Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Utara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sulawesi Utara. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Tulap Dan Lelaki Tua

Tulap adalah sosok raksasa yang berwajah seram dan suka memangsa manusia dan binatang yang ada di dalam hutan. Suatu hari, ketika sedang berkeliling hutan mencari mangsa, si Tulap menemukan seorang lelaki tua sedang mencari kayu bakar. Ia pun berniat memangsa lelaki tua. Bagaimana nasib lelaki tua itu? Berhasilkah ia lolos dari ancaman si Tulap? Temukan jawabannya dalam cerita Tulap dan Lelaki Tua berikut ini.


Dahulu, di sebuah hutan belantara di Sulawesi Utara, terdapat sesosok raksasa yang ganas bernama Tulap. Sehari-hari, si Tulap berburu manusia dan binatang yang memasuki hutan tempat kediamannya untuk dijadikan santapannya. Seperti biasa, setiap pagi Tulap bersiap-siap berkeliling untuk hutan mencari mangsa. Ia berjalan menyusuri hutan belantara sambil memasang mata dan telinga. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia mendengar suara gaduh tidak jauh di hadapannya. 

“Suara apa itu?” gumam Tulap seraya memperlambat langkahnya. 

Tulap kemudian bersembunyi di balik semak-semak. Dari balik semak-semak itulah ia mengintip ke arah suara gaduh itu berasal. Rupanya, ada seorang lelaki tua yang sedang mencari kayu bakar.

“Hmm… akhirnya aku mendapatkan mangsa. Walaupun sudah tua, orang itu tetap enak dijadikan santapan,” gumamnya. 

Tulap tidak sabar lagi ingin segera menangkap lelaki tua itu. Ia pun keluar dari persembunyiannya. 

“Hai, Pak Tua! Sedang apa kamu di sini?” tanya Tulap dengan suara menggelegar.

Mendengar suara itu, Pak Tua menjadi ketakutan. Semula, ia bermaksud melarikan diri. Namun ia menyadari bahwa walaupun lari raksasa itu pasti akan bisa menangkapnya. 

“Sa… sa… saya sedang mencari kayu bakar, Tuan Raksasa,” jawab lelaki tua itu dengan gugup dan tubuh gemetaran.

“Ha… ha… ha…,” Tulap tertawa terbahak-bahak.

Lelaki tua itu pun semakin ketakutan. 
“Ampun, Tuan Raksasa. Tolong, jangan sakiti saya,” rengek Pak Tua.

Tulap kembali tertawa terbahak-bahak lalu berkata kepada lelaki tua itu.
“Baiklah, aku tidak akan memangsamu. Tapi, maukah kamu ikut bersamaku? Temani aku mencari burung untuk santapan siang kita nanti,” bujuk si Tulap.

Lelaki tua itu sebenarnya mengetahui bahwa bujukan si Tulap hanya akal-akalan saja. Ia tahu bahwa dirinya pasti akan dijadikan santapannya. Namun, karena takut raksasa itu murka dan langsung memangsanya, Pak Tua pun menuruti ajakannya. 

Keduanya pun berjalan menyusuri hutan belantara. Lelaki tua itu disuruh berjalan di depan kemudian Tulap mengikutinya dari belakang. Pak Tua tampak semakin ketakutan. Ia sesekali ia menoleh ke belakang karena takut raksasa itu memangsanya dari belakang. Sesaat kemudian, Pak Tua tiba-tiba berhenti.

“Hai, Pak Tua. Kenapa kamu berhenti?” tanya Tulap heran.

“Maaf, Tuan. Di depan kita ada banyak jarum dan peniti,” jawab Pak Tua. 

“Ambil dan bawa pulang semua benda itu!” seru si Tulap.

Pak Tua itu pun memungut semua jarum dan peniti yang menancap di tanah lalu memasukkan ke dalam saku celananya. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan dengan menyusuri hutan, mendaki bukit, menuruni lembah, serta menyeberangi beberapa sungai. Tak berapa lama kemudian, mereka menemukan sebatang pohon pisang yang berbuat lebat. Tulap segera memetik beberapa buah pisang yang sudah masak lalu menyuruh Pak Tua itu membawanya. 

Mereka sudah cukup berjalan. Si Tulap yang sudah mulai kelelahan mengajak lelaki tua itu beristirahat sejenak di bawah pohon yang rindang. Saat beristirahat, pandangan si Tulap tiba-tiba tertuju pada sebuah tongkat yang biasa digunakan memukul sagu. Ketika mereka hendak meninggalkan tempat itu, si Tulap menyuruh Pak Tua untuk membawa tongkat itu. Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba seekor tikus jantan yang besar dan berekor putih melintas. Untung tikus itu lincah menghindar sehingga tidak terinjak oleh kaki si Tulap. Raksasa itu pun mengajaknya ikut bersama mereka.

“Hai, tikus! Ayo ikut bersama kami mencari makanan yang enak,” ajak si Tulap.

Tikus itu menuruti ajakan si Tulap karena takut dimangsa. Ketiganya pun melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama kemudian, mereka bertemu dengan seekor lipan raksasa. Si Tulap pun mengajaknya ikut serta. Kini, si Tulap yang berjalan paling di depan kemudian disusul Pak Tua, si tikus, dan si lipan yang paling belakang sendiri. Setelah beberapa meter berjalan, tiba-tiba terdengar kicau seekor burung mutuo. Rombongan si Tulap pun serentak berhenti. 

“Wah, ini pasti makanan enak,” kata si Tulap.

Ketika si Tulap hendak menangkapnya, burung itu ternyata sedang bertelur. Raksasa itu pun membujuknya agar ikut bersama mereka.

“Hai, burung mutuo. Ikutlah bersama kami. Nanti kamu bertelur di rumahku saja,” ujar si Tulap. 

Akhirnya, burung mutuo itu bergabung bersama rombongan si Tulap. Sudah semakin jauh mereka berjalan. Raksasa itu terlihat mulai lemas karena kelaparan. Sejak pagi belum dia belum menyantap daging manusia. Oleh karena tidak ingin niat jahatnya ketahuan, si Tulap menyuruh Pak Tua, si tikus, si lipan, dan burung mutuo berjalan dulu menuju ke rumahnya. 

“Kalian tunggulah di rumahku, nanti aku menyusul. Aku mau mencari makanan dulu untuk kalian,” ujar si Tulap. 

“Baik, Tuan Raksasa,” jawab Pak Tua dan binatang-binatang tersebut serentak. 

Sementara si Tulap mencari makanan, Pak Tua dan ketiga binatang itu berjalan menuju ke rumah raksasa yang jahat itu. Dalam perjalanan, tiba-tiba timbul perasaan curiga terhadap gelagat si Tulap. 

“Hai, kawan-kawan. Aku yakin si Tulap akan menjadikan kita sebagai santapannya,” ungkap Pak Tua.

“Apa yang harus kita lakukan, Pak Tua?” tanya si tikus.

“Iya, Pak Tua. Bagaimana bisa menghadapinya?” imbuh si lipan. 

“Tenang, kawan-kawan! Kita harus menggunakan siasat,” ujar Pak Tua. 

Pak Tua dan para binatang itu pun bermusyawarah untuk mencari cara agar bisa membinasakan raksasa yang buas itu. Setelah mengatur siasat, mereka melanjutkan perjalanan. Setiba di rumah si Tulap, mereka segera menjalankan siasat yang telah direncanakan sebelumnya. Si tikus mendapat tugas menggigit teling si Tulap ketika sedang tidur. Si lipan bertugas menggigit tangan Tulap ketika sedang membasuh muka di penampungan air. Sementara itu, burung mutuo bertugas mengepak-epakkan sayapnya agar lampu mati dan debu masuk ke mata di si Tulap. Adapun Pak Tua bertugas meletakkan jarum dan peniti di depan tempat tidur si Tulap, serta beberapa kulit pisang di depan pintu keluar. 

Saat hari mulai gelap, si Tulap pun pulang ke rumahnya. Karena kelelahan, ia langsung masuk ke kamar dan langsung terlelap dengan dengkuran yang sangat keras. 

“Kawan-kawan, ayo kita mulai bertindak!” seru Pak Tua, “Raksasa itu sudah tidur.”

Mereka langsung bertindak untuk melaksanakan tugas masing-masing. Pertama-tama, si tikus menggigit telinga si Tulap. Raksasa itu pun serentak terbangun dan beranjak dari tempat tidurnya. Ketika ia meloncat ke depan tempat tidur, kakinya tertusuk jarum dan peniti yang telah dipasang oleh Pak Tua. Ia pun menjerit-jerit kesakitan menuju ke ruang dapur untuk membasuh mukanya. Pada saat itu pula, burung mutuo mengepakkan sayapnya tiga kali sehingga lampu penerangan di dalam rumah itu padam. Mata raksasa itu juga kemasukan debu.

Dalam keadaan suasana gelap gulita, si Tulap berjalan meraba-raba menuju ke tempat penampungan air yang ada di dapur. Saat ia mengambil air, si lipan yang sudah menunggu segera menggigit tangannya. Raksasa yang malang itu pun kembali menjerit kesakitan seraya berlari menuju pintu keluar. Saat melewati pintu keluar itu, kakinya tergelincir karena menginjak kulit pisang yang telah diletakkan di situ oleh Pak Tua. Tak ayal, raksasa itu jatuh terjengkang. 

Melihat keadaan itu, Pak Tua pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera memukul kepala si Tulap dengan tongkat yang ia bawa dari hutan. Raksasa yang ganas itu pun akhirnya tewas. 

Dengan tewasnya si Tulap, si lelaki tua dan kawan-kawannya menjadi lega karena terbebas dari ancaman bahaya. Mereka pun kembali ke tempat tinggal masing-masing. Sejak itulah, mereka kembali hidup tenang tanpa gangguan si Tulap. 

* * *

Demikian cerita Tulap dan Lelaki Tua dari Sulawesi Utara. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa dengan kekuasaan yang kita miliki hendaknya tidak digunakan untuk menindas orang yang lemah. sebab setiap orang mempunyai akal walaupun kelihatan lemah.

Sabtu, 18 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Abo Mamongkuroit

Abo Mamongkuroit adalah seorang lelaki miskin yang tinggal bersama istrinya di sebuah hutan di daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Pada suatu hari, istrinya diculik oleh sesosok raksasa pemakan manusia. Berhasilkah Abo Mamongkuroit menyelamatkan istrinya? Ikuti kisahnya dalam cerita Abo Mamongkuroit berikut ini.



Alkisah, di sebuah hutan di daerah Sulawesi Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Sang Suami bernama Abo Mamongkuroit, sedangkan istrinya bernama Putri Monondeaga. Walaupun hidup miskin, sepasang suami-istri itu senantiasa hidup saling menyayangi. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama dan saling membantu. Setiap hari mereka mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka juga memelihara beberapa ekor ayam yang akan dijual ke pasar untuk menambah penghasilan. Rupanya, hidup serba kekurangan membuat Abo Mamongkuroit berniat untuk pergi merantau.
Pada suatu hari, Abo Mamongkuroit menyampaikan niatnya tersebut kepada istrinya.
 “Istriku! Setiap hari kita bekerja seperti ini, tapi hasil yang kita peroleh terkadang tidak cukup untuk makan sehari-hari. Kalau Adik tidak keberatan, bolehkah Abang pergi merantau untuk memperbaiki nasib kita?” pinta Abo Mamongkuroit kepada Istrinya.
Mendengar permintaan suaminya, Putri Monondeaga terdiam. Dalam hatinya, ia merasa keberatan. Jika suaminya pergi merantau, maka ia akan tinggal sendirian di tengah hutan.
“Bagaimana dengan aku, Bang?” tanya Putri Mondeaga dengan wajah sedih.
“Adik di sini saja. Kalau Adik ikut serta, siapa yang akan merawat ayam peliharaan kita,” jawab Abo.
Setelah mempertimbangkan perkataan suaminya, Putri Mondeaga pun mengurungkan niatnya untuk ikut serta.
“Baiklah kalau begitu, Bang! Abang boleh pergi merantau asalkan tidak terlalu lama,” kata Putri Mondeaga merelakan suaminya pergi merantau, walaupun dengan berat hati.
“Iya, Istriku. Abang akan segera pulang,” janji Abo kepada istrinya.
Pada malam harinya, Putri Mondeaga segera menyiapkan bekal berupa ketupat, telur rebus, dan beberapa helai pakaian untuk suaminya. Saat matahari mulai terbit di ufuk timur, Abo Mamongkuroit pun bersiap untuk berangkat merantau. Walaupun dengan berat hati, ia terpaksa harus meninggalkan istrinya seorang diri di tengah hutan. Perpisahan itu sangatlah berat bagi pasangan suami-istri itu. Sebab, sejak menjadi pasangan suami-istri, barulah kali ini mereka akan berpisah. Rasa haru pun menyelimuti hati keduanya. Tak terasa, Putri Mondeaga meneteskan air mata. Demikian pula Abo Mamongkuroit, air matanya keluar dari kelopak matanya karena tidak tahan menahan rasa haru melihat istrinya menangis.
“Sudahlah, Istriku! Abang berangkat dulu. Jaga diri Adik baik-baik! Abang berjanji tidak akan lama di perantauan,” Abo Mamongkuroit berpamitan sambil mencium kening istrinya.
“Iya, Bang! Hati-hati di jalan!” ucap Putri Mondeaga melepas kepergian suaminya sambil melambaikan tangan.
Setelah suaminya hilang dari pandangannya, barulah Putri Mondeaga masuk ke dalam gubuknya. Sejak itu, ia pun hidup sendirian di tengah hutan. Hatinya terasa sangat sepi. Jika biasanya ia pergi mencari kayu bersama suaminya, kini ia harus berangkat sendirian. Demikian pula jika memberi makan ayam peliharaannya, ia harus melakukannya seorang diri, tanpa  ditemani lagi oleh suaminya.
Keesokan harinya, ketika sedang memberi makan ayam peliharaannya, tiba-tiba Putri Mondeaga dikejutkan oleh suara menggelegar yang menegurnya.
“Hai, Putri Deaga! Sedang apa kamu sendirian di situ?” tanya suara itu.
Ketika menoleh ke arah sumber suara itu, Putri Deaga melihat sosok raksasa pemakan manusia berdiri tegak tidak jauh dari tempatnya duduk. Raksasa yang bernama Tulap itu tinggal di sekitar hutan. Sudah banyak penduduk yang melintas di hutan itu telah ditangkapnya untuk dijadikan santapan. Kini, giliran Putri Deaga yang akan dijadikan santapannya.
“Ampun, Tuan Raksasa! Jangan makan aku!” pinta Putri Deaga dengan perasaan takut.
“Jangan takut, Deaga! Aku tidak akan memakanmu, asalkan kamu mau ikut bersamaku,” kata si Tulap.
Putri Deaga pun tahu bahwa jika ia ikut bersamanya, suatu saat raksasa itu pasti akan memakannya. Maka, ia pun berusaha menenangkan hatinya dari rasa takut dan segera mencari cara untuk menghidar dari niat jahat raksasa itu.
“Baiklah, Tulap! Aku bersedia ikut bersamamu, tapi jangan hari ini. Aku ingin mencuci rambut dulu, karena sudah sebulan lebih aku tidak mencucinya. Sebaiknya besok saja kamu ke sini menjemputku,” kata Putri Deaga.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, si Tulap memenuhi permintaan Putri Deaga. Kemudian ia langsung pergi dengan penuh harapan bahwa esok hari dia pasti akan mendapatkan Deaga. Sementara itu, Putri Deaga semalaman tidak bisa tidur. Ia bingung memikirkan alasan apa yang akan disampaikannya besok kepada si Tulap.
“Ya, Tuhan! Seadainya Abang Abo ada di sini, tentu hal ini tidak akan terjadi padaku,” keluh Putri Deaga dalam hati.
Keesokan harinya, ketika hari mulai petang, si Tulap datang dengan wajah berseri-seri, karena sebentar lagi akan mendapatkan makanan lezat. Sementara Putri Deaga masih kebingungan, karena belum mendapatkan alasan yang tepat agar si Tulap tidak membawanya pergi.
“Hei, Deaga! Aku datang ingin menagih janjimu yang kemarin,” kata si Tulap.
“Maaf, Tulap! Bagaimana kalau besok saja kamu menjemputku, karena aku belum mandi,” pinta Putri Deaga yang kedua kalinya.
Pada awalnya, si Tulap tidak mau lagi mendengarkan alasan dari Putri Deaga. Namun karena Putri Deaga terus membujuknya, akhirnya ia pun memenuhi permintaan Deaga. Ia pun pulang dengan tangan hampa. Demikianlah, setiap hari Putri Deaga menyampaikan alasan demi alasan kepada si Tulap untuk mengulur-ulur waktu sampai suaminya kembali dari perantauan. Namun, dari hari ke hari, suaminya tak kunjung datang dari perantauan.
Pada hari berikutnya, Putri Deaga benar-benar kehabisan akal. Ia sudah tidak menemukan lagi alasan yang akan disampaikan kepada Tulap. Ketika hari menjelang petang, si Tulap datang hendak menjemputnya.
“Ya, Tuhan! Tamatlah riwayatku. Aku akan mati ditelan si Tulap,” ucap Putri Deaga dalam hati dengan gusar.
“Hei, Deaga! Apalagi alasanmu? Ayo ikut aku!” ajak si Tulap dengan suara menggelegar.
“Tunggu sebentar, Tulap! Aku mau menyisir dulu rambutku,” bujuk Putri Deaga.
Ketika Putri Deaga sedang menyisir rambutnya, tiba-tiba si Tulap langsung membopongnya. Rupanya, si Tulap sudah tidak sabar lagi ingin membawanya pergi.
“Tolong...! Tolong...! Lepaskan aku!” teriak Putri Deaga sambil meronta-ronta.
Berkali-kali Putri Deaga mencoba hendak melepaskan diri, namun apa daya ia tidak sanggup melawan kekuatan si Tulap. Sesampai di rumahnya, si Tulap langsung memasukkan Putri Deaga ke dalam kandang besi yang berada di kolong rumahnya. Di dalam kandang itu terdapat beberapa orang warga lainnya yang siap untuk dijadikan santapan si Tulap bersama istrinya. Setiap hari, mereka menyantap satu orang warga.
Selama dalam kurungan, Putri Deaga selalu tampak murung memikirkan nasibnya. Ia juga memikirkan suaminya kelak setelah pulang dari perantauan pasti akan mencarinya. Ia senantiasa berdoa agar suaminya dapat menemukannya sebelum tiba gilirannya dimakan si Tulap.
Satu minggu kemudian, Abo Mamongkuroit kembali dari perantauan. Ia membawa oleh-oleh dan uang untuk istri tercintanya. Setibanya di depan gubuk, ia segera memanggil-manggil istrinya.
“Istriku! Abang pulang... !” teriak Abo.
Berkali-kali Abo memanggil istrinya, namun tidak mendapatkan jawaban. Dengan perasaan cemas, ia segera masuk ke dalam gubuknya. Betapa sedih hatinya ketika ia mengetahui gubuknya kosong. Ia pun segera mencari istrinya di sekitar gubuk.
“Istriku! Kamu di mana..!?” teriak Abo memanggil istrinya.
Oleh karena tidak mendapat jawaban dari istrinya, muncullah bermacam-macam dugaan dalam pikirannya.
“Jangan-jangan istriku dimakan binatang buas, atau hanyut terbawa arus sungai,” pikirnya dalam hati.
Abo Mamongkuroit pun segera berlari menuju ke arah sungai. Sesampainya di tepi sungai, ia tidak menemukan sedikitpun tanda-tanda bahwa istrinya hanyut terbawa arus sungai. Akhirnya, dengan niat dan tekad yang kuat, ia memutuskan untuk mencari istrinya sampai dapat.
Keesokan harinya, setelah menyiapkan bekal seperlunya, berangkatlah Abo Mamongkuroit mencari istrinya. Sudah sehari semalam ia berjalan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal lelah. Setiap orang yang ditemukannya, ia menanyakan keberadaan istrinya dan tak seorang pun yang mengetahuinya. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus mencari istrinya.
Pada hari kedua, Abo Mamongkuroit melanjutkan pencariannya. Ia kembali menyusuri hutan belantara itu. Ketika akan menyeberangi sebuah sungai, ia melihat sebuah rumah besar yang berdiri tegak di tepi sungai. Dengan pelan-pelan, ia melangkah mendekati rumah itu. saat berada di halaman rumah itu, tiba-tiba ia dihadang oleh sesosok raksasa yang bertubuh kekar. Dia adalah si Tulap pemilik rumah itu.
“Hei, siapa kamu? Berani-beraninya kamu datang kemari!” tanya si Tulap.
“Aku Abo Mamongkuroit. Aku kemari sedang mencari istriku, Putri Monondeaga,” jawab Abo Mamongkuroit.
Mendengar jawaban itu, tentu si Tulap tidak mau begitu saja menyerahkan Putri Monondeaga kepada Abo.
“Hei, Abo Mamongkuroit! Kamu boleh membawa pulang istrimu, asalkan kamu mampu melawanku adu betis,” tantang si Tulap.
“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku terima tantanganmu,” jawab Abo Mamongkuroit.
“Ha... ha... ha... ! Rupanya kamu punya keberanian juga melawanku. Memangnya kamu sanggup melawanku?” tanya si Tulap dengan nada sombong.
“Coba saja kalau berani!” tantang Abo Mamongkuroit.
Akhirnya, pertandingan adu betis pun tidak terelakkan lagi antara si Tulap dan Abo Mamongkuroit. Pertandingan sengit itu disaksikan oleh para tawanan dan istri si Tulap. Si Tulap memulai pertarungan dengan menyerang, sedangkan Abo Mamongkuroit bertahan dengan memasang kuda-kuda. Si Tulap menyerang dengan tendangan ke arah betis Abo secara bertubi-tubi. Anehnya, bukan Abo yang terpelanting karena diserang, tapi justru si Tulap yang terpelanting jauh.
“Menyerahlah, hai Raksasa tengik! Aku lebih kuat daripada kamu. Buktinya, kamu tidak sanggup merobohkanku!” seru Abo Mamongkuroit.
Mendengar ucapan Abo itu, si Tulap naik pitam. Dengan sekuat tenaga, ia langsung melayangkan sebuah tendangan keras ke arah betis Abo. Tapi, lagi-lagi dia sendiri yang terpelanting jauh. Akhirnya, ia berpikir untuk bertahan dan Abo yang menyerang. Dia pun segera memasang kuda-kuda dengan sekuat-kuatnya, sementara Abo bersiap-siap untuk menyerang. Ketika si Tulap telah siap, Abo Mamongkuroit segera melayangkan sebuah tendangan keras ke arah betis si Tulap. Apa yang terjadi? Si Tulap terpelanting jauh ke atas pohon dan jatuh terhempas di tanah. Seketika itu pula, si Tulap mati. Istri Tulap yang menyaksikan kejadian itu segera mengambil sebuah pisau yang sangat tajam, lalu mengibas-ngibaskannya ke arah Abo Mamongkuroit. Rupanya istri Tulap tidak menyadari bahwa Abo Mamongkuroit memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia pun mendapat pukulan keras dari Abo Mamongkuroit, sehingga terlempar jauh dan tergeletak di tanah tak berdaya. Maka matilah kedua raksasa itu.
Setelah itu, Abo Mamongkuroit segera membebaskan istrinya dan beberapa warga lainnya yang dikurung di bawah kolong rumah si Tulap, dan menyuruh mereka kembali ke kampung masing-masing untuk menjalankan kehidupan seperti biasanya. Abo Mamongkuroit pun segera mendekati istrinya dan mengajaknya pulang. Sejak peristiwa itu, mereka pun hidup bahagia, karena tidak ada lagi yang berani mengganggu. Demikian pula para warga di sekitar hutan itu, mereka dapat keluar masuk hutan dengan perasaan aman dan tenteram.
* * *
Demikian cerita Abo Mamongkuroit dari daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Cerita di atas tergolong dongeng, karena cerita ini tidak pernah terjadi. Cerita di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keburukan sifat sombong dan angkuh. Sifat ini tercermin pada keangkuhan si Tulap yang menganggap enteng Abo Mamangkuroit, karena merasa tubuhnya lebih besar dan berotot dari pada tubuh Mamongkuroit. Namun, tanpa disadarinya ternyata Abo Mamangkuroit memiliki kesaktian yang tinggi. Akibatnya, dia pun mati terkapar tak berdaya melawan Mamongkuroit. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda orang yang celaka,
sifatnya sombong bercampur pongah,
kalau hidup besar kepala,
lambat laun ditimpa bala

Jumat, 17 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kekekow Dengan Gadis Miskin

Kekekow adalah sejenis burung pemakan padi yang terdapat di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Kekekow dalam bahasa Minahasa terdiri dua kata, yaitu keke, yang berarti anak perempuan (panggilan kesayangan terhadap anak gadis, terutama di desa), dan kow yang berarti engkau. Jadi, kekekow berarti engkau anak gadis. Konon, di daerah Minahasa ada seekor burung kekekow yang sangat baik. Ia suka menolong dua orang gadis miskin dengan memberi mereka berbagai jenis buah-buahan. Pada suatu hari, para warga kampung menangkap dan menyembelih burung itu. Mengapa mereka menyembelih burung kekekow itu? Temukan jawabannya dalam cerita Kekekow Dengan Gadis Miskin berikut ini.



Alkisah, di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, hidup seorang janda tua yang miskin bersama dua orang anak gadisnya. Mereka tinggal di sebuah gubuk di bawah sebuah pohon yang rindang dan teduh. Cara hidup mereka cukup unik, yakni hidup seperti seekor ayam. Mereka baru mencari makan pada saat waktu makan tiba. Jika ingin makan pagi, mereka baru mencarinya pada pagi hari, dan jika ingin makan siang, mereka pun baru mencarinya pada waktu siang hari. Demikian seterusnya. Mereka melakukan hal itu karena hutan di sekeliling mereka menyediakan berbagai jenis buah-buahan dan hasil-hasil hutan lainnya. Di hutan sekitar tempat tinggal mereka ada seekor burung kekekow yang sangat baik kepada kedua anak perempuan tersebut.
Pada suatu ketika, musim buah-buahan di daerah mereka telah lewat semua. Tak satu jenis pun pohon yang berbuah. Janda tua dan kedua anak gadis itu kesulitan mencari makan. Mereka sudah menjelajahi hutan kesana-kemari namun tidak juga menemukan adanya pohon yang berbuah. Suatu siang, sepulang dari hutan, kedua anak gadis itu beristirahat di bawah sebuah pohon mangga tidak jauh dari gubuk mereka. Mereka duduk bersandar di pohon sambil memegang perut karena menahan rasa perih dan lapar.
“Kak, perutku terasa perih sekali. Ke mana lagi kita harus mencari makan?” keluh si Bungsu.
“Entahlah, Dik! Perutku juga terasa lapar sekali. Kita sudah mencari ke sana kemari, tapi tidak ada lagi yang dapat kita makan,” sahut si Sulung.
Baru saja berkata demikian, tiba-tiba kedua gadis itu dikejutkan dengan sebuah benda berwarna kuning jatuh di dekat mereka. Setelah mereka lihat ternyata benda itu adalah sesisir pisang emas yang sudah masak.
“Hei, kenapa ada buah pisang jatuh dari atas pohon mangga?” tanya si Sulung heran.
“Aku juga tidak tahu, Kak. Jangan-jangan ada orang yang menjatuhkannya dari atas pohon,” ucap si Bungsu.
Namun, setelah menoleh ke atas pohon itu, mereka tidak melihat ada siapa-siapa. Mereka hanya mendengar ada suara burung kekekow sedang bernyanyi dengan suara yang merdu.
“Keke...kow..., keke kow..., keke kow...!!?”
Rupanya burung kekekow itu mengerti kalau kedua gadis miskin tersebut belum mendapatkan makanan untuk makan siang. Ia pun memberikan lagi kepada mereka berbagai macam buah-buahan, seperti pepaya, jambu air, dan mangga. Namun demikian, burung kekekow tidak mau memperlihatkan dirinya kepada kedua gadis itu. Maka, usai memberikan buah-buahan tersebut, ia pun segera terbang meninggalkan pohon itu.
Sementara itu, kedua anak gadis tersebut masih berdiri bengong di bawah pohon sambil memerhatikan berbagai macam makanan tersebut. Mereka seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang baru mereka saksikan. Meskipun merasa sangat lapar, mereka tidak langsung memakan buah-buahan tersebut, melainkan berlari ke gubuk untuk melaporkan kejadian itu kepada ibu mereka.
“Apa yang terjadi, Anakku? Kenapa kalian berlari tergopoh-gopoh begitu?” tanya ibunya.
Dengan perasaan bimbang bercampur gembira, kedua gadis itu menceritakan semua peristiwa yang baru saja mereka alami. Mendengar cerita kedua anaknya itu, sang Ibu pun merasa heran bercampur gembira.
“Ayolah, Bu! Kita ke sana melihat buah-buahan itu!” ajak si Sulung sambil menarik tangan ibunya.
Sang ibu pun segera memenuhi ajakan anaknya. Sesampainya di bawah pohon mangga itu, tampaklah oleh ibunya berbagai macam buah-buahan.
“Waaahhh, ajaib sekali!” ucap sang Ibu dengan perasaan takjub.
Akhirnya, mereka pun membawa seluruh buah-buahan tersebut ke gubuk mereka. Oleh karena perasaan lapar sudah tidak tertahankan, mereka segera melahap buah-buahan tersebut. Alangkah senang hati ibu dan dua anak gadis itu.
Keesokan harinya, saat hari menjelang siang, kedua gadis itu kembali duduk di bawah pohon mangga itu. Baru saja mereka menyandarkan tubuh di batang pohon mangga, tiba-tiba terdengar lagi suara burung bernyanyi.
“Keke...kow..., keke kow..., keke kow...!!?”
Namun, ketika akan beranjak dari tempat duduknya hendak mencari sumber suara itu, tiba-tiba kedua gadis tersebut mendengar suara burung itu memanggil mereka.
“Hai, kalian gadis miskin! Mendekatlah kemari! Aku akan memberikan kalian makanan,” ujar burung kekekow.
Kedua gadis itu pun segera mendekat ke bawah dahan pohon tempat burung kekekow bertengger. Seketika itu pula berjatuhanlah berbagai macam makanan dari atas pohon.
“Terima kasih, Kekekow!” ucap kedua gadis itu serentak dengan perasaan gembira.
Demikian seterusnya, setiap kedua gadis itu kehabisan makanan, burung kekekow yang baik hati itu memberikan mereka makanan. Bahkan, pada hari-hari berikutnya, burung kekekow memberikan mereka peralatan rumah tangga yang mereka perlukan. Ketika musim kemarau pun, ia selalu memberikan mereka air untuk keperluan sehari-hari. Berkat pertolongan burung kekekow, keluarga kedua gadis itu tidak sengsara lagi seperti sebelumnya.
Pada suatu hari, peristiwa yang mereka alami tersebut terdengar oleh teman-teman sepermainan mereka yang tinggal di kampung tidak jauh dari hutan itu. Oleh karena perasaan iri hati dan dengki, teman-teman kedua gadis itu menyampaikan berita itu kepada kepala kampung. Lalu, kepala kampung itu mengerahkan seluruh warga untuk segera menangkap burung kekekow. Alhasil, mereka pun berhasil menangkap dan membawanya ke rumah kepala kampung. Warga kampung pun berebutan meminta berbagai makanan dan peralatan rumah tangga kepada burung ajaib itu. Ada yang meminta buah pisang, mangga, pepaya dan lain-lain. Bahkan ada pula yang meminta peralatan rumah tangga seperti lemari, kursi, meja dan sebagainya. Namun, tak satu pun permintaan mereka yang dikabulkan oleh burung kekekow. Justru burung kekekow itu memberikan mereka rumput-rumput kering.
Sikap dan perlakuan burung kekekow itu membuat kepala kampung dan para warga naik pitam.
“Dasar burung penipu! Kamu menghina kami, yah!” bentak kepala kampung.
“Sembelih saja burung brengsek itu!” teriak seorang warga.
“Ayo, kita sembelih burung itu!” sahut seluruh warga dengan perasaan kesal dan kecewa.
Akhirnya, kepala kampung dan para warga bersepakat untuk menyembelih burung kekekow. Setelah disembelih, bangkai burung itu dibuang di belakang rumah salah seorang penduduk.
Mengetahui burung kesayangannya disembelih, kedua gadis itu segera mengambil bangkainya dan menguburkannya di belakang gubuk mereka. Mereka sangat bersedih hati dan menyesali kekejaman para penduduk kampung yang telah menyembelih burung yang senantiasa menolong mereka. Untuk mengenang jasa-jasa dan kebaikan burung kekekow, mereka selalu datang ke kuburan kekekow untuk mendoakannya.
Beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, kedua anak gadis itu tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Kehidupan mereka pun tidak lagi sengsara seperti dulu, karena semua pemberian burung kekekow mereka simpan dan rawat dengan baik. Jika kekurangan makanan, peralatan rumah tangga mereka jual untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, di atas kuburan kekekow telah tumbuh sebuah pohon besar yang tidak pernah berhenti berbuah. Buahnya sangat enak dan memiliki aroma yang menyenangkan. Jika lapar, kedua gadis itu dan ibunya memetik buah pohon tersebut. Sejak saat itu, mereka pun senantiasa hidup serba berkecukupan.
* * *
Demikian cerita Kekekow Dan Gadis Miskin dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah akibat buruk sifat iri hati dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kepala kampung dan para warga terhadap kedua gadis itu. Akibat keirihatian dan kedengkian mereka, burung kekekow pun tidak bersedia memenuhi semua permintaan mereka.
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa sifat iri hati dan dengki dapat menyebabkan seseorang berbuat jahat terhadap orang lain ataupun terhadap makhluk lain. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku para warga yang tega menyembelih burung kekekow yang baik hati itu. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

kalau suka dengki mendengki,
orang muak tuhan pun benci
 
kalau suka iri mengiri,
sahabat menjauh, saudara pun lari

Kamis, 16 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Alamona Ntautama Ntaloda: Manusia Pertama Di Kepulauan Talaud

Kepulauan Talaud adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang sembilan ribu jiwa. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, manusia pertama yang menghuni daerah tersebut berasal dari seekor ketam, yaitu jenis kepiting yang berkaki enam dan bersepit. Bagaimana peristiwa ajaib itu bisa terjadi? Ikuti kisahnya dalam cerita Alamona Ntautama Ntaloda: Manusia Pertama di Kepulauan Talaud berikut ini.



Alkisah, di sebelah utara Pulau Sulawesi terdapat sebuah daerah yang bernama Kepulauan Talaud. Dahulu, saat belum dihuni oleh manusia, kabupaten yang terletak di kawasan paling utara Indonesia timur ini masih dipenuhi tetumbuhan dan hanya dihuni oleh seekor ketam yang tinggal di puncak Gunung Karakelang. Menurut cerita masyarakat setempat, binatang amfibi tersebut kemudian berubah menjadi seorang manusia laki-laki. Oleh karena tidak memiliki nama, maka manusia laki-laki itu dipanggil Manusia Ketam. Agar dapat bertahan hidup, ia setiap hari berkeliling pulau mencari dedaunan dan buah-buahan untuk dimakan. Ke mana pun pergi, ia juga selalu membawa saputta atau sumpit yang terbuat dari bilah bambu.
Suatu hari, ketika sedang berkeliling di pulau itu, Manusia Ketam tiba-tiba mencium bau harum yang sangat menyengat.
“Mmm… bau apa nih?” gumam Manusia Ketam, “Rasanya aku belum pernah mencium bau harum seperti ini?”
Manusia Ketam sangat penasaran dengan bau harum itu. Ia pun segera mencari sumber bau itu sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Semakin lama bau harum itu semakin menyengat hidungnya.
“Sumber bau harum itu pasti ada di sekitar sini,” gumamnya.
Beberapa saat kemudian, Manusia Ketam sampai di tepi sebuah telaga. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat tujuh wanita cantik sedang mandi di tengah telaga. Mereka adalah para bidadari yang berasal dari Negeri Kahyangan. Manusia Ketam sangat heran karena selama berada di pulau itu ia belum pernah melihat wanita cantik, apalagi bidadari yang secantik itu.
Sebelum para bidadari tersebut mengetahui kedatangannya, Manusia Ketam segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia kemudian mengamati gerak-gerik para bidadari yang sedang asyik mandi.
“Wow, ini pemandangan yang sangat mengagumkan. Sungguh cantik wanita-wanita itu,” gumam Manusia Ketam dengan kagum.
Rupanya, salah satu dari bidadari tersebut tiba-tiba mencium bau manusia.
“Sepertinya ada bau manusia,” kata salah bidadari itu.
Namun, perkataan bidadari itu tidak dihiraukan oleh bidadari lainnya karena mereka sedang asyik bercanda dan bersuka-ria. Sementara itu, Manusia Ketam yang sedang bersembunyi di balik pohon tiba-tiba pandangannya tertuju pada sejumlah kain berwarna-warni yang teronggok di atas batu, tidak jauh dari tempat para bidadari itu mandi. Rupanya, onggokan kain berwarna-warni itu adalah baju dan sayap milik para bidadari tersebut.
Manusia Ketam kemudian berpikir bahwa para bidadari pasti tidak akan bisa terbang tanpa sayap itu. Oleh karena itu, ia bermaksud untuk mengambil salah satu dari onggokan sayap tersebut. Dengan melangkah perlahan-lahan, ia mendekati onggokan kain itu lalu menghisap sayap yang berwarna ungu dengan saputta-nya. Setelah itu, ia segera bersumbunyi di balik pohon.
Hari sudah siang. Saatnya para bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Mereka pun segera naik ke darat. Alangkah terkejutnya salah seorang dari mereka ketika hendak mengenakan pakaiannya.
“Kakak! Apakah kalian melihat sayapku?” tanya bidadari itu.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayapnya itu adalah bidadari bungsu.
“Memang kamu letakkan di mana, Adikku?” tanya bidadari sulung.
“Adik meletakkannya di atas batu ini bersama sayap kalian,” jawab si bungsu mulai cemas.
“Wah, jangan-jangan sayapmu diterbangkan angin,” imbuh bidadari yang nomor dua.
“Kalau begitu, ayo kita cari-cari bersama-sama di sekitar tempat ini!” seru bidadari sulung.
Ketujuh bidadari tersebut sudah mencari di sekitar telaga, namun sayap si bungsu belum juga mereka temukan. Karena hari sudah semakin siang, akhirnya enam bidadari yang lain harus segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini,” ujar bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan Adik, Kakak! Adik takut tinggal di sini seorang diri,” kata bidadari bungsu mengiba.
“Maafkan kami, Bungsu! Kami tidak bisa berlama-lama di tempat ini, nanti ayahanda marah,” imbuh bidadari lainnya.
Akhirnya, keenam bidadari tersebut terpaksa meninggalkan si bungsu di bumi. Bidadari bungsu pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis dan meratapi nasibnya yang malang. Manusia Ketam yang tidak tega melihat bidadari bungsu itu terus menangis, terpaksa keluar dari persembunyiannya. Ia lalu menghampiri bidadari bungsu dan menyapanya.
“Hai, gadis cantik! Kenapa kamu menangis?” tanya Manusia Ketam seolah-olah tidak mengetahui penyebab kesedihan bidadari cantik itu.
“Sayapku hilang, Tuan,” jawab putri bungsu sambil menangis tersedu-sedu, “Apakah Tuan melihat sayap saya?”
Manusia Ketam tersenyum dan kemudian mengatakan bahwa sayap itu ada pada dirnya.
“Maaf, putri cantik! Akulah yang mengambil sayapmu. Aku akan mengembalikannya kepadamu tapi dengan satu syarat,” ujar Manusia Ketam.
“Apakah syaratmu itu, Tuan?” tanya Bidadari Bungsu.
“Kamu sungguh cantik dan mempesona. Maukah kamu menjadi istriku?” ungkap Manusia Ketam.
Bidadari Bungsu terdiam. Ia merasa bahwa syarat itu sungguhlah berat baginya karena ia tidak akan mungkin tinggal di bumi. Kedua orang tuanya pasti akan murka kepadanya. Namun karena Manusia Ketam terus menekan dan mengancam tidak akan menyerahkan sayap itu kepadanya, akhirnya ia terpaksa memenuhi syarat tersebut.
“Baiklah, Tuan. Aku terima syaratmu, tapi kamu juga harus memenuhi satu syarat dariku,” ujar Bidadari Bungsu.
“Apakah syaratmu itu, Putri? Katakanlah!” desak Manusia Ketam.
“Setelah kita menikah nanti, kamu harus ikut bersamaku kembali ke Kahyangan,” jawab Bidadari Bungsu.
“Ha, hanya itukah syaratmu Tuan Putri?” tanya Manusia Ketam, “Dengan senang hati, aku bersedia tinggal bersamamu di Negeri Kahyangan”.
Akhirnya, Manusia Ketam dan Bidadari Bungsu menikah. Setelah itu, keduanya terbang bersama menuju ke Negeri Kahyangan. Mereka tiba di sana saat malam sudah larut. Manusia Ketam terheran-heran melihat sebuah pemandangan yang sangat mengagumkan. Tampak sebuah kota yang terang benderang oleh lampu berkelap-kelip dengan sangat indah. Di tengah kota itu berdiri sebuah istana yang amat megah dan luas. Di depan istana terdapat jalan raya yang luas dan bersih. Jalan raya itu terlihat ramai oleh lalu-lalang orang yang lewat. Mereka pun kemudian beristirahat di sebuah kamar yang luas dan indah di dalam istana.
Keesokan hari, Manusia Ketam sangat heran karena kota yang semalam dilihatnya telah berubah menjadi sebuah pohon yang amat besar. Orang-orang yang lalu-lalang pun berubah menjadi burung, termasuk istrinya. Manusia Ketam bersama burung-burung tersebut tinggal di atas pohon. Pagi itu, bidadari bungsu yang telah menjelma menjadi burung terbang mencari makan, sedangkan Manusia Ketam tetap berada di pohon itu menunggu istrinya pulang. Begitu malam tiba, pohon besar itu kembali berubah menjadi kota. Keadaan seperti itu terus berlangsung setiap hari sehingga lama-kelamaan Manusia Ketam menjadi terbiasa.
Suatu hari, bidadari bungsu mengandung. Ia pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada suaminya.
“Kanda, kini Dinda telah mengandung,” ungkap bidadari bungsu, “Tapi, setelah anak kita lahir nanti, Dinda meminta Kanda untuk berjanji.”
“Berjanji untuk apa Dinda?” tanya Manusia ketan dengan penasaran.
“Kanda harus berjanji untuk tidak melihat anak kita setelah lahir nanti,” jawab bidadari bungsu.
“Kenapa Dinda? Bukankah dia itu anak Kanda juga?” tanya Manusia Ketam dengan heran.
“Ketahuilah, Kanda! Tidak seorang pun manusia yang boleh tinggal di negeri ini. Oleh karenya, Kanda harus memenuhi janji itu. Jika tidak, Kanda dan anak kita akan diusir dari negeri ini,” jelas Bidadari Bungsu.
Akhirnya, Manusia Ketam pun berjanji untuk memenuhi permintaan istrinya. Beberapa bulan kemudian, Bidadari Bungsu pun melahirkan. Meski demikian, Manusia Ketam tidak bisa meluapkan perasaan bahagianya karena ia tidak boleh melihat darah dagingnya sendiri. Hatinya pun diselimuti oleh rasa penasaran yang amat dalam.
Suatu hari, ketika istrinya sedang pergi mencari makan, Manusia Ketam secara diam-diam menengok ke tempat anaknya diletakkan. Tanpa diduga, ternyata ia hanya mendapati sebutir telur besar di tempat itu. Ia pun semakin penasaran. Telur itu kemudian diambil lalu diamatinya secara seksama. Setelah itu, telur tersebut ia kembalikan ke tempatnya karena takut ketahuan istrinya. Namun, saat ia meletakkan telur itu tidak lagi seperti posisinya semula.
Tak berapa lama kemudian, bidadari bungsu telah kembali. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat posisi telur itu telah berubah.
“Wah, suamiku pasti telah menyentuh telur ini,” gumamnya.
Bidadari Bungsu sangat marah karena mengetahui suaminya telah melanggar janji. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia kemudian melemparkan suami dan anaknya yang berwujud telur itu ke bumi. Keduanya pun jatuh di atas tanah Kepulauan Talaud, tempat asal Manusia Ketam semula. Tak ayal, telur itu pun pecah. Sungguh sebuah peristiwa yang ajaib. Dari dalam telur itu keluar seorang bayi perempuan mungil yang amat cantik. Akhirnya, Manusia Ketam pun merawat bayi itu dengan penuh kasih sayang hingga dewasa. Menurut keyakinan masyarakat setempat, perempuan itulah yang kemudian menurunkan orang-orang di Kepulauan Talaud.
* * *
Demikian cerita Alamona Ntautama Ntaloda: Manusia Pertama di Kepulauan Talaud, dari daerah Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka mengingkari janji seperti Manusia Ketam akan mendapatkan akibat dari pengingkaran tersebut. Ia dilemparkan oleh istrinya dari Kahyangan karena telah mengingkari janji untuk tidak melihat bayinya. Akibatnya, ia pun berpisah dengan sang istri yang cantik jelita itu.

Pelajaran lain yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang tidak jujur, maka sesuatu itu akan mudah lenyap. Manusia Ketam berhasil menikahi bidadari bungsu karena ketidakjujurannya, yaitu dengan cara menyembunyikan sayap bidadari bungsu. Dengan sayap itu, ia kemudian memaksa bidadari untuk menikah dengannya. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa bidadari bungsu bersedia menikah dengan Manusia Ketam karena terpaksa, bukan berdasarkan cinta dan kasih sayang yang tulus.

Rabu, 15 Mei 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sigarlaki Dan Limbat

Sigarlaki dan Limbat adalah dua orang pemburu binatang yang tinggal di daerah Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Sigarlaki adalah seorang majikan sedangkan Limbat adalah pelayannya. Suatu hari, Sigarlaki menuduh pelayannya itu mencuri sisa daging binatang buruannya yang disimpan di dalam lemari. Karena si pelayan menolak tuduhan itu, maka Sigarlaki ingin menguji kejujuran pelayannya itu. Ujian apakah yang akan diterima oleh Limbat? Berhasilkah Limbat melalui ujian tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Sigarlaki dan Limbat berikut ini.




Pada zaman dahulu, daerah Tondano, yang kini termasuk ke dalam wilayah Sulawesi Utara, merupakan sebuah daerah yang subur. Hutan lebat terhampar begitu luas. Di antara hamparan hutan tersebut terdapat sungai-sungai dan rawa-rawa yang airnya sangat jernih. Berbagai jenis burung dan binatang liar pun hidup bebas di tengah-tengah hutan tersebut. Mulai dari binatang yang hidup di air seperti ikan, udang, dan kepiting hingga binatang yang hidup di darat seperti ular, babi hutan, rusa, dan sebagainya.
Di pinggir sebuah kolam di dalam hutan itu, hiduplah seorang pemuda perkasa yang bernama Sigarlaki. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai pemburu binatang. Ia sangat mahir menombak. Hampir tidak ada sasaran yang luput dari tombakannya.
Sigarlaki tinggal bersama dengan pelayannya yang bernama Limbat. Limbat adalah seorang pelayan yang jujur dan setia. Apapun pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya, ia senantiasa melaksanakannya dengan baik. Ke mana pun majikannya pergi, ia selalu turut serta menemani.
Suatu hari, Sigarlaki dan Limbat berburu agak jauh ke tengah hutan. Sudah setengah hari mereka berburu, namun tak seekor binatang buruan pun yang mereka dapatkan. Hari itu, hutan tampak sepi. Karena mulai kesal dan hari pun menjelang siang, akhirnya Sigarlaki mengajak Limbat untuk beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon rindang.
“Limbat! Kita beristirahat dulu. Perburuan kita lanjutkan setelah istirahat nanti!” ujar Sigarlaki.
“Baik, Tuan!” jawab Limbat seraya mengeluarkan bekal yang dibawanya dari rumah.
Sambil menikmati santapan, Sigarlaki memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tombaknya selalu siap di dekatnya untuk digunakan jika tiba-tiba ada binatang buruan yang melintas di depannya. Namun, tak seekor binatang pun yang melintas hingga mereka selesai bersantap. Hati Sigarlaki pun semakin tidak tenang. Ia semakin penasaran dan tidak sabar lagi ingin menombak binatang buruan. Setelah merasa cukup istirahat, ia segera mengajak Limbat untuk kembali melanjutkan perburuan.
Kemudian mereka berjalan menyusuri hutan dan semak-belukar hingga jauh ke dalam. Sigarlaki berkali-kali mengeluh karena belum berhasil mendapatkan seekor pun binatang buruan. Limbat dengan sabar mendengar keluhan majikannya walaupun ia sering terkena imbas kemarahan sang majikan.
Setelah senja turun, Sigarlaki dan Limbat kembali ke rumah tanpa membawa hasil. Setibanya di rumah, Sigarlaki memerintahkan Limbat agar segera memasak sisa daging babi hutan yang ada di lemari.
“Limbat, cepat masak daging yang ada di lemari itu! Aku sudah lapar sekali!” seru Sigarlaki.
“Baik, Tuan!” jawab Limbat.
Sigarlaki berbaring di balai-balai bambu depan rumahnya sambil menunggu Limbat selesai memasak. Hari itu benar-benar hari yang sangat mengesalkan bagi Sigarlaki. Sementara itu, Limbat yang akan mengerjakan perintah tuannya tersentak kaget karena daging persediaannya di lemari hilang. Dengan hati cemas, ia pun segera melaporkan hal itu kepada majikannya.
“Maaf, Tuan! Daging persediaan kita tidak ada di lemari,” lapor Limbat dengan perasaan gugup.
Mendengar laporan itu, kekesalan Sigarlaki pun semakin menjadi-jadi.
“Hai, Limbat! Pasti kamu yang telah mencuri daging itu!” tuduh Sigarlaki.
“Ampun, Tuan! Demi Tuhan, bukan saya yang mengambil daging itu,” jawab Limbat menolak tuduhan itu.
“Hai, Pelayan bodoh! Kamu tidak usah menyangkal!” bentak Sigarlaki.
“Benar, Tuan! Bukan saya yang mengambilnya,” jawab Limbat.
 “Coba buktikan kalau memang kamu benar, hai Pelayan!” seru Sigarlaki.
“Bagaimana caranya saya membuktikannya, Tuan?” tanya Limbat bingung.
Sigarlaki mencelupkan tombaknya ke dalam kolam di dekat rumahnya. Lalu ia menyuruh Limbat menyelam ke dalam kolam itu. Sebelum tombaknya tenggelam ke dalam air, Sigarlaki berpesan kepada Limbat.
“Hai, Limbat! Jika kamu lebih dulu keluar dari kolam daripada tombak itu, berarti kamulah yang mencuri daging itu. Tapi, jika tombak ini yang lebih dulu keluar, berarti kamu tidak bersalah,” ujar Sigarlaki.
Limbat merasa syarat yang diberikan majikannya itu sangat tidak masuk akal. Tombak yang matanya terbuat dari besi itu tidak akan mungkin terapung, apalagi jika tombak tersebut tertancap di dasar kolam itu. Karena merasa tidak mencuri, Limbat pun menuruti permintaan majikannya dengan hati yang sabar.
Begitu Sigarlaki menenggelamkan tomboknya ke dasar kolam, Limbat pun segera menyelam. Namun, baru saja Sigarlaki menenggelamkan tombaknya, tiba-tiba seekor babi hutan muncul dari balik semak-semak hendak minum di tepi kolam. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat kembali tongkatnya lalu melemparkannya ke arah babi hutan itu. Namun, sayang, tombakannya kali ini luput sehingga babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.

Sementara itu, Limbat yang baru saja muncul ke permukaan air kolam sangat senang karena merasa telah berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, Sigarlaki yang terlanjur kecewa meminta agar pembuktian itu diulangi lagi.
“Hai, Limbat! Pembuktian ini saya anggap batal. Aku mengangkat tombak ini dari kolam itu karena aku melihat seekor babi hutan di tepi kolam itu. Untuk itu, pembuktian ini harus kita ulangi,” jelas Sigarlaki.
Limbat pun tak berdaya untuk menolak permintaan majikannya itu. Akhirnya, dengan penuh keyakinan, Limbat menuruti permintaan itu untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar tidak bersalah. Baru saja Sigarlaki menancapkan tombaknya ke dalam kolam, tiba-tiba seekor kepiting besar keluar dari kolam itu lalu menggigit kaki Sigarlaki. Sigarlaki pun menjerit kesakitan dan tanpa sengaja ia mengangkat kembali tongkatnya.
Sementara itu, Limbat yang baru saja muncul ke permukaan air kolam melihat kaki tuannya digigit kepiting segera naik ke darat untuk menolongnya. Setelah melepas gigitan kepiting itu, ia mengobati luka di kaki tuannya dengan dedaunan. Dengan demikian, Limbat berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah. Sigarlaki pun segera meminta maaf kepada Limbat untuk mengakui kesalahannya.
“Maafkan saya Limbat, karena telah menuduhmu mencuri daging itu!” ucap Sigarlaki.
“Iya, Tuan! Kita lupakan saja semua kejadian tadi. Yang penting Tuan telah selamat dari gigitan kepiting itu,” kata Limbat sambil tersenyum.
Sungguh mulia hati Limbat. Meskipun telah dizalimi, ia tidak segan-segan untuk menolong tuannya. Sejak saat itu, Sigarlaki tidak pernah lagi menzalimi Limbat. Bahkan, ia telah menganggap Limbat sebagai saudara sendiri, bukan sebagai pelayan lagi.
* * *
Demikian cerita Sigarlaki dan Limbat dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita di atas termasuk dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah keutamaan sifat sabar, penurut, tidak pendendam, suka menolong, dan akibat buruk dari sifat suka menuduh sembarangan orang lain. Sifat sabar, penurut, tidak pendendam, dan suka menolong terlihat pada sikap dan perilaku Limbat. Ia selalu menuruti segala perintah dan sabar menghadapi sikap buruk majikannya. Meskipun telah dizalimi oleh Sigarlaki, ia tidak pernah merasa dendam dan bahkan tidak segan-segan menolong tuannya itu. Sementara itu, Sigarlaki mendapat hukuman berupa gigitan kepiting karena telah menuduh si Limbat secara sembarangan.