Bunuh. Jangan. Bunuh. Jangan. Dia menatap sang pria malang yang terlilit di leher itu dengan dingin. Setelah sekian tahun…
***
Kota Jakarta pukul 6 sore hari ini tidak pernah berbeda dengan hari-hari lainnya. Kendaraan-kendaraan selalu padat merayap. Angkutan umum berebut jalan dengan mobil-mobil. Motor-motor sibuk mencari celah untuk menghindari kegilaan gara-gara kemacetan di jalan raya.
Aria berjalan menyusuri pinggir jalanan gara-gara trotar sudah diambil alih oleh pedagang kaki lima. Dia kemudian melewati seorang kernet bus yang sedang berdiri di samping pintu angkot dengan semangat meneriaki orang-orang untuk masuk sebelum bus saingan datang dari belakang. Akhirnya setelah berjalan sekitar 20 menit Aria berbelok ke salah satu gang.
Suasana di jalanan itu sangat sepi, sama seperti hari-hari biasanya. Gang di sana merupakan gang buntu. Biasanya, tidak ada yang lalu lalang selain penghuni di sana. Aria sudah mengontrak rumah di sana selama delapan tahun. Sebagai pegawai kantoran dengan gaji yang pas-pasan, Aria dengan peluh keringatnya giat mengumpulkan uang untuk sebuah rumah yang benar-benar miliknya. Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan sudah bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk membeli sebuah apartemen. Akhirnya dia bisa hidup seperti orang lain.
Pak Amir yang sedang duduk di teras rumahnya menyapa Aria yang berjalan melintasinya.
“Selamat sore, Pak,” sapa Aria dengan ramah.
“Ah sore, nak. Omong-omong kenapa sepupumu mau datang, kamu gak bilang-bilang? Tadi si Pak Romli sampai interogasi-interogasi dia segala. Gara-gara sepupumu itu tiba-tiba bisa masuk ke rumahmu. Belakangan sampai dia jelaskan berjam-jam baru si Pak Romli bisa menerimanya. Lain kali ada yang datang omong ya.”
Sepupu? Aria berpikir sesaat.
“Oh, ya. Dia belakangan sedang stres, jadi saya ajak dia kemari. Maaf sampai membuat kalian khawatir.”
“Haha, gak apa-apa. Kebetulan Pak Romli saat itu juga memang sedang tidak melakukan apa-apa.”
“Baiklah. Kalau begitu saya jalan dulu yah Pak Amir,” ucap Aria sambil berlalu, “Pasti sepupuku sudah jenuh menungguku.”
Aria tidak pernah memiliki sepupu. Dia selama ini hanya sendirian. Orang yang masuk ke dalamnya sudah pasti bukan sepupunya. Dan orang ini pasti bukan orang biasa. Bagaimana caranya dia bisa sampai memiliki duplikat kunci rumahnya? Bagaimana caranya menjelaskan ke tetangganya?
Mungkin saja…
Mungkin saja orang ini adalah pembunuh berantai sadis yang hingga hari ini masih berkeliaran? Jakarta selama beberapa bulan terakhir digemparkan oleh seorang psikopat yang melakukan pembunuhan hingga 12 orang dan mungkin 4 pembunuhan yang lain. Rata-rata korbannya tidak saling kenal ataupun berhubungan. Cara pembunuhannya juga merupakan tingkat yang sangat tinggi. Rata-rata meninggal karena keracunan alkohol dalam kadar tinggi, darah mengandung udara dalam jumlah tinggi, atau keracunan arsenik.
Para pakar kriminolog berasumsi pembunuh ini memiliki latar belakang berpendidikan yang tinggi, mungkin seorang dokter. Pembunuh tersebut sangat bersih dalam melakukan pekerjaannya. Dia tidak pernah meninggalkan jejak yang tidak diperlukan. Bahkan beberapa orang berkomentar bahwa pembunuh ini berasal dari kalangan kepolisian, sehingga tidak pernah tertangkap karena dilindungi. Tentu saja pihak kepolisian membantah keras. Mereka berjanji akan mencarinya sampai ketemu demi membuktikannya. Tetapi hingga hari ini identitas sang pembunuh tidak pernah diketahui.
Aria sudah berniat berbalik arah untuk menghubungi polisi. Tetapi pemikiran lain di otaknya mengurungkan niatnya.
Aria pun berjalan masuk. Tidak ada siapa-siapa. Suasana di rumah kontraknya sepi, sama seperti pada hari-hari biasanya. Apakah mungkin orang itu sudah pergi?
“Halo,” sapa Aria.
Sunyi.
Aria berjalan ke dapur. Mengecek di WC. Mengecek seluruh isi kamar, tidak ada siapapun di sana. Tinggal lantai dua. Aria berjalan perlahan-lahan ke atas.
Sekilas dia melihat di ruangan lantai dua juga tidak ada orang. Kemungkinan besar orang misterius itu telah meninggalkan rumahnya. Mungkin saja sebenarnya orang itu maling, bukan psikopat. Dia seharusnya mengecek apakah barang berharganya ada yang hilang. Ketika dia akan berbalik arah menuju tangga. Tiba-tiba sebuah pisau bedah menempel di lehernya.
“Jangan berteriak,” ujar sebuah suara. Seorang pria.
Aria langsung diam. Dan dengan tenang bertaya “Kamu bukan sang pembunuh berantai itu bukan?”
“Sayang sekali. Saya memang orangnya,” ujar pria itu. Dari nada tersebut terbersit sebuah kegirangan. Betul-betul psikopat!
Sebelum Aria sempat mengucapkan kata-kata orang itu langsung membekapnya dengan klorofom. Dalam beberapa saat Aria langsung tumbang tidak sadarkan diri.
Pada saat itulah sang orang misterius itu mulai mengambil tasnya. Dia mengeluarkan sebuah botol yang sudah ditandai dengan tulisan Hg, air merkuri.
“Kau tahu, saya tidak belum pernah mencoba menyuntik air merkuri ke tubuh orang. Jadi kamu bisa berbangga untuk menjadi orang pertama yang mengalami keracunan merkuri,” ujar sang pembunuh pada dirinya sendiri sambil memasukkan merkuri ke dalam jarum suntiknya.
Sang psikopat memukul-mukul jarum suntik. Kemudian mengambil lengan Aria dan bersiap-siap untuk menyuntiknya. Ketika ujung jarum hampir menyentuhnya, Aria serta merta menarik lengannya dan meninju dengan keras jakun sang pembunuh. Sang pembunuh tersebut tidak pernah menyangka korbannya bisa-bisanya sadar. Apakah kadar kloroform-nya kurang cukup?
“Maaf. Saya tidak pernah menghirup kloroform tersebut,” ucap Aria yang sepertinya mengerti raut wajah keterjutan sang pria itu. “Sekarang menyerahlah! Saya betul-betul tidak paham apa tujuanmu melakukan perbuatan keji ini!”
Sang psikopat menatapnya dengan tersenyum. Sungguh perubahan yang cepat, mengingat beberapa saat yang lalu dia masih terkejut.
“Keji? Saya tak mengerti apa yang salah. Di dunia ini, yang kuatlah yang bertahan hidup. Jika saya mampu membunuh seseorang, itu tentu saja salahnya karena terlalu lemah. Tidakkah kamu tahu dunia ini seharusya berlaku hukum rimba? Dengan demikian baru keseimbangan ekosistem hadir.”
Aria diam saja.
“APA KAMU PIKIR KAMU BISA MENANG?” Sang psikopat mengambil pisau bedah di sakunya. Berlari ke arah Aria.
Namun, dalam satu gerakan Aria berhasil menjatuhkan pisaunya tersebut dari tangan sang psikopat, dan satu gerakan lagi menghantam tengkuk sang pembunuh dengan keras. Seketika pria itupun roboh di kaki Aria.
***
Kota Jakarta pukul 6 sore hari ini tidak pernah berbeda dengan hari-hari lainnya. Kendaraan-kendaraan selalu padat merayap. Angkutan umum berebut jalan dengan mobil-mobil. Motor-motor sibuk mencari celah untuk menghindari kegilaan gara-gara kemacetan di jalan raya.
Aria berjalan menyusuri pinggir jalanan gara-gara trotar sudah diambil alih oleh pedagang kaki lima. Dia kemudian melewati seorang kernet bus yang sedang berdiri di samping pintu angkot dengan semangat meneriaki orang-orang untuk masuk sebelum bus saingan datang dari belakang. Akhirnya setelah berjalan sekitar 20 menit Aria berbelok ke salah satu gang.
Suasana di jalanan itu sangat sepi, sama seperti hari-hari biasanya. Gang di sana merupakan gang buntu. Biasanya, tidak ada yang lalu lalang selain penghuni di sana. Aria sudah mengontrak rumah di sana selama delapan tahun. Sebagai pegawai kantoran dengan gaji yang pas-pasan, Aria dengan peluh keringatnya giat mengumpulkan uang untuk sebuah rumah yang benar-benar miliknya. Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan sudah bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk membeli sebuah apartemen. Akhirnya dia bisa hidup seperti orang lain.
Pak Amir yang sedang duduk di teras rumahnya menyapa Aria yang berjalan melintasinya.
“Selamat sore, Pak,” sapa Aria dengan ramah.
“Ah sore, nak. Omong-omong kenapa sepupumu mau datang, kamu gak bilang-bilang? Tadi si Pak Romli sampai interogasi-interogasi dia segala. Gara-gara sepupumu itu tiba-tiba bisa masuk ke rumahmu. Belakangan sampai dia jelaskan berjam-jam baru si Pak Romli bisa menerimanya. Lain kali ada yang datang omong ya.”
Sepupu? Aria berpikir sesaat.
“Oh, ya. Dia belakangan sedang stres, jadi saya ajak dia kemari. Maaf sampai membuat kalian khawatir.”
“Haha, gak apa-apa. Kebetulan Pak Romli saat itu juga memang sedang tidak melakukan apa-apa.”
“Baiklah. Kalau begitu saya jalan dulu yah Pak Amir,” ucap Aria sambil berlalu, “Pasti sepupuku sudah jenuh menungguku.”
Aria tidak pernah memiliki sepupu. Dia selama ini hanya sendirian. Orang yang masuk ke dalamnya sudah pasti bukan sepupunya. Dan orang ini pasti bukan orang biasa. Bagaimana caranya dia bisa sampai memiliki duplikat kunci rumahnya? Bagaimana caranya menjelaskan ke tetangganya?
Mungkin saja…
Mungkin saja orang ini adalah pembunuh berantai sadis yang hingga hari ini masih berkeliaran? Jakarta selama beberapa bulan terakhir digemparkan oleh seorang psikopat yang melakukan pembunuhan hingga 12 orang dan mungkin 4 pembunuhan yang lain. Rata-rata korbannya tidak saling kenal ataupun berhubungan. Cara pembunuhannya juga merupakan tingkat yang sangat tinggi. Rata-rata meninggal karena keracunan alkohol dalam kadar tinggi, darah mengandung udara dalam jumlah tinggi, atau keracunan arsenik.
Para pakar kriminolog berasumsi pembunuh ini memiliki latar belakang berpendidikan yang tinggi, mungkin seorang dokter. Pembunuh tersebut sangat bersih dalam melakukan pekerjaannya. Dia tidak pernah meninggalkan jejak yang tidak diperlukan. Bahkan beberapa orang berkomentar bahwa pembunuh ini berasal dari kalangan kepolisian, sehingga tidak pernah tertangkap karena dilindungi. Tentu saja pihak kepolisian membantah keras. Mereka berjanji akan mencarinya sampai ketemu demi membuktikannya. Tetapi hingga hari ini identitas sang pembunuh tidak pernah diketahui.
Aria sudah berniat berbalik arah untuk menghubungi polisi. Tetapi pemikiran lain di otaknya mengurungkan niatnya.
Aria pun berjalan masuk. Tidak ada siapa-siapa. Suasana di rumah kontraknya sepi, sama seperti pada hari-hari biasanya. Apakah mungkin orang itu sudah pergi?
“Halo,” sapa Aria.
Sunyi.
Aria berjalan ke dapur. Mengecek di WC. Mengecek seluruh isi kamar, tidak ada siapapun di sana. Tinggal lantai dua. Aria berjalan perlahan-lahan ke atas.
Sekilas dia melihat di ruangan lantai dua juga tidak ada orang. Kemungkinan besar orang misterius itu telah meninggalkan rumahnya. Mungkin saja sebenarnya orang itu maling, bukan psikopat. Dia seharusnya mengecek apakah barang berharganya ada yang hilang. Ketika dia akan berbalik arah menuju tangga. Tiba-tiba sebuah pisau bedah menempel di lehernya.
“Jangan berteriak,” ujar sebuah suara. Seorang pria.
Aria langsung diam. Dan dengan tenang bertaya “Kamu bukan sang pembunuh berantai itu bukan?”
“Sayang sekali. Saya memang orangnya,” ujar pria itu. Dari nada tersebut terbersit sebuah kegirangan. Betul-betul psikopat!
Sebelum Aria sempat mengucapkan kata-kata orang itu langsung membekapnya dengan klorofom. Dalam beberapa saat Aria langsung tumbang tidak sadarkan diri.
Pada saat itulah sang orang misterius itu mulai mengambil tasnya. Dia mengeluarkan sebuah botol yang sudah ditandai dengan tulisan Hg, air merkuri.
“Kau tahu, saya tidak belum pernah mencoba menyuntik air merkuri ke tubuh orang. Jadi kamu bisa berbangga untuk menjadi orang pertama yang mengalami keracunan merkuri,” ujar sang pembunuh pada dirinya sendiri sambil memasukkan merkuri ke dalam jarum suntiknya.
Sang psikopat memukul-mukul jarum suntik. Kemudian mengambil lengan Aria dan bersiap-siap untuk menyuntiknya. Ketika ujung jarum hampir menyentuhnya, Aria serta merta menarik lengannya dan meninju dengan keras jakun sang pembunuh. Sang pembunuh tersebut tidak pernah menyangka korbannya bisa-bisanya sadar. Apakah kadar kloroform-nya kurang cukup?
“Maaf. Saya tidak pernah menghirup kloroform tersebut,” ucap Aria yang sepertinya mengerti raut wajah keterjutan sang pria itu. “Sekarang menyerahlah! Saya betul-betul tidak paham apa tujuanmu melakukan perbuatan keji ini!”
Sang psikopat menatapnya dengan tersenyum. Sungguh perubahan yang cepat, mengingat beberapa saat yang lalu dia masih terkejut.
“Keji? Saya tak mengerti apa yang salah. Di dunia ini, yang kuatlah yang bertahan hidup. Jika saya mampu membunuh seseorang, itu tentu saja salahnya karena terlalu lemah. Tidakkah kamu tahu dunia ini seharusya berlaku hukum rimba? Dengan demikian baru keseimbangan ekosistem hadir.”
Aria diam saja.
“APA KAMU PIKIR KAMU BISA MENANG?” Sang psikopat mengambil pisau bedah di sakunya. Berlari ke arah Aria.
Namun, dalam satu gerakan Aria berhasil menjatuhkan pisaunya tersebut dari tangan sang psikopat, dan satu gerakan lagi menghantam tengkuk sang pembunuh dengan keras. Seketika pria itupun roboh di kaki Aria.
***
Pria itu akhirnya sudah siuman setelah merasa sakit karena ditampar beberapa kali. Tangannya dalam keadaan terikat. Dia sedang berdiri di atas sebuah bangku kecil. Dan yang paling mengerikan, ada sebuah tali tambang yang menjerat lehernya.
“Sepertinya kamu telah memahami situasinya,” ujar Aria kalem mundur beberapa langkah.
“A..apa yang kamu lakukan?”
“Kamu telah salah memburu orang. Orang yang ada di depan kamu ini adalah seorang mantan pembunuh juga, tetapi tentu saja jauh lebih KUAT dari mu,” ucap Aria seolah-olah menyindir sang pembunuh. “Saya sudah hampir sepuluh tahun tidak meneteskan darah seorangpun. Tetapi malam ini, kamu sengaja mencariku. Ini bukti nyata karmamu berbuah. Takdir membawa kamu kemari supaya dieksekusi malam ini.”
Mata Aria menatap tajam-tajam ke dalam sang psikopat, yang sekarang terlihat seperti seorang anak kecil yang ketakutan.
“Alasan kamu membunuh orang membuat saya benar-benar muak. Belasan orang meninggal di tanganmu hanya untuk pemuasan egomu semata. Kamu percaya karma?”
“Karma? Kamu.. kamu..”
Sang pria tersebut teringat sebuah cerita ketika masih kecil. Pada masa tahun 80-an di mana banyak orang-orang penting di dunia gelap tewas dalam kecelakaan. Dipercaya kematian mereka bukan murni kecelakaan, tetapi diorkestra oleh seorang pembunuh berdarah dingin. Seorang pembunuh yang muak dengan kejahatan para mafia dan gengster sehingga menghabisi mereka satu per satu.
Dikatakan orang ini selalu menyebut akan menggenapkan karma sang korban sebelum mengeksekusinya. Itu sebabnya orang-orang menjulukinya Karma.
Tetapi tentu saja itu hanya desas-desus. Pria ini tidak pernah percaya, dan menganggap itu adalah cerita konspirasi konyol. Tetapi hari ini dia percaya.
“Apa yang kamu tabur itulah yang engkau tuai. Suatu hari kamu akan mendapat balasan dari perbuatanmu. Tetapi saya akan memastikan hari tersebut adalah hari ini. Hari ini, karmamu akan berbuah.”
Sang psikopat itu sangat takut. Di satu sisi dia tidak bisa sembarangan bergerak, karena salah langkah akan membuat dirinya terbunuh. Di sisi lain dia juga tidak bisa tinggal diam. Untuk pertama kalinya dia mulai memahami perasaan yang dialami oleh korban-korbannya. Inikah perasaannya ketika memahami ketika ajal akan menjemput? Perasaan kalut, kehampaan, ketiadaan, membuat jiwanya sungguh tersiksa. Tapi tiba-tiba dia tersenyum. Dia merasa kemenangannya masih belum hilang sepenuhnya.
“Kamu tidak mungkin membunuhku di sini. Polisi pasti akan menangkapmu.”
“Kau tidak perlu khawatir mengenai itu. Kamu datang dengan mengakui sebagai sepupuku. Saya sengaja mengikuti alurmu. Jadi begitu besok mereka melihat kamu tewas di lantai dua ini, saya cukup mengatakan sepupuku yang malang ini depresi karena tidak mendapat pekerjaan.”
“Tidak mungkin polisi akan percaya!”
“Mereka akan percaya. Tetanggaku akan memperkokoh alasan saya. Kamu akan ditemukan dalam keadaan tidak ada bekas obat bius, luka atau apapun di tubuh mu. Dan kau tahu? Kau bahkan akan meninggalkan surat kematian. Saya sudah mempelajari tulisan tanganmu di catatan dalam tasmu ketika kamu pingsan.”
Harapan yang ada pada sang pembunuh langsung hancur berkeping-keping. Pria ini tidak pernah menyangka lelaki di hadapannya itu sudah mempersiapkan semuanya dengan seksama dari awal.
Aria tinggal menendang bangku kecil itu, maka habislah sang psikopat itu. Tetapi sepuluh tahun yang lalu, dia bersumpah tidak akan meneteskan darah orang lain lagi walau seberat apapun kejahatan orang tersebut. Apakah dia ingin mengingkari sumpahnya setelah sekian tahun sudah dipegang dengan teguh? Pikiran berkecamuk itulah juga yang terjadi ketika dirinya berdiri di luar pintu rumahnya antara menghubungi polisi atau masuk ke dalam menghadapi sang pembunuh.
Tetapi dia teringat kembali berita bagaimana seorang keluarga kecil harus kehilangan ayah mereka. Seorang ayah yang harus rela melepaskan anak perempuan semata wayangnya. Bagaimana seorang anak kecil harus kehilangan ayah dan ibunya dalam satu malam. Keluarga yang menangis di depan makam anaknya yang baru wisuda. Itu semua merupakan ulah sang bajingan itu!
Dengan emosi dia pun menendang bangku kecil itu. Sang psikopat memegangi lehernya dan meronta-ronta. Suara tercekiknya menggema di dalam ruangan. Pada saat itu tatapan iba sang pria dengan suara tersekat tersirat permohonan ampunan. Aria menoleh ke tempat lain.
Detik-detik berlalu dengan lama. Erangan sang pria memenuhi ruangan. Aria tidak tahan sehingga serta merta menggunakan pisau bedah untuk memutuskan tali di atas, sehingga sang psikopat langsung jatuh ke lantai. Orang itu sudah kehilangan kesadaran. Tetapi masih bernafas.
Aria melihatnya dengan jijik. Dia tidak ingin membunuh orang lagi tetapi tetap harus membuat sang pembunuh ini mendapat ganjaran yang setimpal.
“Sepertinya kamu telah memahami situasinya,” ujar Aria kalem mundur beberapa langkah.
“A..apa yang kamu lakukan?”
“Kamu telah salah memburu orang. Orang yang ada di depan kamu ini adalah seorang mantan pembunuh juga, tetapi tentu saja jauh lebih KUAT dari mu,” ucap Aria seolah-olah menyindir sang pembunuh. “Saya sudah hampir sepuluh tahun tidak meneteskan darah seorangpun. Tetapi malam ini, kamu sengaja mencariku. Ini bukti nyata karmamu berbuah. Takdir membawa kamu kemari supaya dieksekusi malam ini.”
Mata Aria menatap tajam-tajam ke dalam sang psikopat, yang sekarang terlihat seperti seorang anak kecil yang ketakutan.
“Alasan kamu membunuh orang membuat saya benar-benar muak. Belasan orang meninggal di tanganmu hanya untuk pemuasan egomu semata. Kamu percaya karma?”
“Karma? Kamu.. kamu..”
Sang pria tersebut teringat sebuah cerita ketika masih kecil. Pada masa tahun 80-an di mana banyak orang-orang penting di dunia gelap tewas dalam kecelakaan. Dipercaya kematian mereka bukan murni kecelakaan, tetapi diorkestra oleh seorang pembunuh berdarah dingin. Seorang pembunuh yang muak dengan kejahatan para mafia dan gengster sehingga menghabisi mereka satu per satu.
Dikatakan orang ini selalu menyebut akan menggenapkan karma sang korban sebelum mengeksekusinya. Itu sebabnya orang-orang menjulukinya Karma.
Tetapi tentu saja itu hanya desas-desus. Pria ini tidak pernah percaya, dan menganggap itu adalah cerita konspirasi konyol. Tetapi hari ini dia percaya.
“Apa yang kamu tabur itulah yang engkau tuai. Suatu hari kamu akan mendapat balasan dari perbuatanmu. Tetapi saya akan memastikan hari tersebut adalah hari ini. Hari ini, karmamu akan berbuah.”
Sang psikopat itu sangat takut. Di satu sisi dia tidak bisa sembarangan bergerak, karena salah langkah akan membuat dirinya terbunuh. Di sisi lain dia juga tidak bisa tinggal diam. Untuk pertama kalinya dia mulai memahami perasaan yang dialami oleh korban-korbannya. Inikah perasaannya ketika memahami ketika ajal akan menjemput? Perasaan kalut, kehampaan, ketiadaan, membuat jiwanya sungguh tersiksa. Tapi tiba-tiba dia tersenyum. Dia merasa kemenangannya masih belum hilang sepenuhnya.
“Kamu tidak mungkin membunuhku di sini. Polisi pasti akan menangkapmu.”
“Kau tidak perlu khawatir mengenai itu. Kamu datang dengan mengakui sebagai sepupuku. Saya sengaja mengikuti alurmu. Jadi begitu besok mereka melihat kamu tewas di lantai dua ini, saya cukup mengatakan sepupuku yang malang ini depresi karena tidak mendapat pekerjaan.”
“Tidak mungkin polisi akan percaya!”
“Mereka akan percaya. Tetanggaku akan memperkokoh alasan saya. Kamu akan ditemukan dalam keadaan tidak ada bekas obat bius, luka atau apapun di tubuh mu. Dan kau tahu? Kau bahkan akan meninggalkan surat kematian. Saya sudah mempelajari tulisan tanganmu di catatan dalam tasmu ketika kamu pingsan.”
Harapan yang ada pada sang pembunuh langsung hancur berkeping-keping. Pria ini tidak pernah menyangka lelaki di hadapannya itu sudah mempersiapkan semuanya dengan seksama dari awal.
Aria tinggal menendang bangku kecil itu, maka habislah sang psikopat itu. Tetapi sepuluh tahun yang lalu, dia bersumpah tidak akan meneteskan darah orang lain lagi walau seberat apapun kejahatan orang tersebut. Apakah dia ingin mengingkari sumpahnya setelah sekian tahun sudah dipegang dengan teguh? Pikiran berkecamuk itulah juga yang terjadi ketika dirinya berdiri di luar pintu rumahnya antara menghubungi polisi atau masuk ke dalam menghadapi sang pembunuh.
Tetapi dia teringat kembali berita bagaimana seorang keluarga kecil harus kehilangan ayah mereka. Seorang ayah yang harus rela melepaskan anak perempuan semata wayangnya. Bagaimana seorang anak kecil harus kehilangan ayah dan ibunya dalam satu malam. Keluarga yang menangis di depan makam anaknya yang baru wisuda. Itu semua merupakan ulah sang bajingan itu!
Dengan emosi dia pun menendang bangku kecil itu. Sang psikopat memegangi lehernya dan meronta-ronta. Suara tercekiknya menggema di dalam ruangan. Pada saat itu tatapan iba sang pria dengan suara tersekat tersirat permohonan ampunan. Aria menoleh ke tempat lain.
Detik-detik berlalu dengan lama. Erangan sang pria memenuhi ruangan. Aria tidak tahan sehingga serta merta menggunakan pisau bedah untuk memutuskan tali di atas, sehingga sang psikopat langsung jatuh ke lantai. Orang itu sudah kehilangan kesadaran. Tetapi masih bernafas.
Aria melihatnya dengan jijik. Dia tidak ingin membunuh orang lagi tetapi tetap harus membuat sang pembunuh ini mendapat ganjaran yang setimpal.
***
“Bangun!”
Keesokan harinya sang pembunuh itu terbangun di sebuah kamar. Di luar terdengar gedoran pintu dengan keras. Di sini adalah kamar kostnya sendiri. Dia tidak dapat mengingat kejadian semalam. Bagaimana kejadiannya sehingga dia berada di kamar sendiri. Di saat masih penuh kebingungan, dia menuju pintu dan membukanya. Dalam sekejap beberapa polisi langsung memborgolnya. Sang komandan memerintah yang lainnya untuk melakukan pencarian.
“Hei, bebaskan aku. Kalian salah menangkap orang.”
“Kamu didakwa melakukan pembunuhan berencana,” ujar sang komandan.
“Lepaskan aku. Saya tidak melakukan apa-apa. Apa buktinya?”
Kali ini sang polisi terlihat mulai marah. “Tidak melakukan apa-apa? Bukti?”
“Semalam kamu kamu ingin membunuh salah seorang bukan? Untungnya dia berhasil lolos. Melihat sudah kepergok membunuh, masih bisa tinggal diam di sini. Kamu pikir kami polisi tidak bisa melacak keberadaanmu?”
Seorang polisi mendekatinya dan menyerahkan jarum suntik serta beberapa botol kecil. Pria tersebut mulai panik. Kemudian polisi yang lain menyerahkan sebuah buku merah kepada komandannya. Sial! Buku jurnal yang dilakukan untuk mencatat proses pembunuhannya.
Sang komandan membaca beberapa halaman. Dan raut wajahnya tertampak semakin jijik setiap membalikkan halaman berikutnya. “Orang ini benar-benar psikopat! Tahan dia, saya akan pastikan dakwaannya yang dipersiapkan untuk orang ini membuat dia tidak akan bisa keluar lagi!”
Sang pria itu hanya bisa berjalan lemas digandeng oleh sang polisi. Dia pun masuk ke dalam mobil polisi. Di luar ternyata sudah ramai dengan orang-orang karena mereka mendengar sang pembunuh berantai sudah tertangkap. Semuanya menghujat dan mencemoohnya. Akhirnya mobil polisi pun berlalu. Dari kejauhan Aria menatapnya tanpa ekspresi.
“Sepertinya saya masih mampu memegang janji saya bukan, Elis?”
Penulis: Garry Bernady | Kompasiana
Keesokan harinya sang pembunuh itu terbangun di sebuah kamar. Di luar terdengar gedoran pintu dengan keras. Di sini adalah kamar kostnya sendiri. Dia tidak dapat mengingat kejadian semalam. Bagaimana kejadiannya sehingga dia berada di kamar sendiri. Di saat masih penuh kebingungan, dia menuju pintu dan membukanya. Dalam sekejap beberapa polisi langsung memborgolnya. Sang komandan memerintah yang lainnya untuk melakukan pencarian.
“Hei, bebaskan aku. Kalian salah menangkap orang.”
“Kamu didakwa melakukan pembunuhan berencana,” ujar sang komandan.
“Lepaskan aku. Saya tidak melakukan apa-apa. Apa buktinya?”
Kali ini sang polisi terlihat mulai marah. “Tidak melakukan apa-apa? Bukti?”
“Semalam kamu kamu ingin membunuh salah seorang bukan? Untungnya dia berhasil lolos. Melihat sudah kepergok membunuh, masih bisa tinggal diam di sini. Kamu pikir kami polisi tidak bisa melacak keberadaanmu?”
Seorang polisi mendekatinya dan menyerahkan jarum suntik serta beberapa botol kecil. Pria tersebut mulai panik. Kemudian polisi yang lain menyerahkan sebuah buku merah kepada komandannya. Sial! Buku jurnal yang dilakukan untuk mencatat proses pembunuhannya.
Sang komandan membaca beberapa halaman. Dan raut wajahnya tertampak semakin jijik setiap membalikkan halaman berikutnya. “Orang ini benar-benar psikopat! Tahan dia, saya akan pastikan dakwaannya yang dipersiapkan untuk orang ini membuat dia tidak akan bisa keluar lagi!”
Sang pria itu hanya bisa berjalan lemas digandeng oleh sang polisi. Dia pun masuk ke dalam mobil polisi. Di luar ternyata sudah ramai dengan orang-orang karena mereka mendengar sang pembunuh berantai sudah tertangkap. Semuanya menghujat dan mencemoohnya. Akhirnya mobil polisi pun berlalu. Dari kejauhan Aria menatapnya tanpa ekspresi.
“Sepertinya saya masih mampu memegang janji saya bukan, Elis?”
Penulis: Garry Bernady | Kompasiana
EmoticonEmoticon