“Met malem, boleh kenalan gak?” tulisku di HP untuk berkenalan
“Boleh,” balas Lina
“Namaku Rizki.”
Rizki, itulah namaku. Tetapi sampai sekarang Lina tak membalas. Aku berkesimpulan Lina seperti yang lain, yang menganggap namaku adalah nama pasaran yang kurang keren. Aku frustasi, ku pikir tiada lagi yang bisa menerimaku apa adanya.
Namun frustasiku lekas sirna sampai ku temukan Ingrid, adik kelas yang tulus menerimaku dan tentu bangga dengan namaku. Dia cantik. Tetapi manusia tiada yang sempurna. Ingrid punya hobi menggosip. Tak apa, aku tetap mencoba tulus menerimanya seperti dia menerimaku. Pernah tanpa sepengetahuannya aku memergokinya bercengkrama di sebuah cafe.
“Tuhan mengirimkan rizki-Nya kepadaku,” Ingrid menyebut namaku
“Alah, jangan ngomong soal rejeki lagi!” Temannya menyela
“Beneran lo, dia adalah ‘rizki’ untuk aku. Lihat, Rizki udah beli’in aku BB. Rizki juga yang bayarin setoran kredit motor baruku.” Tutur Ingrid yang membuatku tak percaya lagi dengan cinta yang tulus.
EmoticonEmoticon