Aku bergegas ke luar rumah. Memasukkan seluruh peralatan yang dibutuhkan buat persalinan istri ke dalam mobil. Ini anak kelima kami. Istriku terlihat meringis menahan nyeri. Wajahnya memerah. Meski begitu dia berusaha santai dan tersenyum. Dia ingin melahirkan di klinik saja. Tidak mahu di rumah sakit. Dia khawatir, rumah sakit akan menawarkan operasi caesar. Persalinan normal menjadi pilihan istriku.
Secara urutan, ini anak kelima kami. Anak pertama kami keguguran pada usia tiga bulan dalam kandungan. Anak kedua, keguguran pada usia kelima bulan dalam kandungan. Anak ketiga dan keempat keguguran pada usia tujuh bulan dalam kandungan. Aku dan istri menikah pada usia 25 tahun. Kata ibuku, usia yang pas buat menikah.
Empat orang calon bayi kami telah pergi ke surga. Menanti aku dan istri. Kata sabar tak cukup untuk membuat Istriku tegar menghadapi cobaan hidup. Selama setahun dia hanya mengurung diri di kamar. Melaksanakan salat dan mengaji. Bahkan, untuk makan pun dia tak mau keluar kamar. Makanan selalu diantar ke kamar. Dia ingin menyendiri. Katanya, di kamar itu selalu ada empat wajah kecil temannya bermain.
“Itu wajah anak kita Abang. Mereka menemaniku bermain sepanjang hari. Aku tak ingin keluar rumah. Jika pun kantor memecatku, pecat saja,” ujarnya tegas.
Matanya berkaca-kaca. Perlahan bulingan jernih mengalir di pipi. Aku hanya tersenyum. Mencoba membuat dia tegar. Bahwa Tuhan telah mengukur cobaan yang diberikan pada umatnya. Bahwa Tuhan menjanjikan hikmah dibalik setiap musibah.
Ibu mertuaku menyarankan agar kami mendatangi psiakiater. Dia menduga, kejiwaan istriku terganggu. Kupenuhi saran itu. Namun, istriku menolak keras.
“Memangnya aku sudah gila. Aku masih bisa mengaji, masih bisa berpikir jernih. Masih bisa salat. Apa Abang tidak mendengar, aku masih fasih membaca Quran. Aku tidak gila,” ketusnya.
“Ya, bukan gila. Kita hanya curhat saja. Biar beban didada lega tak menumpuk sekeras batu dan akhirnya menjadi penyakit dalam jiwa. Anggap saja psiater itu teman kita juga,” kataku.
“Tidak. Jika Abang mau pergi. Pergilah sendiri. Aku tidak ikut.”
Dia terdiam. Mematung di depan cermin. Lalu menoleh ke kiri dan kanan. Sesekali dia tersenyum. “Hus...jangan berantam. Nanti Umi marah,” ujarnya sambil meletakkan jari telunjuk dibibir. Seolah-olah dia berbicara pada beberapa anak yang sedang berantam. Aku hanya terdiam. Tak bisa berbuat apa-apa. Dadaku bergemuruh. Bingung dan kalut. Cobaan apa lagi ini?
***
Seiring perjalanan waktu. Kondisinya semakin membaik. Istriku mulai keluar dari kamar. Aku lega melihat perubahan itu. Perlahan dia juga mulai berinteraksi dengan tetangga. Bekerja di kantornya, dan menyiram Bogenvil di teras rumah saban senja menyapa.
Hari ini, kami menuju salah satu klinik persalinan terbaik di kota ini. Bidan yang menangani persalinan istriku merupakan bidan terbaik dan pernah beberapa kali meraih penghargaan dari pemerintah provinsi sebagai bidan teladan dan terbaik di kota ini. Menurut bidan, anak dalam kandungan istriku dalam kondisi sehat. Diperkirakan akan melahirkan sekitar pukul 18.00 WIB.
“Sekarang Bapak berdoa saja. Semoga kali ini, Tuhan memberikan amanah pada bapak. Amanah anak yang sehat, cerdas, baik dan bisa membanggakan kedua orang tuanya,” kata Bu Bidan.
Setelah mengantarkan istri ke ruang persalinan. Dua asisten bidan itu menjaganya dengan seksama. Sesekali memeriksa rahimnya. Istriku mulai meringis kesakitan. Keringat dingin membuncah di sekujur tubuh. Mengucur deras. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kuserahkan diri pada Tuhan. Bersimpuh dalam sujud yang dalam. Berharap agar kali ini kami mendapatkan bayi. Bayi penerus generasi membawa perubahan untuk negeri ini.
Sekitar sepuluh menit kemudian. Aku mendengar jerit bayi dari ruang persalinan. Alhamdulillah Tuhan. Engkau mengabulkan do’aku. Namun, bidan senior keluar dari ruangan dengan wajah murung. Tak ada senyum menghias bibir seperti diawal perjumpaan kami.
“Bapak sabar ya. Tuhan masih memberikan cobaan. Semua ini ada hikmahnya. Teguhkan istri bapak,” kata bidan itu sambil menepuk pundakku. Kupercepat langkah menuju ruang persalinan. Istriku terbaring lemah. Dua buling jernih menetes di pipi.
“Anak kita cedera Abang,” katanya sambil melihat ke arah kanan, tempat anakku terbaring lemah. Perut bayiku seperti plastik putih transfaran. Usus, jantung dan segala isi perutnya terlihat jelas dari luar. Saat itu juga kubawa dia ke rumah sakit terbaik di kota ini. Aku ingin dia selamat. Apa pun takdirnya, dia adalah putraku. Anak kelima kami.
***
Dokter menyatakan anakku digerogoti oleh empat virus sejak dalam kandungan. Empat virus itu toxoplasma,rubella,CMV, dan herpes (Torch). Virus ini menghancurkan sel telur. Virus itu dinyatakan sebagai penyebab keguguran kandungan yang dialami istriku. Virus pembunuh bayi kami. Tiga hari sudah anakku di ruang persalinan. Dia harus dimasukkan dalam inkubator. Hari kelima, selepas Subuh aku tak mendengar tangisannya. Hanya terdengar suara hujan dan desau angin. Anak kelimaku telah pergi ke surga, menyusul abang dan kakaknya. Aku tak bisa berpikir. Aku hanya tersenyum, tertawa dan sesekali menangis.
“Tuhan begitu kejam,” teriakku.
Seluruh perawat rumah sakit mencoba menenangkan. Ibuku, ibu mertua, dan seluruh kakak ipar menenangkanku. Aku tak bisa berpikir lagi. Ini kutukan, bukan ujian. Sejak saat itu, aku tak tahu siapa diriku. Keluarga membawaku ke rumah sakit jiwa. Mengenakan seragam hijau setiap hari dengan nomor tujuh di depan baju. Tertawa bersama seluruh teman sesama penghuni rumah sakit. Terkadang kami menggelar lomba tawa dan lomba nangis.
Sesekali istriku datang menjenguk. Mencoba mengingatkanku pada pekerjaanku, perusahaan mebelku, pada karyawanku, pada cita-citaku untuk menghajikan ibu dan mertua. Aku bahkan tak mengenal dia. Aku menganggap dia hanya sebagai dokter yang rajin memberikan nasihat dan obat penenang.
“Abang, ini aku istrimu, Lola. Abang, ingat tidak, dulu kita ke air terjun di Lampung, Aceh, Sumatera Utara, dan lainnya. Katamu, air terjun membawa pesan keteguhan hati. Membawa ketenangan dalam raga, dan terpenting bisa menghadirkan ide-ide baru untuk produk usaha mebel kita,” kata istriku perlahan. Ditangannya kulihat sejumlah foto wajahku bersamanya di sejumlah lokasi air terjun. Namun, aku tak mengenalnya.
“Aku tidak mengenal kamu. Pergilah.”
Istriku datang setiap Jumat selama setahun ke rumah sakit ini. Setiap berkunjung dia mengenakan pakaian warna biru. Katanya, itu warna kesukaanku. Biru melambangkan keteduhan. Setiap datang, dia membawa benda-benda yang kusukai seperti stik drum, gitar, dan miniatur Borobudur. Katanya, dulu,kami bertemu pertama kali di candi itu.
Dia selalu tersenyum. Mencoba mengingatkan ku pada seluruh kisah yang telah teruntai dalam sejarah hidup ini.
***
Azan subuh hari itu terdengar berbeda. Aku bisa mengikuti lafat azan dari meunasah (tempat ibadah) di ujung lorong kamarku. Kubangunkan teman di sampingku. Dia hanya menggeliat. Lalu tersenyum dan mengatakan masih mengantuk. Aku baru sadar, kamar ini berbentuk seperti penjara. Teralis besi kokoh di kiri-kanan, depan dan belakang. Aku di rumah sakit jiwa. Di depan kamarku tertulis jelas, kamar pasien laki-laki RSJ Banda Aceh.
Aku berteriak membangukan perawat jaga. Meminta untuk diantar ke meunasah (surau tempat ibadah). Petugas jaga bingung. Dia hanya mengikuti kemauanku. Salat subuh itu begitu aneh. Hanya ada beberapa perawat, imam dan aku. Tidak seperti di kampungku. Sekitar 100 warga selalu menunaikan salat Subuh berjamaah.
***
Secara urutan, ini anak kelima kami. Anak pertama kami keguguran pada usia tiga bulan dalam kandungan. Anak kedua, keguguran pada usia kelima bulan dalam kandungan. Anak ketiga dan keempat keguguran pada usia tujuh bulan dalam kandungan. Aku dan istri menikah pada usia 25 tahun. Kata ibuku, usia yang pas buat menikah.
Empat orang calon bayi kami telah pergi ke surga. Menanti aku dan istri. Kata sabar tak cukup untuk membuat Istriku tegar menghadapi cobaan hidup. Selama setahun dia hanya mengurung diri di kamar. Melaksanakan salat dan mengaji. Bahkan, untuk makan pun dia tak mau keluar kamar. Makanan selalu diantar ke kamar. Dia ingin menyendiri. Katanya, di kamar itu selalu ada empat wajah kecil temannya bermain.
“Itu wajah anak kita Abang. Mereka menemaniku bermain sepanjang hari. Aku tak ingin keluar rumah. Jika pun kantor memecatku, pecat saja,” ujarnya tegas.
Matanya berkaca-kaca. Perlahan bulingan jernih mengalir di pipi. Aku hanya tersenyum. Mencoba membuat dia tegar. Bahwa Tuhan telah mengukur cobaan yang diberikan pada umatnya. Bahwa Tuhan menjanjikan hikmah dibalik setiap musibah.
Ibu mertuaku menyarankan agar kami mendatangi psiakiater. Dia menduga, kejiwaan istriku terganggu. Kupenuhi saran itu. Namun, istriku menolak keras.
“Memangnya aku sudah gila. Aku masih bisa mengaji, masih bisa berpikir jernih. Masih bisa salat. Apa Abang tidak mendengar, aku masih fasih membaca Quran. Aku tidak gila,” ketusnya.
“Ya, bukan gila. Kita hanya curhat saja. Biar beban didada lega tak menumpuk sekeras batu dan akhirnya menjadi penyakit dalam jiwa. Anggap saja psiater itu teman kita juga,” kataku.
“Tidak. Jika Abang mau pergi. Pergilah sendiri. Aku tidak ikut.”
Dia terdiam. Mematung di depan cermin. Lalu menoleh ke kiri dan kanan. Sesekali dia tersenyum. “Hus...jangan berantam. Nanti Umi marah,” ujarnya sambil meletakkan jari telunjuk dibibir. Seolah-olah dia berbicara pada beberapa anak yang sedang berantam. Aku hanya terdiam. Tak bisa berbuat apa-apa. Dadaku bergemuruh. Bingung dan kalut. Cobaan apa lagi ini?
***
Seiring perjalanan waktu. Kondisinya semakin membaik. Istriku mulai keluar dari kamar. Aku lega melihat perubahan itu. Perlahan dia juga mulai berinteraksi dengan tetangga. Bekerja di kantornya, dan menyiram Bogenvil di teras rumah saban senja menyapa.
Hari ini, kami menuju salah satu klinik persalinan terbaik di kota ini. Bidan yang menangani persalinan istriku merupakan bidan terbaik dan pernah beberapa kali meraih penghargaan dari pemerintah provinsi sebagai bidan teladan dan terbaik di kota ini. Menurut bidan, anak dalam kandungan istriku dalam kondisi sehat. Diperkirakan akan melahirkan sekitar pukul 18.00 WIB.
“Sekarang Bapak berdoa saja. Semoga kali ini, Tuhan memberikan amanah pada bapak. Amanah anak yang sehat, cerdas, baik dan bisa membanggakan kedua orang tuanya,” kata Bu Bidan.
Setelah mengantarkan istri ke ruang persalinan. Dua asisten bidan itu menjaganya dengan seksama. Sesekali memeriksa rahimnya. Istriku mulai meringis kesakitan. Keringat dingin membuncah di sekujur tubuh. Mengucur deras. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kuserahkan diri pada Tuhan. Bersimpuh dalam sujud yang dalam. Berharap agar kali ini kami mendapatkan bayi. Bayi penerus generasi membawa perubahan untuk negeri ini.
Sekitar sepuluh menit kemudian. Aku mendengar jerit bayi dari ruang persalinan. Alhamdulillah Tuhan. Engkau mengabulkan do’aku. Namun, bidan senior keluar dari ruangan dengan wajah murung. Tak ada senyum menghias bibir seperti diawal perjumpaan kami.
“Bapak sabar ya. Tuhan masih memberikan cobaan. Semua ini ada hikmahnya. Teguhkan istri bapak,” kata bidan itu sambil menepuk pundakku. Kupercepat langkah menuju ruang persalinan. Istriku terbaring lemah. Dua buling jernih menetes di pipi.
“Anak kita cedera Abang,” katanya sambil melihat ke arah kanan, tempat anakku terbaring lemah. Perut bayiku seperti plastik putih transfaran. Usus, jantung dan segala isi perutnya terlihat jelas dari luar. Saat itu juga kubawa dia ke rumah sakit terbaik di kota ini. Aku ingin dia selamat. Apa pun takdirnya, dia adalah putraku. Anak kelima kami.
***
Dokter menyatakan anakku digerogoti oleh empat virus sejak dalam kandungan. Empat virus itu toxoplasma,rubella,CMV, dan herpes (Torch). Virus ini menghancurkan sel telur. Virus itu dinyatakan sebagai penyebab keguguran kandungan yang dialami istriku. Virus pembunuh bayi kami. Tiga hari sudah anakku di ruang persalinan. Dia harus dimasukkan dalam inkubator. Hari kelima, selepas Subuh aku tak mendengar tangisannya. Hanya terdengar suara hujan dan desau angin. Anak kelimaku telah pergi ke surga, menyusul abang dan kakaknya. Aku tak bisa berpikir. Aku hanya tersenyum, tertawa dan sesekali menangis.
“Tuhan begitu kejam,” teriakku.
Seluruh perawat rumah sakit mencoba menenangkan. Ibuku, ibu mertua, dan seluruh kakak ipar menenangkanku. Aku tak bisa berpikir lagi. Ini kutukan, bukan ujian. Sejak saat itu, aku tak tahu siapa diriku. Keluarga membawaku ke rumah sakit jiwa. Mengenakan seragam hijau setiap hari dengan nomor tujuh di depan baju. Tertawa bersama seluruh teman sesama penghuni rumah sakit. Terkadang kami menggelar lomba tawa dan lomba nangis.
Sesekali istriku datang menjenguk. Mencoba mengingatkanku pada pekerjaanku, perusahaan mebelku, pada karyawanku, pada cita-citaku untuk menghajikan ibu dan mertua. Aku bahkan tak mengenal dia. Aku menganggap dia hanya sebagai dokter yang rajin memberikan nasihat dan obat penenang.
“Abang, ini aku istrimu, Lola. Abang, ingat tidak, dulu kita ke air terjun di Lampung, Aceh, Sumatera Utara, dan lainnya. Katamu, air terjun membawa pesan keteguhan hati. Membawa ketenangan dalam raga, dan terpenting bisa menghadirkan ide-ide baru untuk produk usaha mebel kita,” kata istriku perlahan. Ditangannya kulihat sejumlah foto wajahku bersamanya di sejumlah lokasi air terjun. Namun, aku tak mengenalnya.
“Aku tidak mengenal kamu. Pergilah.”
Istriku datang setiap Jumat selama setahun ke rumah sakit ini. Setiap berkunjung dia mengenakan pakaian warna biru. Katanya, itu warna kesukaanku. Biru melambangkan keteduhan. Setiap datang, dia membawa benda-benda yang kusukai seperti stik drum, gitar, dan miniatur Borobudur. Katanya, dulu,kami bertemu pertama kali di candi itu.
Dia selalu tersenyum. Mencoba mengingatkan ku pada seluruh kisah yang telah teruntai dalam sejarah hidup ini.
***
Azan subuh hari itu terdengar berbeda. Aku bisa mengikuti lafat azan dari meunasah (tempat ibadah) di ujung lorong kamarku. Kubangunkan teman di sampingku. Dia hanya menggeliat. Lalu tersenyum dan mengatakan masih mengantuk. Aku baru sadar, kamar ini berbentuk seperti penjara. Teralis besi kokoh di kiri-kanan, depan dan belakang. Aku di rumah sakit jiwa. Di depan kamarku tertulis jelas, kamar pasien laki-laki RSJ Banda Aceh.
Aku berteriak membangukan perawat jaga. Meminta untuk diantar ke meunasah (surau tempat ibadah). Petugas jaga bingung. Dia hanya mengikuti kemauanku. Salat subuh itu begitu aneh. Hanya ada beberapa perawat, imam dan aku. Tidak seperti di kampungku. Sekitar 100 warga selalu menunaikan salat Subuh berjamaah.
***
Istriku datang menjemput. Dokter menyatakan aku telah sembuh. Tidak gila lagi. Antara yakin dan tidak dia membawaku ke rumah. Dia menangis sesenggukkan sambil memelukku. Cobaan datang dan pergi tanpa diundang. Waktu terus berputar mengikuti peradaban manusia. Hari ini, aku kembali mengantarkan istri ke klinik bersalin. Dia sangat tegar. Ini anak keenam kami. Tidak terlihat bekas trauma melahirkan di wajahnya. Senyum tipis mengulas di pipi, seakan menyatakan bahwa dia siap menghadapi persalinan keenam ini.
Sejam di ruangan persalinan, terdengar suara bayi begitu keras. Saling bersahutan. Alhamdulillah. Tuhan memberikanku empat anak sekaligus. Dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka kembar.
Penulis: Masriadi Mambo | Dimas-sambo
EmoticonEmoticon