Jumat, 09 Desember 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Jejak Kebaikan

jejak kebaikan
Nah, bersiap semua. Konsentrasi penuh!" Bu Neneng memberi aba-aba. Kami yang sudah duduk melingkar dengan kelompok masing-masing, menunggu dengan hati berdebar. Nining ketua kelompokku memegang amplop putih berisi selembar kertas folio bergaris. Di dalamnya, ada satu kalimat. Nah, kalimat itul akan menjadi kalimat pembuka karangan kami. Kertas itu akan digilirkan pada setiap anggota, kemudian ia harus menuliskan satu kalimat lanjutannya. Bu Neneng, memberi waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan tugas kami semua.

Saat ini, kelas kami terbagi menjadi empat kelompok. Tiap kelompok terdiri dari enam orang. Kelompokku sendiri hanya beranggotakan 5 orang. Biaz, sahabatku, hari ini tidak masuk karena sedang keluar kota.

"Mulai!" kata Bu Neneng sambil menyalakan penghitung waktu, Nining membuka amplop, lalu membacakan isinya untuk kami.
"Melakukan satu kebaikan setiap hari, sesungguhnya sangat mudah." Itu kalimat pembukanya. Nining mulai menulis satu kalimat lanjutan. Lalu Raisa, Yenni, aku, kemudian kembali kembali ke Nining. Begitu seterusnya. Ternyata seru juga. Aku merasa tertantang untuk menemukan satu kalimat lanjutan yang tepat.

Tiba-tiba, pintu kelas diketuk seseorang. Pak Rahwini, guru matematika kami, berdiri di depan pintu. Pak Rahwini membisikkan sesuatu pada Bu Neneng. Setelah Pak Rahwini pergi, Bu Neneng berdiri di depan kami. Wajahnya tampak berkabut.

"Anak-anak, ada kabar duka," Bu Neneng terdiam sejenak. Tangannya gemetar menghapus air mata yang menetes. Kami menunggu dengan cemas. Kabar duka apakah?
"Teman kita, Biaz, meninggal dunia karena kecelakaan," begitu lemah suara Bu Neneng ketika mengatakan itu. Tetapi, karena suasana kelas demikian hening, suara itu terdengar sangat jelas.

Aku terhenyak, kemarin, kami masih main bola bersama sepulang sekolah. Lalu sore hari, aku bermain ke rumahnya. Biaz hendak meminjamkanku sebuah buku ensiklopedi. Saat itu, Biaz bercerita bahwa hari ini ia akan ke Solo bersama ayahnya. Pamannya akan menikah. Ibu Biaz sudah lebih dahulu berangkat ke Solo.

Sekarang, Biaz telah meninggal. Meninggal berarti pergi dan tak akan kembali. Seperti ibuku dulu. Aku mulai merasa sedih dan kehilangan. 

"Setelah jam istirahat, kita sama-sama ke rumah Biaz. Sekarang untuk mengenang Biaz, mari kita buat tulisan tentangnya," kata Bu Neneng.

Lalu, Bu Neneng menuliskan satu kalimat di papan tulis: Biaz adalah teman istimewa kami. 
"Mulailah dengan kalimat itu, lalu tuliskan lanjutannya di kertas masing-masing," kata Bu
Neneng.

Kami mulai menulis. Rahisa terdiam lama, matanya berkaca-kaca. Yenni bahkan menulis sambil berkali-kali mengusap air mata. Aku gemetar memegang bolpoin. Banyak yang ingin kuungkapkan tentang kebaikan-kebaikannya.

Sejak kelas tiga hingga kelas enam sekarang, aku sebangku dengannya. Biaz memang teman yang baik. Aku ingin menuliskan semua kenanganku bersamanya. Aku ingin ibunya tahu, bahwa Biaz sungguh istimewa.

Tiga puluh menit kemudian, Bu Neneng memecah kehingan kelas."Adakah yang bersedia membaca tulisannya".

Tidak ada satu pun yang mengacungkan tangan. Bu Neneng mendekatiku. "Haikal, tolong bacakan tulisanmu, ya?"
 Aku maju ke depan kelas. Aku menarik nafas panjang sebelum membaca.

"Biaz adalah teman istimewa kami. Sudah hampir empat tahun kami duduk bersama, tak pernah ia usil padaku. Biaz pandai menghiburku saat sedih. Suatu hari, ketika aku kehilangan jam tanganku, ia menghiburku dengan berkata,"Kamu pasti akan dapat ganti jam yang lebih baik. Seperti aku, ketika kehilangan topi dulu.
Walau pintar, Biaz tidak pernah sombong. Ia selalu mau mengajari pelajaran-pelajaran yang aku tidak mengerti. Biaz juga cepat memaafkan, sehingga tidak pernah mendendam. Semoga aku bisa meniru semua kebaikannya...."

Selesai. Kelas sungguh hening. Suara isak tangis teman-teman perempuanku terdengar. Kami semua kehilangan teman terbaik. Walaupun demikian, aku yakin, Biaz akan selalu kami kenang. Jejak kebaikannya akan selalu membekas di hati kami.

Oleh: Umi Kulsum 
Sumber: Majalah Bobo Edisi 32, Terbit tanggal 14 November 2013.


EmoticonEmoticon