Tampilkan postingan dengan label Nusa Tenggara Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nusa Tenggara Barat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 September 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ratna Ayu Wideradin Dan Monyet

Ratna Ayu Wiraderin adalah putri bungsu Raja Indrapandita yang berkuasa di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Raden Ratna Ayu Wiraderin difitnah oleh kedelapan kakaknya karena iri akan kecantikan si bungsu itu. Apalagi Ratna Ayu Wiraderin memiliki seekor monyet yang cerdik dan bisa bicara. Oleh karena itu, mereka ingin mengucilkan dan merampas monyet itu dari Ratna Ayu Wiraderin. Bagaimana nasib Ratna Ayu Wiraderin selanjutnya? Berikut kisahnya dalam cerita Ratna Ayu Wideradin dan Monyet.

Alkisah, di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Indrapandita. Raja itu memiliki sembilan putri yang cantik-cantik. Putri sulungnya bernama Denda Wingi, sedangkan si bungsu bernama Ratna Ayu Wideradin. Dari kesembilan putri raja tersebut, si bungsulah yang paling cantik dan mempesona. Maka, tidak mengherankan jika si bungsu menjadi idola bagi pemuda dari berbagai negeri.
Rupanya, kecantikan Ratna Ayu Wideradin membuat iri kedelapan kakaknya, terutama si sulung, Denda Wingit. Oleh karena itu, ia mengajak adik-adiknya yang lain untuk menyingkirkan si bungsu.
“Si Bungsu harus kita singkirkan dari istana ini,” kata Denda Wingit, “Keberadaannya telah menganggu ketenteraman kita semua. Setiap pangeran yang datang, Putri Bungsu yang selalu menjadi pilihan mereka.”
“Setuju, Kakak,” sahut putri yang ketiga, “Tapi, bagaimana cara kita mengusir si Bungsu dari istana ini?”
“Tenang, adikku. Kita bilang saja kepada Ayahanda bahwa ia telah berbuat tidak senonoh dengan pemuda kampung,” usul Denda Wingit.
“Apakah Ayahanda mau mempercayai kita?” tanya putri yang lainnya.
“Tidak usah khawatir,” ujar Denda Wingit, “Kita akan membayar seorang pemuda kampung untuk mengaku di hadapan Ayahanda bahwa ia telah melakukan hal-hal yang tidak baik dengan si Bungsu.”
Akhirnya, kedelapan putri raja tersebut bersepakat untuk menghasut Ayahanda mereka. Keesokan harinya, seorang pemuda kampung yang sebenarnya telah dibayar oleh para putri itu datang menghadap raja. Pemuda itu mengaku bahwa ia telah berbuat yang tidak senonoh dengan Putri Ratna Ayu. Sang Raja langsung murka, dan memerintahkan agar si Bungsu segera dipanggil untuk menghadapnya. Sementara putri-putri lainnya yang juga ada di ruangan itu tampak saling memandang dan tersenyum senang.
 “Cepat panggilkan Putri Bungsu ke mari!” titah sang Raja.
“Baik, Ayah,” kata putri ketujuh.
Tidak berapa lama kemudian, putri ketujuh itu kembali bersama si Bungsu.
“Dasar anak tidak tahu diri!” bentak sang Raja kepada putri bungsunya itu, “Kamu telah membuat malu kerajaan ini. Sebagai hukuman atas perbuatanmu, mulai saat ini kamu tinggal di gubuk yang ada di belakang lingkungan istana ini!”
Betapa terkejutnya si Bungsu mendengar titah itu. Ia benar-benar heran pada sang ayah yang tiba-tiba mengusirnya dari istana. Merasa tidak bersalah, ia pun berusaha melakukan pembelaan di hadapan ayahandanya.
“Apa salah Ananda? Kenapa Ayah tiba-tiba murka?” tanya si Bungsu.
“Ah, tidak usah banyak omong! Cepat keluar dari istana ini dan tinggallah di gubuk itu!” tukas sang Raja.
Sungguh malang nasib Putri Ratna Ayu. Putri Bungsu ini pun harus tinggal di gubuk bambu di halaman belakang istana. Di gubuk itu, ia hanya ditemani oleh seorang inang (pengasuh) yang bernama Rangda Sayoman. Meskipun berada dekat istana, namun tak seorang pun keluarganya yang peduli kepadanya. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di badannya. Makan pun seadanya. Oleh karena itulah, sang inang menjulukinya dengan nama Winangsia, yaitu putri yang tersia-sia.
Winangsia mengisi hari-harinya dengan melukis dan menulis syair yang indah. Bakat itu sudah ia miliki sejak masih kecil. Suatu hari, Winangsia melukis wajahnya pada sehelai kertas. Kemudian di bawah lukisan itu, ia menuliskan syair tentang nasibnya yang merana. Syair itu sangat indah dan menyentuh hati siapa saja yang membacanya. Namun, ketika hendak menggulung kertas itu, tiba-tiba angin kencang datang menerbangkannya.
Kertas itu terus melayang tinggi ke angkasa menuju Pulau Jawa dan akhirnya tersangkut di pohon yang ada di dekat kolam pemandian seorang pangeran yang bernama Raden Witarasari. Ia adalah putra sulung Raja Indrasekar, seorang penguasa di sebuah kerajaan di Jawa. Raja Indrasekar ternyata bersaudara dengan Raja Indrapandita, ayahanda Putri Ratna Ayu. Raden Witarasari mempunyai seorang adik laki-laki yang sakti bernama Raden Kitabmuncar.
Keesokan paginya, Raden Witarasari hendak mandi di kolam pemandiannya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kertas yang tersangkut di atas pohon. “Kertas apa itu? Siapa yang meletakkannya di situ?” gumamnya.
Setelah mengamati kertas itu lebih dekat, Raden Witarasari melihat sebuah lukisan wanita cantik di dalamnya. Karena penasaran, cepat-cepat ia memanjat pohon lalu mengambil kertas itu. Setelah turun, ia terus memandangi lukisan itu tanpa berkedip sedikit pun.
“Cantik sekali gadis ini,” kata Raden Witarasari takjub, “Tapi, siapakah dia?”
Raden Witarasari kemudian membaca syair-syair yang tertulis di atas kertas itu. Maka tahulah ia bahwa gadis itu adalah sepupunya. Begitu ia menyelami isi syair itu dari bait ke bait, tiba-tiba hatinya terenyuh dan sedih. Saking sedihnya, Raden Witarasari jatuh pingsan. Untung Raden Kitabmuncar datang menolongnya.
Setelah siuman, Raden Witarasari menunjukkan lukisan itu kepada adiknya.
“Adikku, bacalah syair-syair di kertas ini,” kata Raden Witarasari.
Raden Kitabmuncar pun tak kuasa menahan air matanya saat membaca syair-syair itu.
“Kanda, kita harus segera menolongnya,” ujar Raden Kitabmuncar.
“Benar. Tapi sebaiknya hal ini kita beritahukan Ayahanda terlebih dahulu,” kata Raden Witarasari.
Kedua pengeran itu pun segera menghadap sang Ayahanda. Raden Witarasari kemudian menceritakan isi syair itu sekaligus memohon izin pergi ke Lombok untuk menolong Winangsia.
“Baiklah. Segeralah kalian menolong saudara sepupumu yang malang itu,” kata sang Raja.
Raden Witarasari kemudian meminta bantuan adiknya yang sakti itu agar dibuatkan sebuah kapal dagang yang megah dengan barang dagangan yang indah. Dalam sekejap, tugas itu pun berhasil diselesaikan. Keesokan harinya, kedua pangeran itu bertolak menuju Lombok. Raden Witarasari menyamar sebagai pedagang dengan nama Jamal Malik. Sementara Raden Kitabmuncar berpura-pura sebagai pembantunya.
Setiba di pelabuhan Lombok, Raden Kitabmuncar segera meminta bantuan syahbandar (kepala pelabuhan) untuk melapor kepada raja bahwa ada kapal yang membawa barang dagangan yang bagus-bagus dengan harga murah. Syahbandar itu pun segera menuju ke istana raja. Tak lama kemudian, syahbandar itu kembali bersama rombongan Raja Indrapandita yang datang bersama kedelapan putrinya. Jamal Malik pun menyambut mereka dengan penuh hormat.
“Silahkan, Baginda! Barangkali ada barang hamba yang cocok dengan Baginda atau putri-putri Baginda,” sambut Jamal Malik.
Raja Indrapandita pun membelikan pakaian yang indah-indah untuk kedelapan putrinya. Setelah rombongan Raja kembali ke istana, ratusan penduduk berdesak-desak naik ke kapal untuk berbelanja barang murah. Salah seorang di antaranya adalah inang Randa Sayoman.
Raden Kitabmuncar yang sakti itu tahu bahwa Rangda Sayoman adalah inangnya Winangsia. Maka, cepat-cepatlah ia memberitahu kakaknya. Raden Witarasari meminta agar dirinya diubah menjadi monyeh (monyet). Setelah itu, Raden Kitabmuncar segera menawarkan monyeh itu kepada inang Randa Sayoman. Monyet itu ajaib, bisa berbicara laksana manusia. Randa Sayoman pun tertarik membelinya untuk diberikan kepada Winangsia.
“Berapa harga monyet ini, tuan?” tanta Randa Sayoman.
“Berapa pun uang yang Anda miliki, monyet ini boleh dibawa pulang,” ujar Raden Kitabmuncar.
Inang Rangda pun menyerahkan uangnya, lalu membawa pulang monyet itu untuk diberikan kepada Winangsia. Alangkah senangnya hati Winangsia karena memiliki monyet yang pandai bicara. Monyet itu juga cerdik, bisa melakukan apa saja yang diperintahkan kepadanya. Saking sayangnya kepada monyet itu, Winangsia selalu membawanya ke mana pun pergi.
Rupanya, kedelapan saudaranya kembali iri kepada Winangsia. Maka, timbullah niat mereka ingin merebut monyet itu. Mereka kemudian menyusun siasat dengan meminta ayahandanya agar menyuruh seluruh putrinya menari bersama-sama di pendapa. Tapi, syaratnya harus berpakaian bagus dan indah. Tentu saja Putri Winangsia tidak dapat memenuhi syarat itu karena tidak memiliki pakaian yang indah seperti kakak-kakaknya.
“Hai, Putri Bungsu. Jika kamu tidak ikut menari dengan pakaian yang indah, maka kamu akan celaka dan monyet itu akan menjadi milik kami,” ancam putri sulung.
Putri bungsu yang malang itu pun hanya bisa pasrah. Malam harinya, monyet penjelmaan Raden Witarasari itu diam-diam pergi ke kapalnya. Ia mengambil pakaian tari dan segala perlengkapannya untuk Winangsia. Sebelum pergi, ia menanggalkan pakaian monyetnya di dekat gubuk Winangsia.
Malam itu, Putri Winangsia belum tidur karena sulit memejamkan matanya. Ketika berjalan keluar gubuknya, ia menemukan pakaian monyet milik Raden Witarasari. Pakaian itu langsung dibakarnya karena dikiranya sampah. Tak lama kemudian, Raden Witarasari pun kembali namun ia tidak menemukan pakaian monyetnya. Akhirnya, penyamarannya pun ketahuan oleh Winangsia. Terpaksa dengan jujur ia menceritakan perihal dirinya dan memberikan pakaian tari itu kepada Winangsia. Putri bungsu itu pun amat senang karena ternyata monyet itu adalah sepupunya yang ingin menolongnya.
Keesokan harinya, acara menari bersama di pendapa pun dimulai. Kedelapan kakaknya terlihat sudah menunggu dengan mengenakan pakain tari yang indah. Namun, betapa terkejutnya mereka saat melihat Winangsia berjalan menuju ke pendapa bersama seorang pemuda tampan. Adik bungsu mereka itu tampak begitu cantik dan anggun dengan pakaian tarinya. Saat menari, ia tampil dengan penuh percaya diri dan sungguh menghibur para penonton, terutama sang Raja.
Setelah acara selesai, Raden Witarasari pun menceritakan semua perlakuan kedelapan putrinya terhadap Putri Ratna Ayu Wideradin. Mendengar laporan itu, sang Raja berbalik menghukum mereka karena telah memfitnah si Bungsu. Sementara itu, Putri Ratna Ayu Wideradin akhirnya dilamar oleh Raden Witarasari. Setelah menikah, mereka pun berangkat ke Jawa dan hidup berbahagia di sana. 
 * * *
Demikian cerita Ratna Ayu Wideradin dan Monyeh dari Nusa Tenggara Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang bersifat iri hati seperti kedelapan putri Raja Indrapandita pada akhirnya mendapat balasan yang setimpal. Sebaliknya, orang yang teraniaya dan selalu bersabar seperti Putri Ratna Ayu Wideradin akan mendapatkan kebahagiaan.

Sabtu, 29 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Batu Goloq

Batu Goloq adalah sejenis batu ceper yang terdapat di sebuah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Batu ini diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penyebab munculnya tiga nama tempat di daerah Nusa Tenggara Barat, yakni Desa Gembong, Dasan Batu, dan Montong Teker. Peristiwa apakah yang terjadi, sehingga Batu Goloq ini menyebabkan munculnya tiga buah nama daerah tersebut? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Goloq berikut ini.



Alkisah, di daerah Padamara dekat Sungai Sawing, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, ada sepasang suami-istri miskin yang memiliki dua orang anak yang masih kecil. Sang Suami bernama Amaq Lembain, sedangkan sang Istri bernama Inaq Lembain. Mereka bekerja sebagai buruh tani. Setiap hari mereka  berjalan ke desa-desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi. Setiap kali pergi menumbuk padi, mereka selalu membawa kedua anaknya.
Pada suatu hari, setelah setengah hari berkeliling, Inaq Lembain mendapat tawaran menumbuk padi dari seorang penduduk desa. Sebelum mulai bekerja, ia menaruh kedua anaknya di atas Batu Goloq (batu ceper) yang terletak tidak jauh dari tempatnya menumbuk padi.
“Anakku, kalian duduklah di atas batu ini! Ibu mau bekerja dulu,” ujar Inaq Lembain kepada kedua anaknya.
“Baik, Bu!” jawab kedua anak itu sambil mengangguk-angguk.
Setelah itu, Inaq Lembain mulai bekerja. Pada saat ia sedang asyik menumbuk padi, tiba-tiba kedua anaknya dikejutkan oleh sebuah peristiwa aneh. Batu Goloq yang mereka duduki tiba-tiba bergerak naik sedikit demi sedikit.
“Kak, apa yang terjadi? Kenapa batu ini bergerak?” tanya si Bungsu dengan panik.
“Entahlah, Dik! Kakak juga tidak tahu,” jawab si Sulung bingung.
Semakin lama Batu Goloq itu semakin naik. Keduanya merasa diangkat naik. Mereka pun semakin panik dan ketakutan.
“Ibu...! Tolooong...! Batu ini semakin tinggi,” teriak si Sulung.
Sang Ibu yang sedang asyik menumbuk padi hanya menjawab:
“Tunggulah sebentar, Anakku! Ibu sedang sibuk bekerja.”
Beberapa kali si Sulung berteriak memanggil, namun sang Ibu tetap asyik menumbuk padi. Semakin lama, Batu Goloq itu semakin tinggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu pun berteriak sejadi-jadinya memanggil ibu mereka. Namun, sang Ibu tetap sibuk bekerja tanpa menghiraukan keadaan kedua anaknya.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi membawa mereka hingga mencapai awan. Suara kedua anak itu pun makin lama makin sayup sampai akhirnya tidak terdengar sama sekali.
Ketika tersadar bahwa kedua anaknya sudah tidak ada di dekatnya, Inaq Lembain pun bingung mencari mereka. 

“Anakku! Di manakah kalian. Jangan tinggalkan ibu, Nak!” ucap Inaq Lembain sambil menangis tersedu-sedu.
Alangkah terkejutnya ia setelah melihat Batu Goloq tempat kedua anaknya duduk menjulang tinggi hingga ke awan. Ia pun menyadari jika kedua anaknya dibawa naik oleh Batu Goloq itu. Ia segera memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberi kekuatan untuk dapat mengambil kembali kedua anaknya.
Syahdan, doa Inaq Lembain dikabulkan. Tuhan memberikan kekuatan gaib pada sabuknya. Tanpa berpikir panjang, ia pun memenggal Batu Goloq itu. Sungguh ajaib, dengan sekali tebas, batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong, karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian kedua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu, karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Sementara potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh, sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Namun, malang nasib Inaq Lembain. Ia tidak dapat mengambil kembali kedua anaknya, karena telah berubah menjadi dua ekor burung. Anaknya yang sulung berubah menjadi burung Kekuwo, sedangkan yang bungsu berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena berasal dari manusia, kedua jenis burung itu tidak dapat mengerami telurnya.
* * *
Demikian cerita Batu Goloq dari daerah Nusa Tenggara Barat. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika menghadapi suatu masalah yang sulit diselesaikan, sebaiknya memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Inaq Lembain. Ketika mengetahui Batu Boloq membawa kedua anaknya naik ke awan, ia segera memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa, walaupun ia tidak berhasil mengambil kembali anaknya karena telah berubah menjadi burung
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda mustika ayah,
dalam beriman janganlah goyah
betulkan akal luruskan langkah
mohonlah petunjuk kepada Allah

Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa kesibukan dalam bekerja dapat menimbulkan kelalaian pada diri seseorang. Hal ini tampak pada sikap dan perilaku Inaq Lembain. Ketika kedua anaknya berteriak meminta tolong, ia tetap sibuk menumbuk padi tanpa menghiraukan keadaan dan keselamatan kedua anaknya.

Jumat, 28 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sandubaya Dan Lala Seruni

Sandubaya dan Lala Seruni adalah sepasang suami istri yang tinggal di wilayah Kerajaan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Paras Lala Seruni yang cantik membuat Raja Lombok tergila-gila pada istri Sandubaya itu dan bermaksud merebutnya. Berhasilkah rencana keji Raja Lombok tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Sandubaya dan Lala Seruni berikut ini. 



Dahulu, saat Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Kertajagat atau Prabu Kertajaya, hiduplah sepasang suami istri muda, yaitu Sandubaya dan Lala Seruni. Kecantikan Lala Seruni tiada duanya di negeri itu. Wajahnya bagaikan bulan purnama, putih bersih dan cemerlang bersinar.
Suatu malam, Sandubaya bersama istrinya sedang beribadah di Pura Kayangan. Dengan khusyuk, keduanya duduk di atas sehelai tikar sambil mengatupkan kedua telapak di depan ubun-ubun dan ujung jari-jari mereka menjepit sehelai bunga. Di depan mereka tampak sebuah dupa sebagai pengantar sembah mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Usai berdoa, keduanya pun bersiap-siap untuk pulang. Ketika mereka hendak meninggalkan pura, tiba-tiba Prabu Kertajaya datang bersama rombongannya, juga bermaksud untuk bersembahyang.
Melihat kedatangan sang Raja, Sandubya dan Lala Seruni segera memberi hormat. Prabu Kertajaya pun membalasnya dengan senyum dan tatapan penuh kekaguman kepada Lala Seruni. Ia terus memperhatikan istri Sandubaya itu saat berjalan meninggalkan pura hingga hilang dari pandangannya.  
“Hai, Patih! Siapa wanita cantik itu? Apakah kamu mengenalnya?”
“Hamba, Baginda Prabu! Wanita itu bernama Lala Seruni, sedangkan pemuda yang bersamanya itu adalah suaminya. Mereka baru saja menikah beberapa hari yang lalu,” jelas sang Patih.
Rupanya, Prabu Kertajaya terpikat pada kecantikan Lala Seruni. Wajah cantik wanita itu terus berbayang-bayang dan mengganggu konsentrasinya saat bersembahyang. Pada saat itu, timbullah niatnya untuk memperistri Lala Seruni, walaupun wanita cantik itu telah bersuami.
“Aku harus mendapatkan wanita cantik itu,” kata Prabu Kertajaya dalam hati.
Usai sembahyang, sang Prabu segera mengajak rombongannya kembali ke istana dan mengumpulkan para penasehatnya di ruang sidang untuk membicarakan rencana tersebut.
“Lala Seruni adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat di negeri ini. Aku harus merebutnya dari tangan Sandubaya,” kata sang Prabu kepada para penasehatnya, “Apakah di antara kalian ada yang tahu caranya?”
Semua pembesar kerajaan yang hadir terdiam sejenak. Mereka sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan raja mereka. Tak berapa lama kemudian, sang Patih angkat bicara untuk menyampaikan isi pikirannya kepada sang Prabu.
“Ampun, Baginda Prabu! Hamba tahu caranya,” kata sang Patih.
“Apakah itu, wahai Patih? Ayo, cepat katakan!” desak Prabu Kertajaya dengan tidak sabar.
“Menurut hamba, sebaiknya kita mengajak Sandubaya berburu ke hutan lalu kita lenyapkan nyawanya dengan seolah-olah diterkam binatang buas. Dengan cara ini, Lala Seruni tidak akan mencurigai kita,” saran sang Patih.
“Wah, kamu memang cerdas, Patihku,” puji sang Prabu, “Aku terima usulan itu.”
Keesokan harinya, Prabu Kertajaya segera mengutus beberapa orang prajuritnya ke rumah Sandubaya untuk mengajaknya berburu ke hutan Gebong. Setiba di sana, para utusan segera menyampaikan perintah sang Prabu kepada Sandubaya.
Sementara itu, betapa terkejutnya Sandubaya dan Lala Seruni saat melihat kedatangan mereka yang secara tiba-tiba. Apalagi, baru kali mereka didatangi oleh para prajurit kerajaan.
“Maaf, ada apa gerangan tuan-tuan datang ke mari?” tanya Sandubaya penasaran.
“Begini, Sandubaya. Kami diutus ke mari untuk mengajak kamu pergi berburu ke hutan Gebong bersama sang Prabu,” ungkap salah seorang utusan, “Besok pagi sang Prabu menunggumu di istana untuk kemudian berangkat bersama-sama ke hutan.’
Sandubaya tak kuasa menolak ajakan sang Prabu. Ia adalah rakyat yang amat taat kepada rajanya.
“Baiklah, Tuan! Hamba siap memenuhi titah sang Prabu,” jawab Sandubaya.
Setelah para utusan tersebut pergi, Lala Seruni mendekati suami tercintanya.
“Kakak, sejak kedatangan prajurit tadi, Adik merasakan firasat yang buruk dengan ajakan raja itu. Sebaiknya Kakak mengurungkan niat itu,” bujuk Lala Seruni.
“Adikku, relakanlah Kakak pergi. Semoga saja tidak akan terjadi sesuatu pada diri Kakak,” kata Sandubaya menenangkan hati istrinya.
“Bila besok kuda Kakak Gagar Mayang pulang sendirian, itu berarti Kakak telah tiada. Kakak menunggumu di pantai Manganga Baris,” pesan Sandubaya lebih lanjut.
Keesokan harinya, Sandubaya memacu kudanya yang bernama Gagak Mayang menuju istana dan diikuti oleh anjing kesayangannya yang bernama Getah. Setiba di istana, ia bersama dan rombongan Prabu Kertajaya pun berangkat ke hutan Gebong dengan membawa alat perburuan seperti tombak, golok, dan panah.
Setiba di hutan Gebong, semua anggota rombongan segera mencari binatang buruan. Sementara itu, Sandubaya terlihat seorang diri menunggang kudanya sedang mengincar seekor babi hutan yang bersembunyi di balik rerimbunan semak belukar. Dengan konsentrasi penuh, ia perlahan-lahan menarik tombak yang ada di tangannya lalu melemparkannya ke arah babi hutan itu. Apa yang terjadi?
“Aduuuuh….!”
Sandubaya menjerit kesakitan karena sebuah tombak menancap di punggunngnya. Ia pun terjatuh dari atas punggung kudanya dan tewas seketika. Rupanya, bersamaan dengan ia melemparkan tombaknya ke arah babi hutan itu, seorang prajurit menombaknya dari belakang. Melihat tuannya tak bergerak lagi, si Getah menyalak dan segera menyerang prajurit itu. Namun, anjing kesayangan Sandubaya itu pun ditombak oleh para prajurit hingga mati. Kuda Gagar Mayang yang melihat peristiwa itu segera berlari pulang.
Sementara itu, di rumah, Lala Seruni sudah gelisah sejak kepergian suaminya. Ia terus berdoa agar laki-laki yang dicintainya tetap selamat. Namun, semua harapan itu pupus saat melihat Gagar Mayang pulang sendirian.
“Oh, Kakak! Kamu benar-benar telah pergi meninggalkan Adik,” kata Lala Seruni.
Tanpa berpikir panjang, Lala Seruni segera menunggangi kuda Gaga Mayang lalu memacunya menuju hutan Gebong. Setibanya di sana, ia pun tak kuasa menahan tangis saat melihat mayat suaminya. Prabu Kertajaya pun dengan kepura-puraannya berduka cita atas kematian Sandubaya di hadapan Lala Seruni.
“Maafkan kami, Lala Seruni! Kami tidak dapat menyelamatkan nyawa suamimu dari amukan babi hutan,” bujuk Prabu Kertajaya.
Meskipun tahu bahwa suaminya meninggal bukan karena kecelakaan, Lala Seruni tidak berkata apa-apa. Ia hanya pasrah atas nasib yang menimpa suaminya. Dengan bantuan para prajurit, mayat Sandubaya pun dibawa pulang untuk dikuburkan.
Keesokan hari, Prabu Kertajaya pun mengirim utusannya untuk menjemput Lala Seruni untuk dibawa ke istana. Mulanya, istri Sandubaya itu menolak. Namun, ia tidak kuasa melawan puluhan prajurit yang memaksanya. Kuda Gagak Mayang milik Sandubaya yang juga akan dibawa serta pun menolak dan menyepak para prajurit yang hendak menariknya. Malang nasib kuda itu, ia terpaksa ditombak oleh para prajurit tersebut hingga mati.
Setelah Lala Seruni tiba di istana, sang Prabu mulai membujuknya untuk dinikahi. Namun, janda muda itu menolaknya. Ia pun semakin yakin bahwa suaminya mati bukan karena kecelakaan tetapi memang sengaja dicelakai oleh sang Prabu yang ingin sekali menikahi dirinya. Hal itulah yang membuat sedih Lala Seruni. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar serta tidak mau makan dan minum. Walaupun Prabu Kertajaya telah berkali-kali menjenguk dan membujuknya, ia tetap menolak untuk menikah dengan raja yang bengis itu.
Setelah hatinya mulai tenang, Lala Seruni mulai terbuka pikirannya.
“Kini saatnya aku harus bertindak,” katanya dalam hati.
Ketika sang Prabu datang lagi untuk membujuknya, Lala Seruni pun berkata.
“Baiklah, Baginda Prabu. Hamba mau menikah dengan Baginda tapi dengan satu syarat,” ungkap Lala Seruni.
“Apa pun syarat itu, akan kupenuhi wahai calon permaisuriku yang cantik,” kata Prabu Kertajaya dengan nada merayu.
“Sebelum kita menikah, izinkan hamba mandi di pantai Menanga Baris,” pinta Lala Seruni.
“Oh, tentu. Itu syarat yang amat mudah,” jawab Kertajaya, “Besok aku akan mengantarmu ke sana.”
Pada esok hari, Prabu Kertajaya bersama para punggawanya mengantar Lala Seruni ke Pantai Menanga Baris. Setiba di sana, mereka pun mandi dengan bersuka ria. Lala Seruni tampak gelisah menunggu kedatangan suaminya. Agar gelagaknya tidan dicurigai oleh sang Prabu, ia sesekali menyelam dan memercikkan air pada wajahnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba sekuntum teratai berwarna merah dan besar muncul dari tengah laut.
“Baginda, tolong ambilkan teratai itu untuk hamba!” pinta Lala Seruni.
Prabu Kertajaya pun segera memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengambil teratai itu. Ketika salah seorang dari mereka hendak memetiknya, tiba-tiba sekawanan ikan datang menyerang mereka hingga terluka parah. Melihat kejadian itu, sang Prabu segera turun tangan. Namun, ia pun diserang oleh kawanan ikan yang ganas itu hingga terluka.
Sementara itu, bunga teratai yang besar itu terus bergerak menuju ke tempat Lala Seruni berdiri. Begitu mendekat, Lala Seruni pun naik ke atasnya. Dengan cepat, teratai itu bergerak ke tengah laut dan mengantarkan Lala Seruni ke tempat penantian suaminya. Menyaksikan kejadian itu, sang Prabu dan para prajuritnya hanya bengong. Mereka tidak mampu mencegahnya. Lala Seruni pun semakin jauh ke tengah laut hingga dari pandangan mereka. Menurut cerita, Lala Seruni dikabarkan hilang dan bertemu dengan suaminya di alam arwah.
Sementara itu, kakak Sandubaya yang bernama Demung Brangbantun murka mendengar kesewenang-wenangan Prabu Kertajaya terhadap adik dan iparnya. Ia pun menyiapkan pasukannya untuk menyerang Prabu Kertajaya. Menurut cerita, pertempuran tersebut berlangsung cukup lama. Suatu hal yang menarik dalam peperangan ini adalah pasukan Kertajaya menggunakan senjata berupa binatang laut, sedangkan pasukan Demung Brangbantun menggunakan jajanan dan makanan lainnya. Penggunaan senjata yang demikian diusulkan oleh Prabu Rangkasari untuk menghindari korban jiwa.
Akhirnya, pasukan Demun Brangbantun berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Lombok. Kekalahan itu membuat Raja Kertajaya malu sehingga ia membenturkan kepalanya ke batu hingga akhirnya tewas di tempat.
Sepeninggal Kertajaya, tahta Kerajaan Lombok diduduki oleh Prabu Rangksari. Raja Lombok yang baru itu amat cinta kedamaian. Ia pun mengajak Demung Brangbantun berdamai. Kakak Sandubaya itu pun menyetujuinya. Akhirnya, Kerajaan Lombok kembali aman dan tenteram di atas kepemimpinan Prabu Rangksari yang adil, arif, dan bijaksana.
* * *
Demikian cerita Sandubaya dan Lala Seruni dari daerah Nusa Tenggara Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa kesetiaan dalam rumah tangga harus selalu dijaga sampai akhir hayat, seperti halnya Sandubaya dan Lala Seruni.

Pesan lain yang dapat dipetik adalah bahwa pemimpin yang suka bertindak sewenang-wenang seperti Prabu Kertajaya pada akhirnya akan mendapatkan balasan yang setimpal. Sebaliknya, pemimpin yang cinta kedamaian seperti Prabu Rangkasari akan dicintai dan dihormati oleh rakyatnya.

Kamis, 27 Juni 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Ki Rangga

Ki Rangga adalah putra angkat Prabu Aria Pelabu, Raja Kahuripan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang sakti mandraguna. Tidak seorang pun di kerajaan tersebut yang sanggup mengalahkan kesaktiannya. Setelah dewasa, Ki Rangga dinikahkan dengan seorang gadis yang cantik dan diberi wilayah kekuasaan di ujung timur Kerajaan Kahuripan. Namun, semua kebaikan Prabu Aria itu ia balas dengan pengkhianatan. Suatu malam, Ki Rangga secara diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar kedua putri sang Prabu. Tentu saja perilaku Ki Rangga tersebut membuat sang Prabu amat murka kepadanya dan berniat untuk menghukumnya. Mampukah Prabu Aria Pelabu menghukum Ki Rangga yang sakti itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Ki Rangga berikut ini.


Di kaki Gunung Sasak, Lombok Barat, berdiri sebuah istana yang amat megah. Istana itu adalah tempat kediaman Prabu Aria Pelabu, raja dari Kerajaan Kahuripan. Sang Prabu bersama permaisuri dan kedua putri kesayangannya, Hina Manu dan Hina Hentar, hidup rukun dan bahagia dalam istana itu. Namun sayang, kebahagiaan itu terasa masih kurang karena keinginan sang Prabu dan permaisurinya untuk memiliki seorang anak laki-laki belum tercapai. Mereka sudah berusaha dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, namun permohonan mereka belum juga terkabulkan.
Hal itu rupanya menjadi beban pikiran Prabu Aria Pelabu hingga terbawa ke dalam mimpinya. Suatu malam, ia bermimpi menangkap seekor anak perkutut berbulu putih. Ia pun merawat burung itu hingga besar. Suaranya amat merdu dan bulu-bulunya pun sangat indah. Suatu ketika, tiba-tiba burung itu berubah menjadi ular berbisa dan menggigit san Prabu. Sejak itu, sang Prabu selalu duduk termenung memikirkan memikirkan mimpinya.
“Ya, Tuhan. Apakah mimpi ini pertanda buruk bagiku?” pikirnya, “Ah, semoga saja tidak akan terjadi sesuatu pada diriku dan keluargaku. Ini hanya sebuah mimpi.”
Prabu Aria Pelabu sudah berusaha menepis bayangan tentang mimpi itu, namun pikirannya masih saja gelisah. Untuk menenangkan diri, sang Prabu mengajak permaisuri dan kedua putrinya untuk menangkap ikan di muara Sungai Dodokan. Ia juga mengajak patih, punggawa, dan pendeta istana. Kegiatan menangkap ikan itulah satu-satunya cara yang biasa dilakukan sang Prabu untuk menghibur hatinya ketika sedang gelisah. Sejak kecil, sang Prabu memang sangat gemar menangkap ikan.
Setelah menyiapkan semua perbekalan yang diperlukan, berangkatlah Prabu Aria Pelabu bersama rombongan. Menjelang tengah hari, rombongan itu akhirnya tiba di muara Sungai Dodokan. Setelah beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makanan, sang Prabu bersama permaisuri dan kedua putrinya pergi ke muara.
“Mari kita ke muara,” ajak sang Prabu, “Kawanan ikan biasanya bergerombol di tempat itu.”
Permaisuri dan kedua putrinya pun menuruti ajakan sang Prabu. Setiba di muara itu, tiba-tiba Putri Hina Manu melihat sebuah peti yang berukir indah terapung-apung di permukaan air.
“Hai, lihat! Ada peti hanyut!” teriak Putri Hina Manu sambil menuju ke arah peti itu.
“Hai, peti apa itu?” tanya sang Prabu penasaran, “Patih, cepat angkat peti itu!”
“Baik, Baginda,” jawab patih seraya mengangkat peti itu dan membawanya ke hadapan sang Prabu.
Alangkah terkejutnya sang Prabu dan permaisuri setelah patih membuka peti itu. Di dalamnya terdapat seorang bayi laki-laki yang amat tampan dan sehat.
“Lihat, Kanda! Bayi ini tampan sekali. Aku yakin ia bukanlah anak orang biasa,“ seru Permaisuri, “Petinya berukiran amat indah. Selimutnya terbuat dari sutra yang halus dan alas tidurnya pun dari songket yang mahal.”
Melihat ketampanan bayi itu, permaisuri pun tertarik ingin merawatnya.
“Kanda, sebaiknya kita bawa pulang saja bayi ini. Aku ingin sekali merawat dan membesarkannya,” ujar permaisuri.
Prabu Aria Pelabu sejenak termenung, lalu memerintahkan pendeta untuk memberkati bayi itu sebelum mengangkatnya sebagai anak. Sebelum pemberkatan dimulai, sang Prabu menceritakan perihal mimpinya kepada pendeta itu. Mendengar cerita sang Prabu, pendeta itu akhirnya tidak jadi memberkati bayi itu seraya memberi saran kepada sang Prabu agar tidak mengambil bayi itu.
“Ampun, Baginda. Sebaiknya Baginda tidak mengangkat bayi ini sebagai anak. Kelak setelah dewasa, ia akan membawa bencana bagi Baginda,” ujar pendeta itu.
Sebenarnya, Prabu Aria Pelabu ingin menuruti nasehat sang Pendeta. Namun, permaisurinya tetap bersikeras untuk mengangkat bayi itu sebagai anak.
“Kanda, bukankah sudah lama kita menginginkan seorang anak laki-laki? Tapi, ketika Tuhan menganugerahi kita bayi laki-laki, walaupun tidak lahir dari rahim Dinda, mengapa Kanda menolaknya?” kata sang Permaisuri.
“Benar, Ayahanda! Kami pun amat senang jika mempunyai adik laki-laki. Apalagi bayi ini lucu sekali,” imbuh Putri Hina Manu.
Pria Aria Pelabu pun tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti keinginan permaisuri dan kedua putrinya. Akhirnya, mereka pun membawa pulang bayi itu ke istana dan memberinya nama Ki Rangga. Dalam asuhan sang Permaisuri, Ki Rangga diajari berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu bela diri sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Ki Rangga dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari lingkungan bangsawan istana. Setelah itu, ia diberi wilayah kekuasaan di ujung timur Kerajaan Kahuripan. Sejak itulah, Ki Rangga bersama istri dengan dibantu sejumlah pengawal menjadi penguasa di wilayah timur kerajaan milik ayah tirinya.
Meskipun telah memiliki istri, Ki Rangga rupanya secara diam-diam jatuh hati kepada kedua kakak angkatnya, Hina Manu dan Hina Hentar. Oleh karena itu, ia kerap berkunjung ke Kerajaan Kahuripan dengan alasan urusan kerajaan. Padahal sebenarnya, maksud kunjungannya ke kerajaaan itu hanya ingin bertemu dengan kedua kakak angkatnya itu.
Suatu malam, Ki Rangga menyelinap masuk ke dalam kamar Hina Manu dan Hina Hentar. Prabu Aria Pelabu yang mendapat laporan tentang peristiwa tersebut menjadi marah dan murka kepada Ki Rangga.
“Dasar, anak tidak tahu diuntung! Diberi air susu malah dibalas dengan air tuba!” kata sang Prabu geram.
Tidak terima perlakuan Ki Rangga atas kedua putrinya, Prabu Aria Pelabu berniat untuk menghukumnya. Namun karena Ki Rangga sakti mandraguna, sang Prabu terpaksa menggunakan tipu muslihat. Alhasil, ia pun berhasil menangkap anak angkatnya itu dengan cara menjeratnya dengan jala dan serat sutra. Ki Rangga kemudian dibawa ke istana dan diikat di bawah pohon besar untuk dihukum gantung pada esok harinya. Namun, pada malam hari sebelum hari pelaksanaan hukuman, Ki Rangga dapat melepaskan diri berkat kesaktiannya.
Setelah itu, Ki Rangga bersama istri dan para pengawalnya melarikan diri ke arah selatan menuju Pantai Tabua, Lombok Tengah, yang merupakan wilayah kekuasaan Raja Pejanggi. Mengetahui akan hal itu, Prabu Aria Pelabu pun meminta bantuan kepada Raja Pejanggi untuk menangkap Ki Rangga. Raja Pejanggi segera mengirim para prajuritnya ke Pantai Tabua. Rupanya, para prajurit Pejanggi tersebut tidak sanggup menghadapi kesaktian Ki Rangga. Dari duabelas prajut yang dikirim, hanya enam orang yang berhasil selamat dan itu pun dalam keadaan cacat dan terluka parah.
Mendengar kabar tersebut, Prabu Aria Pelabu tidak putus asa. Ia segera meminta bantuan kepada dua pendekar bersaudara Ari Pati dan Neq Dipati dari Batu Dendeng, yang terkenal sakti. Maka, berangkatlah kedua pendekar itu ke Pantai Tabua. Setiba di sana, mereka langsung dihadang oleh para pengikut Ki Rangga. Tidak begitu sulit bagi mereka mengalahkan pasukan Ki Rangga. Namun, ketika menghadapi Ki Rangga, mereka justru kalah meskipun telah menggunakan keris pusaka mereka. Untung mereka masih bisa menyelamatkan diri.
Keesokan harinya, Ari Pati dan Neq Dipati pun menyusun siasat agar bisa menangkap Ki Rangga. Keduanya pun berembug untuk dapat mengelabui putra angkat sang Prabu itu.
“Kanda, siasat apa yang sebaiknya kita gunakan untuk mengalahkan kesaktian Ki Rangga?” tanya Neq Dipati.
Ari Pati hanya termenung. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan sebuah cara untuk mengelabui Ki Rangga.
“Hmmm… aku tahu sekarang. Bukankah Ki Rangga itu suka pada wanita-wanita cantik alias mata keranjang?” kata Ari Pati.
“Benar, Kanda. Lalu, apa rencana Kanda selanjutnya?” tanya Neq Dipati.
“Sebaiknya kita menyamar menjadi gadis cantik lalu kita bujuk Ki Rangga agar mau membuka rahasia kesaktiannya,” ujar Ari Pati.
“Wah, itu siasat yang bagus, Kanda,” kata Neq Dipati setuju.
Akhirnya, kedua pendekar bersaudara itu dengan kesaktiannya mengubah diri mereka menjadi dua gadis cantik dan rupawan. Saat hari mulai gelap, berangkatlah kedua gadis cantik palsu itu ke Pantai Tabua dengan mengenakan pakaian dan indah. Setiba di sana, keduanya silih berganti membujuk Ki Rangga. Alhasil, Ki Rangga pun termakan oleh bujuk rayu mereka. Ia pun menceritakan rahasia kesaktiannya bahwa dirinya dapat dibunuh jika berada di dalam kamar tidurnya.
Setelah mengetahui rahasia itu, kedua gadis itu cepat-cepat berpamitan pulang. Rupanya mereka tidak segera pulang, tetapi bersembunyi di sekitar tempat Ki Rangga menginap. Saat tengah malam, Ki Rangga pun mulai mengantuk dan segera masuk ke dalam penginapannya. Pada saat itulah, Ari Pati dan Neq Dipati segera mengubah kembali dirinya menjadi dua pendekar. Setelah itu, keduanya segera menyerang Ki Rangga yang berada di dalam kamarnya. Pertarungan sengit pun terjadi. Mulanya, Ki Rangga masih mampu melawan. Namun, karena dikeroyok oleh dua pendekar sakti, akhirnya tubuhnya terkena tusukan keris pusaka milik Ari Pati. Racun pada keris itu pun langsung menjalar ke seluruh tubuh Ki Rangga hingga berwarna biru kelam. Tak berapa lama kemudian,  Ki Rangga pun tewas dengan mengenaskan.
* * *
Demikian cerita Ki Rangga dari Nusa Tenggara Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seseorang yang tidak pandai berterima kasih seperti Ki Rangga akan menerima pembalasannya.