Kamis, 08 September 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

[Cerpen Horor] Dongeng Gelap

Setiap kali aku berada di sebuah ruangan yang sepi, lalu tercium aroma semen, dingin merayap pelan di kulitku. Setiap kali ada cahaya redup sendu yang menerobos masuk pada langit-langit, seakan terdengar lagi suara langkah-langkah patah, dingin memucuk pada tengkuk. Pada saat seperti itu, aku kembali seperti digiring ke sebuah masa yang miris. Membuatku tercekat pada ruas rasa yang paling sempit dan rumpil.

Semua itu selalu bisa membuatku tertegun. Mematung. Suara ayahku lalu bergema, serupa ketukan pintu di tengah malam yang menakutkan.

Seharusnya ada sedikit waktu yang bisa kurebut. Seharusnya ada sedikit kesempatan yang bisa kugunakan, paling tidak untuk meyakinkannya, bahwa apa yang didengar dan dibacanya di luarsana adalah dongeng gelap yang sengaja diputar untuk menumbuhkan benih-benih benci. Sebuah upaya untuk terus sengaja mendaur-ulang dan mendesakkan berita-berita berkabut. Belum sempat aku menjawab apa yang dikatakannya, ia sudah pergi. Waktu tidak memberinya kesempatan lebih banyak untuk mendengar apa yang seharusnya didengar langsung dariku, anaknya.

Dan seusai kepergiannya, aku hanya bisa menatap lantai. Kata-katanya masih terngiang hebat, menusuk, "Bilang ke teman-temanmu, kalau diperiksa, tidak usah dengan cara bugil di depan petugas."

Aku terperanjat bukan main. Itu pertemuan kami setelah bertahun-tahun kami dipisahkan oleh sebuah peristiwa. Dan ia masih dengan suaranya yang berwibawa, memberi pesan yang kuterima sebagai sesuatu yang sangat mengejutkan.

"Ayah tahu dari mana?" tanyaku setelah buhul kejut terurai.

"Dari koran," jawabnya. Selesai. Singkat. Waktu pertemuan yang mewah itu rampung dengan cara yang menyakitkan. Dan itu adalah kalimat terakhir yang kudengar.

Seharusnya aku bisa bilang kepadanya, menjelaskan, bahwa semua itu bohong besar. Kalaupun toh ada yang diperiksa dengan telanjang, yang ada adalah karena mereka ditelanjangi, bukan telanjang karena keinginan mereka sendiri. Disana , di dalam penjara, apa yang tidak mungkin terjadi di luarsana , bahkan apa yang tidak mungkin dipikirkan oleh orang-orang yang ada di luar, telah benar-benar terjadi.

Tapi waktu tidak memberi kesempatan lebih panjang. Hanya tinggal ngiang suaranya di telingaku, diikuti bau lantai bercampur dengan bau karat jeruji.

Aku mencoba mengerti. Sebuah cerita besar telah dibuat dalam cuaca penuh horor. Ketakutan dan ketidakjelasan mengepung udara seperti wabah.

***

Aku masih bisa mengingat dengan baik sebuah pagi yang menentukan. Sebuah pagi ketika suamiku benar-benar diambil. Saat itu, ia masih bisa berpesan agar aku pergi ke kampus tempatnya mengajar, memberi tahu pimpinannya. Aku, dengan ketabahan yang telah kupersiapkan semenjak banyak orang diambil, segera pergi menunaikan amanatnya. Sesampai di kampus, pimpinannya menerima kabar itu dengan sedih. Bapak itu, yang jauh hari juga kukenal sebagai orang yang baik, bahkan masih sempat mengingatkanku untuk mengambil gaji suamiku yang belum diambil selama dua bulan.

Pagi itu, setabah dan sesiap apa pun, aku terus waswas. Aku kira, hampir semua orang tidak punya rasa nyaman. Hari ini siapa lagi? Besok siapa lagi? Nyaris tidak ada satu keluarga pun yang salah satu anggota keluarga mereka selamat. Mungkin sang suami, mungkin sang istri, mungkin salah satu anak mereka. Bahkan bukan rahasia lagi, ada banyak keluarga yang kukut. Habis ditapis jalang peristiwa.

Kalaupun satu keluarga selamat, keluarga dekat mereka pasti ada yang kena. Mungkin saudara sepupu, paman, bibi, keponakan.Ada banyak orang dipojokkan untuk menuding sebelum dituding. Drama-drama tragis berhamburan. Yang kemarin menuding, sekarang dituding, yang kemarin mengambil tetangganya sendiri sekarang harus mengambil sanak keluarganya sendiri, yang kemarin mengambil sekarang bisa saja juga diambil.

Pagi itu, adalah pagi yang menabrakku dengan keras.

Setelah beberapa saat berada di rumah, dua jip tentara datang. Aku menyambut mereka di depan pintu. Ketika aku tanya ada keperluan apa, mereka bilang ingin menggeledah rumah. Lalu aku bilang, kalau hanya menggeledah silakan saja. Kemudian aku menguntit mereka saat menggeledah rumahku. Itu kulakukan karena sudah menjadi pengetahuan umum saat itu, dari rumah-rumah yang digeledah kemudian ditemukan barang-barang yang sebelumnya tidak ada di dalam rumah itu. Misalnya, senjata api, kertas-kertas dokumen tertentu yang sebelumnya tidak ada pun bisa terselip di mana-mana.

Setelah tidak menemukan apa yang mereka ingin temukan, atau mungkin tidak bisa meletakkan barang-barang yang tidak mungkin ada di rumahku karena aku terus menguntit, mereka lalu pergi. Salah satu dari mereka sempat bilang, bahwa besok pagi aku harus melapor untuk ditanya seputar kegiatan suamiku.

Pagi harinya, dengan memakai sepeda angin, aku memenuhi perintah itu. Tapi sampai disana , aku bukannya ditanya seputar kegiatan suamiku. Aku malah dimasukkan ke penjara. Semua benar-benar bisa terjadi.

Pagi itu, adalah pagi yang merangsekku agar gepeng dan ringsek.

Disana , di dalam penjara itu sudah banyak perempuan yang juga sudah ditahan sebelumnya. Banyak di antara mereka yang kukenal. Aku ditempatkan di sebuah ruangan bersama beberapa orang yang sudah kukenal. Semua membawa peristiwa masing-masing di tempat ini.Ada yang diambil begitu saja di jalan, ada yang diambil karena memenuhi panggilan, ada yang diambil ketika baru pulang dari tempat bekerja.Ada yang diambil dengan cara baik-baik, dan tidak sedikit yang sebelumnya harus menumpahkan tangis dan darah.

Berada di tengah-tengah orang yang sudah saling kenal, kami berusaha untuk saling menguatkan. Di antara tangis dan jeritan teraniaya, rasa waswas yang terus meningkat, kami berupaya untuk tetap bisa saling memberi dukungan. Semua orang butuh pegangan, memegang diri kami sendiri, dan saling memberi batang pegangan untuk orang lain.

Di ruanganku itu, ada seorang perempuan yang masih cukup muda, wajahnya manis, dan ia sangat pendiam. Dari beberapa orang yang sudah lebih lama berada di penjara itu, perempuan itu sering disebut sebagai "Gerwani Lubang Buaya". Tubuh perempuan itu penuh dengan luka, terutama di kedua kakinya, mulai dari telapak kaki sampai betis, semua penuh dengan luka.

Suatu saat, serombongan tentara masuk. Beberapa di antara mereka berteriak kepada perempuan muda itu, "Berapa kali dalam sehari kamu dipakai AURI?!"

Seperti sudah sangat terbiasa dengan pertanyaan itu, perempuan muda tersebut menjawab dengan tangkas dan spontan, "Tiga kali, Pak. Pagi, siang, dan malam hari!"

Tentara-tentara itu lalu tertawa terbahak-bahak dan mendekati perempuan itu sambil menendang sepasang kaki perempuan itu yang sudah penuh dengan luka. Perempuan itu tidak menjerit. Ia diam saja.

Aku penasaran dengan perempuan itu. Tapi rasa penasaran itu kuperam. Dalam keadaan seperti itu, bertanya dan berbicara, bukan hal yang gampang. Kuping kekuasaan dipasang di mana-mana, lengkap dengan radar kecurigaan yang berlebihan. Hingga di suatu hari yang sepi, aku mendekati perempuan itu dan mencoba bertanya, apa yang sesungguhnya terjadi padanya. Lalu dengan pelan ia bercerita.

Suatu saat ia ditawari oleh seorang tentara untuk dinikahi. Perempuan itu mau. Tentara itu memberi syarat, kalau mau menikah dengan dirinya, maka perempuan itu harus bersedia memakai sepatu tentara dan kemudian dipotret dalam keadaan sedang memegang senjata. Perempuan itu tidak keberatan. Akhirnya, perempuan itu belajar memakai sepatu tentara, dan beberapa kali dipotret dalam keadaan memakai senjata. Setelah itu semua, bukannya segera dinikahi oleh si tentara, tetapi perempuan itu malah ditangkap, dan semenjak itu ada satu sebutan yang selalu melekat di dalam diri perempuan itu: Gerwani Lubang Buaya. Setiap kali ia diperiksa dan disiksa, ia harus menjawab pertanyaan dengan kalimat yang sama. Kalimat yang diinginkan oleh para penanya.

Aku terkejut mendengar cerita perempuan itu. Kisahnya semakin melengkapi aneka kisah yang kudengar selama di dalam penjara, dan itu semakin membuatku hati-hati untuk mendengar segala peristiwa yang terjadi. Beberapa saat kemudian, aku dipindahkan dari penjara itu, dan aku berpisah dengan perempuan muda yang manis, yang sepasang kakinya selalu penuh dengan luka, yang jika segerombolan tentara datang menanyakan pertanyaan yang sama, ia dengan cepat akan menjawab, "Tiga kali, Pak. Pagi, siang, dan malam hari!"

Pagi ketika aku hendak meninggalkan penjara untuk pindah ke penjara yang lain, adalah pagi yang tidak menjanjikan apa-apa, selain ancaman.

***

Aku pernah tinggal di sebuah penjara yang sama dengan penjara tempat suamiku berada. Tapi kami tidak pernah saling bertemu. Kami hanya sama-sama tahu, kalau kami berada di tempat yang sama. Ia suami yang sangat baik dan romantis. Suatu kali, saat hari ulang tahunku, aku mendapat kiriman sepotong kue darinya. Kue itu terbuat dari butiran-butiran jagung jatah makan para tahanan. Butiran-butiran jagung itu dilumat dengan gula merah, dibentuk menjadi sepotong kue, dan diberi sesobek kertas berisi ucapan selamat ulang tahun. Aku terharu sekali. Kue sederhana itu tentu dibuat dengan pengorbanan yang sangat besar. Suamiku merelakan jatah makannya sendiri, dan aku tidak pernah tahu bagaimana caranya mendapatkan gula merah, kertas, dan pena. Bahkan tidak mudah untuk kemudian bisa mengirimkan kue itu sampai dengan selamat di ruanganku.

Ia memang laki-laki yang sangat mempesona. Pertama kali aku bertemu dengannya di rumah dinas ayahku. Ia dikirim dari Jawa sebagai Barisan Pelopor untuk mempertahankan kemerdekaanIndonesia . Orang tuaku adalah sepasang orang pergerakan. Sangat antikolonial, dan tidak heran jika rumah dinas ayahku selalu menjadi pusat kegiatan orang-orang pergerakan.

 Beberapa tahun kemudian, ketika aku harus melanjutkan kuliah di Jawa, aku kaget sekali, karena salah satu dosenku adalah laki-laki yang pernah tinggal di rumahku itu. Kami lalu pacaran dan menikah, dan kemudian mempunyai beberapa anak.

Sejauh ini, aku sangat bersyukur dengan hidupku. Aku dilahirkan dari keluarga yang sangat bermartabat, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, percaya penuh pada nilai-nilai kemanusiaan, dan sangat anti terhadap kezaliman para kolonial. Aku juga bangga, mempunyi seorang suami yang baik, yang dari muda sudah bergulat dalam dunia pergerakan, sangat mencintai ilmu pengetahuan, dan mempunyai dedikasi yang besar sebagai seorang pengajar.

Di seluruh hal yang kemudian terjadi, yang sering membuatku getir adalah peristiwa yang menimpa telah memaksaku untuk berpisah dengan keluargaku. Setara dengan apa yang kualami, ribuan keluarga telah tercerai-berai. Digodam tanpa permisi dan tanpa alasan yang jelas.

Maka, ketika ayahku berkata tentang perempuan-perempuan yang bugil ketika diperiksa, betapa sedihnya diriku. Dan aku tidak mempunyai kesempatan untuk menjelaskan kepadanya, apa yang sebenarnya terjadi di dalam penjara. Ingin rasanya aku bercerita tentang seorang perempuan yang ditelanjangi saat diperiksa, lalu digilir begitu selesai diperiksa sebagai semacam upacara penutupan. Ingin rasanya aku mengisahkan bagaimana seorang perempuan ditusuk vaginanya dengan gagang sapu ketika diperiksa. Aku ingin sekali bercerita tentang perempuan muda yang manis itu, yang pendiam, yang diberi janji untuk dinikahi oleh seorang tentara asal mau dipotret dengan pakaian tentara dan dengan membawa senjata, yang kemudian justru perempuan itu diciduk, diberi sebutan sebagai Gerwani Lubang Buaya, dan setiap saat mulutnya harus tangkas menjawab pertanyaan dari mulut para tentara, "Berapa kali dalam sehari kamu dipakai AURI?!"

Ingin rasanya aku membeberkan kepada ayahku tentang kisah-kisah yang kudengar di berbagai penjara yang kulalui. Tapi dengan cara apa? Bagaimana? Seluruh hal telah dirampas begitu saja. Bahkan suara yang bergaung di udara pun rasanya bisa dibungkam dan diputarbalikkan.

Kelak ketika kemudian aku mendengar bahwa ada perempuan yang secara keji menyiksa dan membunuh para jenderal di Lubang Buaya, aku hanya bisa berkata pada diriku sendiri: aku tidak tahu. Tapi yang jelas-jelas aku tahu, di penjara-penjara yang pernah kulalui, ada banyak perempuan disiksa, ada banyak perempuan diperkosa, ada banyak perempuan yang karena tidak tahan siksaan bunuh diri dan menjadi gila. Dan pertanyaanku yang tidak pernah bisa jelas terjawab adalah mengapa banyak dari perempuan-perempuan yang kukenal di penjara diminta untuk melakukan sesuatu lalu dipotret? Untuk apakah potret-potret itu?

Ah, bahkan ayahku pun berkata seperti itu ketika membaca berita-berita di koran.

Tapi keinginan untuk memberi tahu ayahku selalu ditumpas oleh kenyataan. Bercerita yang sesungguhnya terjadi adalah hal yang sangat mustahil. Aku sering mendesiskan pelan sebuah cerita yang benar, yang kualami, berharap agar entah apa dan siapa bisa membawa ceritaku pada ayahku. Apalagi, ketika suatu saat, aku mendengar kelanjutan kisah tentang perempuan muda yang manis itu di sebuah penjara yang entah ke berapa...

Salah satu petugas di penjara itu pernah menceritakan kepadaku siapa sesungguhnya perempuan manis itu. Dulu, kata petugas itu, ia sering bertemu dengan perempuan itu di sebuah penjara. Perempuan muda itu pernah beberapa kali masuk penjara karena ia sering ditangkap saat mengutil di sebuah pasar. Petugas penjara itu tahu tentang kebohongan besar itu. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Dan aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jika potret perempuan itu beredar di luarsana , dengan berpakaian tentara dan membawa senjata, dan mungkin dengan keterangan tulisan: Gerwani Lubang Buaya.

Sebuah dongeng gelap telah sengaja diputar dan didengungkan. Dongeng yang sengaja disebar untuk memberi alasan kekejian demi kekejian. Dongeng yang bahkan tidak memberiku kesempatan untuk sekadar berkata kepada ayahku, "Semua itu bohong, Ayah."

Tidak, bahkan sampai suatu saat ayahku kembali ke pangkuan Tuhan. Sampai kini, setelah cukup lama keluar dari penjara, aku tetap rajin mendesiskan cerita yang sebenarnya, sehabis berdoa, berharap cerita itu bisa melayap ke langit, sampai ke ayahku. Aku juga akan terus mendesiskan cerita, berharap bisa merayap pelan ke berbagai telinga, tentang apa yang sesungguhnya kualami.

Dan jika dongeng gelap itu besi, aku hanya berharap ceritaku menjelma menjadi karat, yang akan menggerogoti dongeng itu, seperti usia yang merambat pada raga. Sekalipun dengan cara yang sangat lambat.

***

Penulis: Puthut EA | Jawa Pos, 04/23/2006


EmoticonEmoticon