15. Cinta Sejati Majnun
Dan saat berjuang untuk bisa tidur,
ia membaca buku kehidupannya,
yang halaman demi halamannya lebih gelap dari malam.
Setelah meninggalkan Nowfal, Majnun merasa bak seorang bocah kecil yang tak memiliki ibu. Ia menunggangi kudanya menuju pedalaman gurun, hanya bertemankan angin. Dengan suara yang rusak karena kesedihan, ia bernyanyi untuk dirinya sendiri tentang ketidaksetiaan Nowfal, menceritakan takdirnya kepada api unggun perkemahan dan karavan-karavan yang telah ditinggalkan, begitu ia melewatinya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak di kejauhan; be- gitu ia dekati, ternyata ia melihat dua ekor rusa yang terjebak dalam pe- rangkap. Dan ada seorang pemburu yang berdiri di atas mereka, bersiap- siap untuk membunuh rusa itu dengan belatinya. Majnun merasakan kemarahannya memuncak.
“Lepaskan makhluk-makhluk itu!” jeritnya. “Aku hanyalah orang asing di wilayah ini, jadi aku adalah tamumu; bukanlah tindakan yang sopan bagi sang tuan rumah untuk menolak permintaan tamunya! Nah, lepaskan simpul itu dari leher mereka dan bebaskan mereka!
Bukankah masih ada banyak ruang di dunia ini untuk semua makhluk ciptaan Allah? Apa kesalahannya hingga kau bersiap-siap untuk membunuhnya? Lihat betapa anggunnya mereka, betapa indahnya mereka diciptakan! Tidakkah mereka mengingatkanmu akan keindahan musim semi? Tidakkah mata mereka mengingatkanmu akan mata kekasihmu?
“Lepaskan mereka! Biarkan mereka hidup dalam ketenangan! Leher-leher mereka terlalu indah untuk merasakan serangan pedangmu; dada serta paha mereka tidak diciptakan hanya untuk mengisi mangkukmu; punggung mereka, yang tak pernah mengangkut barang apapun, sudah pasti tidak ditakdirkan untuk perapianmu! Lepaskan mereka, kumohon kepadamu!”
Si pemburu mengambil langkah mundur dan tampak terkejut. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya ia mendengar permohonan yang begitu mendalam, begitu mulia. Masih menggelengkan kepalanya dengan tak percaya, ia berkata, “Apa yang bisa kukatakan? Aku mengerti pandanganmu dan aku setuju.”
“Tapi aku adalah orang miskin; jika bukan karena rasa laparku, aku takkan mungkin membunuh makhluk-makhluk ciptaan Allah. Tapi ini adalah tangkapanku yang pertama dalam waktu dua bulan ini. Aku mempunyai seorang istri dan beberapa mulut kecil untuk kuberi makan. Apakah aku harus mengorbankan kesejahteraan keluargaku demi kebebasan beberapa ekor hewan?”
Majnun turun dari kudanya dan tanpa berkata-kata ia menyerahkan tali kekang kudanya kepada si pemburu. Meskipun bingung oleh tindakan Majnun, namun ia juga merasa lebih dari sekedar senang dengan pertukaran itu. Segera saja ia pergi dengan kuda itu dan meninggalkan Majnun yang berusaha melepaskan rusa-rusa dari perangkapnya.
Dengan halus ia melakukannya, lalu ia membelai-belai leher mereka dan mencium mata mereka sambil berkata:
Aku melihat matanya pada matamu, lebih gelap dari malam; Meskipun begitu cintaku tak dapat mengembalikannya ke hadapanku. Apa yang telah hilang takkan dapat dikembalikan oleh siapapun,
Dan yang tersisa hanyalah kenangan yang membara……..
Ia memohon agar Allah memberikan berkah kepada hewan- hewan tersebut, lalu ia melepaskan mereka dan memandang saat mereka berlarian di atas gurun pasir. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya, langkahnya lebih pelan kali ini karena tubuhnya menopang kesedihan serta beberapa barangnya yang tersisa.
Cahaya matahari menyengat kepalanya tanpa ampun, semen- tara pasir membakar kakinya. Kulitnya hangus, otaknya terasa seperti terpanggang, kakinya lecet-lecet dan terluka oleh duri, namun ia terus berjalan tanpa gentar. Perjalanannya masih berlanjut hingga malam menye- lubungkan jubah gelapnya di bumi dan rembulan yang meminjam sinar matahari menjadi pemandangan yang sangat indah di langit. Saat itulah ia baru beristirahat.
Dengan terengah-engah dan mengerang ia memasuki sebuah gua dan menjadikan selendang tuanya sebagai selimut dan batu sebagai bantalnya. Lalu ia membaringkan tubuhnya, dan saat berjuang untuk bisa tidur, ia membaca buku kehidupannya, yang halaman demi halamannya lebih gelap dari malam.
Saat pagi mulai menjelang dan matahari mulai bersinar, para syaitan tidur melepaskan rantai pikiran Majnun dan mengembalikannya ke- padanya, membiarkannya terbangun. Sambil mengusap-usap matanya, ia melangkah keluar dari gua dan melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanannya, ia menciptakan ode dan sajak, lalu menyanyikannya keras-keras untuk dirinya sendiri dan gurun pasir.
Menjelang sore hari, Majnun kembali bertemu dengan seorang pemburu. Pria ini telah berhasil menjebak rusa jantan dalam perangkap dan sedang bersiap-siap untuk menggorok lehernya. Darahnya mulai mengucur, lalu Majnun berlari menuju si pemburu dan berteriak, “Kau monster yang kejam! Memalukan sekali bagaimana caramu menindas yang lemah dan tak berdaya! Biarkan makhluk ini pergi agar ia bisa menikmati apa yang tersisa dari hidupnya!
“Tidakkah kau memikirkan kawanan makhluk ini? Anak-anaknya yang sedang menunggu ayahnya kembali pulang? Apa yang akan dikatakan oleh si rusa betina, andaikan ia bisa berbicara? Ia pasti akan mengutukmu; ia pasti akan memohon kepada Allah agar kau tersiksa karena kau telah menyiksa pasangan hidupnya.
“Tidakkah penderitaan makhluk-makhluk yang kau siksa berarti sesuatu bagimu? Coba kau tempatkan dirimu pada rusa jantan itu; bayangkan dirimu sebagai korban dalamperangkap dan rusa jantan itu sang pemburu yang sedang bersiap-siap untuk membunuhmu, bagaimana perasaanmu?”
“Aku tidak melakukannya hanya sekedar untuk membunuh,” kata si pemburu, sambil menurunkan belatinya. “Aku membunuh demi keselamatan diriku, agar aku bisa menghidangkan makanan di meja makanku. Jika kau bersedia, aku akan menjual rusa jantan ini kepadamu.”
Majnun tak memiliki uang ataupun perhiasan, namun ia masih memiliki beberapa benda yang diberikan oleh Nowfal kepadanya. Ia mengeluarkannya dari tas dan memberikannya kepada si pemburu, yang merasa sangat senang dengan pertukaran itu. Setelah memasukkan benda-benda itu ke dalam tasnya, si pemburu itu membelai-belai bagian belakang tubuh rusa jantan itu, tersenyum kepada Majnun lalu pergi menuju bukit pasir. Ketika si pemburu telah pergi, Majnun datang mendekati si rusa jantan dan mulai membelai-belainya dengan halus, seperti seorang ayah yang membelai-belai anaknya. Lalu ia mulai berbisik di telinga rusa jantan itu:
“Kau sama sepertiku, telah terpisah dari yang kau cintai. Tak perlu khawatir karena kesedihanmu telah berakhir. Kini kau bisa kembali kepadanya dan berbaring pada bayangannya, tempat di mana seharusnya kau berada. Dan jika dalam perjalananmu kembali kepada kekasihmu, kau bertemu dengan kekasihku, sampaikan pesanku ini kepadanya:
Setiap angin yang berhembus membawa aromamu kepadaku; Setiap burung yang bernyanyi menyebutkan namamu kepadaku; Setiap mimpi yang muncul membawa wajahmu kepadaku; Setiap tatapan yang tertuju ke wajahmu meninggalkan jejaknya kepadaku.
Aku adalah milikmu, aku adalah milikmu, entah kau jauh ataupun dekat; Kesedihanmu adalah kesedihanku, semuanya milikku, di manapun kau berada.”Sambil mengucapkan kata-kata itu, Majnun melepaskan ikatan si rusa jantan dan melepaskannya. Lalu ia melihat rusa jantan itu menjauh, begitu gembira akan kembali bergabung dengan kawanannya.
Jauh di atas langit, karavan malam telah kembali dari perjalanannya; di langit timur, rembulan muncul dari kegelapan dan mulai menyinari gurun pasir itu dengan sinarnya yang keperakan. Majnun memandang langit bagaikan burung dengan sayap terluka, tak sanggup terbang. Lalu ia menatap bintang-bintang dan dengan airmata menetes di pipinya, ia merenungkan takdirnya.
EmoticonEmoticon