Kletok!
Bagas meletakkan stick PlayStation. Sudah dua jam lebih ia memainkan Winning Eleven terbaru setelah makan siang tadi. Ia bosan bermain sendiri.
Liburan sekolah kali ini, hanya ia isi dengan bermain game. Ayah dan Ibunya sangat sibuk berjualan di pasar. Tak ada acara piknik keluarga ke tempat wisata. Akhirnya, Bagas memutuskan keluar rumah untuk menghilangkan kejenuhan. Ia mengambil sepeda di garasi.
Semenjak di belikan PlayStation oleh Ayah, Bagas tak pernah lagi bermain di luar rumah dengan teman-teman sebaya. Ayah dan Ibunya senang Bagas selalu berada di rumah. Mereka tak bisa selalu mengawasi Bagas karena terlalu sibuk di pasar. Itulah alasan mereka membelikan Bagas PlayStation.
Di tengah jalan, Bagas berpapasan dengan Rudi dan Tono. Di tangan mereka masing-masing ada sebuah ember. Juga ada sebilah lidi enau yang dipasangi tali senar dan kawat pancing.
"Mau kemana?" tegur Bagas.
"Memancing Belut," jawab Tono
"Memancing belut?"
"Iya. Mau ikut?" tawar Rudi.
Bagas mengangguk. Daripada tidak tahu harus ke mana, lebih baik ikut mereka. Ia juga penasaran, ingin tahu cara memancing belut. Kalau memancing ikan nila dan ikan mas, ia pernah ikut Ayah ke kolam pemancingan. Ayahnya memang hobi memancing.
Bagas menitipkan sepeda di rumah Tono. Mereka langsung menuju sawah yang tak terlalu jauh dari perkampungan. Mulanya Bagas ragu menginjakkan kaki di lumpur. Ia takut kotor. Bagas hanya berdiri di pematang.
"Ayo! Tidak apa-apa," kata Rudi.
Bagas menurut. Ia turun dengan pelan. Bagus tidak takut lagi celana pendeknya kotor. Nanti bisa dicuci di sungai. Bagas meminta Tono menjelaskan cara memancing belut.
"Mula-mula, temukan lubang kecil di permukaan lumpur," Jelas Tono."Setelah itu, jentikkan jari di permukaan lubang. Jika airnya naik, berarti ada belutnya. Tinggal kita ulurkan pancing kita."
Bagas mengangguk mengerti. Ia mencari-cari lubang di atas lumpur. Tak berapa lama, ia menemukannya, Ia tampak senang.
"Hei, di sini ada lubang!" teriak Bagas. Tono dan Rudi segera mendekat.
"Coba jentikkan jarimu,"Suruh Rudi.
Bagas menjentikkan jarinya di permukan lubang. Tiba-tiba, air dalam lubang naik dan meluber keluar.
"Iya, itu lubang belut. Cepat, ulurkan pancingmu." Tono bersemangat.
Karena Bagas belum tahu cara memancing belut, maka Rudi yang melakukannya. Ia melambung-lambungkan umpan di atas permukaan air pada lubang. Air dari lubang naik ke permukaan.
Cuuuuup!
Umpan disambar dan ditarik ke dalam lubang. Setelah mendiamkan beberapa detik, Rudi menariknya.
"Kena!" jerit Rudi. Ia menarik senar dengan kuat. Belut pun terayun-ayun keluar dari lubang.
"Wah belutnya besar sekali!" seru Bagas kagus.
Tono dan Rudi tak kalah senang. Ini tangkapan pertama mereka.
Dengan penuh semangat, mereka mencari lubang-lubang belut yang lain. Bagas kembali menemukan sebuah lubang di pinggiran pematang.
Ia mengulurkan pancing. Dan ... cuuppp! Umpannya langsung disambar. Begitu senar berhasil ditarik, Bagas terlonjak kaget dan melompat ketakutan. Ternyata, yang ia pancing bukan lubang belut, melainkan lubang ular.
Tono dan Rudi meminta maaf karena tadi lupa menjelaskan, bahwa tak semua lubang di sawah itu lubang belut.
"Untung bukan tanganmu yang digigit," kata Tono. Bisa ular tanah memang tak sehebat bisa ular cobra. Tetapi, ular tanah juga berbahaya.
Tak terasa, hari sudah sore. Ember sudah penuh puluhan belut. Bagas senang sekali. Ternyata memancing belut lebih menyenangak daripada bermain game. Ketika Tono mau memberikan jatah Bagas, Ia menolak. Bagas tak pernah makan belut. Tak ada yang bisa memasaknya di rumah.
Ketika Bagas makan malam bersama Ayah dan Ibu, Tono datang bertamu menenteng rantang.
"Apa ini?" tanya Bagas.
"Belut hasil tangkapan kita yang dimasak ibuku dengan sambal kuning."
Ayah dan Ibu saling pandang. Mereka juga tak pernah makan daging belut. Karena penasaran, mereka mencicipi.
"Wah, enak sekali!" Puji Ibu.
Ayah dan Bagas juga tak ketinggalan memberikan pujian. Mereka baru tahu, ternyata daging belut enak sekali.
Ayah Bagas lalu meminta Bagas dan Tono mengajaknya memancing belut besok. Ibu juga berjanji akan belajar cara memasak belut yang enak pada Ibu Tono.
Bagas gembira. Akhirnya orang tuanya punya waktu menemaninya. Pasti menyenangkan memancing belut bersama Ayah, pikir Bagas. Ia tak sabar menunggu hari esok tiba.
Oleh: Muhammad Saleh
Sumber: Majalah Bobo
Bagas meletakkan stick PlayStation. Sudah dua jam lebih ia memainkan Winning Eleven terbaru setelah makan siang tadi. Ia bosan bermain sendiri.
Liburan sekolah kali ini, hanya ia isi dengan bermain game. Ayah dan Ibunya sangat sibuk berjualan di pasar. Tak ada acara piknik keluarga ke tempat wisata. Akhirnya, Bagas memutuskan keluar rumah untuk menghilangkan kejenuhan. Ia mengambil sepeda di garasi.
Semenjak di belikan PlayStation oleh Ayah, Bagas tak pernah lagi bermain di luar rumah dengan teman-teman sebaya. Ayah dan Ibunya senang Bagas selalu berada di rumah. Mereka tak bisa selalu mengawasi Bagas karena terlalu sibuk di pasar. Itulah alasan mereka membelikan Bagas PlayStation.
Di tengah jalan, Bagas berpapasan dengan Rudi dan Tono. Di tangan mereka masing-masing ada sebuah ember. Juga ada sebilah lidi enau yang dipasangi tali senar dan kawat pancing.
"Mau kemana?" tegur Bagas.
"Memancing Belut," jawab Tono
"Memancing belut?"
"Iya. Mau ikut?" tawar Rudi.
Bagas mengangguk. Daripada tidak tahu harus ke mana, lebih baik ikut mereka. Ia juga penasaran, ingin tahu cara memancing belut. Kalau memancing ikan nila dan ikan mas, ia pernah ikut Ayah ke kolam pemancingan. Ayahnya memang hobi memancing.
Bagas menitipkan sepeda di rumah Tono. Mereka langsung menuju sawah yang tak terlalu jauh dari perkampungan. Mulanya Bagas ragu menginjakkan kaki di lumpur. Ia takut kotor. Bagas hanya berdiri di pematang.
"Ayo! Tidak apa-apa," kata Rudi.
Bagas menurut. Ia turun dengan pelan. Bagus tidak takut lagi celana pendeknya kotor. Nanti bisa dicuci di sungai. Bagas meminta Tono menjelaskan cara memancing belut.
"Mula-mula, temukan lubang kecil di permukaan lumpur," Jelas Tono."Setelah itu, jentikkan jari di permukaan lubang. Jika airnya naik, berarti ada belutnya. Tinggal kita ulurkan pancing kita."
Bagas mengangguk mengerti. Ia mencari-cari lubang di atas lumpur. Tak berapa lama, ia menemukannya, Ia tampak senang.
"Hei, di sini ada lubang!" teriak Bagas. Tono dan Rudi segera mendekat.
"Coba jentikkan jarimu,"Suruh Rudi.
Bagas menjentikkan jarinya di permukan lubang. Tiba-tiba, air dalam lubang naik dan meluber keluar.
"Iya, itu lubang belut. Cepat, ulurkan pancingmu." Tono bersemangat.
Karena Bagas belum tahu cara memancing belut, maka Rudi yang melakukannya. Ia melambung-lambungkan umpan di atas permukaan air pada lubang. Air dari lubang naik ke permukaan.
Cuuuuup!
Umpan disambar dan ditarik ke dalam lubang. Setelah mendiamkan beberapa detik, Rudi menariknya.
"Kena!" jerit Rudi. Ia menarik senar dengan kuat. Belut pun terayun-ayun keluar dari lubang.
"Wah belutnya besar sekali!" seru Bagas kagus.
Tono dan Rudi tak kalah senang. Ini tangkapan pertama mereka.
Dengan penuh semangat, mereka mencari lubang-lubang belut yang lain. Bagas kembali menemukan sebuah lubang di pinggiran pematang.
Ia mengulurkan pancing. Dan ... cuuppp! Umpannya langsung disambar. Begitu senar berhasil ditarik, Bagas terlonjak kaget dan melompat ketakutan. Ternyata, yang ia pancing bukan lubang belut, melainkan lubang ular.
Tono dan Rudi meminta maaf karena tadi lupa menjelaskan, bahwa tak semua lubang di sawah itu lubang belut.
"Untung bukan tanganmu yang digigit," kata Tono. Bisa ular tanah memang tak sehebat bisa ular cobra. Tetapi, ular tanah juga berbahaya.
Tak terasa, hari sudah sore. Ember sudah penuh puluhan belut. Bagas senang sekali. Ternyata memancing belut lebih menyenangak daripada bermain game. Ketika Tono mau memberikan jatah Bagas, Ia menolak. Bagas tak pernah makan belut. Tak ada yang bisa memasaknya di rumah.
Ketika Bagas makan malam bersama Ayah dan Ibu, Tono datang bertamu menenteng rantang.
"Apa ini?" tanya Bagas.
"Belut hasil tangkapan kita yang dimasak ibuku dengan sambal kuning."
Ayah dan Ibu saling pandang. Mereka juga tak pernah makan daging belut. Karena penasaran, mereka mencicipi.
"Wah, enak sekali!" Puji Ibu.
Ayah dan Bagas juga tak ketinggalan memberikan pujian. Mereka baru tahu, ternyata daging belut enak sekali.
Ayah Bagas lalu meminta Bagas dan Tono mengajaknya memancing belut besok. Ibu juga berjanji akan belajar cara memasak belut yang enak pada Ibu Tono.
Bagas gembira. Akhirnya orang tuanya punya waktu menemaninya. Pasti menyenangkan memancing belut bersama Ayah, pikir Bagas. Ia tak sabar menunggu hari esok tiba.
Oleh: Muhammad Saleh
Sumber: Majalah Bobo
EmoticonEmoticon