Cerpen horor ini ditulis oleh Dreamer Musume*
Lagu YUI yang  berjudul YOU mulai berputar melalui pemutar mp3 di handphoneku. Headset  terpasang di telingaku. Aku berharap untuk tak mendengarkan keramaian  kelas, keramaian yang disebabkan teman-temanku yang gaduh karena guru  yang mengajar di jam pelajaran sekarang tak dapat hadir.
Aku  mengambil sebuah buku dari dalam tasku. Sebuah buku yang aku pinjam di  hari kemarin dari perpustakaan. Cover buku itu bergambar seorang anak  lelaki yang sedang berjalan di gurun pasir dengan bayangan seekor kuda  jantan berwarna cokelat, atau hitam barangkali. Dengan jelas tertera  judul buku itu “The Chrinocle of Narnia : The Horse and His Boy”. Aku  menemukan buku ini di perpustakaan saat membantu Bu Dahlia, pustakawati  di sekolahku membereskan perpustakaan.
Lembar demi lembar kubuka  dari buku itu, lalu mulai membaca dari halaman pertama. Aku tak peduli  pada teman-temanku yang bernyanyi-nyanyi di belakang kelas, bahkan  melompati jendela untuk bisa berada di halaman belakang sekolah.
Seseorang  menyodorkan kursi ke dekat mejaku dan orang itu duduk di kursi itu.  Sejenak kuhentikan kegiatan membacaku dan menatap pada orang itu sambil  tersenyum. Ahmad, dialah orang itu. Dia balas menatapku sambil  tersenyum, tapi aku yang acuh padanya melanjutkan kegiatan membacaku  sambil mendengarkan lagu YUI itu.
“Ehem, “ Ahmad berdehem.  Tampaknya ia ingin memulai suatu pembicaraan. Kuangkat kepalaku yang  menghadap pada lembaran buku di depanku untuk kembali melihatnya.
“Iya?” tanyaku sambil melepas headsetku yang terpasang di sebelah kanan.
“Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanyanya dengan mata yang berbinar.
“Tentu, selama bisa kujawab, pasti kujawab,” ujarku sambil menandai halaman dari buku yang sedang kubaca.
“Kenapa  kamu selalu sendirian? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?” wajahnya  yang penasaran tak dapat ia sembunyikan saat menanyakan hal itu. Andai  dapat kukatakn semua sesuai dengan apa yang terjadi. Tapi aku tahu apa  yang akan terjadi bila kukatakan yang sesungguhnya, ia pasti tertawa dan  mengatakan aku sedang membuat sebuah lelucon yang sama sekali tak lucu.  Kuhela nafas barang sejenak untuk menjernihkan pikiranku dari khayalan  yang sedang membumbung tinggi menggambarkan cerita dari buku yang  kubaca. Kupilah kata-kata yang sebaiknya kujawab hingga dapat diterima  oleh logika otak kirinya.
“Oh? Seperti itukah menurutmu?” tanyaku  lembut tanpa nada menantang. “Yang pasti ini adalah sesuatu yang  membuatku nyaman. Aku tak terlalu suka keramaian bahkan meski dalam  kelas. Lagipula kalau tak ada guru seperti ini, lebih baik membaca buku  daripada berbuat gaduh seperti yang lain bukan?” jawabku tenang.
“Kamu  benar juga. Tapi apa kamu pernah merasa kesepian karena kamu  sendirian?” tanyanya lagi. Menurutku sendiri kelas ini terlalu penuh  untuk membuatku kesepian. Kelas ini tak hanya ditempati oleh 28 siswa  kelas XII IPA 2, tapi juga ada yang lain yang berseliweran di atasku.  Jumlahnya justru lebih banyak dari siswa di kelas ini. Aku sempat  berfikir untuk menjawab demikian pada Ahmad, tapi kuurungkan.
“Setiap  manusia pasti pernah merasa kesepian. Tentu saja aku pernah  merasakannya. Tapi aku berusaha tak terbebani oleh hal itu,” kataku  sambil tersenyum. Pembicaraanku semakin panjang dengan Ahmad. Bukan  sesuatu yang personal, tapi hanya pembicaraan biasa sebatas teman.
Kelasku  adalah ruangan yang baru pertama kali digunakan sebagai ruang kelas.  Ruangan ini sudah ada sejak sekolahku didirikan tapi fungsinya bukan  menjadi ruang kelas melainkan gudang. Setelah dijadikan gudang, kelas  ini “disulap” menjadi ruang asrama putri dan sekarang menjadi ruang  kelas. Posisinya berada di dekat tangga menuju lantai 2. Pencahayaannya  sendiri tak begitu memadai. Cenderung gelap sehingga kadang kami harus  menyalakan lampu di siang hari saat belajar. Tampaknya hal inilah yang  membuat sekumpulan makhluk dari dunia yang berbeda dengan kami begitu  nyaman tinggal di sini. Namun aku tak merasa begitu nyaman dengan hal  itu karena hanya aku yang bisa melihat keberadaan mereka.
Suara  ringkik kuda yang menyeringai sering kudengar bila tak kupasang headset  di telingaku. Mungkin suara kuda itu tak terlalu menyeramkan bila  dibandingkan dengan suara bayi yang menangis menjerit sejadi-jadinya  atau suara tawa yang seolah ingin melampiaskan hasratnya. Berbagai macam  suara itulah yang aku dengar di kelas. Oleh karena itu bila kelas  sedang gaduh, ditambah suara-suara dunia lain itu, bisa kalian bayangkan  bahwa itu membuat telingaku sakit dan memekakkannya? Kadang ibuku  mengingatkanku agar aku tak terlalu sering menggunakan headset. Tapi  hatiku ciut bila terus-terusan mendengar suara aneh yang menghantui  meski tak bermaksud menghantui. Mungkin memang kesukaan merekalah  mengeluarkan suara-suara macam itu. Dan sayang tak ada orang lain di  kelasku yang bisa mendengar apa yang sebenarnya selalu kudengar dan  kulihat dengan jelas.
“Hihihi….Asik sekali kamu membaca  buku….Hihihihi,” ujar sebuah suara dari belakangku. Angin berhawa dingin  menusuk tulangku melewati bulu kudukku. Kusapu pandangan ke sekeliling  rupanya tiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kupalingkan  kepalaku ke asal suara itu. Tampak jelas di depan mataku seorang wanita  yang kecantikannya sudah direnggut hingga berubah menjadi sesuatu yang  menyeramkan. Tapi aku sudah terbiasa dengan wajah itu.
“Ya,  seperti yang kamu lihat aku sedang asyik membaca buku,” kataku tenang.  Ada yang mencubit pipiku kemudian. Seorang anak kecil yang botak dengan  menggunakan celana saja dan membuatnya bertelanjang dada. Kulihat ke  sampingku si kembar tuyul yang kupanggil Baga dan Bigi.
“Ah kamu  ini. Mending main sama kita yuk! Kan asyik!” ajak Bigi yang tadi  mencubit pipiku. Suaranya sangat cempreng, suara anak kecil paling  cempreng yang pernah kudengar. Mungkin karena memang dia bukanlah anak  kecil melainkan tuyul kecil. Aku menggelengkan kepala sambil  menggoyangkan telunjukku tanda aku tak setuju.
“Yah, Kak Yasmin.  Selalu saja tak mau kami ajak bermain,” ujar Baga yang suaranya tak  kalah cempreng dari Bigi. Mukanya yang hitam tampak cemberut sebagai  respon penolakanku atas ajakan mereka.
“Woi, Bu Vita datang,”  teriak seseorang yang ternyata adalah Zulfi. Semua anak langsung  grasak-grusuk untuk segera duduk dan membereskan bangku yang telah  membuat kelas begitu berantakkan. Aku hanya diam dan menghela nafas.  Dalam helaan nafas itu, 3 makhluk yang tadi bersamaku lenyap seketika,  berkelebat dengan yang lainnya di langit-langit kelas.
“Assalamualaikum!”  salam Bu Vita memasuki kelas. Kelas kembali menjadi tertib dan semua  siswa menjawab, “Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh.”
“Untuk  pelajaran biologi hari ini ibu, akan menerangkan tentang mutasi  genetika,” katanya membuka pertemuan KBM. Bu Vita kemudian meminta  tolong beberapa anak laki-laki untuk dimintai tolong memasangkan  proyektor untuk pembelajaran. Setelah semua yang diperlukan untuk  mengajar telah siap, pelajaran biologi pun dimulai. Aku berusaha  berkonsentrasi mendengar setiap kata yang meupakan penjelasan dari  materi.
“Hihihi….Tak ada salahnya bermain dengan Baga dan  Bigi…Hihihi,” sebuah suara yang sudah pasti tertuju padaku. Suara Baga  dan Bigi yang cempreng terus mengganggu telingaku karena suara cempreng  mereka merengek-rengek padaku. Aku tak tahan dengan suara itu lalu  kugunakan tanganku untuk menutup telingaku dan kupejamkan mata. Aku  berkonsentrasi memusatkan pikiran pada kata-kata yang ingin kusampaikan  pada mereka.
Tolong mengertilah, aku sedang belajar. Bisa kalian  tenang dulu? Nanti kita bicarakan. Kuharap mereka mendengar kata-kata  yang hanya bisa kudengar tanpa orang lain dengar. Aku menggunakan  kekuatan telepati yang sejak dulu ibuku latih untuk mengatasi hal ini di  sekolah.
“Tapi aku ingin main dengan kakak, “ rengek Baga.
Iya,  tapi sekarang aku harus belajar dulu. Apa kalian tahu betapa sakit  telingaku mendengar rengekan kalian? Tolong mengertilah keadaanku.
Suara  itu tak kembali kudengar. Yang kudengar hanyalah raungan-raungan tak  jelas dari kelebat bayangan hitam yang berada di langit-langit kelas.
Rasa  kantuk mulai menjalar padaku setelah 40 menit berlalu. Masih ada waktu  40 menit lagi hingga pembelajaran biologi selesai. Tak seperti biasanya  pelajaran ini membuatku merasa sangat bosan. Suara Bu Vita yang sedang  menerangkan mulai terdengar sayup karena aku tak berkonsentrasi lagi  pada suaranya. Aku menatap pada langit-langit kelas. Melihat betapa  banyak bayangan yang berkelebat. Kujatuhkan pandangan ke sekitar  jendela. Di luar jendela terlihat jelas pohon hijau nan rindang. Rasanya  aku ingin ke sana. Samar-samar mulai terlihat sesuatu berwarna putih  hingga akhirnya jelaslah bahwa ada seorang pemuda yang sedang duduk di  bawah pohon itu sambil meniup seruling memainkan lagu tampaknya.
“Huaah…” Andini menguap kantuknya tak tertahankan.
“Ngantuk  sekali,” keluhnya. Aku hanya menatapnya. Bangku Andini ada di samping  kananku. Aku melihatnya dan ternyata ia malah menoleh padaku.
“Tak  biasanya pelajaran Biologi begini menjemukan? Ada apa dengan Bu Vita?”  ia mengeluh lagi. Ia mengatakan hal itu sambil menatapku. Dipalingkannya  kepala ke arah jendela, ke arah yang sama aku dapat melihat seorang  pemuda.
“Bisa kubayangkan betapa nyamannya bila aku bisa duduk  lalu tertidur pulas di bawah pohon itu. Pohon itu begitu rindang.  Rasanya aku bisa merasakan kesejukan di bawah pohon itu,” katanya  kemudian.
“Apa kamu melihat sesuatu di sana?” tanyaku. Aku ingin memastikan pemuda yang memainkan seruling itu benar-benar ada atau tidak.
“Tak ada apa pun,” kata Andini tenang.
“Memangnya kenapa?” ia balas bertanya padaku.
“Oh, bukan apa-apa. Kurasa aku melihat seorang pemuda di sana,” kataku polos.
“Ah,  kamu ini. Ada-ada saja. Mungkin karena kamu menjomblo membuatmu  berkhayal ada seorang pemuda di sana. Jelas-jelas tak ada siapa pun. Tak  akan ada yang tertawa denagn leluconmu itu,” ketus Andini. Mungkin ia  jengkel karena aku menanyakan sesuatu yang tak penting menurutnya  padahal itu penting buatku. Aku mengangkat bahu,kembali menatap lurus ke  depan.
Hingga bel pulang berbunyi, pemuda itu masih berada di  tempatnya. Aku penasaran karena aku tak pernah melihatnya sebelumnya.  Kuputuskan untuk pergi ke pohon tempat pemuda itu berada.
Sesampainya  di sana, aku melihat pemuda itu melihatku juga. Ia menaruh serulingnya  lalu tersenyum menyambutku. Aku duduk di sampingnya.
“Boleh kan kalau aku duduk di sini?” aku meminta ijin padanya.
“Selalu ada tempat untukmu, manis,” katanya padaku. Pemuda itu tampaknya seusia denganku, fikirku.
“Semoga tempat ini tetap ada untuk selamanya,” katanya kemudian.
Perbincangan  dengannya berlanjut. Ia menceritakan padaku tentang mula-mula  sekolahku, tempat yang dahulu berada di sekitar sana. Aku tahu bahwa  seseorang yang berada di sampingku ini bukanlah manusia melainkan  jelmaan seseorang yang aku pun tak kenal siapa orang itu. Aku merasa  nyaman dengan orang itu. Maaf bila kusebut dia orang karena rasanya tak  sopan juga kusebut lelembut.
Senja menampilkan kembali senyumnya  yang bersemburat warna jingga di atas langit yang makin gelap. Aku  berpamitan pada pemuda itu.
“Maaf aku harus segera pulang,” pamitku padanya.
“Ah, aku baru sadar. Pembicaraan kita amat panjang tadi. Tapi aku belum tahu namamu. Siapa namamu gadis manis?” tanyanya.
“Namaku Yasmin,” kataku tenang.
“Yasmin.  Semoga laku hidupmu bisa seenak wangi bunga yasmin juga. Shima begitu  kuat dalam dirimu. Aku yakin kamu bisa seperti dia,” ia pejamkan mata  sambil menghirup udara dalam-dalam seolah benar-benar merasakan wangi  bunga itu. Sebuah nama asing, Shima. Kudengar ia mengatakan hal itu. Di  hari yang akan datang aku tahu bahwa dia adalah seorang ratu yang adil  yang pernah memerintah di tanah jawa ini.
“Oh ya, namamu siapa?” tanyaku padanya.
Tapi  dia malah tersenyum lalu menghilang. Hingga akhirnya suatu hari aku  tahu, dia adalah leluhurku, kakek buyut dari kakek buyutku yang  jelas-jelas terpisah jauh dengan zamanku.[END]
---------- 
*) Detail penulis  cerpen horor: Rachmi Radhini seorang penggila segala hal berbau Jepang,  musik, dan gitar. Alamat blognya bisa disambangi di Dreamer Musume  [http://rachmiramdhini.wordpress.com].
Recent Posts :
Rabu, 09 November 2016
Cerpen Horor: Di Balik Diamku
                    Diterbitkan 11.00
 Tags
Artikel Terkait
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EmoticonEmoticon