Kamis, 25 Agustus 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

[Cerpen Horor] Algojo Maut

Perkenalkan, namaku Jimmy. Lengkapnya, aku tak perlu menyebutkannya, karena aku takut Anda akan terus mengingat namaku. Kasihan sekali Anda jika tahu nama lengkapku, karena otak Anda akan diisi oleh sesuatu yang –menurutku- kurang berarti. Aku sarjana ekonomi lulusan dari sebuah universitas ternama. Kalau ditulis lengkap, namaku akan menjadi Jimmy……… SE. Hebat bukan?

Namun, aku sering dipanggil dengan nama Jack. Apa hubungannya? Jangan dibahas terlalu lanjut. Dan aku rasa itu bukan hal penting. Banyak sekali nama panggilan yang sangat jauh berbeda dan kelihatannya sama sekali tak ada hubungannya dengan nama asli. Kalau nama panggilanku Jack, minimal masih ada hubungannya bahwa keduanya sama-sama diawali dengan huruf J.

Profesiku? Mungkin Anda akan mengira aku bekerja di sebuah perusahaan besar dengan gaji besar. Berpenampilan parlente dengan menenteng tas ke mana-mana. Bukan, bukan itu. Aku sangat jauh dari kesan itu: seorang eksekutif muda yang jadwal hari-hari dipenuhi rapat dan rapat, ketemu relasi bisnis, seorang pekerja yang tak pernah kekurangan uang di kantong, dompet dan rekeningnya, yang jika berbelanja hanya tinggal menggesekkan kartu kredit.

Sekarang aku akan memberitahukan apa pekerjaanku. Dan, ini penting, Anda harus mencatatnya, sekaligus……waspada! Pekerjaanku adalah pembunuh bayaran!

Tentang profesi yang mengerikan ini, aku juga tidak tahu pasti mengapa ada profesi seperti itu di dunia ini. Sangat jauh dari ilmu yang aku pelajari selama kuliah. Tapi itulah, di negara tercinta ini sudah terlalu banyak sarjana sehingga lapangan pekerjaan yang sedikit itu pun harus diperebutkan oleh orang yang di belakang namanya dipenuhi dengan gelar. Pekerjaan seperti sebutir gula yang diperebutkan oleh ribuan semut. Dan karena aku gagal bersaing untuk mendapat pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikanku, apa boleh buat, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi, akhirnya aku memilih pekerjaan ini.

Aku cukup bersyukur. Di tengah persaingan hidup yang semakin sengit, pekerjaanku masih jalan terus. Pekerjaanku tidak pernah terkena imbas krisis global. Bahwa sering ada orang yang kena PHK, aku sama sekali tak pernah mengalami hal itu. Ya, Anda harus tahu, kalau Anda sering menonton berita kriminal di televisi, banyak sekali terjadi peristiwa pembunuhan. Tahukah Anda, bahwa dari yang mati itu ada yang merupakan korbanku? Aku sangat beruntung, polisi tak bisa melacak jejakku. Bukankah ada adagium, penjahat selalu selangkah lebih maju dari polisi? Mungkin Anda menganggap aku sebagai pembunuh profesional yang sangat lihai. Terima kasih kalau Anda berpikir begitu, artinya Anda memberi apresiasi pada pekerjaanku.

Tentang polisi yang selalu gagal mencium jejakku, aku tak tahu kenapa. Padahal aku tak pernah secara khusus belajar keterampilan membunuh secara canggih, yang jejaknya tak bakal diketahui polisi. Aku menjadi percaya, bahwa nasib baik dan keberuntungan itu memang ada. Dan selalu lolosnya aku dari tangkapan polisi adalah salah satu keberuntungan itu.

Order pembunuhan yang pertama kali kuterima datang dari seorang pemilik toko. Aku tak akan menyebutkan jenis tokonya itu. Aku takut Anda akan mencurigai orang itu. Toko itu menghidupi banyak karyawan. Kasihan jika karyawan-karyawan itu mesti kehilangan pekerjaannya jika banyak orang seperti Anda akan memboikot toko itu.

Dia menyuruhku karena benci usahanya disaingi. Ya, pada awalnya toko pengorder jasaku ini masih bisa mengimbangi toko saingannya. Namun pelan-pelan, para pelanggannya mulai beralih ke toko saingannya itu. Pengorderku merugi. Ia mendapat modal dari mengutang. Karena ia tak bisa membayar utangnya, ia semakin benci pada saingannya dan berniat menghabisinya. Tapi ia bingung bagaimana caranya menghabisi nyawa pemilik toko rival bisnisnya. Ia takut tertangkap polisi.

Beruntung saat itu aku sedang membeli suatu barang di tokonya. Aku bilang padanya, aku sangat butuh barang itu tapi tak mampu membayarnya. Ia pun mengatakan bahwa usahanya mulai seret. Ia berkeluh kesah tentang keuntungannya yang semakin hari semakin menyusut. Lantas aku bilang, akan bekerja menjadi pelayan di tokonya. Ia menjawab bahwa ia sudah tak mampu lagi membayar karyawan. Lalu aku mengatakan apa pun akan kulakukan untuk membayar sebagai kompensasi kalau aku telah mengambil barangnya. Secara tak terduga, dia memanggilku masuk ke ruangan kecil yang sunyi. Di situ dia mengeluarkan ide gila untuk membunuh pemilik toko yang membuat usahanya bangkrut. Gilanya, aku menyanggupi untuk membunuhnya. Bukankah aku sudah mengatakan akan melakukan apa saja untuk membayar barang yang kuambil itu?

Selama dua hari aku selalu datang kepadanya, berdiskusi dengan cara apa aku harus membunuh saingannya. Kami saling bertukar pendapat tentang cara yang paling aman dari kecurigaan polisi. Dan akhirnya kami sepakat membunuhnya dengan suatu cara. Cara apa itu? Aku tak akan menjelaskannya di sini. Takut kalau Anda tertarik untuk mengikutinya. Bisa-bisa orderku berkurang, diserobot oleh Anda!

Pemilik toko saingannya itu seminggu kemudian mati di tanganku. Pengorderku senang bukan main. Ia memberiku uang dua juta. Tapi aku menolaknya. Dalam perjanjian sebelumnya tak ada kesepakatan kalau aku akan menerima imbalan uang. Aku menganggap pembunuhan itu sesuai dengan nilai barang yang kuambil darinya. Ya, mau apa lagi, kalau sedang butuh, tak ada nilai yang sanggup menghargai sebuah barang.

Dari mulut ke mulut, kabar tentang keberhasilanku membunuh yang tak mampu terlacak oleh polisi menyebar secara rahasia. Aku diberitahu oleh pengorder pertamaku bahwa ada temannya yang akan menyewa jasaku. Akhirnya aku meminta handphone pada pengorder pertamaku -dan ia tak keberatan- agar memudahkan berkomuniksi dengan pengorder selanjutnya.

Mulailah aku menjalani sepak terjang sebagai seorang pembunuh profesional. Banyak dari pengorder langsung menyebutkan harga untuk nyawa orang yang aku bunuh itu. Sangat menggiurkan. Kalau sepuluh kali saja aku mendapat order membunuh, aku akan langsung jadi orang kaya. Jika telah menjadi kaya, aku berjanji akan mulai usaha dengan jalan yang benar, tentu dengan strategi membangun yayasan untuk membantu kerja pemerintah mengentaskan kemiskinan dan merawat anak-anak terlantar.

***

[Cerpen Horor] Algojo Maut
Sekarang aku akan menceritakan order terakhir pembunuhan yang kuterima. Anda adalah orang yang beruntung karena mengetahuinya. Jarang-jarang lho.

Aku sedang tiduran di kasur butut sambil merokok dan menikmati segelas kopi.

Tiba-tiba sebuah sms masuk ke nomor handphone-ku.

“Bisa Anda ke Jl Melati 20? Sangat penting.” Begitu isi sms itu.

Aku langsung membalasnya. “Bisa. Kapan? Sekarang?”

“Iya. Sekarang.”

Aku segera mengambil jaket kulit dan keluar menyetop taksi. Malam yang pekat dengan udara dingin cukup membuat kota yang siang hari sangat menggeliat ini mati.

Tak ada keramaian seperti yang terjadi di siang hari.

Setelah berdiri di pinggir jalan, sekitar seperempat jam, akhirnya aku mendapat sebuah taksi.“Jalan Melati,” kataku.

Sopir taksi langsung menjalankan taksinya tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. Aku lebih banyak diam dari pada mengajak sopir untuk bercakap-cakap, meski sekadar omong kosong yang akan menghangatkan suasana malam yang begitu dingin ini.

Jalan Melati sangat sepi. Seperti bagian lain kota ini, seperi seorang tua renta yang kehabisan tenaga sehingga tak mampu bergerak sedikitpun. Aku mencari rumah benomor 20. Ketemu. Sudah gelap memang, tapi sebuah lampu lima watt yang menyala cukup memberi bukti bahwa memang betul ada orang memintaku untuk datang ke tempat ini.

“Selamat datang, Jack. Saya sangat butuh jasa Anda,” katanya. Ia seorang laki-laki parlente yang masih memakai setelan jas rapi, meski hari sudah malam begini.

“Siapa yang mesti saya bunuh?” tanyaku setelah duduk di sofa butut yang di sana-sini sudah berlubang.

“Ini alamatnya,” ia menyodorkan secarik kertas padaku “Dan ini fotonya,” lanjutnya sambil menyerahkan selembar foto bergambar laki-laki tua yang dandanannya tak kalah parlente dengan pengorderku ini.

“Kapan nyawanya harus keluar dari tubuhnya?” tanyaku sambil mengambil sebatang rokok filter dan menyelipkannya di bibir.
“Malam ini.”

Secepat itukah? Pertanyaan ini batal kulontarkan. Sebagai pembunuh profesional, aku memang dituntut siap bekerja kapan saja. Kapan diperintah untuk membunuh, saat itu juga aku akan membunuh.

“Ini dp-nya. Sisanya setelah pekerjaan Anda selesai,” ia menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku tak tahu berapa isinya, karena langsung kumasukkan ke saku jaket. Tabu bagiku untuk tahu berapa ongkos tiap nyawa yang kucabut.

Aku segera melesat menembus malam yang dingin. Rokok yang kuhisap cukup untuk menghangatkan tubuh yang mulai diserang bermacam penyakit ini. Jalan Wisanggeni 35. Itu adalah alamat yang diberikan pengorderku di Jl Melati 20.

Entahlah, aku merasa kurang nyaman malam ini. Tidak seperti biasanya, aku akan sangat bersemangat untuk menghabisi nyawa seseorang. Menyaksikan orang mati terkapar oleh tanganku, ada kepuasan tersendiri. Anda bilang aku sadis? Itu terserah Anda. Yang penting aku puas, dapat uang banyak. Sederhana bukan?

Tapi nyatanya, aku bukan termasuk orang yang kaya. Sudah lebih dari seratus kali aku menghabisi nyawa orang, tapi tetap tidak kaya. Masih tinggal di rumah kontrakan yang sempit dengan kebersihan yang tidak terjamin. Kamar mandi bau pesing karena harus bergantian dengan penghuni kontrakan lainnya. Dan kenyamanan yang terenggut karena penghuni kamar di sebelahku selalu menyetel musik rock keras-keras, seolah penghuni lainnya harus mendengar musik yang disukainya itu.

Aku telah sampai di jalan Wisanggeni 35. Sayang, aku tak bisa segera beraksi. Masih banyak orang di rumah itu. Bahkan suara para penghuni yang ada di dalamnya terdengar hingga ke pinggir jalan di tempat aku sekarang berdiri. Aku mencari tempat yang aman untuk sembunyi dan mengintai. Menunggu waktu yang tepat untuk beraksi menghilangkan nyawa orang yang fotonya ada di tanganku ini.

Aku menelepon pengorderku di Jalan Melati 20.

“Suasana belum aman. Bisa ditunda besok saja?” kataku mengabarkan situasi rumah di Jalan Wisanggeni 35.

“Harus sekarang. Tunggu sampai ada waktu yang tepat. Kalau malam ini Anda tidak berhasil membunuhnya, bisa-bisa besok saya yang akan mati.”

Akhirnya aku tetap berdiri di tempat yang terhalang semak-semak, sambil menghabiskan berbatang-batang rokok yang ada di saku jaketku. Gila! Lama sekali orang yang berkumpul itu membubarkan diri? Tapi sebagai pembunuh profesional, mau tak mau aku harus tetap menunggu.

Akhirnya jam dua pagi tak ada lagi keramaian di rumah itu. Aku segera menyelinap ke sana. Kebetulan lampunya masih menyala. Berarti orang yang harus kubunuh itu belum tidur. Bukan masalah buatku, orang yang akan kubunuh sudah tidur atau belum. Kalau sudah, tentu akan sangat mudah membunuhnya. Kalau belum, berarti aku harus bertarung dulu dengannya karena dia pasti akan mempertahankan diri. Ya, itung-itung sebagai hiburan dan pengalaman. Kalau pekerjaan yang aku jalani ini tidak semuanya berjalan mulus.

Aku sudah berada di depan pintu. Kudorong pintu itu sedikit. Ternyata belum dikunci. Aku tak membuang tenaga untuk mendobrak membuka pintu yang sudah dikunci.

Aku tak menyangka, orang yang akan kubunuh ini tahu kalau nyawanya mungkin sebentar lagi akan melayang di tanganku. Sama sekali ia tak takut sedikitpun menghadapiku. Malah ia tersenyum, seperti bertemu dengan sahabat yang lama tidak ketemu.

“Anda Jack? Algojo yang ditugaskan untuk membunuh saya? Sabar, masih banyak waktu. Jangan terburu-buru. Saya tak akan lari dari Anda,” katanya tenang.

Gila! Pikirku. Mau mati saja masih santai kayak gitu. Apa dia belum tahu reputasiku selama ini?

“Anda pasti pembunuh yang sangat profesional. Saya yakin akan segera mati jika Anda sekali saja menyentuh saya. Ngomong-ngomong dengan apa saya akan Anda bunuh? Anda belum pernah gagal dalam membunuh, bukan? Jangan takut, saya tak akan mengecewakan Anda. Tapi sebelum saya mati di tangan Anda, saya ingin meditasi dulu. Semacam persiapan kalau kematianku sudah tiba. Tadi banyak tamu yang datang ke rumah saya ini hingga meditasi baru bisa saya lakukan sekarang.”

Menyebalkan! Mau mati saja masih memikirkan meditasi. Kenapa ia tidak berpikir bagaimana caranya meloloskan diri dari tanganku?

Tapi memang, malam ini aku merasa aneh. Perasaanku tidak tenang seperti biasanya. Aku kurang enjoy untuk beraksi. Bahkan gugup menghadapi orang yang begitu tenang menjelang ajalnya ini.

Aku duduk di kursi yang ada di belakang tempat dia meditasi. Aku harus sabar menunggunya. Bukankah aku cukup baik membiarkan calon korbanku melaksanakan keinginannya untuk yang terakhir kali sebelum pergi untuk selama-lamanya? Jarang aku berbaik hati seperti ini.

Tapi lama sekali ia meditasi. Ia tenang duduk bersila sambil mulutnya komat-kamit. Entah sedang membaca apa. Dan aku pun tak sabar untuk menghabisinya karena waktu sudah hampir menunjukkan jam tiga pagi.

Aku mendekatinya, merogoh belati dari dalam jaket kulitku. Pelan-pelan aku dekati dia. Aku begitu hati-hati mendekatinya hingga langkah kakiku nyaris tak menimbulkan suara. Ia sama sekali tak menghiraukan kalau aku sudah berada di belakangnya. Tinggal pegang lehernya dan aku tancapkan pisau belati ini ke dadanya. Beres sudah. Aku tak pernah gagal dalam membunuh.

Namun tiba-tiba, seperti ada yang mencegah tanganku untuk memegang lehernya dan menancapkan belati di dadanya. Nafasku tiba-tiba sesak. Aku jatuh tersungkur di lantai. Aku berusaha bangkit untuk membunuhnya. Tapi aku tak pernah bisa bangkit lagi. Aku pun mati sebelum berhasil membunuh orang itu. Untuk pertama kali inilah aku gagal menyelesaikan tugasku, pembunuhan ke-seratus satu.

***

Dua hari setelah kegagaln itu, sebuah berita di koran menyebutkan ada seorang laki-laki yang frustrasi karena terhimpit masalah ekonomi hendak mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri di sebuah rumah yang telah ditinggalkan penghuninya untuk liburan ke Paris. Namun sebelum berhasil membunuh dirinya sendiri dengan belati yang digenggamnya, ia keburu mati. Tak ditemukan bekas penganiayaan di tubuh lelaki itu. Tak ada sesuatu yang menjelaskan identitas lelaki itu. Di saku jaketnya hanya ditemukan sebuah amplop berisi potongan-potongan kertas yang ditata menyerupai uang. Diduga kuat laki-laki itu juga mengalami sakit jiwa, mungkin karena saking lamanya terhimpit kemiskinan.

Berita itu ada di pojok kanan bawah koran dengan gambar seorang lelaki yang diburamkan wajahnya, mengenakan jaket kulit sedang terkapar di lantai dengan tangan memegang belati. Sayang, tak ada yang begitu antusias membaca berita yang berjudul “Gagal Bunuh Diri, Tetap Mati” itu.

Penulis: Junaidi Abdul Munif | Retakankata


EmoticonEmoticon