6. Berobat ke Rumah Suci (Lanjutan Kisah Layla Majnun)
Mereka tak mengetahui seberapa besar sesungguhnya cintanya untuk Layla:
mereka-mereka yang tak pernah merasakan rasa sakit seperti ini takkan dapat memahaminya,
apalagi menasihatinya. Ucapan- ucapan mereka tidak memadamkan api cinta Majnun
namun justru semakin memperbesar nyala api itu,
dan ketika mereka telah selesai menasihatinya,
lautan api itu menyala jauh lebih besar dari sebelumnya.
Hasrat Majnun tumbuh berkembang seiring dengan berlalunya hari, dan dengan berkembangnya hasrat itu, reputasinya di antara keluarga dan teman-temannya pun merosot.
Namun kerabat dekatnya dan terutama ayahnya tercinta, Sayyid, tidak merasa putus asa. Mereka menyadari bahwa saat-saat tergelap biasanya muncul sesaat sebelum matahari terbit, dan dengan cinta kasih dan kesabaran mereka yakin akan dapat menyembuhkan bocah lelaki tersebut. Sekali lagi, Sayyid mengadakan pertemuan dengan para tetua suku untuk membicarakan permasalahan putranya. Setelah berdebat, akhirnya pikiran para tetua tertuju pada Makkah dan rumah suci Allah, Ka’Bah. Setiap tahun, beribu-ribu orang dari jauh datang mengunjungi tempat tersebut untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka juga berdoa memohon ampunan serta pertolongan dari Allah. Mengapa tidak menga- jak Majnun ke Makkah?
“Bagaimanapun juga,” kata salah seorang tetua, “hanya Allah yang dapat membuka gembok yang tak dapat dibuka oleh manusia yang lemah. Mungkin Allah, dengan belas kasihnya, akan memberikan pertolongan dan menyembuhkan bocah yang hancur karena penderitaannya. Ka’Bah adalah tempat untuk berdoa dan merenung bagi umat manusia dan juga para malaikat; Ka’Bah adalah altar bagi surga dan bumi, di mana setiap manusia memohon ampunan dan juga pertolongan Allah. Jadi, ba- gaimana mungkin Allah tidak membantu kita?”
Ayah Majnun sepakat dengan ide tersebut, dan pada hari pertama di bulan terakhir pada tahun itu bulan dilaksanakannya ibadah haji ia berangkat menuju Makkah dengan menggunakan sebuah karavan kecil yang ditarik oleh unta. Majnun, yang masih terlalu lemah untuk berjalan, diangkut dengan sebuah tandu, bak seorang bayi yang tidur di sebuah boks.
Akhirnya mereka tiba di Makkah dan mulai mendirikan perkemahan. Seperti yang telah dilakukannya di sepanjang perjalanan, Sayyid memberikan derma dengan melempar-lemparkan emas di keramaian seolah yang dilemparkannya hanyalah butiran-butiran pasir. Hatinya yang terbebani oleh keputusasaan segera terasa ringan begitu ia melihat Ka’bah dengan ribuan manusia berjubah putih berjalan mengelilinginya seperti ngengat-ngengat mengelilingi nyala lilin. Ia tak sabar lagi menunggu tiba saatnya ia menyerahkan putranya yang sakit ke hadapan Allah dan berdoa memohon bantuan-Nya.
Akhirnya tibalah saatnya bagi mereka untuk melakukan ibadah tersebut. Perlahan ia menggandeng lengan putranya, Sayyid berkata, “Putraku, ini adalah Rumah Suci, rumah bagi mereka-mereka yang tak punya teman. Ini adalah Rumah Suci yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan penyakit-penyakit yang tak ada obatnya sekali pun. Ya, putraku, di sinilah tempat jika Allah menghendak di mana babak hidupmu akan berakhir dan dimulailah babak yang baru. Kita telah datang ke tempat ini agar kau mendapatkan penghiburan dari Allah dan mene- mukan pembebasan dari penderitaanmu. Sebut nama Allah dengan nama-nama terindahnya dan mohon agar Ia bersedia membantumu. Mohon pada-Nya agar Ia dapat menyelamatkanmu dari keinginanmu yang mendalam. Mohon agar Ia berbelas kasih padamu, untuk memberikan perlindungan dan membimbingmu kembali ke kesadaran dan kebaikan. Katakan pada Allah betapa tak bahagianya dirimu dan mohon agar Ia bersedia membuka pintu kesedihanmu dan membiarkannya pergi. Mohon agar Ia dapat membebaskanmu dari hasrat-hasrat jahatmu sebelum se- muanya terlambat. Pergilah, Putraku, dan lakukanlah apa yang kuperintah- kan kepadamu.”
Awalnya ucapan Sayyid membuat putranya menangis. Namun kemudian Majnun mulai tertawa. Ia loncat dari tandu dan bergegas ber- jalan menembus kerumunan orang, dan ketika tiba di hadapan Ka’Bah, ia mulai memukul-mukulnya dengan kepalan tangannya. Lalu, dengan suara yang menggema antara tawa dengan tangis, ia berteriak, “Ya, akulah yang telah mengetuk pintu-Mu hari ini! Aku, Majnun, si gila, si bodoh yang telah menjual hidupnya hanya demi cinta! Dan biarkanlah aku menjadi budak cinta untuk selamanya!
Read more »
EmoticonEmoticon