14. Atas Nama Persahabatan
“Kau telah mengubah keinginan baikku menjadi kekejian,
dan semua kau lakukan atas nama persahabatan.”
Majnun hanya terdiam saat berkendara di samping Nowfal. Selama satu jam mereka tak saling bicara, namun akhirnya, ketika luka jiwa Majnun kembali terbuka lebar, ia tak lagi dapat menahan kata- katanya. “Beginikah caramu membantuku?” jeritnya. “Apakah ini satu- satunya cara yang kau ketahui untuk mempersatukan dua orang yang sedang jatuh cinta? Apakah ini tujuan akhir dari sebuah kebijaksanaan, bertempur dengan manusia dan senjata? Apakah ini rahasia dari kekuatanmu? Apakah dengan cara ini kau membuktikan kekuatanmu? Begitukah caramu membantu teman-temanmu? Demi Allah aku tak pernah menginginkan kau membantuku dengan cara seperti ini; Allah tahu bahwa aku tak pernah memintamu untuk menumpahkan darah demi diriku!
“Dan kini kau telah berhasil menjadikan teman-temanku sebagai musuhmu. Pintu yang semula ingin kumasuki dengan damai kini telah terkunci untuk selamanya dan kuncinya telah dibuang entah ke mana, semua karena dirimu!
“Kau telah mengubah keinginan baikku menjadi kekejian, dan semua kau lakukan atas nama persahabatan! Kau bukanlah temanku; mulai saat ini kuputuskan tali persahabatan kita. Bagaimana mungkin kita bisa berteman? Aku merasa seperti seorang raja dalam permainan catur yang telah diskak-mat oleh ksatriaku sendiri! Aku merasa bak anjing gembala yang terkena panah sang gembala yang sebenarnya ditujukan kepada sang serigala!
“Memang benar, berkaitan dengan kedermawanan, kau sangat hebat, namun tentang hal menepati janji, kau sangatlah kecil!”
Tak ada sepatah kata pun yang diucapkan oleh Nowfal untuk membela dirinya dari ucapan Majnun. Secara perlahan ia berusaha untuk membantah ucapan temannya.
“Kau harus mengerti bahwa kita kalah jumlah: musuh kita terlalu kuat. Karena itulah aku tak bisa meraih tujuanmu dan memenangkan Layla untukmu. Tapi semuanya belum berakhir, percayalah. Memang benar kita telah membuat perdamaian lalu berpisah. Namun itu semua hanyalah strategi yang dibuat oleh sang takdir.
“Percayalah teman, aku pasti akan kembali! Aku harus mendapatkan dukungan dari suku-suku lain yang berada di sekitar sukuku; aku akan mengumpulkan pasukan yang belum pernah dilihat oleh suku Layla sebelumnya! Aku takkan beristirahat hingga aku mencapai tujuanku. Aku takkan beristirahat hingga harta yang sangat kau dambakan itu berada di tanganmu.”
Dan kini Nowfal melakukan tindakan yang sesuai dengan ucapannya. Ia mengirimkan utusan ke semua suku di area itu, dari Medina, Baghdad hingga jauh. Dengan kekayaan yang tak pernah terungkap, ia mengumpulkan sebuah pasukan yang bertambah besar bagaikan lautan besi. Lalu, untuk kedua kalinya, ia pergi berperang demi memenangkan hati Layla untuk temannya.
Tidak ada seorang manusia waras pun yang akan bertindak demikian. Lihat saja dirinya, lihat bagaimana ia seringkali tertawa- tawa dan menangis tanpa alasan! Bahkan jika ia berhasil meraih Layla, Takdir takkan bersedia menyatukan mereka.
Pasukan Nowfal berkendara melewati daratan bagaikan lautan luas yang berisikan manusia dan besi. Genderang perang berbunyi keras, bunyi derap langkah kaki kuda, dan jeritan perang pria-pria itu saja sudah cukup untuk membuat hati siapa saja gemetar. Bendera-bendera berwarna merah darah berkibar-kibar diterpa angin, pedang dan belati berkilauan terkena sinar matahari. Siangnya, pasukan
Nowfal tiba di pinggiran area perkemahan suku Layla, dan ketika sampai di sana, lautan pria dan besi itu menjadi tenang –ketenangan sebelum mendatangkan badai.
Pengintai dari suku Layla telah menyampaikan berita tentang kedatangan pasukan Nowfal, dan meskipun mereka tahu bahwa mereka kalah jumlah, namun mereka tetap tak kehilangan keberanian. Mereka bertetap hati tidak akan menyerah kalah: mereka lebih baik mati daripada harus menyerahkan Layla kepada para penyerang itu.
Pertempuran dimulai, jauh lebih sengit dari pertempuran yang pernah dilalui kedua belah pihak. Segera saja dataran luas itu dipenuhi oleh manusia dan kuda yang saling berdesakan; begitu padatnya sehingga tak banyak ruang bagi mereka untuk bergerak dan tak ada kesempatan bagi siapapun untuk pergi melarikan diri. Begitulah, setiap tikaman belati mengenai sasarannya, setiap tebasan pedang menjatuhkan korban. Darah berjatuhan bagaikan anggur yang tumpah dari seribu cangkir; begitu merahnya warna pasir itu hingga tampak seolah bunga-bunga candu tumbuh bermekaran entah dari mana.
Akhirnya, pembunuhan itu menjadi terlalu berlebihan bahkan bagi pejuang yang tangguh sekalipun; begitu banyak pria yang merasa ragu sebelum menyerang, seolah lelah dan juga malu akan melukai atau membunuh musuh lainnya. Tapi Nowfal terus melangkah maju, bagaikan naga yang memuntahkan api dan kehancuran. Tak ada satu pun kepala yang aman dari pukulan tongkatnya, tak ada jantung yang selamat dari hunusan pedangnya. Ia bergerak maju bagaikan sabit besar pembawa kematian, menghabisi semua yang ada di jalannya, tak pernah berhenti barang sejenak untuk memandang ke belakang, tak menyadari pembunuhan besar-besaran yang telah diakibatkan olehnya dan anak buahnya.
Begitu malam mulai menjelang, sangatlah jelas bahwa pertempuran itu telah dimenangkan oleh Nowfal dan pasukannya. Suku Layla telah kalah. Begitu banyak yang terbunuh atau terluka, dan mereka-mereka yang tersisa mengalami kelelahan luar biasa. Sebagai simbol penyerahan diri dan tanda berdukacita, para tetua suku dari suku Layla menuangkan pasir di atas kepala mereka dan berjalan dalam diam menuju tenda sang pemenang. Di sana, mereka merendahkan diri mereka di hadapan Nowfal dan menjerit, “O, Nowfal! Hari kemenangan menjadi milikmu dan kami telah mengalami kekalahan yang sangat pahit. Demi Allah, biarkan keadilan ditegakkan! Biarkan mereka-mereka yang selamat dari pertempuran ini hidup dalam ketenangan. Izinkan kami bangkit setelah kejatuhan ini, dan ingatlah bahwa suatu saat nanti kita semua akan dipanggil untuk bangkit kembali di hadapan-Nya pada hari kiamat. Letakkan senjatamu karena kau tak lagi membutuhkannya; kami adalah orang-orang lemah yang tak mengharapkan apa-apa darimu. Letakkan tombak serta busurmu jauh-jauh; semuanya sudah tak berguna bagimu. Kami telah meletakkan tameng kami dan meletakkan Takdir kami di tanganmu. Demi Allah, kumohon berbelas kasihlah pada kami.”
Nowfal merasa terketuk oleh ucapan para tetua itu, dan untuk beberapa saat ia tak mampu menjawabnya. Ia juga telah menyiapkan diri untuk melupakan apa yang terjadi dan membiarkannya berlalu. Dengan sungguh-sungguh, ia menyetujui kesepakatan gencatan senjata itu, namun tidak tanpa menetapkan kemauannya, “Aku telah mendengar apa yang telah kau ucapkan dan aku setuju bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan untuk kita. Oleh karena itu, aku setuju untuk melaksanakan gencatan senjata. Kini aku akan pergi, namun sebelum itu, aku akan meminta apa yang telah kumenangkan hari ini.
Bawakan Layla kepadaku –hanya dengan itulah aku akan merasa puas dan akan meninggalkanmu dengan tenang.” Begitu ia berhenti berbicara, seorang pria dari suku yang telah kalah melangkah maju dan mendekati Nowfal. Pria itu adalah ayah Layla, punggungnya membungkuk karena kesedihan dan penghinaan. Dengan pelan, ia berlutut di hadapan Nowfal, merendahkan dirinya di kaki sang pemenang dan mulai terisak. “O Nowfal! Kau adalah kebanggan bagi semua masyarakat Arab dan kau adalah seorang pangeran! Aku adalah seorang pria tua – pria tua yang hatinya hancur dan punggungnya membungkuk karena perubahan waktu. Bencana telah membuatku berlutut; kesedihan telah membuatku sampai di tepian. Kutukan dan keburukan sedang menumpuk di atasku saat ini, dan saat aku teringat oleh darah yang telah tumpah karenaku, kuharap bumi ini akan terbuka dan menelanku bulat- bulat. Sekarang keputusan ada di tanganmu. Jika kau akan melepaskan putriku, maka aku akan merasa sangat bahagia. Jika kau berniat membunuhnya, maka bunuhlah ia! Goroklah tenggorokannya dengan belatimu, tusukkan pedangmu ke dalam jantungnya, dan injak-injaklah tubuhnya di bawah kuda-kudamu jika kau mau. Aku takkan mempertanyakan keputusanmu.
“Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa kuterima. Selama aku masih menjadi ayahnya, aku takkan pernah menyerahkan putriku kepada si tolol, si iblis yang menyamar menjadi manusia, si gila, si ‘majnun’ ini takkan pernah! Seharusnya ia diikat oleh rantai besi dan dikunci rapat-rapat, dan bukan terikat dalam ikatan pernikahan lalu dibiarkan bebas berkeliaran! “Lagipula, apalah ia? Ia hanyalah orang bodoh, gelandangan dan pengembara, tak mempunyai tempat tinggal, orang yang tak berguna yang berkelana di pegunungan bagaikan pertapa kotor yang dirasuki syaitan serta para kaki tangannya. Apakah ia layak untuk duduk bersanding dengan manusia lainnya, apalagi untuk memperistri seorang gadis? Apakah aku bersedia memiliki menantu seorang penyair pengkhianat yang telah menyeret-nyeret namaku dalam kubangan kotoran? Seluruh pelosok Arab telah menyebut-nyebut nama putriku dalam sajak-sajaknya yang menyedihkan. Dan kau justru memintaku untuk menyerahkan putriku kepadanya? Namaku akan buruk selamanya, dan tanah kelahiranku yang kuagungkan takkan selamat. Kau meminta sesuatu yang tak mungkin, Tuan, dan kumohon agar kau menghentikannya. Lebih baik jika aku menggorok lehernya dengan pedangku daripada harus menyerahkannya kepada Majnun: karena hal itu akan sama saja dengan menyerahkan putriku sendiri ke kandang singa. Akan lebih baik jika ia mati secepatnya dengan pedangku daripada harus meletakkannya di rahang naga seperti Majnun!”
Selama sedetik, keberanian pria tua yang polemik dan kekerasan ancamannya mengejutkan Nowfal dan membuatnya terdiam. Meskipun begitu, ia tak menaruh kebencian kepada sosok bungkuk yang berlutut di hadapannya. Dengan tegas namun sopan, ia menyahut, “Berdirilah, pria tua! Meskipun aku memiliki kekuasaan, tapi aku takkan mengambil putrimu dengan paksaan. Seorang wanita yang diambil karena paksaan ibarat makanan tanpa garam: aku akan mengambilnya hanya jika kau bersedia menyerahkannya.”
Para pelayan serta penasihat Nowfal menyetujuinya. Jika Majnun tak dapat memiliki Layla, maka dirinya sendirilah yang harus dipersalahkan. Lagipula, segalanya terjadi karena Majnun; ialah yang patut dipersalahkan atas terjadinya pertumpahan darah ini. Dan bukankah pada pertempuran pertama ia justru memihak musuh dan berkhianat kepada mereka-mereka yang telah berjuang untuknya? Pria yang telah mencaci maki Majnun atas tindakannya saat pertempuran pertama itu kini melangkah maju dan berbicara kepada Nowfal.
“Pria tua itu benar,” katanya. “Si bodoh Majnun adalah budak nafsu. Pikiran-pikiran untuk tidak patuh dan memberontak mendominasi dirinya dan tidaklah layak bagi seseorang dalam kondisinya untuk menjadikan gadis manapun sebagai istrinya. Jelas sekali pikirannya tak waras dan ia tak dapat dipercaya. Bukankah kita telah mempertaruhkan nyawa kita untuknya? Bukankah kita telah siap untuk bertarung hingga tetes darah penghabisan? Kendatipun demikian kenyataannya, ia justru mengharapkan kemenangan bagi pihak musuh! Untuk dirinya, kita bersedia menjadikan tubuh kita sebagai sasaran panah musuh panah yang secara rahasia justru ia doakan!
Tidak ada seorang manusia waraspun yang akan bertindak demikian. Lihat saja dirinya, lihat bagaimana ia seringkali tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan! Bahkan jika ia berhasil meraih Layla, takdir takkan bersedia menyatukan mereka. Pria itu sama sekali tak memiliki sifat baik dan kau, Nowfal, akan hidup dalam penyesalan karena telah membantunya. Keagungan serta rasa malu yang kita terima telah sebanding: mari kita sudahi semuanya dan jangan lagi kita turut campur dengan urusan ini.”Apalagi yang dapat dilakukan Nowfal? Keputusan ayah Layla sudah tak dapat ditawar-tawar lagi bahkan dalam keadaan kalah; ia bahkan menikmati dukungan dari anak buah Nowfal. Ia tak menyalahkan mereka karena kini pikirannya pun penuh dengan keraguan akan Majnun. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk menarik kembali syarat-syarat kemenangan yang telah diajukannya, lalu ia memberikan tanda kepada pasukannya untuk membubarkan perkemahan dan kembali pulang.
Seolah Majnun telah menghilang dari muka bumi. Seolah namanya telah dihapus dari buku kehidupan. Majnun tak dapat menahan kemarahannya untuk waktu yang lama, dan mereka belum berjalan terlalu jauh ketika menoleh ke arah Nowfal dan mulai berteriak, “Apakah kau menyebut dirimu teman? Kau membuat harapanku tumbuh kuat bagaikan pohon, dan kini kau sendiri yang menebang pohon itu dengan kapakmu. Kemenangan telah menjadi milikmu. Oleh karena itu kau boleh menerima barang-barang rampasan perang. Layla juga berhak kau miliki, yang juga menjadi milikku: mengapa kau biarkan ia pergi? Mengapa kau berjanji untuk membantuku lalu kau mengkhianatiku?
“Aku bagaikan seseorang yang sekarat karena dahaga: kau yang membawaku menuju tepian sungai Euphrates, namun sebelum aku sempat meneguk airnya, kau menarikku dan mengembalikanku ke tengah gurun pasir tanpa air! Kau menuntunku ke meja makan, tapi kau tak memperbolehkanku menikmati makanan! Jika kau tak pernah berniat untuk membiarkanku memiliki hartaku, mengapa kau tunjukkan padaku sedari awal?” Majnun menyentakkan kakinya ke arah kudanya dan tanpa mengucapkan selamat tinggal, ia berlalu meninggalkan gurun menuju alam liar. Tak lama kemudian, sosoknya sudah tak tampak lagi, meninggalkan Nowfal dan para anak buahnya yang menggaruk-garukkan kepala mereka dengan takjub.
Beberapa hari setelah Nowfal kembali ke tempat asalnya, ia membentuk sebuah tim pencarian untuk mencari sahabatnya. Bagaimanapun juga ia menyayangi Majnun. Ia ingin menemukan sahabatnya, menenangkannya dan mengatakan betapa ia menyayanginya, dan memastikannya bahwa ia tak pernah berniat untuk menyakitinya.
Namun keberadaan Majnun tak dapat dilacak. Seolah ia telah menghilang dari muka bumi. Seolah namanya telah dihapus dari buku kehidupan. Perlahan, Nowfal mengambil kesimpulan yang menyakitkan bahwa ia telah kehilangan sahabatnya untuk selamanya.
EmoticonEmoticon