, berhenti pada setiap perkemahan yang mereka jumpai. Majnun biasanya duduk di atas pasir dan mendendangkan sajak-sajaknya yang didedikasikan untuk Layla sambil memukul-mukul wajahnya dengan kepalan tangannya atau menari-nari bagaikan pemabuk sementara si wanita terus memukulnya dengan kayu.
Di suatu oase, di tepi sungai, Majnun melihat sebuah tenda yang tampak tak asing baginya. Saat berjalan mendekati tenda itu, betapa terkejutnya ia kala menyadari bahwa itu adalah tenda Layla.
Tiba-tiba airmata menetes dari matanya. Ia terjatuh ke tanah, memukul-mukulkan kepalanya ke tanah dan menjerit-jerit, “Mengapa kau tinggalkan aku? Mengapa kau biarkan aku sendirian dan tak meninggalkan apapun kecuali kesedihanmu?
“Lihat apa jadinya diriku! Aku mendapatkan hukuman karena aku telah membuatmu dan sukumu menderita di tangan Nowfal. Untuk menebus dosaku, aku telah membuang kebebasanku dan di sinilah aku ber- diri, terikat oleh rantai, menunggu saatnya untuk dihukum. Aku tahu aku telah berbuat salah, aku tahu beban dosaku terlalu besar hingga aku takkan mungkin bisa dimaafkan.”
“Aku adalah tawananmu; dan kau harus menjadi hakimku. Hukumlah aku jika itu maumu; hukum aku dengan hukuman yang paling menya- kitkan.”
“Akulah yang patut dipersalahkan atas penderitaan yang telah dialami oleh dirimu dan sukumu; semuanya adalah salahku. Tidakkah kau berpikir bahwa aku mengetahuinya? Tak dapatkah kau melihat bahwa karena alasan itulah aku dirantai, dibatasi dan dipukuli hingga lebam-lebam? Aku telah mengakui tindakan jahatku dan kini aku dirantai agar aku mendapatkan penderitaan darimu. Jadi penjarakanlah aku, siksalah aku, bunuh aku jika memang kau harus melakukannya tapi kumohon jangan tolak aku!”
“Aku hidup hanya untuk mendapatkan sambutanmu, tapi tak kunjung datang kepadaku. Aku hidup hanya untuk merasakan belaian tanganmu di wajahku, tapi kau selalu tak dapat kugapai. Namun kini – kini saat hidupku telah berakhir – aku merasa masih ada harapan!”
“Mungkin saat kau membunuhku dengan panahmu, kau akan melihatku! Mungkin kau akan menyentuhku, meskipun hanya untuk membuka kerah leherku sebelum kau memotong kepalaku dari tubuhku dengan pedang! Aku tak takut menghadapi kematian: apa yang harus kutakuti jika kaulah yang akan mengambil nyawaku? Untuk apa aku gemetar jika pedangmulah yang akan memotong leherku?”
“Hatiku bagaikan lilin: jika dipotong sumbunya, maka akan semakin terang nyalanya! Di masa hidupku, semua jalan yang menuju dirimu ditutup, jadi mengapa aku tidak merengkuh kematian dengan ikhlas? Ayolah, selamatkan dirimu dariku dan aku dari diriku sendiri, dan biarkan aku beristirahat dengan ketenangan abadi di kakimu.”
Tak ada lagi yang dapat dikatakannya. Dengan tangisan yang menyayat hati, ia bangkit dari tanah dan ekspresi wajahnya berubah dengan kemarahan. Bagaikan seorang pria yang dirasuki iblis, ia menyambar rantainya dengan kedua tangan dan entah dengan kekuatan apa, ia dapat merobek rantai itu dari tubuhnya dan membuangnya ke pasir. Lalu ia berlari. Ia melarikan diri dari si wanita tua, dari tenda Layla, dari oase tersebut, dari semua manusia dan menuju pegunungan pasir Najd.
Satu demi satu teman serta sanak saudaranya mendengar kabar tentangnya: semuanya merasa sedih kala mendengar berita itu, namun beberapa dari mereka justru terkejut. Kelakuan Majnun telah mengkhawatirkan mereka, tapi apa yang dapat mereka lakukan? Sebuah pertemuan pun diadakan dan sejumlah sanak saudara Majnun dikirim untuk mencarinya. Ketika mereka akhirnya menemukannya, jauh di atas tempat persembunyiannya yang terisolir, mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang diingat oleh Majnun adalah Layla dan cintanya untuk gadis itu; ia tak lagi ingat dengan masa lalunya.
Mereka berusaha untuk menyegarkan kembali ingatannya dengan menyebutkan nama-nama teman serta sanak saudaranya lalu orang-orang serta tempat-tempat yang dikenalnya. Majnun hanya terdiam sambil menutup matanya, seolah ia merasa terlalu lelah untuk berpikir. Seluruh usaha untuk membuatnya sadar dan membuat akal sehatnya kembali ternyata gagal; pada akhirnya, sanak saudara Majnun menyerah dan kembali menuju kota. Saudara- saudaranya yang lain mencoba untuk membujuknya, namun tetap tak berhasil, hingga akhirnya bahkan ayah serta ibunya pun harus membuang harapan bahwa putra tercinta mereka akan kembali.
“Hatiku bagaikan lilin: jika dipotong sumbunya, maka akan semakin terang nyalanya!...mengapa aku tidak merengkuh kematian dengan ikhlas?...dan biarkan aku beristirahat dengan ketenangan abadi
di kakimu.”
Sinar mentari di pagi hari bagaikan pisau tajam yang memotong selubung malam. Perlahan bumi yang tua ini menemukan kehidupan baru lagi, terlahir segar bagaikan bunga yang sangat besar muncul dari
kuncupnya.
Majnun bergegas melangkah maju, kakinya hampir tak menyen- tuh tanah. Seolah secara mendadak ia memiliki sayap yang membuatnya bisa terbang; ia bagaikan seekor ngengat yang menari-nari mendekati cahaya lilin dan berharap-harap dapat memiliki nyala lilin itu untuk dirinya sendiri. Namun Majnun justru terbakar bahkan sebelum ia tiba di dekat lilin yang didambakannya; perpisahannya dengan Layla adalah kepedihan yang tak dapat ia tahan lagi; hal itu bagaikan nyala api yang membakar habis dirinya.
Semakin dekat ia ke tujuannya, semakin mabuk jiwanya akan aroma Layla, semakin jelas telinganya dapat mendengar suaranya, semakin jelas matanya dapat melihat bayang-bayangnya pada apapun yang dilihatnya di pegunungan, lembah, bebatuan dan pasir yang bergerak.
Tak lama kemudian, ia merasa begitu lelah sehingga ia memaksa dirinya untuk berhenti. Dalam beberapa menit, ia merasa bagaikan mayat yang telah dibangkitkan kembali: dengan setiap helaan napas, ia merasa kekuatan dihembuskan kembali ke dalam tubuhnya yang lelah.
Belum lama ia berisitirahat ketika ia melihat dua sosok manusia mendekatinya. Seorang pria yang terikat oleh rantai, tubuhnya kurus hanya berbalutkan kain compang-camping dan rambut serta jenggotnya kusut, sedang diseret oleh seorang wanita. Tampak jelas bahwa si tawanan yang malang itu telah kehilangan akalnya; setiap beberapa menit sekali si wa- nita menyentakkan rantainya dan menghajarnya dengan kayu, menyuruh pria itu agar bergerak dengan cepat. Hal itu membuat si pria berteriak-teriak dengan menderita.
Majnun benar-benar terpana melihat pemandangan itu dan segera berlari menuju sepasang pria dan wanita itu, lalu merampas kayu yang ada di tangan wanita itu. “Demi Allah,” jeritnya, “jangan ganggu pria malang itu! Apa salahnya hingga ia harus menerima perlakuan yang tidak manusiawi seperti ini? Ia mungkin gila, mungkin juga seorang krimi- nal, tapi apapun dirinya, ia adalah seorang manusia dan kau tak punya hak untuk menghukumnya dengan cara seperti ini.”
Si wanita menyahut, “Apakah kau ingin tahu yang sebenarnya? Kalau begitu dengarkan baik-baik. Pria ini tidak gila ataupun seorang kri- minal. Aku adalah seorang janda miskin dan ia adalah penganut Islam fanatik, seorang bodoh yang terlalu berlebihan memuja Allah, dan kami berdua telah melalui penderitaan yang berat. Kami berdua bersedia me- lakukan apapun demi mendapatkan uang yang cukup untuk sekedar mem- beli roti.”
“Karena itulah kami berkeliling dengan cara seperti ini, karenasemua orang akan berpikir bahwa ia gila. Orang-orang merasa iba kepada kami – kepadanya karena ia gila, dan kepadaku karena menanggung beban yang begitu berat – dan mereka memberikan uang kepada kami karena kebaikan hati mereka. Berapapun yang kami dapatkan, hasil itu selalu kami bagi dua.”
Majnun terjatuh di pasir dan mulai memohon kepadanya, “Demi Allah, lepaskan rantai ini dari tangan serta kaki pria malang ini, dan pasangkan pada tubuhku, karena akulah yang seharusnya dirantai, bukan dirinya! Kau lihat sendiri bagaimana gilanya diriku!”
“Ya, aku adalah salah seorang dari mereka-mereka yang kurang beruntung yang jiwanya terkoyak oleh cinta. Ikatlah aku dan izinkan aku turut serta bersamamu! Biarkan aku jadi tontonan dalam ikatan rantai ini dan berapapun uang yang kau dapatkan seluruhnya akan menjadi milikmu; aku tak tertarik dengan uang.”
Wanita itu tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran Majnun.
Segera saja ia melepaskan rantai dari tangan serta kaki si pria fanatik itu, lalu ia mengikatkan rantai itu ke tangan serta kaki Majnun. Dengan kepergian si penganut fanatik, wanita itu menyentak-nyentakkan rantai Majnun dan menyeretnya pergi, di bibirnya tersungging sebuah senyum ceria. Majnun pun menyukai perannya dan setiap pukulan kayu wanita itu ke tubuhnya bagaikan belaian lembut sang kekasih.
Si wanita dan tawanan barunya berkelana dari satu oase ke oase lainnya, berhenti pada setiap perkemahan yang mereka jumpai. Majnun biasanya duduk di atas pasir dan mendendangkan sajak-sajaknya yang didedikasikan untuk Layla sambil memukul-mukul wajahnya dengan kepalan tangannya atau menari-nari bagaikan pemabuk sementara si wanita terus memukulnya dengan kayu.
Di suatu oase, di tepi sungai, Majnun melihat sebuah tenda yang tampak tak asing baginya. Saat berjalan mendekati tenda itu, betapa terkejutnya ia kala menyadari bahwa itu adalah tenda Layla.
Tiba-tiba airmata menetes dari matanya. Ia terjatuh ke tanah, memukul-mukulkan kepalanya ke tanah dan menjerit-jerit, “Mengapa kau tinggalkan aku? Mengapa kau biarkan aku sendirian dan tak meninggalkan apapun kecuali kesedihanmu?
“Lihat apa jadinya diriku! Aku mendapatkan hukuman karena aku telah membuatmu dan sukumu menderita di tangan Nowfal. Untuk menebus dosaku, aku telah membuang kebebasanku dan di sinilah aku ber- diri, terikat oleh rantai, menunggu saatnya untuk dihukum. Aku tahu aku telah berbuat salah, aku tahu beban dosaku terlalu besar hingga aku takkan mungkin bisa dimaafkan.”
“Aku adalah tawananmu; dan kau harus menjadi hakimku. Hukumlah aku jika itu maumu; hukum aku dengan hukuman yang paling menya- kitkan.”
“Akulah yang patut dipersalahkan atas penderitaan yang telah dialami oleh dirimu dan sukumu; semuanya adalah salahku. Tidakkah kau berpikir bahwa aku mengetahuinya? Tak dapatkah kau melihat bahwa karena alasan itulah aku dirantai, dibatasi dan dipukuli hingga lebam-lebam? Aku telah mengakui tindakan jahatku dan kini aku dirantai agar aku mendapatkan penderitaan darimu. Jadi penjarakanlah aku, siksalah aku, bunuh aku jika memang kau harus melakukannya tapi kumohon jangan tolak aku!”
“Aku hidup hanya untuk mendapatkan sambutanmu, tapi tak kunjung datang kepadaku. Aku hidup hanya untuk merasakan belaian tanganmu di wajahku, tapi kau selalu tak dapat kugapai. Namun kini – kini saat hidupku telah berakhir – aku merasa masih ada harapan!”
“Mungkin saat kau membunuhku dengan panahmu, kau akan melihatku! Mungkin kau akan menyentuhku, meskipun hanya untuk membuka kerah leherku sebelum kau memotong kepalaku dari tubuhku dengan pedang! Aku tak takut menghadapi kematian: apa yang harus kutakuti jika kaulah yang akan mengambil nyawaku? Untuk apa aku gemetar jika pedangmulah yang akan memotong leherku?”
“Hatiku bagaikan lilin: jika dipotong sumbunya, maka akan semakin terang nyalanya! Di masa hidupku, semua jalan yang menuju dirimu ditutup, jadi mengapa aku tidak merengkuh kematian dengan ikhlas? Ayolah, selamatkan dirimu dariku dan aku dari diriku sendiri, dan biarkan aku beristirahat dengan ketenangan abadi di kakimu.”
Tak ada lagi yang dapat dikatakannya. Dengan tangisan yang menyayat hati, ia bangkit dari tanah dan ekspresi wajahnya berubah dengan kemarahan. Bagaikan seorang pria yang dirasuki iblis, ia menyambar rantainya dengan kedua tangan dan entah dengan kekuatan apa, ia dapat merobek rantai itu dari tubuhnya dan membuangnya ke pasir. Lalu ia berlari. Ia melarikan diri dari si wanita tua, dari tenda Layla, dari oase tersebut, dari semua manusia dan menuju pegunungan pasir Najd.
Satu demi satu teman serta sanak saudaranya mendengar kabar tentangnya: semuanya merasa sedih kala mendengar berita itu, namun beberapa dari mereka justru terkejut. Kelakuan Majnun telah mengkhawatirkan mereka, tapi apa yang dapat mereka lakukan? Sebuah pertemuan pun diadakan dan sejumlah sanak saudara Majnun dikirim untuk mencarinya. Ketika mereka akhirnya menemukannya, jauh di atas tempat persembunyiannya yang terisolir, mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang diingat oleh Majnun adalah Layla dan cintanya untuk gadis itu; ia tak lagi ingat dengan masa lalunya.
Mereka berusaha untuk menyegarkan kembali ingatannya dengan menyebutkan nama-nama teman serta sanak saudaranya lalu orang-orang serta tempat-tempat yang dikenalnya. Majnun hanya terdiam sambil menutup matanya, seolah ia merasa terlalu lelah untuk berpikir. Seluruh usaha untuk membuatnya sadar dan membuat akal sehatnya kembali ternyata gagal; pada akhirnya, sanak saudara Majnun menyerah dan kembali menuju kota. Saudara- saudaranya yang lain mencoba untuk membujuknya, namun tetap tak berhasil, hingga akhirnya bahkan ayah serta ibunya pun harus membuang harapan bahwa putra tercinta mereka akan kembali.
EmoticonEmoticon