Minggu, 11 Desember 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Lampu Kunang-Kunang

lampu kunang-kunang
Di Hutan Damai hiduplah berbagai macam binatang, semua saling bersahabat dan saling berbagi satu dengan yang lain, tetapi tidak dengan Rin kunang-kunang. Ia diacuhkan oleh penghuni hutan karena penghuni hutan berpendapat kunang-kunang itu adalah binatang yang tidak berguna, karena tubuhnya yang berlampu, kemanapun Ia pergi pasti terlihat terang dan menyilaukan, dan lampu itu sangatlah tidak berguna. Begitulah pendapat sebagian penghuni hutan.

"Rin, apa kau tidak ada kerjaan lain yang lebih bermanfaat selain menyalakan lampu tubuhmu itu" kata Moly kucing.

"Ya, betul sekali katamu Moly, padahalkan masih banyak yang harus Ia lakukan selain menyalakan lampunya di siang hari," Flo Kelinci pun tak mau kalah, dan ikut berbicara.

"Tubuhku memang seperti ini, kenapa kalian terus mengejekku?" Rin kunang-kunang mencoba membela diri.

"Ya, tapi kan kau bisa bisa matikan lampu di tubuhmu itu, setidaknya pada siang hari yang amat panas dan terang ini, lagian kalau malam kita juga sudah memiliki bulan sebagai penerangnya," Moly Kucing kembali menyalahkan Rin Kunang-kunang.

Rin Kunang-kunang hanya merunduk dan langsung terbang menuju rumahnya sambil meneteskan air mata.
"Kau, kenapa sayang, matamu terlihat sembab" tanya Ibu Rin Kunang-kunang ketika melihat anaknya pulang dengan menutupi wajahnya.


"Rin tidak kenapa-napa kok Bu," jawab Rin Kunang-kunang mencoba membohongi Ibunya.

"Sepertinya kau menangis, sudahlah jangan berbohong dengan Ibu, apa teman-temanmu kembali mengejekmu?" Ibu kembali bertanya.

"Iya, mereka bilang aku ini tidak berguna, kenapa sih Bu tubuhku ini harus bercahaya dan membuat teman-teman menjauhiku, mereka bilang mereka silau jika melihatku Bu," Rin Kunang-kunang kembali menangis.

"Oh karena itu kau menangis, menurut Ibu, tubuh kita ini adalah sebuah anugerah karena tidak semua makhluk memiliki tubuh seperti kita, sudahlah jangan menangis, pasti suatu saat teman-temanmu akan kembali menerimamu sebagai teman," Ibu Rin mencoba menghibur anaknya dan membuat Rin berhenti menangis.

"Ya sudah Bu, Rin ke kamar dahulu,"Rin langsung bergegas meninggalkan Ibu yang sedang menyiapkan makan malam.

Malam pun tiba. Suasana hutan terasa hening, membuat Rin larut dalam lamunan. Tapi, tiba-tiba  Rin Kunang-kunang sangat kaget mendengar teriakan dari luar rumahnya, Ia pun langsung keluar bersama keluarganya.

"Ada apa kalian semua kemari? apa ada yang bisa kami bantu?" kata Ayah Rin yang terlihat kebingungan melihat hampir semua penghuni hutan berada di depan rumahnya.

"Tolong maafkan kami semua Rin, kami bersalah padamu. Selama ini kami mengejekmu dan selalu mengacuhkanmu"kata Moly Kucing dengan tertunduk malu.

"Memang kenapa?" jawab Rin Kunang-kunang singkat.

"Malam ini bulan tidak menampakkan sinarnya, kami semua penghuni hutan kegelapan, kami mohon kalian mau membantu kami untuk menginap di rumah kalian," Ibu Ayam pun angkat bicara karena Ia sangat takut dengan gelap.

"Ya, tentu saja boleh, tapi rumah kami sangat kecil. Biarlah kami yang menginap di rumah salah satu penghuni hutan yang memiliki rumah yang cukup besar untuk kita semua,"jawab Ayah Rin.

"Bagaimana kalau kita menginap di rumah Ibu Monyet?" kata Ibu Ayam.

"Betul kata Ibu Ayam. Rumahku cukup untuk tidur kalian semua," kata Ibu Monyet.

Mereka pun lalu menuju ke rumah Ibu Monyet. Semua penghuni hutan yang takut dengan kegelapan ikut menginap di rumah Ibu Monyet.

"Terima kasih kalian sudah membantu kami melawan ketakutan pada malam hari," semua penghuni hutan mengucapkan terimakasih kepada keluarga kunang-kunang.

"Bagaimana Rin, apakah kau masih menganggap kalau kau ini binatang yang tidak berguna?" senyum Rin mengembang dengan pertanyaan Ibunya, ternyata benar apa yang dikatakan Ibunya selama ini, Rin adalah binatang berlampu yang istimewa.

Sumber: Buku "Kisah Dari Negeri Dongeng" 
Disusun oleh: Mulasih Tary 
Penerbit: Pustaka Anak-Yogyakarta.


EmoticonEmoticon