04:00- Pemilik Toko
KRIIIINGGG! KRIIIINGGG!
“Aduuuuh siapa sih menelepon toko jam segini?!”
KRIIIINGGG!
“IYA IYA! Halo?”
“Ha..lo?”
“Iya, siapa ini?”
“Sa.. saya.. mau pesan peti mati..”
“Kok subuh-subuh gini, Mas? Ini dengan siapa ya?”
“Saya Sandy..”
“Mas Sandy mau pesan peti mati untuk siapa mas?”
“Untuk.. saya sendiri..”
“HAH?!”
***
03:45- Sandy
Aduh, kepalaku. Mana motor sialan itu? Baru saja aku akan menyeberang jalan, tiba-tiba ada pengendara tak tahu diri yang menyetir dengan kecepatan entah berapa. Mentang-mentang sudah subuh dan jalanan sudah sepi. Mana sempat aku lari? Aku pun sedang mabuk tadi.
Eh, tunggu dulu. Dimana aku ini? Tadi tempatku tertabrak bukan di tengah-tengah padang ilalang begini! Padang ini luas sekali. Tapi bagaimana aku bisa sampai ke sini? Tunggu. Tadi aku memang merasa seperti sedang melayang.
ASTAGA! Aku pasti sudah mati. Ya ampun, aku sudah mati! Tadi aku pasti terbang meninggalkan jasadku. Tapi dimana dia sekarang? Dimana jasadku? Pasti pengendara motor tak tahu diri itu meninggalkannya di tengah jalan tadi. Aduuuuh, ringan sekali. Apa begini rasanya roh kehilangan badan? Seperti sedang mabuk? Aku tak mungkin jalan sekarang. Tapi kenapa aku tak bisa terbang ya? Mungkin karena aku sudah sampai tujuan.
Lalu bagaimana aku menghubungi Mila istriku? Eh, telepon genggamku masih ada disini. Pasti Tuhan ingin dia tahu. Tidak, tidak mungkin. Aku tidak mungkin meneleponnya, ia pasti ketakutan. Aaah, aku tahu. Sepertinya aku masih menyimpan nomor telepon tempat pemesanan peti mati waktu ibu meninggal dulu. Aku pesan saja, biar mereka menghubungi Mila, lalu ia akan mencari jasadku. Ya, betul.
***
04:30- Mila
“Ja.. Jadi.. Suami saya beneran sudah meninggal?”
Meski awalnya tak percaya, akhirnya air mata Mila tumpah juga. Baru saja pria dari toko itu meneleponnya, memberi kabar yang aneh tapi nyata. Suaminya baru saja memesan peti mati untuk dirinya sendiri. Ah, Sandy. Kamu memang pemabuk dan mata keranjang, tapi kamu tetap suamiku yang sangat aku sayang. Lalu sekarang aku harus bagaimana? Dimana jasadmu, Sayangku?
Mila bersiap-siap secepat mungkin. Ia memutuskan pergi ke kantor polisi. Biar polisi yang membantunya mencari jasad Sandy. Pikirannya betul-betul kacau. Ia masih tak habis pikir; baru saja tadi ia ketiduran di sofa ruang tengah menunggu suaminya itu pulang ke rumah, yang datang malah berita aneh yang menyedihkan. Tepat pukul lima pagi, Mila siap berangkat.
TING TONG!
Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aduh, ada apa lagi ini? Siapa juga yang mau bertamu jam lima pagi? Mila membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Dan..
“LHO?!”
***
04.15- Sandy
“Permisi Pak..” sapa sebuah suara di belakang Sandy.
“Lho, Bapak-Bapak ini siapa? Kok ada disini? Sudah mati juga ya? Nah kamu, ngapain di sini? Kamu kan yang tadi nabrak saya!”
“Hah? Mati? Bapak ini ngomong apa sih?”
“Iya, mati! Saya kan sudah mati, saya baru saja pesan peti mati buat saya sendiri.. Lho kenapa malah pada lihat-lihatan? Ini ada apa sih sebenarnya?”
“Pak, yang mati itu siapa? Kami ini polisi, tadi orang ini datang ke kantor polisi menyerahkan diri, katanya dia baru saja melakukan tabrak lari. Karena ketakutan, sebelum pergi ia memindahkan tubuh Bapak kesini, karena sepertinya Bapak tidak sadarkan diri.”
Jadi yang tadi terasa seperti sedang melayang itu..
“Jadi saya masih hidup? Belum mati?”
“Bapak ini ada-ada saja. Ya belum, Pak.. Coba dipegang dadanya.. Jantungnya masih berdetak kan?”
Sandy hanya bisa tertawa malu, membayangkan istrinya menertawakannya sampai puas.
***
05.00- Mila, Sandy, dan Polisi
“Begini Bu, kami mengantar suami Ibu pulang, tadi kami menemukannya di padang rumput dekat jalan Kenanga,” kata pria berseragam coklat itu. Di belakangnya ada Sandy, suaminya, dengan baju compang-camping dan kepala tertunduk. Mila lega, tapi juga semakin bingung.
“Ja.. jadi kamu belum mati, Mas? Masih hidup? Tapi kok tadi..”
“Iya, aku.. aku kira tadi aku sudah mati, habis kan yaaa..enggg… kamu tau sendiri tadi aku.. kebanyakan minum..”
Mila tak kuasa menahan tawa, hingga keluar lagi air matanya.
“Hahahahahahahah.. Aduh Maaaas.. Makanya sebelum mati jangan mabuk dulu! Sudah, ayo masuk!”
“Kalau begitu kami kembali ke kantor, permisi Pak, Bu,” pria-pria berseragam itu berpamitan pada Mila dan Sandy, sebelum masuk ke mobil dan mengeluarkan tawa terbahak-bahak yang sejak tadi ditahan.
Paginya bisa ditebak. Suasana di kantor polisi menjadi ramai, ceria, dan penuh derai tawa. Demikian juga dengan toko peti mati yang baru menerima pembatalan pemesanan. Semuanya berkat sebuah berita tentang seorang pria mabuk yang memesan peti mati untuk dirinya sendiri.[]
Penulis: Disa Tannos | ceritapendekfiksimini
KRIIIINGGG! KRIIIINGGG!
“Aduuuuh siapa sih menelepon toko jam segini?!”
KRIIIINGGG!
“IYA IYA! Halo?”
“Ha..lo?”
“Iya, siapa ini?”
“Sa.. saya.. mau pesan peti mati..”
“Kok subuh-subuh gini, Mas? Ini dengan siapa ya?”
“Saya Sandy..”
“Mas Sandy mau pesan peti mati untuk siapa mas?”
“Untuk.. saya sendiri..”
“HAH?!”
***
03:45- Sandy
Aduh, kepalaku. Mana motor sialan itu? Baru saja aku akan menyeberang jalan, tiba-tiba ada pengendara tak tahu diri yang menyetir dengan kecepatan entah berapa. Mentang-mentang sudah subuh dan jalanan sudah sepi. Mana sempat aku lari? Aku pun sedang mabuk tadi.
Eh, tunggu dulu. Dimana aku ini? Tadi tempatku tertabrak bukan di tengah-tengah padang ilalang begini! Padang ini luas sekali. Tapi bagaimana aku bisa sampai ke sini? Tunggu. Tadi aku memang merasa seperti sedang melayang.
ASTAGA! Aku pasti sudah mati. Ya ampun, aku sudah mati! Tadi aku pasti terbang meninggalkan jasadku. Tapi dimana dia sekarang? Dimana jasadku? Pasti pengendara motor tak tahu diri itu meninggalkannya di tengah jalan tadi. Aduuuuh, ringan sekali. Apa begini rasanya roh kehilangan badan? Seperti sedang mabuk? Aku tak mungkin jalan sekarang. Tapi kenapa aku tak bisa terbang ya? Mungkin karena aku sudah sampai tujuan.
Lalu bagaimana aku menghubungi Mila istriku? Eh, telepon genggamku masih ada disini. Pasti Tuhan ingin dia tahu. Tidak, tidak mungkin. Aku tidak mungkin meneleponnya, ia pasti ketakutan. Aaah, aku tahu. Sepertinya aku masih menyimpan nomor telepon tempat pemesanan peti mati waktu ibu meninggal dulu. Aku pesan saja, biar mereka menghubungi Mila, lalu ia akan mencari jasadku. Ya, betul.
***
04:30- Mila
“Ja.. Jadi.. Suami saya beneran sudah meninggal?”
Meski awalnya tak percaya, akhirnya air mata Mila tumpah juga. Baru saja pria dari toko itu meneleponnya, memberi kabar yang aneh tapi nyata. Suaminya baru saja memesan peti mati untuk dirinya sendiri. Ah, Sandy. Kamu memang pemabuk dan mata keranjang, tapi kamu tetap suamiku yang sangat aku sayang. Lalu sekarang aku harus bagaimana? Dimana jasadmu, Sayangku?
Mila bersiap-siap secepat mungkin. Ia memutuskan pergi ke kantor polisi. Biar polisi yang membantunya mencari jasad Sandy. Pikirannya betul-betul kacau. Ia masih tak habis pikir; baru saja tadi ia ketiduran di sofa ruang tengah menunggu suaminya itu pulang ke rumah, yang datang malah berita aneh yang menyedihkan. Tepat pukul lima pagi, Mila siap berangkat.
TING TONG!
Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Aduh, ada apa lagi ini? Siapa juga yang mau bertamu jam lima pagi? Mila membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Dan..
“LHO?!”
***
04.15- Sandy
“Permisi Pak..” sapa sebuah suara di belakang Sandy.
“Lho, Bapak-Bapak ini siapa? Kok ada disini? Sudah mati juga ya? Nah kamu, ngapain di sini? Kamu kan yang tadi nabrak saya!”
“Hah? Mati? Bapak ini ngomong apa sih?”
“Iya, mati! Saya kan sudah mati, saya baru saja pesan peti mati buat saya sendiri.. Lho kenapa malah pada lihat-lihatan? Ini ada apa sih sebenarnya?”
“Pak, yang mati itu siapa? Kami ini polisi, tadi orang ini datang ke kantor polisi menyerahkan diri, katanya dia baru saja melakukan tabrak lari. Karena ketakutan, sebelum pergi ia memindahkan tubuh Bapak kesini, karena sepertinya Bapak tidak sadarkan diri.”
Jadi yang tadi terasa seperti sedang melayang itu..
“Jadi saya masih hidup? Belum mati?”
“Bapak ini ada-ada saja. Ya belum, Pak.. Coba dipegang dadanya.. Jantungnya masih berdetak kan?”
Sandy hanya bisa tertawa malu, membayangkan istrinya menertawakannya sampai puas.
***
05.00- Mila, Sandy, dan Polisi
“Begini Bu, kami mengantar suami Ibu pulang, tadi kami menemukannya di padang rumput dekat jalan Kenanga,” kata pria berseragam coklat itu. Di belakangnya ada Sandy, suaminya, dengan baju compang-camping dan kepala tertunduk. Mila lega, tapi juga semakin bingung.
“Ja.. jadi kamu belum mati, Mas? Masih hidup? Tapi kok tadi..”
“Iya, aku.. aku kira tadi aku sudah mati, habis kan yaaa..enggg… kamu tau sendiri tadi aku.. kebanyakan minum..”
Mila tak kuasa menahan tawa, hingga keluar lagi air matanya.
“Hahahahahahahah.. Aduh Maaaas.. Makanya sebelum mati jangan mabuk dulu! Sudah, ayo masuk!”
“Kalau begitu kami kembali ke kantor, permisi Pak, Bu,” pria-pria berseragam itu berpamitan pada Mila dan Sandy, sebelum masuk ke mobil dan mengeluarkan tawa terbahak-bahak yang sejak tadi ditahan.
Paginya bisa ditebak. Suasana di kantor polisi menjadi ramai, ceria, dan penuh derai tawa. Demikian juga dengan toko peti mati yang baru menerima pembatalan pemesanan. Semuanya berkat sebuah berita tentang seorang pria mabuk yang memesan peti mati untuk dirinya sendiri.[]
Penulis: Disa Tannos | ceritapendekfiksimini
EmoticonEmoticon