Sudah seminggu Ajeng tidak masuk sekolah. Katanya Ajeng sudah tiga bulan menunggak uang sekolah. Aku yang teman sebangku Ajeng pun menjadi khawatir. Ajeng itu pintar dan lucu. Sungguh bosan bila Ajeng tidak masuk sekolah.
Siang ini, aku berniat menjenguk Ajeng. Berbekal kertas alamat yang kudapat dari tata usaha, aku naik ojek ke rumahnya. Setelah nyasar hampir setengah jam, akhirnya ketemu juga!
Rumah Ajeng yang kecil terletak di sudut gang yang sumpek. Penerangannya kurang karena tertutup oleh pohon yang lebat daunnya.
Ajeng terlihat kaget saat aku datang. Ia memang tidak pernah mengajak kami main ke rumahnya. Ia terlihat kikuk, namun segera mempersilakan aku masuk.
"Maaf, rumahku kecil. Kamu mau minum?"
Aku menggeleng dengan cepat.
"Ajeng, kamu kapan masuk sekolah? Nggak ada kamu rasanya sepi sekali."
Ajeng yang lucu itu hanya terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaanku.
"Aku juga ingin segera sekolah, Ra. Tapi sudah tiga bulan aku tidak bayar SPP. Ibuku belum punya uang."
"Ibumu tidak bekerja?" tanyaku penasaran.
"Ibuku berjualan kue, Ra. Tapi sepi. Sekarang Ibu sedang membersihkan kebun orang. Ibu bekerja apa saja."
"Jualan kue dimana?"
Ajeng menunjuk ke ruang tamu keluarga yang pintunya memang sengaja dibuka. Ada etalase kecil yang sudah berdebu, terisi beberapa potong kue.
Jelas saja sepi, Tidak terlihat dan gelap begini, tak akan ada orang yang tahu kalau ada kue di sini. Kue yang dipajang pun tidak menarik.
Aku mendekati etalase itu. Hanya ada lima potong kue yang dipajang. Ditaruh di piring plastik yang kusam.
"Ambil saja kalau kamu mau, Ra. Biasanya ada beberapa rasa, tapi karena tidak laku, sekarang Ibu hanya membuat satu macam."
"Ini barang jualan, Jeng, biar aku bayar ya," dengan cepat aku selipkan sepuluh ribuan ke saku Ajeng. Ajeng tidak menolak, hanya mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Aku ambil sepotong kue itu, lalu aku makan. Enak sekali! Teksturnya sungguh lembut dan gurih. Di dalamnya ada krim keju manis yang lumer saat digigit. Sayang sekali kalau kue selezat ini tidak ada pembelinya!
Sore itu, sepulang dari rumah Ajeng, pikiranku dipenuhi berbagai cara untuk membantu Ajeng. Saat Mama pulang kerja, aku ceritakan semuanya. Juga tentang toko kue Ajeng dan kue yang lezat itu. Aku berharap Mama bisa membantuku.
"Mama bisa membantu. Tapi, tapi Mama butuh bantuanmu dan Ajeng."
"Bantuan apa, Ma?" tanyaku bersemangat.
Ternyata, Mama bersedia mendesign logo dan papan nama untuk toko kue Ajeng secara gratis. Aku dan Ajeng harus membantu memotong dahan pohon yang terlalu lebat. Dengan begitu, orang bisa melihat papan nama toko kue Ajeng. Supaya lebih terang, Mama juga menugaskan kami memasang lampu. Tak lupa, mempermanis etalase toko dan membagikan brosur di depan gang. Aku sangat setuju dengan ide Mama. Tunggu sampai Ajeng dengar kabar ini besok!
Keesokan harinya, aku datang lagi ke rumah Ajeng. Mulanya Ajeng nampak ragu mendengar berita dari aku. Ia juga takut biayanya mahal. Tetapi, segera kujelaskan bahwa Mama akan membantu secara cuma-cuma. Akhirnya Ajeng setuju.
Selama seminggu penuh, aku dan Ajeng bekerja keras bersama. Kami memotong dahan pohon yang lebat, memasang lampu, dan mempermanis etalase. Kami mengelapnya dan mengganti piring plastik kusam itu dengan piring cantik warna warni.
Mama Ajeng akan memanggang lebih banyak kue dan kami akan menaruhnya di dalam plastik supaya lebih higienis. Brosur sudah kami bagikan, dan sebagain kami masukkan ke kotak-kotak surat.
Hari kelima, Mama datang dengan papan nama yang cantik sekali. Ada tulisan"Toko Kue Persahabatan" yang ditulis besar-besar. Berwarna merah muda. Ada gambar kue yang lezat sekali di samping tulisan.
Kami tidak menyangka kalau sekarang toko kue ini sungguh berbeda. Cantik, bersih, dan terang. Kami berdua puas sekali.
"Mungkin berikutnya aku bisa pasang musik dan menaruh kursi," kata Ajeng bersemangat.
"Setuju!" Aku menimpali."Siapa tahu, ini bisa jadi kafe terkenal."
Kami berdua terkikik.
Di hari pertama Toko Kue Persahabatan resmi dibuka, banyak pengunjung yang datang. Benar saja, kue Mama Ajeng yang lezat itu dalam sekejap mata langsung ludes! Ajeng dan Mamanya sampai kelabakan, karena tamu masih saja datang, padahal kuenya sudah habis.
Setelah beberapa hari, Ajeng kembali masuk sekolah. Ia tersenyum saat melihatku."Ini kue spesial untukmu dan mamamu. Mamaku sekarang berjualan kue lagi. Toko kue kami semakin ramai. Sebentar lagi aku pasti bisa melunasi SPP-ku yang tertunggak." matanya berkaca-kaca."Terima kasih Rara..."
Aku memeluk Ajeng. Indahnya persahabatanku dengan Ajeng, manis dalam suka dan duka.
Oleh: Rika Hajasi
Sumber: Majalah Bobo Edisi 28 Terbit 17 Oktober 2013
Siang ini, aku berniat menjenguk Ajeng. Berbekal kertas alamat yang kudapat dari tata usaha, aku naik ojek ke rumahnya. Setelah nyasar hampir setengah jam, akhirnya ketemu juga!
Rumah Ajeng yang kecil terletak di sudut gang yang sumpek. Penerangannya kurang karena tertutup oleh pohon yang lebat daunnya.
Ajeng terlihat kaget saat aku datang. Ia memang tidak pernah mengajak kami main ke rumahnya. Ia terlihat kikuk, namun segera mempersilakan aku masuk.
"Maaf, rumahku kecil. Kamu mau minum?"
Aku menggeleng dengan cepat.
"Ajeng, kamu kapan masuk sekolah? Nggak ada kamu rasanya sepi sekali."
Ajeng yang lucu itu hanya terdiam mendengar pertanyaan-pertanyaanku.
"Aku juga ingin segera sekolah, Ra. Tapi sudah tiga bulan aku tidak bayar SPP. Ibuku belum punya uang."
"Ibumu tidak bekerja?" tanyaku penasaran.
"Ibuku berjualan kue, Ra. Tapi sepi. Sekarang Ibu sedang membersihkan kebun orang. Ibu bekerja apa saja."
"Jualan kue dimana?"
Ajeng menunjuk ke ruang tamu keluarga yang pintunya memang sengaja dibuka. Ada etalase kecil yang sudah berdebu, terisi beberapa potong kue.
Jelas saja sepi, Tidak terlihat dan gelap begini, tak akan ada orang yang tahu kalau ada kue di sini. Kue yang dipajang pun tidak menarik.
Aku mendekati etalase itu. Hanya ada lima potong kue yang dipajang. Ditaruh di piring plastik yang kusam.
"Ambil saja kalau kamu mau, Ra. Biasanya ada beberapa rasa, tapi karena tidak laku, sekarang Ibu hanya membuat satu macam."
"Ini barang jualan, Jeng, biar aku bayar ya," dengan cepat aku selipkan sepuluh ribuan ke saku Ajeng. Ajeng tidak menolak, hanya mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Aku ambil sepotong kue itu, lalu aku makan. Enak sekali! Teksturnya sungguh lembut dan gurih. Di dalamnya ada krim keju manis yang lumer saat digigit. Sayang sekali kalau kue selezat ini tidak ada pembelinya!
Sore itu, sepulang dari rumah Ajeng, pikiranku dipenuhi berbagai cara untuk membantu Ajeng. Saat Mama pulang kerja, aku ceritakan semuanya. Juga tentang toko kue Ajeng dan kue yang lezat itu. Aku berharap Mama bisa membantuku.
"Mama bisa membantu. Tapi, tapi Mama butuh bantuanmu dan Ajeng."
"Bantuan apa, Ma?" tanyaku bersemangat.
Ternyata, Mama bersedia mendesign logo dan papan nama untuk toko kue Ajeng secara gratis. Aku dan Ajeng harus membantu memotong dahan pohon yang terlalu lebat. Dengan begitu, orang bisa melihat papan nama toko kue Ajeng. Supaya lebih terang, Mama juga menugaskan kami memasang lampu. Tak lupa, mempermanis etalase toko dan membagikan brosur di depan gang. Aku sangat setuju dengan ide Mama. Tunggu sampai Ajeng dengar kabar ini besok!
Keesokan harinya, aku datang lagi ke rumah Ajeng. Mulanya Ajeng nampak ragu mendengar berita dari aku. Ia juga takut biayanya mahal. Tetapi, segera kujelaskan bahwa Mama akan membantu secara cuma-cuma. Akhirnya Ajeng setuju.
Selama seminggu penuh, aku dan Ajeng bekerja keras bersama. Kami memotong dahan pohon yang lebat, memasang lampu, dan mempermanis etalase. Kami mengelapnya dan mengganti piring plastik kusam itu dengan piring cantik warna warni.
Mama Ajeng akan memanggang lebih banyak kue dan kami akan menaruhnya di dalam plastik supaya lebih higienis. Brosur sudah kami bagikan, dan sebagain kami masukkan ke kotak-kotak surat.
Hari kelima, Mama datang dengan papan nama yang cantik sekali. Ada tulisan"Toko Kue Persahabatan" yang ditulis besar-besar. Berwarna merah muda. Ada gambar kue yang lezat sekali di samping tulisan.
Kami tidak menyangka kalau sekarang toko kue ini sungguh berbeda. Cantik, bersih, dan terang. Kami berdua puas sekali.
"Mungkin berikutnya aku bisa pasang musik dan menaruh kursi," kata Ajeng bersemangat.
"Setuju!" Aku menimpali."Siapa tahu, ini bisa jadi kafe terkenal."
Kami berdua terkikik.
Di hari pertama Toko Kue Persahabatan resmi dibuka, banyak pengunjung yang datang. Benar saja, kue Mama Ajeng yang lezat itu dalam sekejap mata langsung ludes! Ajeng dan Mamanya sampai kelabakan, karena tamu masih saja datang, padahal kuenya sudah habis.
Setelah beberapa hari, Ajeng kembali masuk sekolah. Ia tersenyum saat melihatku."Ini kue spesial untukmu dan mamamu. Mamaku sekarang berjualan kue lagi. Toko kue kami semakin ramai. Sebentar lagi aku pasti bisa melunasi SPP-ku yang tertunggak." matanya berkaca-kaca."Terima kasih Rara..."
Aku memeluk Ajeng. Indahnya persahabatanku dengan Ajeng, manis dalam suka dan duka.
Oleh: Rika Hajasi
Sumber: Majalah Bobo Edisi 28 Terbit 17 Oktober 2013
EmoticonEmoticon