Tampilkan postingan dengan label Nanggroe Aceh Darussalam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nanggroe Aceh Darussalam. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Putra Mahkota Amat Mude

Amat Mude adalah seorang putra mahkota dari Kerajaan Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Sebagai pewaris tahta kerajaan, ia berhak menjadi Raja Negeri Alas. Namun karena ia masih kecil dan belum sanggup mengemban tugas sebagai raja, maka untuk sementara waktu tampuk kekuasaan dipegang oleh pakcik (paman)-nya. Pada suatu hari, sang Pakcik membuang Amat Mude dan ibunya ke sebuah hutan, karena tidak ingin kedudukannya sebagai Raja Negeri Alas digantikan oleh Amat Mude. Bagaimana nasib permaisuri dan Putra Mahkota Kerajaan Alas selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putra Mahkota Amat Mude berikut ini!



Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak.
Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.
“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.
“Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.
“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.
Alangkah sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian kepadanya.
“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.
Sejak itu, sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan mereka dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya berdoa dengan penuh khusyuk.
“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai seorang putra,” pinta sang Raja.
Sebulan kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja mengetahui hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi akan memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.
Waktu terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula sang Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan.
“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.
Seminggu kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani, yakni upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh tamu undangan tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan nama putra Raja, yakni Amat Mude.
Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh badannya terasa lemah dan letih.
“Dinda! Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.
Mendengar ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari hal itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya. Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari bertambah parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.
Oleh karena Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan belum sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja, apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan. Mulanya, sang Raja memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang semula tinggal di ruang tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering menangis, sehingga mengganggu setiap acara penting di istana.
Tipu muslihat Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia mengumpulkan beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.
“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali,  buang permaisuri dan anak ingusan itu ke tengah hutan!” titah Raja Muda.
“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.
“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,” jawab Raja Muda.
“Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini dari tanganku,” ungkap Raja Muda.
“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,” ungkap pengawal yang lain.
“Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.
Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara, karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat hukuman berat.
Keesokan harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat Mude ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon rindang. Untuk bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang banyak tersedia di sekitar mereka.
Waktu terus berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan.  Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat  Mude menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan dibuatnya mata pancing.
Keesokan harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya terdapat banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang hampir sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati ibunya.
“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.
“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.
Lima ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu. Ketika akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar kaya dan pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.
“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu heran.
Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan membeli semua ikan jualan mereka.
Sesampainya di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan tersebut dengan pisaunya.
“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu dalam hati dengan penuh keheranan.
Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut ikan itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning emas, tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah emas murni.
“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!” pinta saudagar itu kepada istrinya.
“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.
“Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada istrinya.
“Baik, Bang!” jawab sang Istri.
Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar itu, permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan sahabat suaminya itu sangat baik kepada mereka.
“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.
“Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi hormat kepada permaisuri dan  Amat Mude.
Menjelang sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan membekali mereka makanan yang lezat-lezat.
Beberapa lama kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk sekitar. Di antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut sedikit demi sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.
Berita tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik Amat Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena tidak ingin melepaskan kekuasaannya.
Pada suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja Muda saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya. Dalam hatinya berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku sebagai raja”. Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa gading di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui menuju ke pulau itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu, maka akan celaka.
“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.
Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada saat ia sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan besar bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga Besar. Amat Mude pun menjadi ketakutan.
“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.
“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul dan maksud perjalanannya.
Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga itu langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran melihat sikap ketiga binatang raksasa itu.
“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.
“Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.
“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung Naga besar itu.
“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.
Akhirnya, Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke pulau yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat Mude naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat Mude. Dengan memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.
Setelah itu, Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama mencari, ia pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan hanya memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang berhasil memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”
“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.
“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.
Ketika Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya. Alangkah takjubnya ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang Putri pulang ke rumah untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan dengan ramai di kediaman Amat Mude.
Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa gading yang diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman mati. Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah yang berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas permintaan Raja Muda, Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.
* * *
Demikian cerita Putra Mahkota Amat Mude dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tabah dan giat berusaha. Sifat ini tercermin pada sikap permaisuri dan Amat Mude yang senantiasa bersikap tabah menghadapi penderitaan dan selalu giat berusaha. Akhirnya mereka menjadi kaya dan hidup bahagia. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika perbuatan jahat seseorang dibalas dengan kebaikan, maka suatu saat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari perbuatan jahatnya dan akan berbuat baik. Hal ini tergambar pada sikap dan perilaku Raja Muda yang selalu berniat jahat kepada Amat Mude, namun Amat Mude senantiasa membalas niat jahatnya tersebut dengan kebaikan. Akhirnya, Raja Muda pun menyadari perbuatannya dan menobatkan Amat Mude menjadi Raja Negeri Alas.

Senin, 07 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Tujuh Anak Lelaki

Tujuh anak lelaki dalam cerita ini adalah tujuh orang bersaudara yang dilahirkan oleh sepasang suami-istri di sebuah kampung di daerah Nanggro Aceh Darussalam, Indonesia. Ketujuh anak lelaki tersebut sungguh bernasib malang. Ketika masih kecil, mereka dibuang oleh kedua orangtua mereka ke tengah hutan jauh dari perkampungan. Mengapa ketujuh anak lelaki itu dibuang oleh kedua orangtua mereka? Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tujuh Anak Lelaki berikut ini!



Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nanggro Aceh Darussalam, ada sepasang suami-istri yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang masih kecil. Anak yang paling tua berumur sepuluh tahun, sedangkan yang paling bungsu berumur dua tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepasang suami-istri itu menanam sayur-sayuran untuk dimakan sehari-hari dan sisanya dijual ke pasar. Meskipun serba pas-pasan, kehidupan mereka senantiasa rukun, damai, dan tenteram.
Pada suatu waktu, kampung mereka dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena kekeringan. Penduduk kampung pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan mereka semakin hari semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai. Akhirnya, seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk keluarga sepasang suami-istri bersama tujuh orang anaknya itu.
Melihat keadaan tersebut, sepasang suami-istri tersebut menjadi panik. Tanaman sayuran yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka tidak lagi tumbuh. Sementara mereka tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali menanam sayur-sayuran di kebun. Mereka sudah berpikir keras mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut, namun tidak menemukan jawabannya. Akhirnya, mereka bersepakat hendak membuang ketujuh anak mereka ke sebuah hutan yang letaknya jauh dari perkampungan.
Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sedang tertidur pulas, keduanya bermusyawarah untuk mencari cara membuang ketujuh anak mereka.
“Bang! Bagaimana caranya agar tidak ketahuan anak-anak?” tanya sang Istri bingung.
“Besok pagi anak-anak kita ajak pergi mencari kayu bakar ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Pada saat mereka beristirahat makan siang, kita berpura-pura mencari air minum di sungai,” jelas sang Suami.
“Baik, Bang!” sahut sang Istri sepakat.
Tanpa mereka sadari, rupanya anak ketiga mereka yang pada waktu itu belum tidur mendengar semua pembicaraan mereka.
Keesokan harinya, sepasang suami-istri itu mengajak ketujuh putranya ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sesampainya di hutan yang terdekat, sang Ayah berkata kepada mereka:
“Anak-anakku semua! Sebaiknya kita cari hutan yang luas dan banyak pohonnya, supaya kita bisa mendapatkan kayu bakar yang lebih banyak lagi,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak lelaki itu serentak.
Setelah berjalan jauh, sampailah mereka di sebuah hutan yang amat luas. Alangkah gembiranya mereka, karena di hutan itu terdapat banyak kayu bakar. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar yang banyak berserakan. Ketika hari menjelang siang, sang Ibu pun mengajak ketujuh anaknya untuk beristirahat melepas lelah setelah hampir setengah hari bekerja.
Pada saat itulah, sepasang suami istri itu hendak mulai menjalankan recananya ingin meninggalkan ketujuh anak mereka di tengah hutan itu.
“Wahai anak-anakku! Kalian semua beristirahatlah di sini dulu. Aku dan ibu kalian ingin mencari sungai di sekitar hutan ini, karena persediaan air minum kita sudah habis,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak itu serentak.
“Jangan lama-lama ya, Ayah... Ibu...!’” sahut si Bungsu.
“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu lalu pergi mengikuti suaminya.
Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama dan kedua orangtua mereka belum juga kembali, ketujuh anak itu mulai gelisah. Mereka cemas kalau-kalau kedua orangtua mereka mendapat musibah. Akhirnya, si sulung pun mengajak keenam adiknya untuk pergi menyusul kedua orangtua mereka. Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, anak ketiga tiba-tiba angkat bicara.
“Abang! Tidak ada gunanya kita menyusul ayah dan ibu. Mereka sudah pergi meninggalkan kita semua,” kata anak ketiga.
“Apa maksudmu, Dik?” tanya si Sulung.
“Tadi malam, saat kalian sudah tertidur nyenyak, aku mendengar pembicaraan ayah dan ibu. Mereka sengaja meninggalkan kita di tengah hutan ini, karena mereka sudah tidak sanggup lagi menghidupi kita semua akibat kemarau panjang,” jelas anak ketiga.
“Kenapa hal ini baru kamu ceritakan kepada kami?” tanya anak kedua.
“Aku takut ayah dan ibu murka kepadaku, Bang,” jawab anak ketiga.
Akhirnya ketujuh anak itu tidak jadi pergi menyusul kedua orangtuanya, apalagi hari sudah mulai gelap. Mereka pun segera mencari tempat perlindungan dari udara malam. Untungnya, tidak jauh dari tempat mereka berada, ada sebuah pohon besar yang batangnya berlubang seperti gua. Mereka pun beristirahat dan tidur di dalam lubang kayu itu hingga pagi hari.
“Bang! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ke mana kita harus pergi?” tanya si anak kedua.
“Kalian tunggu di sini! Aku akan memanjat sebuah pohon yang tinggi. Barangkali dari atas pohon itu aku dapat melihat kepulan asap. Jika ada, itu pertanda bahwa di sana ada perkampungan,” kata si Sulung.
Ternyata benar, ketika berada di atas pohon, si Sulung melihat ada kepulan asap dari kejauhan. Ia pun segera turun dari pohon dan mengajak keenam adiknya menuju ke arah kepulan asap tersebut. Setelah berjalan jauh, akhirnya sampailah mereka di sebuah perkampungan. Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebuah rumah yang sangat besar berdiri tegak di pinggir kampung.
“Hei lihatlah! Besar sekali rumah itu,” seru anak keempat.
“Waaahhh... jangan-jangan itu rumah raksasa,” sahut anak keenam.
Baru saja kata-kata itu terlepas dari mulutnya, tiba-tiba terdengar suara keras dari dalam rumah itu meminta mereka masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, penghuni rumah itu pun keluar. Rupanya, dia adalah raksasa betina.
“Hei, anak manusia! Kalian siapa?” tanya Raksasa Betina itu.
“Kami tersesat, Tuan Raksasa! Orang tua kami meninggalkan kami di tengah hutan,” jawab si Sulung.
Mendengar keterangan itu, tiba-tiba si Raksasa Betina merasa iba kepada mereka. Ia pun segera mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya, lalu menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka. Oleh karena sudah kelaparan, ketujuh anak itu menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
“Habiskan cepat makanan itu, lalu naik ke atas loteng! Kalau tidak, kalian akan dimakan oleh suamiku. Tidak lama lagi ia datang dari berburu,” ujar Raksasa Betina.
Oleh karena takut dimakan oleh Raksasa Jantan, mereka pun segera menghabiskan makanannya lalu bergegas naik ke atas loteng untuk bersembunyi. Tidak lama kemudian, Raksasa Jantan pun pulang dari berburu. Ketika membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau makanan enak.  
“Waaahhh... sedapnya!” ucap raksasa jantan sambil menghirup bau sedap itu.
“Bu! Sepertinya ada makanan enak di rumah ini. Aku mencium bau manusia. Di mana kamu simpan mereka?” tanya Raksasa Jantan kepada istrinya.
“Aku menyimpan mereka di atas loteng. Tapi mereka masih kecil-kecil. Biarlah kita tunggu mereka sampai agak besar supaya enak dimakan,” jawab Raksasa Betina.
Si Raksasa Jantan pun menuruti perkataan istrinya. Selamatlah ketujuh anak itu dari ancaman Raksasa Jantan. Keesokan harinya, ketika si Raksasa Jantan kembali berburu binatang ke hutan, si Raksasa Betina pun segera menyuruh ketujuh anak lelaki itu pergi. Namun, sebelum mereka pergi, ia membekali mereka makanan seperlunya selama dalam perjalanan. Bahkan, si Raksasa Betina yang baik itu membekali mereka dengan emas dan intan.
“Bawalah emas dan intan ini, semoga bermanfaat untuk masa depan kalian,” kata Raksasa Betina.
“Terima kasih, Raksasa Jantan! Tuan memang raksasa yang baik hati,” ucap si Sulung seraya berpamitan.
Setelah berjalan jauh menyusuri hutan lebat, menaiki dan menuruni gunung, akhirnya tibalah mereka di tepi pantai. Mereka pun segera membuat perahu kecil lalu berlayar mengarungi lautan luas. Setelah beberapa lama berlayar, tibalah mereka di sebuah negeri yang diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Di negeri itu mereka menjual semua emas dan intan pemberian raksasa kepada seorang saudagar kaya. Hasil penjualan tersebut, mereka gunakan untuk membeli tanah perkebunan. Masing-masing mendapat tanah perkebunan yang cukup luas. Ketujuh bersaudara itu sangat rajin bekerja dan senantiasa saling membantu.
Beberapa tahun kemudian, mereka pun telah dewasa. Berkat kerja keras selama bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki harta kekayaan yang banyak. Kemudian masing-masing dari mereka membuat rumah yang cukup bagus. Ketujuh lelaki itu pun hidup damai, tenteram dan sejahtera.
Pada suatu hari, si Bungsu tiba-tiba teringat dan merindukan kedua orangtuanya. Ia pun segera mengundang keenam kakaknya datang ke rumahnya untuk bersama-sama pergi mencari kedua orangtua mereka.
“Maafkan aku, Kakakku semua! Aku mengundang kalian ke sini, karena ingin mengajak kalian untuk pergi mencari ayah dan ibu. Aku sangat merindukan mereka, dan aku yakin, mereka pasti masih hidup,” ungkap si Bungsu kepada saudara-saudaranya.
“Iya, Adikku! Kami juga merasakannya seperti itu. Kami sangat rindu kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan kita semua,” tambah anak keenam.
“Baiklah kalau begitu! Besok pagi kita bersama-sama pergi mencari mereka. Apakah kalian setuju?” tanya si Sulung.
“Setuju!” jawab keenam adiknya serentak.
Keesokan harinya, berangkatlah ketujuh orang bersaudara itu mencari kedua orangtua mereka. Setelah berlayar mengarungi lautan luas, tibalah mereka di sebuah pulau. Di pulau itu, mereka berjalan dari satu kampung ke kampung lain. Sudah puluhan kampung mereka datangi, namun belum juga menemukannya. Hingga pada suatu hari, mereka pun menemukan kedua orangtua mereka di sebuah kampung dalam keadaan menderita. Ketujuh orang bersaudara itu sangat sedih melihat kondisi kedua orangtua mereka. Akhirnya, mereka membawa orangtua mereka ke tempat tinggal mereka untuk hidup dan tinggal bersama di rumah yang bagus.
Sejak itu, kedua orangtua itu berkumpul kembali dan hidup bersama dengan ketujuh orang anaknya. Mereka senantiasa menyibukkan diri beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Segala keperluannya sudah dipenuhi oleh ketujuh orang anaknya yang sudah cukup kaya.
***
Demikian cerita Tujuh Anak Laki-Laki dari daerah Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan sifat mandiri. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku ketujuh anak laki-laki tersebut. Mereka senantiasa bekerja keras, menggarap lahan perkebunan mereka, sehingga mendapatkan hasil yang melimpah dan menjadi orang yang kaya di kampungnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda dengarlah manat,
tunjuk dan ajar hendaklah ingat
bulatkan hati teguhkan semangat
supaya hidupmu beroleh rahmat
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah keutamaan sifat pandai membalas budi. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku ketujuh anak laki-laki tersebut. Meskipun kedua orangtua mereka telah membuangnya ke tengah hutan, mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari orangtua yang telah melahirkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu pilihan,
membalas budi ia utamakan

Minggu, 06 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Si Kepar

Alkisah, di sebuah daerah di Kapupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Kepar. Ayah dan ibu si Kepar bercerai sejak si Kepar masih berusia satu tahun, sehingga ia tidak mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak yatim, Si Kepar sering diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Oleh karena itu, Si Kepar ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. 



Pada suatu hari, Si Kepar pun menanyakan hal itu kepada ibunya. Pada awalnya, ibunya enggan menceritakan siapa dan di mana ayah Si Kepar. Namun, akhirnya diceritakan juga setelah Si Kepar mengancam akan bunuh diri jika tidak diceritakan. Setelah jelas siapa dan di mana ayahnya, Si Kepar pun berniat untuk menemui ayahnya di atas sebuah gunung yang sangat jauh.
Setelah berpamitan pada ibunya, Si Kepar pun berangkat untuk menemui ayahnya dengan perbekalan secukupnya. Ia berjalan sendiri melawati hutan belantara, menyeberangi sungai dan mendaki gunung. Akhirnya, sampailah ia pada tempat yang dimaksud ibunya. Dari kejauhan, tampaklah seorang laki-laki setengah baya yang sedang menyiangi rumput di tengah-tengah ladangnya. Si Kepar pun segera menghampiri dan menyapanya.
“Selamat siang, Pak!”.
“Siang juga, Nak!” jawab Bapak itu.
“Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya pula Bapak itu.
“Saya Si Kepar. Berasal dari Tanah Alas,” jawab Si Kepar.
“Tanah Alas?” ucap Bapak itu. Ia tersentak kaget mendengar jawaban Si Kepar.
“Kenapa Bapak kaget mendengar nama itu?” tanya Si Kepar.
“Oh tidak, Nak! Tidak ada apa-apa,” jawab Bapak itu.
“Apa yang membawa kamu ke sini, Par?” tanya balik bapak itu.
Si Kepar pun menceritakan maksud kedatanganya, namun ia tidak menceritakan kalau ibunya masih hidup. Setelah mendengar cerita si Kepar, tahulah Bapak itu bahwa Si Kepar adalah anaknya.
Sejak itu, Si Kepar mulai silih berganti tinggal bersama ayah atau ibunya. Dalam seminggu, terkadang Si Kepar tidur tiga malam di tempat ayahnya, baru kembali ke tempat ibunya. Si Kepar tidak pernah menceritakan kepada ibunya kalau ia tidur di tempat ayahnya. Bahkan, ia mengatakan kepada ibunya, bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Semua hal ini dilakukan oleh Si Kepar, karena ia ingin kedua orang tuanya menyatu kembali agar tidak lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.
Segala daya dan upaya dilakukannya agar keinginannya dapat tercapai, walaupun ia harus berbohong kepada kedua orang tuanya. Setelah berdoa sehari-semalam, Si Kepar mendapat petunjuk dari Yang Mahakuasa. Petunjuk itu adalah menyatakan kehendaknya kepada ibunya untuk memiliki ayah tiri. Harapan ini juga disampaikan kepada ayahnya untuk memiliki ibu tiri. Pada suatu malam, Si Kepar menyampaikan harapannya itu kepada ibunya.
“Bu, sebenarnya Kepar kasihan melihat ibu yang setiap hari bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kita. Jika ibu ingin menikah lagi, Kepar tidak keberatan memiliki ayah tiri.” Mendengar perkataan Kepar itu, ibunya termenung sejenak, lalu berkata, “Benarkah kamu tidak keberatan, Par?”
“Tidak, Bu! Kepar sangat senang jika memiliki ayah lagi, agar teman-teman Kepar tidak akan lagi mengejek Kepar sebagai jazah,” Kepar menjelaskan alasan sebenarnya ingin memiliki ayah lagi.
“Tapi..., siapa lagi yang mau menikah dengan ibu yang sudah tua ini,” kata ibu Kepar merendah.
“Ibu tidak perlu khawatir. Serahkan saja masalah itu kepada Kepar,” jawab Kepar dengan perasaan lega, karena jawaban ibunya menandakan bersedia menikah lagi.
Keesokan harinya, Kepar kemudian pergi ke gunung menemui ayahnya untuk menyampaikan harapan yang sama.
“Ayah! Bolehkah Kepar meminta sesuatu kepada, Ayah?” tanya Kepar kepada ayahnya.
“Apakah itu, Anakku!” jawab ayah Kepar penasaran.
“Sebenarnya Kepar merasa kasihan melihat ayah yang setiap hari harus bekerja di ladang dan memasak sendiri. Jika ayah tidak keberatan, Kepar akan mencarikan seorang perempuan yang pantas untuk mendampingi ayah,” kata Kepar kepada ayahnya.
“Siapa lagi yang mau dengan ayah yang sudah tua ini?” jawab ayah Kepar tersenyum.
“Tenang, Ayah! Masih banyak janda-janda yang sebaya dan pantas untuk ayah di Tanah Alas,” kata Kepar kepada ayahnya memberi harapan.
“Ah, yang benar saja, Par!” jawab ayah Kepar dengan santainya.
Mendengar jawaban itu, Kepar pun tahu kalau ayahnya bersedia menikah lagi. Akhirnya, kedua orang tuanya menyetujui harapan Si Kepar. Namun, mereka belum mengetahui siapa jodohnya yang oleh mereka sama-sama telah menyerahkan masalah itu kepada Si Kepar.
Setelah itu, Kepar pun mulai mengatur taktik dan strategi untuk mempertemukan kedua orang tuanya yang semula beranggapan bahwa pasangan mereka sudah meninggal sebagaimana keterangan Si Kepar. Si Kepar mempertemukan mereka di sebuah dusun yang berada di lereng gunung, tidak jauh dari tempat tinggal ayahnya. Pertemuan ini tidak dilakukan di Tanah Alas, agar ayahnya tidak teringat dengan tempat itu, dimana dulu ia pernah tinggal di sana selama puluhan tahun.
Akhirnya, berkat usaha Kepar, kedua orang tuanya bersatu kembali. Mereka berdua hidup harmonis seperti sedia kala. Melihat keadaan itu, kini saatnya Si Kepar menceritakan keadaan yang sebenarnya, bahwa perempuan yang dinikahi ayahnya itu adalah istrinya sendiri yang dulu pernah ia nikahi. Demikian sebaliknya, laki-laki yang menikahi ibunya itu adalah suaminya sendiri yang dulu pernah menikahinya. Setelah mendengar keterangan dari Si Kepar tersebut, tahulah keduanya (ayah dan ibu Kepar) keadaan yang sebenarnya. Meskipun keduanya telah dibohongi oleh anaknya, keduanya tidak marah. Keduanya saling memaafkan atas kesalahan masing-masing yang menyebabkan mereka bercerai. Mereka juga berterima kasih kepada Si Kepar, karena telah menyatukan mereka kembali. Si Kepar pun sangat senang menyambut kehadiran ayahnya di tengah-tengah keluarganya. Akhirnya, mereka bertiga hidup dalam sebuah keluarga yang rukun, damai dan penuh kebahagiaan. Sejak itu pula, Si Kepar tidak pernah lagi diejek oleh teman-temannya sebagai jazah.
* * *
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang di dalamnya mengandung pesan-pesan moral. Adapun pesan-pesan moral tersebut, yaitu: berbohong demi kebajikan dan saling memaafkan. Pertama, berbohong demi kebajikan. Dalam agama pun, berbohong itu adalah perbuatan dosa, karena dapat merugikan orang lain. Memang, banyak alasan yang menyebabkan seseorang berbohong, misalnya takut akan konsekuensi jika ia berkata jujur, adanya desakan dari orang di sekitarnya (misalnya, jika ia berkata jujur nyawanya terancam), dan sebagainya. Lalu, bagaimana jika berbohong demi kebaikan? Dalam hal ini, terkadang tindakan itu bisa benar, tapi terkadang bisa pula salah. Bisa benar jika berkata jujur akan menyebabkan terjadinya hal-hal yang tidak mengenakkan, dan bisa salah apabila tidak demikian adanya.  
Berkata jujur memang terkadang menyakitkan, apalagi jika berhadapan dengan orang yang tidak menerima kejujuran, sehingga terkadang seseorang lebih memilih berbohong dari pada berkata jujur. Akan tetapi, adapula yang menyiasatinya dengan berbicara bohong dulu dan baru berani jujur ketika situasinya sudah memungkinkan. Seperti yang dilakukan Si Kepar dalam cerita di atas, ia memilih berbohong dulu, dan baru berkata jujur setelah kedua orang tuanya hidup harmonis. Sekiranya Si Kepar berkata jujur kepada kedua orang tuanya dari awal, barangkali mereka tidak akan bersatu kembali.
Namun sayangnya, berbohong demi kebaikan ini terkadang hanya dijadikan sebagai alasan oleh orang-orang yang ingin menghindari kesalahannya. Padahal kalaupun ia berkata jujur pada saat itu, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
Kedua, sifat saling memaafkan. Sifat ini tercermin pada sifat kedua orang tua Si Kepar yang mau memaafkan kesalahan masing-masing, sehingga mereka mau bersatu menjadi sebuah keluarga yang harmonis. Sifat ini sangat patut untuk dijadikan sebagai suri teladan, karena termasuk sifat yang terpuji dan sangat dimuliakan dalam kehidupan orang Melayu. Terkait dengan hal ini, orang tua-tua Melayu mengungkapkan dalam untaian pantun seperti berikut:
wahai ananda permata intan,
kesalahan orang cepat maafkan
hati pemurah meringankan beban
semoga Allah melapangkan jalan

Sabtu, 05 Januari 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Mentiko Betuah

Simeulue termasuk salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat sejah tahun 2000, yang terletak di tengah Lautan Hindia dan beribukota Sinabang. Kabupaten Simeulue terkenal dengan Kerbau Simeulue dan hasil cengkehnya, sehingga Pulau Simeulue pernah mendapat gelar “Pulau Cengkeh” sebelum akhirnya batang-batang cengkeh itu tidak memiliki harga lagi di pasaran. 



Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Kabupaten Simeulue adalah keanekaragaman budayanya, seperti bahasa, upacara-upacara tradisional, permainan rakyat dan cerita-cerita rakyatnya. Salah satu cerita  rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Simeulue yaitu Mentiko Betuah. Cerita ini mengisahkan tentang pengembaraan Rohib, seorang anak raja dari Kerajaan Aceh, yang diusir oleh ayahnya karena tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya. Rohib mengembara dari satu kampung ke kampung lainnya sebagai pedagang dengan menyusuri hutan belantara. Uang yang dipakai untuk berdagang tersebut adalah pemberian ayahnya, namun dengan satu syarat, uang itu tidak boleh habis kecuali untuk modal berdagang.
Selama dalam perjalanan atau pengembaraannya, Rohib selalu menemukan orang-orang kampung yang menganiaya binatang. Oleh karena tidak tega melihat binatang yang tak berdosa itu dianiaya, ia pun memberi mereka imbalan uang jika mereka mau menghentikan perbuatan itu. Akhirnya tanpa disadarinya, uang untuk modal berdagang telah habis ia bagi-bagikan kepada mereka. Menyadari hal itu, ia pun merasa khawatir jika nanti pulang ke istana. Tentu ayahnya akan bertambah marah kepadanya, sebab sebelum berangkat berdagang, ia berjanji akan berbuat baik dan membawa pulang keuntungan yang banyak untuk orang tuanya. Di tengah kebingungan tersebut, apa yang akan dilakukan Rohib agar ia tidak dimarahi oleh ayahnya? Adakah orang yang akan menolongnya? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Mentiko Betuah berikut ini!
* * *
Konon, pada zaman dahulu di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja yang kaya-raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena kedermawanannya. Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun menikah dengan permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin punya keturunan, Raja itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai yang airnya sangat dingin untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai seorang anak yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan.
Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk menuju ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai-sungai, serta mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat dengan membawa bekal secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana, mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka. Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana.
Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri diketahui telah mengandung satu bulan. Delapan bulan kemudian, Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan diberinya nama Rohib. Raja sangat gembira menyambut kelahiran putranya itu, yang selama ini diidam-idamkannya. Raja kemudian memukul beduk untuk memberitahukan kepada seluruh rakyatnya agar berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya, Raja menyampaikan bahwa ia hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas rahmat Tuhan yang telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya, selamatan pun dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.
Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat manja. Waktu terus berlalu, Rohib pun bertambah besar. Rohib kemudian dikirim oleh orang tuanya ke kota untuk belajar di sebuah perguruan. Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan dari ayahnya agar belajar dengan tekun. Setelah itu, ia pun berpamitan kepada orang tuanya. Sudah beberapa tahun Rohib belajar, Rohib belum juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena sudah terbiasa manja. Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin menghukumnya, ketika ia kembali ke istana.
“Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala! Sudah tidak mau mendengar nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai mati!” perintah sang Raja. Mendengar perintah suaminya kepada pengawal, Permaisuri pun segera bersujud di hadapan suaminya.
“Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon, Rohib jangan dihukum mati. Berilah ia hukuman lainnya!” pinta sang Permaisuri kepada suaminya.
“Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!” jawab sang Raja dengan geramnya.
“Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan syarat, Kakanda bersedia memberinya uang sebagai modal untuk berdagang,” usul sang Permaisuri.
“Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang yang aku berikan kepada Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk berdagang,” jawab sang Raja.
“Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.
“Baiklah, Bunda! Rohib bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!” jawab Rohib.
“Jika kamu melanggar lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!” tambah Raja menegaskan kepada putranya itu.
Setelah itu, Rohib berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi berdagang. Ia pergi dari satu kampung ke kampung dengan menyusuri hutan belantara. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan anak-anak kampung yang sedang menembak burung dengan ketapel.
“Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu, karena burung itu tidak berdosa.” tegur si Rohib kepada anak-anak itu.
“Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami,” bantah salah seorang dari anak-anak kampung itu.
“Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang,” tawar Rohib.
Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.
Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan perjalanannya. Belum jauh berjalan, ia menemukan lagi orang-orang kampung yang sedang memukuli seekor ular. Rohib tidak tega melihat perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian memberikan uang kepada orang-orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu. Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri hutan lebat menuju ke sebuah perkampungan. Demikian seterusnya, selama dalam perjalanannya, ia selalu memberi uang kepada orang-orang yang menganiaya binatang, sehingga tanpa disadarinya uang yang seharusnya dijadikan modal berdagang sudah habis.
Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika ia pulang ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya. Apalagi ia telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya tidak akan mengampuninya lagi. Oleh karena kelelahan seharian berjalan, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon itu sambil menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya. Rohib sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.
“Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu,” kata ular itu. Melihat ular itu dapat berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.
“Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?” tanya si Rohib mulai akrab.
“Aku adalah Raja Ular di hutan ini,” jawab ular itu.
“Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?” ular itu balik bertanya kepada si Rohib.
“Aku adalah si Rohib,” jawab Rohib, lalu menceritakan semua masalahnya dan semua kejadian yang telah dialami selama dalam perjalanannya.
“Kamu adalah anak yang baik, Hib,” kata Ular itu dengan akrabnya.
“Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang kampung yang menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima kasihku,” tambah ular itu lalu  kemudian mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.
“Benda apa itu?” tanya si Rohib penasaran.
“Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta, pasti akan dikabulkan. Namanya Mentiko Betuah,” jelas Ular itu, lalu pergi meninggalkan si Rohib.
Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Mentiko Betuah itu. “Waw, hebat sekali benda ini. Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan ayah,” gumam Rohib dengan perasaan gembira. Berbekal Mentiko Betuah itu, Rohib memberanikan diri kembali ke istana untuk menghadap kepada ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana, terlebih dahulu ia memohon kepada Mentiko Betuah agar memberinya uang yang banyak untuk menggantikan modalnya yang telah dibagi-bagikan kepada orang-orang kampung, dan keuntungan dari hasil dagangannya. Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang telah membawa uang yang banyak dari hasil dagangannya. Akhirnya, Rohib diterima kembali oleh ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati. Semua itu berkat pertolongan Mentiko Betuah, pemberian ular itu.
Setelah itu, Rohib berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Mentiko Betuah itu agar tidak hilang. Suatu hari, ia menemukan sebuah cara, yaitu ia hendak menempanya menjadi sebuah cincin. Lalu dibawanya Mentiko Betuah itu kepada seorang tukang emas. Namun tanpa disangkanya, tukang emas itu menipunya dengan membawa lari benda itu. Oleh karena Rohib sudah bersahabat dengan hewan-hewan, ia pun meminta bantuan kepada mereka. Tikus, kucing dan anjing pun bersedia menolongnya. Anjing dengan indera penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran si Kucing dan si Tikus untuk mencari cara bagaimana cara mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas. Pada tengah malam, si Tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung si Tukang Emas yang sedang tertidur. Tak berapa lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Mentiko Betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus segera mengambil benda itu.
Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, si Tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya. Pada saat kedua temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia segera menghadap kepada si Rohib. Dengan demikian, si Tikuslah yang dianggap sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan si Anjing merasa sangat bersalah, karena tidak berhasil membawa Mentiko Betuah. Ketika diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Mentiko Betuahnya, yang dibawa oleh si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si Tikus telah melakukan kelicikan.
Menurut masyarakat setempat, bahwa berawal dari cerita inilah mengapa tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada beberapa pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu di antaranya; sikap suka menolong, akibat buruk terlalu memanjakan anak dan akibat buruk suka berbuat licik. Pertama, sikap suka menolong. Sikap ini tercermin pada sikap Rohib yang selalu melindungi hewan-hewan dari orang-orang kampung yang menganiayanya, meskipun ia harus berkorban dengan memberikan uang modal dagangannya kepada mereka. Namun, berkat ketulus-ikhlasannya tersebut, ia mendapat pertolongan dari seekor ular, sehingga ia terbebas dari hukuman ayahnya. Sikap Rohib ini sangat patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap ini juga sangat diutamakan dalam kehidupan orang-orang Melayu, sebagaimana yang dikemukakan dalama tunjuk ajar Melayu berikut ini:
wahai ananda dengarlah amanat,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat
Kedua, akibat buruk terlalu memanjakan anak. Sikap ini tercermin pada kedua orang tua Rohib yang selalu memanjakannya ketika ia masih kecil. Akibatnya, sifat manja itu terbawa-bawa sampai Rohib menjadi besar. Oleh karena sifat manjanya itu, ia tidak berhasil menyelesaikan pendidikannya di kota sebagaimana yang diharapkan oleh orang tuanya. Sikap terlalu memanjakan anak ini tidak patut untuk dijadikan suri teladan, karena sangat memengaruhi perkembangan mental dan perilaku anak. Sifat manja dapat membuat anak menjadi malas belajar. Anak yang malas belajar, tentu memiliki wawasan yang sempit. Terkait dengan sifat malas belajar dan berwawasan sempit ini, Tenas Effendy dalam bukunya “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau menyebutkan beberapa ungkapan pantangan mengenai kedua sifat tersebut, yaitu:
Pertama, ungkapan tentang sifat malas belajar dikatakan:
menuntut ilmu bermalas-malas,
orang tegak awak terlindas
Kedua, ungkapan tentang sifat berwawasan sempit dikatakan:
kalau hidup tidak senonoh,
pandangan sempit pikiran bodoh
Ketiga, akibat buruk suka berbuat curang dan licik. Sikap ini tercermin pada perilaku si Tikus yang telah menipu si Kucing dan si Anjing, karena hanya ingin mencari muka dan mendapat pujian dari si Rohib, putra raja itu. Akibat kelicikannya itu, ia pun sangat dibenci oleh kucing dan anjing. Sikap licik ini termasuk sifat yang tercela, sehingga tidak patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan sifat curang dan licik ini, Tenas Effendy juga menyatakannya dalam ungkapan seperti berikut:
apa tanda orang yang licik,
janji mungkir cakap terbalik