Selasa, 23 Agustus 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

[Cerpen Horor] Saat Aku Menutup Mata

Gelap... di mana ini? Kenapa aku bisa berada di sini?

Sebuah suara yang muncul entah dari mana berbisik padaku, “apakah kau ingin keluar dari sini? Apakah kau ingin... hidup?”

***

“Lili, li... sadarlah! Tolong! Ada yang jatuh!”

Samar-samar terdengar suara seseorang, nadanya cemas. Kurasakan tangan seseorang mengguncang tubuhku. Uuuh... kepalaku sakit sekali. Guncangan tadi membuat kepalaku semakin berdenyut-denyut.

Saat kubuka mata, kulihat beberapa orang sudah merubungku. Yang paling dekat dengan adalah Ria. Ekspresi wajahnya menunjukkan kecemasan sekaligus rasa lega. Perlahan-lahan aku menyadari kondisiku sendiri. Entah bagaimana, aku sedang tarbaring di lantai di depan tangga sekolah. Ria sedang berlutut menopang kepala dan bagian atas tubuhku. Jadi suara yang kudengar dan guncangan tadi berasal darinya. Sosok-sosok lain yang bisa kukenali sebagai guru dan pelajar sekolahku sedang merubung kami. Wajah mereka nampak ingin tahu.

“Uh... ada apa? Kenapa aku ada di sini?” bisikku bingung.

“Kau tak ingat apa yang terjadi? Baru saja kau terpeleset di atas tangga dan jatuh. Aku tak sempat menarik tanganmu, dan... yah, disinilah kau berada,” ujarnya sambil berusaha memaksakan senyum. “Untunglah kau kelihatannya tak apa-apa... kan?” sambungnya ragu-ragu, “ada yang sakit?” Ria buru-buru memeriksa tangan dan kakiku, mencari kalau ada bagian yang memar atau patah mungkin.

Aku mencoba menggerakkan tubuhku. Selain agak nyeri di beberapa tempat karena memar, kurasa aku baik-baik saja. Rasa sakit di kepala juga berangsur-angsur mereda. Aku mencoba berdiri dengan berpegangan pada Ria. Rasanya tak ada kaki yang terkilir apalagi patah. Selanjutnya barulah kusadari kondisi sekitarku. Uh… jadi tontonan di depan orang banyak benar-benar memalukan. Aku merasa wajahku mulai panas.

Sambil menahan malu, aku tersenyum pada Ria, “lihat, aku tak apa-apa kok. Lili tak mungkin mati begitu saja sebelum kawin!” ujarku sambil mengedipkan mata pada sahabatku itu.

“Dasar! Sudah seperti ini masih saja bercanda. Yah, syukurlah kalau memang tak apa-apa. Tadi itu aku benar-benar panik. Selama beberapa detik kau tampak tak bernapas dan kukira kau sudah... sudah...” suara Ria makin lirih dan matanya berkaca-kaca. Segera kutarik Ria pergi sebelum  tangisnya benar-benar pecah dan kami berdua menjadi tontonan orang satu sekolah.

Di kelas, aku masih berusaha membujuk dan menenangkan Ria yang masih terisak-isak di bangku di sebelahku, “sudah dong, sebentar lagi pelajaran dimulai nih. Seharusnya aku yang nangis nih, kan aku yang jatuh. Kok sekarang malah aku yang harus menghiburmu. Payah ih. Lihat tuh, kita jadi tontonan.”

Akhirnya Ria berhasil menghentikan tangisnya dengan susah payah dan kembali tersenyum. Dia bahkan sempat menjulurkan lidahnya padaku tepat saat guru matematika kami masuk ke dalam kelas.

Sebenarnya, meski di luar berkata seperti itu untuk menenangkan Ria, jauh dalam hati aku juga ketakutan setengah mati. Aku benar-benar beruntung tak mendapat luka serius selain memar di tangan dan kaki. Tapi... benarkah tadi aku jatuh dari tangga? Kenapa aku tak bisa detil ingat kejadiannya? Ah, sudahlah. Toh nyatanya ini bukan kejadian luar biasa dan aku baik-baik saja. Itu yang terpenting kan?

***

Di mana ini? Kenapa aku berada sendirian di sini? Sejak kapan?

Aku berdiri di tengah jalan pada malam hari. Dari rumah-rumah yang berada di sekelilingku, bisa kukenali kalau ini adalah jalan di dalam kompleks perumahan tempatku tinggal. Aku mulai menyusuri jalanan yang sudah kukenal baik, berusaha memastikan posisiku sekarang dibantu cahaya temaram lampu pinggir jalan. Dari plat nomor rumah terdekat, kuketahui kalau aku berada beberapa blok jauhnya dari rumah. Aku berlari menyusuri jalan sambil sesekali melirik plat rumah di kanan dan kiriku, agar jangan sampai gang yang harus kumasuki terlewat.

Belum lama aku berlari, kulihat seorang wanita berdiri di tengah jalan. Kukenali dia sebagai salah seorang penghuni kompleks ini, sama sepertiku. Aku sendiri tak begitu kenal baik dengannya. Kami hanya bertemu sesekali kalau ada acara antar warga kompleks. Yah, setidaknya untuk basa-basi, aku memelankan langkah dan mendekatinya dengan niat menyapa.

Baru saja aku melambaikan tangan padanya, sesosok bayangan mendekatinya dari belakang. Aku ingin berteriak memperingatkannya, tapi suaraku tak mau keluar. Sosok itu sampai di belakangnya, seutas tali tergenggam di tangannya. Sosok itu mengalungkan talinya ke leher wanita itu, mecekiknya. Wanita itu meronta berusaha melepaskan diri, tapi orang yang mencekiknya kebih kuat. Semua perlawanannya sama sekali tak berarti.

Sekali lagi aku berusaha berteriak, menjerit minta tolong pada orang-orang yang tinggal di dalam rumah-rumah di sekitar kami. Tapi tak sedikitpun suara keluar dari tenggorokanku. Aku ingin lari menubruk kedua sosok yang sedang bergulat di depanku, tapi kakiku sama sekali tak mau digerakkan. Sial! Padahal baru saja aku bebas berlari, tapi kenapa sekarang pada saat benar-benar dibutuhkan malah...

Aku hanya bisa diam di tempatku berdiri, tanpa daya menyaksikan saat wanita itu mengejang sebelum akhirnya terkulai lemas. Setelah memastikan kalau korbannya sudah tak bernyawa, si pembunuh melepas tali yang digenggamnya, membiarkan benda itu tersampir di leher korbannya. Dia menyadari keberadaanku dan mulai berjalan mendekat. Sosoknya berada di balik bayangan sepenuhnya hingga aku sama sekali tak bisa melihat wajahnya. Kali ini habislah aku!

***

Aku terbangun di atas ranjangku sendiri dengan peluh membasahi sekujur tubuh. Sinar matahari menerobos masuk melalu jendela di sisi kamar. Harum masakan tercium samar-samar dari luar. Kususun kembali benakku. Sekarang aku berada di kamar, di atas ranjangku sendiri. Jarum jam weker di samping tempat tidur menunjukkan pukul 6 pagi dan semuanya tampak normal seperti biasanya. Tak ada jalanan gelap, tak ada pembunuh dan korbannya. Ternyata kejadian tadi hanya mimpi! Meski begitu, detil mimpi itu masih terbayang dalam otakku. Semua ekspresi wajah korban menjelang kematiaannya masih bisa kuingat jelas.

“Wah, tumben bangun pagi non. Biasanya mami sampai harus teriak sepuluh kali buat bangunin kamu,” tanya mama saat melihatku keluar kamar. Aku hanya bisa membalas komentarnya itu dengan senyum dipaksakan. Habis, aku harus bilang apa? Aku mimpi buruk melihat tetangga kita dibunuh orang?

Aku segera mandi untuk menyegarkan pikiranku yang kusut. Begitu keluar dari kamar mandi, papa sudah duduk di meja makan, minum kopi sambil menonton acara berita olahraga pagi kesukaannya. Aku membuat susu dan roti bakar kemudian bergabung dengan papa ikut menonton televisi. Belum lama aku duduk, penyiar di layar televisi mengumumkan selingan berita:

“Kami hentikan sesaat laporan dari lapangan sepakbola untuk berita sekilas. Tadi pagi pada pukul 4 dini hari telah ditemukan sesosok mayat wanita tergeletak di tengah jalan di kompleks perumahan Griya Indah blok 2. Seutas tali sepanjang sekitar satu meter tertinggal di leher korban. Dari kondisinya, diperkirakan korban tewas dicekik dengan tali itu sebagai alat pembunuhnya. Yang pertama kali menemukan korban adalah satpam perumahan yang melintas di TKP. Dari kesaksian warga yang rumahnya berada di sekitar TKP, korban adalah salah seorang tetangganya yang tinggal di...”

Sembari si pembawa acara membacakan laporan, kamera menyorot ke arah sosok seorang wanita yang terbaring di jalan. Wajah, penampilan, serta kondisinya persis seperti yang kulihat dalam mimpi semalam!

“Lho, itu kan perumahan kita. Jaraknya cuma beberapa blok dari rumah ini. Si korban itu bukannya Bu Santi yang rumahnya di...” komentar mama. Aku tak mampu lagi mendengar lanjutan berita televisi ataupun obrolan seru mama dengan papa membahas pembunuhan yang terjadi di dekat rumah. Hawa dingin terasa merambati sekujur tubuhku, membuatku mual. Separuh roti yang kumakan terasa ingin melompat keluar. Aku segera berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua sarapanku ke dalam toilet.

Mama menepuk-nepuk punggungku dan dengan nada khawatir berkata, “kenapa? Masuk angin? Apa perlu ijin nggak masuk sekolah?”

“Nggak, nggak apa-apa kok. Habis muntah rasanya sudah lebih baikan,” kelitku. Aku ingin buru-buru pergi ke sekolah. Aku tak sanggup kalau harus berada dekat-dekat dengan tempat wanita itu terbunuh sepanjang hari. Setidaknya, nanti sore saat pulang sekolah, mayat wanita itu pasti sudah dipindahkan ke tempat lain.

***

Aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi saat mendengar pelajaran di kelas. Pikiranku selalu kembali pada mimpi semalam. Kenapa bisa begini? Aku bermimpi buruk dan mimpi buruk itu jadi nyata?

“Hei, melamun aja sih? Hayooo... mikirin siapa yaaa...?” goda Ria jahil sambil sesekali menyenggolku.

“Berisik ah! Sudah jangan ganggu aku, entar kita dimarahin. Tahu sendiri deh kalau pak Heri itu...” belum juga ucapan itu selesai, guru yang terkenal galak itu berbalik. Aku dan Ria buru-buru menunduk dan pura-pura menekuni buku pelajaran masing-masing. Beruntung Pak Heri tak memergoki kami. Begitu Pak Heri memandang ke arah lain, aku diam-diam mengangsurkan kertas bertuliskan ‘akan kuceritakan semuanya nanti saat istirahat’ pada Ria. Diapun berhenti menggangguku untuk sementara.

Begitu istirahat, kuceritakan semua mimpi dan berita tadi pagi padanya. Ria, yang memang memiliki minat aneh pada hal yang berbau supernatural malah berkomentar dengan mata membelalak, “wah, kalau begitu kau bisa meramal pakai mimpi dong! Keren bangeeet!”

“Hus! Pelankan suaramu. Ngaco aja, apanya yang keren? Memangnya lihat adegan pembunuhan di depan mata itu enak? Sampai sekarang juga bayangan mimpi buruk itu nggak mau hilang. Kenapa jadi begini?”

“Eh, aku pernah baca dari buku, katanya setiap orang itu punya kemampuan tersembunyi, loh. Banyak yang seumur hidup nggak tahu potensinya sendiri. Dan aku juga baca, salah satu cara mengeluarkan potensi itu adalah kalau mengalami trauma berat. Kamu kan kemarin habis jatuh, dan sekarang tiba-tiba bisa melihat kejadian-kejadian dalam mimpi. Jangan-jangan kalau malam jiwamu melayang keluar untuk melihat pembunuhan itu. Wah kalau aku yang jatuh, kira-kira punya kemampuan apa ya...” ujarnya cekikikan.

“Huh, memangnya enak ya jatuh dari tangga? Ya udah, kalau kamu mau, sini kita ke tangga, biar kudorong kamu jatuh,” candaku sambil menariknya ke arah tangga. Ria berkelit dan melepas tanganku sambil tertawa-tawa. Aku membatin, apakah benar ‘potensiku’ keluar gara-gara jatuh kemarin? Kalau benar seperti kata Ria, berarti kebetulan saja ketika jiwaku keluar yang kulihat malah adegan pembunuhan.

***

Bukan. Itu sama sekali bukan kebetulan.

Bukan hanya malam itu saja aku bermimpi melihat sesosok bayangan membunuh orang. Sejak saat itu, tiap malam aku bermimpi menyaksikan si pembunuh melakukan aksinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Pagi harinya aku selalu terbangun dengan peluh membasahi sekujur tubuh. Aku hanya bisa berharap tidak muncul berita pembunuhan-pembunuhan itu di televisi maupun media yang lain. Bahwa yang kulihat semalam hanya sekedar mimpi. Harapanku tak pernah terkabul. Satu hari setelah bermimpi, selalu muncul berita kematian orang-orang itu, dengan kondisi dan cara kematian yang sama persis dengan yang kulihat di dalam mimpi. Dan pelakunya belum juga ditemukan.

Sudah lewat seminggu sejak aku pertama kali bermimpi. Pembunuhan beruntun itu selalu terjadi malam hari, satu orang tiap malam, dan berarti sekarang sudah memakan 7 orang korban. Korbannya selalu ditemukan tak jauh dari kompleks perumahan ini, dan tak ada kesamaan di antara mereka selain kenyataan kalau mereka kebetulan berada tempat kejadian dan sendirian. Satpam perumahan memberlakukan ronda secara rutin dan jam malam sejak kasus kedua terjadi tapi sama sekali tak membuahkan hasil. Makin lama aku makin takut untuk menutup mata dan tidur karena mimpi buruk itu selalu menghantuiku. Kenapa harus aku?

Ketika kejadian ini kuceritakan pada Ria, dia malah tampak semakin bersemangat. Ujarnya, “wah, bukannya hebat itu? Berarti kan cuma kamu yang bisa melihat si pembunuh itu beraksi. Nah, kalau begitu, nanti malam saat kamu mimpi buruk dan si pelaku beraksi lagi, usahakan untuk melihat dengan jelas wajah dan postur tubuh si pelaku. Kan dengan begitu kamu bisa lapor ke polisi dan segera menangkap pelakunya. Bayangkan deh penghargaan yang bakal kamu terima. He… 'Lili sang detektif mimpi mengungkap pelaku kasus pembunuhan beruntun'. Waw, kamu bakal jadi orang terkenal tuh,” katanya berapi-api.

Kadang aku heran dengan pola pikir Ria yang selalu optimis dan menganggap enteng semua masalah. Itu ditambah minatnya pada hal-hal yang berbau supernatural membuatnya menjadi pribadi yang unik. Justru karena itu jugalah aku bisa menceritakan semua masalahku padanya. Rasanya Ria selalu bisa diandalkan untuk menemukan cara penyelesaian suatu masalah. Dan idenya tadi rasanya boleh juga. Ya, aku tak boleh takut mendapat mimpi itu. Mungkin kemampuan melihat mimpi-mimpi itu adalah anugrah agar aku bisa menolong orang lain. Bila sebelumnya aku takut tertidur, kali ini aku justru tak sabar untuk menutup mata.

***

Kegelapan itu datang lagi, dan kali ini aku menerimanya dengan tenang. Kuperhatikan sekelilingku. Samar-samar kukenali bagian depan rumahku sendiri. Ada seseorang berjalan mendekat. Saat melintas di bawah lampu jalan, sinar temaramnya menerangi wajah sahabatku, Ria. Rumahnya memang tak jauh dari kompleks ini, jadi Ria terbiasa berjalan kaki kalau main ke rumahku. Tapi untuk apa Ria malam-malam ke sini?

Si pembunuh lagi-lagi muncul dari balik kegelapan dan menyerang Ria. Aku berteriak tapi sia-sia, tak ada suara yang keluar. Tak akan kubiarkan! Kali ini tak akan kubiarkan sahabatku menjadi korban. Kukerahkan segenap tenaga untuk berlari. Dengan susah payah kakiku bergerak, tapi masih terlalu lamban. Upayaku terlambat karena kulihat tubuh Ria sudah tergolek lemas dalam posisi janggal seperti boneka rusak.

Meski pedih, aku tak boleh bangun dulu. Aku harus mengenali wajah si pelaku. Hanya ini yang bisa kulakukan demi sahabatku. Kudekati si pelaku yang tampaknya sama sekali tak kaget apalagi takut dengan keberadaanku sebagai saksi mata. Dia mendongakkan kepalanya dan kulihat wajahku sendiri. Sorot matanya – mataku – dingin bagai es…

***

Akhirnya aku ingat sekarang apa yang terjadi saat aku jatuh dari tangga.

Waktu itu aku pingsan – atau mati suri - dan kesadaranku melayang ke dunia di antara hidup dan mati. Mungkin hanya itu yang bisa digunakan untuk menggambarkan kegelapan yang kulihat saat itu.

Aku benar-benar takut. Benarkah aku sudah mati? Aku belum lulus sekolah, belum merasakan kuliah dan bekerja, juga belum merasakan mencintai dan dicintai. Aku belum bisa membuat mama dan papa bahagia. Bagaimana perasaan mereka bila harus menguburkan anak mereka? Mana boleh aku mati?

Di tengah kepedihan yang mendera, kudengar sebuah suara, “apakah kau ingin keluar dari sini? Apakah kau ingin... hidup?”

“Tentu saja! Aku masih muda, belum saatnya aku mati. Masih banyak yang ingin kulakukan!”

“Kau bisa hidup kembali, tapi ada bayarannya. Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Untuk satu hari yang kau lalui kau harus menggantinya dengan nyawa orang lain. Bagaimana?”

“Maksudnya… itu berarti akan ada orang yang mati tiap hari untuk menggantikanku? Ke… kejam sekali…”

“Yah, itu adalah pilihan untukmu. Bila kau tak mau, silakan melanjutkan perjalanan ke dunia lain. Cepatlah… waktumu tak banyak. Toh dunia ini sudah penuh dengan manusia. Bertambah satu orang lagi yang mati tiap hari juga tak ada pengaruhnya. Kau tak perlu sok mempedulikan orang lain, deh.”

Benar… apa peduliku dengan hidup mati orang lain. Bukankah tiap hari juga sudah banyak orang yang mati dengan berbagai sebab? Asalkan bukan orang yang kusayangi, rasanya takkan terlalu berat, kan. Karena itu kujawab, “aku setuju.”

***

Paginya, berita tentang ditemukannya jenasah Ria di depan rumahku langsung tersebar luas. Ibunya bercerita kalau Ria memang minta ijin ke rumahku malam itu karena kutelepon. Karena tak ada saksi atau bukti yang membuat aku dan keluargaku dicurigai, polisi hanya mengangkut jenasahnya ke kantor polisi untuk diotopsi. Sepanjang hari aku hanya membisu dan tak bereaksi apapun. Kedua orang tuaku mengira kalau sikapku ini karena aku terlalu terguncang telah kehilangan sahabatku. Mereka mengijinkanku membolos sekolah hari ini. Mama berniat minta ijin dari kantornya untuk menemaniku hari ini, tapi aku menolaknya. Kukatakan padanya kalau aku hanya ingin sendiri di rumah.

Sudah kuputuskan. Aku akan mengakhiri kesepakatan gila itu. Tidak seharusnya aku membuat perjanjian itu dan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Tapi sudah terjadi tak bisa ditarik kembali. Sekarang hanya ada satu jalan yang bisa kutempuh untuk menghentikan semua kegilaan ini.

Kucuri sebotol obat tidur dari lemari obat di kamar kedua orang tuaku. Mama menyimpannya hanya untuk berjaga-jaga kalau kesulitan tidur. Karena hampir tak pernah dipakai, isinya masih cukup penuh. Kutenggak semua pil di dalamnya hingga tak bersisa. Seharusnya dosis ini cukup untuk membuatku tertidur untuk selamanya.

Sesak… jadi ini yang dirasakan Ria saat si pembunuh – aku – mencekiknya. Kutahan penderitaan ini dengan harapan semuanya akan segera berakhir. Rasa kantuk tak tertahankan mulai menyerang. Kali ini aku akan bisa tidur tanpa perlu lagi bermimpi buruk. Satu-satunya penyesalan hanyalah aku tak sempat mengucapkan perpisahan dengan mama dan papa.

***

Saat kubuka mata, cahaya terang menusuk-nusuk mataku. Apakah ini alam kematian? Kenapa terang begini?

“Lili! Akhirnya kau sadar! Apa maumu? Nekat bunuh diri karena Ria tewas? Bisa-bisanya kau menelan obat tidur sebanyak itu. Untung mami memutuskan tak jadi ke kantor karena mencemaskan kondisimu. Coba kalau tidak… oh, kau benar-benar bodoh,” kata mama di sela-sela isak tangisnya. Kusadari kalau aku terbaring di ranjang rumah sakit. Selang-selang infus terpasang di lenganku.

Ingin sekali aku mengangkat tanganku untuk menghapus air matanya dan minta maaf, tapi seluruh tubuhku tak bisa digerakkan. Bukan, bukannya tak bisa digerakkan. Rasanya tubuhku sudah bukan milikku lagi. Tanganku bergerak sendiri tanpa kuinginkan. Aku juga mendengar suaraku mengucapkan kata-kata yang bukan berasal dari benakku.

Aku masih bisa melihat dan mendengar semuanya, tapi hanya itu. Aku sudah tak punya kendali atas tubuhku lagi karena tubuh ini sekarang dikuasai sepenuhnya oleh kesadaran yang lain, kesadaran si pembunuh. Aku yang sekarang hanyalah seonggok kesadaran di sudut hati yang terdalam. Terpenjara dalam benakku sendiri untuk selamanya.

Aku teringat dengan kisah Dr. Jeckyl dan Mr. Hyde. Ya, aku tak pernah membuat kesepakatan dengan iblis manapun karena semuanya adalah halusinasi yang mucul saat aku di ambang kematian. Si pembunuh adalah sisi lain diriku yang selama ini terkurung. Dia bebas saat kepalaku terbentur waktu itu.

Niatku untuk mengakhiri semua mimpi buruk ini ternyata menjadi bumerang. Bukannya menyingkirkan si pembunuh, aku malah membuatnya bebas menguasai diriku selamanya. Dan sekarang, aku harus mengalami semua mimpi buruk itu lagi… tanpa perlu menutup mata.

Penulis: Kurenai86 | Kemudian


EmoticonEmoticon