Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Oktober 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sejarah Singkat Kabupaten Kapuas

Kota Kuala Kapuas dibangun jauh
sebelum adanya Ibukota Propinsi
Kalimantan Tengah (Palangka Raya)
. Kabupaten Kapuas adalah salah
satu dari kabupaten otonom eks
daerah Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin yang termasuk
dalam wilayah Karesidenan
Kalimantan Selatan. Suku Dayak
Ngaju merupakan penduduk asli
Kabupaten Kapuas. Menurut penuturan pusaka “Tetek Tatum”, nenek moyang suku Dayak Ngaju pada mulanya bermukim di
sekitar Pegunungan Schwaner di
Sentral Kalimantan. Barulah pada
perkembangan berikutnya suku
Dayak Ngaju bermukim dan
menyebar di sepanjang tepi Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan. Pemukiman betang di Sungei Pasah,
merupakan satu-satunya bukti
sejarah di Kota Kuala Kapuas yang
masih ada. Tahun 1806 dijadikan
sebagai tonggak sejarah berdirinya
Kota Kuala Kapuas. Pada bulan Oktober 1835, 29 tahun
setelah pemukiman betang
dibangun, Belanda datang
menginjakkan kaki untuk pertama
kalinya di bumi Kapuas, dipimpin
oleh Zacharias Hartman, seorang pegawai Binnenlandsch Bestuur
(Pangrehpraja). Ia mulai melakukan
perjalanan kerja dengan perahu
dayung menjelajah Sungai Kapuas
Murung dan Sungai Kapuas sampai
Jangkang dengan ditemani penunjuk jalan. Perang Banjarmasin yang terjadi
pada 1859 – 1863 mengakibatkan hancurnya Palingkai yang dianggap
oleh Belanda sebagai sarang
pemberontak. Pada tanggal 16 Juni
1859 pasukan Belanda dibawah
pimpinan Kapten Marinir Van
Hasselt dengan menggunakan dua buah kapal perang menyerang dan
membumihanguskan Palingkai.
Perang Banjarmasin berakhir tahun
1863, Kerajaan Banjar dihapus dan
digabungkan ke dalam Gubernemen
Hindia Belanda. Perang berlanjut dengan Perang Barito (1865-1905),
perlawanan bersenjata di sekitar
Kuala Kapuas (1859-1860), Perang
Tewah (1885-1886) yang meletus di
kawasan Kahayan Hulu. Dalam rangka mengawasi lalu lintas
perairan di kawasan Kapuas, pada
bulan Pebruari 1860 Belanda
membangun benteng (fort) di
Ujung Murung (sekitar rumah
jabatan Bupati Kapuas sekarang), tempat tersebut dinamakan Kuala
Kapuas. Nama Kuala Kapuas diambil
dari bahasa Dayak Ngaju, bahasa
yang digunakan penduduk
setempat yang menyebut daerah
itu sebagai Tumbang Kapuas. Belanda mengangkat seorang
pejabat di daerah ini dalam pangkat
Gezaghebber (Pemangku Kuasa)
yang bernama Broers merangkap
sebagai Komandan Benteng.
Temanggung Nikodemus Ambu atau Temanggung Nikodemus
Jayanegara ditunjuk sebagai Kepala
Distrik. Bulan Maret 1863
Temanggung Nikodemus
Jayanegara membangun Betang di
Hampatung. Kekuasaan Belanda di Kalimantan
telah mantap pada tahun 1946.
Daerah Kapuas dimekarkan
membentuk Onderdistrik Kapuas
Hilir beribukota Kuala Kapuas,
Onderdistrik Kapuas Barat beribukota Mandomai, Onderdistrik
Kapuas Tengah beribukota Pujon,
Onderdistrik Kahayan Tengah
beribukota Pahandut, Onderdistrik
Kahayan Hilir beribukota Pulang
Pisau dan Onderdistrik Kahayan Hulu beribukota Tewah. Pada tanggal 27 Desember 1946 di
Banjarmasin terbentuk Dewan
Daerah Dayak Besar, suatu Badan
Pemerintahan Daerah yang meliputi
Afdeling Kapuas Barito atas dasar
Zeltbestuur Regeling (Peraturan Swapraja) tahun 1938 dan sebagai
ketua adalah Groveneld (eks
Asisten Residen), Wakil Ketua
Raden Cyrillus Kesranegara dan
Sekretaris Mahir Mahar. Dewan ini
merupakan dewan pertama yang terbentuk di Kalimantan. Pada
tanggal 14 April 1959 atas dasar
tuntutan rakyat dan keyakinan
sendiri, Dewan Daerah Dayak Besar
menentukan sikap untuk
meleburkan diri secara resmi ke dalam Negara Republik Indonesia.
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor C.17/15/3 tanggal 29 Juni
1950 menetapkan tentang daerah-
daerah di Kalimantan yang sudah
bergabung dalam Republik Indonesia dengan administrasi
pemerintahannya terdiri dari enam
daerah kabupaten yaitu
Banjarmasin, Hulu Sungai, Kota
Baru, Barito, Kapuas dan
Kotawaringin serta tiga Daerah Swapraja yaitu Kutai, Berau dan
Bulungan. Akhir tahun 1950 Kepala Kantor
Persiapan Kabupaten Kapuas
Wedana F. Dehen memasuki masa
pensiun dan diserahkan kepada
Markasi (Mantan Anggota Dewan
Daerah Dayak Besar). Kemudian pada bulan Januari 1951 Markasi
diganti oleh Patih Barnstein Baboe.
Rabu 21 Maret 1951 di Kuala Kapuas
dilakukan peresmian Kabupaten
Kapuas oleh Menteri Dalam Negeri
dan sekaligus melantik para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara yang terdiri dari wakil Partai Politik dan
Organisasi Non-Politik dari Masyumi,
Parkindo, PNI, Muhammadiyah dan
lain-lain. Pada saat itu Bupati belum
terpilih dan sementara diserahkan
kepada Patih Barnstein Baboe selaku kepala Eksekutif. Awal Mei 1951 Raden Badrussapati diangkat selaku Bupati Kepala
Daerah Kabupaten Kapuas yang
pertama , pelantikan dilaksanakan pada
tanggal 9 Mei 1951 oleh Gubernur
Murjani atas nama Menteri Dalam
Negeri. Oleh masyarakat Kabupaten
Kapuas, tanggal 21 Maret
dinyatakan sebagai hari jadi Kabupaten Kapuas yang bertepatan
dengan peresmian Pemerintah
Daerah Kabupaten Kapuas. Dalam sejarah perkembangan
pemerintahan, kehidupan
masyarakat dan pembangunan di
daerah Kabupaten Kapuas
berdasarkan Undang-undang No. 5
Tahun 2002, Kabupaten Kapuas dimekarkan menjadi tiga
kabupaten yaitu Kabupaten Kapuas
sebagai kabupaten induk dengan 12
kecamatan, Kabupaten Pulang Pisau
dengan 6 kecamatan dan Kabupaten
Gunung Mas dengan 6 kecamatan. Pejabat yang pernah memimpin Kabupaten Kapuas sejak tahun
1951, sampai tercatat 15 orang
Bupati, 3 orang wakil Bupati.

Jumat, 05 Oktober 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kapuas Hulu Pada Zaman Penjajahan Belanda Abad ke XIX

nebiakulu, Senin, 26 Oktober 2009
Sejumlah pegunungan yang
membentang di Kabupaten Kapuas
Hulu, serupa Schwaner dan Muller,
ternyata diabadikan dari nama
sejumlah pelaku ekspedisi berkebangsaan asing pertengahan
abad XIX di daerah itu.
Wilayah perbatasan antara Kapuas
dan Mahakam merupakan salah
satu wilayah yang paling terpencil
di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu, yang terisolasi oleh
jeram-jeram yang sangat
berbahaya, di mana suku Kayan-
Mahakam, suku Busang termasuk
sub suku Uma Suling dan lain-lain
serta suku Long Gelat sebuah sub suku dari Modang menempati
daratan-daratan yang subur,
sedangkan suku Aoheng mendiami
daerah berbukit-bukit. Di sebelah
barat, daerah Kapuas Hulu dengan
kota niaga kecil Putussibau, dikelilingi oleh desa-desa Senganan,
Taman dan Kayan. Lebih ke hulu
lagi, dua desa kecil Aoheng dan
Semukng. Di antara keduanya,
sebuah barisan pegunungan yang
besar mencapai ketinggian hampir 2000 meter didiami oleh suku
nomad Bukat atau Bukot dan
Kereho atau Punan Keriu, serta suku
semi nomad Hovongan atau Punan
Bungan.
Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi pegunungan ini adalah
Mayor Georg Muller, seorang
perwira zeni dari tentara Napoleon
I yang sesudah Waterloo masuk
dalam pamongpraja Hindia Belanda.
Mewakili pemerintah kolonial, ia membuka hubungan resmi dengan
sultan-sultan di pesisir timur
Borneo. Pada tahun 1825, kendati
Sultan Kutai enggan membiarkan
tentara Belanda memasuki
wilayahnya, Muller memudiki Sungai Mahakam dengan belasan
serdadu Jawa. Hanya satu serdadu
Jawa yang dapat mencapai pesisir
barat. Berita kematian Muller
menyulut kontroversi yang
berlangsung sampai tahun 1850-an dan dihidupkan kembali sewaktu-
waktu setiap kali informasi baru
muncul. Sampai tahun 1950-an
pengunjung-pengunjung daerah itu
pun masih juga menanyakan nasib
Muller. Bahkan sampai hari ini hal- hal sekitar kematian Muller belum
juga terpecahkan. Diperkirakan
Muller telah mencapai kawasan
Kapuas Hulu dan dibunuh sekitar
pertengahan November 1825 di
Sungai Bungan, mungkin di jeram Bakang tempat ia harus membuat
sampan guna menghiliri Sungai
Kapuas. Sangat mungkin bahwa
pembunuhan Muller dilakukan atas
perintah Sultan Kutai, disampaikan
secara berantai dari satu suku kepada suku berikutnya di
sepanjang Mahakam dan akhirnya
dilaksanakan oleh sebuah suku
setempat, barangkali suku Aoheng
menurut dugaan Nieuwenhuis.
Karena Muller dibunuh di pengaliran Sungai Kapuas, dengan sendirinya
sultan tidak dapat dituding sebagai
pihak yang bertanggungjawab.
Bagaimanapun, ketika ekspedisi
Niewenhuis berhasil melintasi
daerah perbatasan hampir 70 tahun kemudian, pada hari nasional
Perancis tahun 1894, barisan
pegunungan ini diberi nama
Pegunungan Muller.
Menjelang pertengahan abad XIX,
Belanda telah berhasil menguasai daerah-daerah pesisir dan
perdagangan di muara sungai besar.
Penguasaan niaga saja ternyata
tidaklah cukup, dan kekuatan-
kekuatan kolonial membutuhkan
penguasaan teritorial yang sesungguhnya, yang berdasarkan
struktur-struktur administratif dan
militer. Dalam rangka inilah
ekspedisi-ekspedisi besar dilakukan
pada perempat akhir abad XIX.
Ekspedisi ke Kapuas Hulu dimulai pada 1893 oleh Nieuwenhuis.
Eksplorasi lebih lanjut lalu
menyusul pada tahun-tahun
pertama abad yang baru oleh
Enthoven di Kapuas Hulu Hingga di
tahun 1930-an, seluruh pedalaman Borneo telah jatuh di bawah
kekuasaan sebenarnya dari
kekuatan-kekuatan kolonial,
kecuali Kesultanan Brunei yang
sudah sangat menciut.
Informasi tentang Borneo dari sebelum zaman penjajahan tidak
banyak diketahui. Abad XIX terjadi
migrasi suku Dayak Iban secara
besar-besaran, memasuki lembah
Rejang dari selatan, mungkin dari
daerah aliran Sungai Kapuas. Sebelumnya di daerah aliran Sungai
Rejang tidak terdapat suku Iban.
Dengan bermigrasi ke daerah hulu
sungai Saribas dan sungai Rejang,
suku Iban menyerang suku Kayan
di daerah hulu sungai-sungai itu pada tahun 1863 dan terus maju ke
utara dan ke timur. Pesta perang
dan serangan pengayauan
menyebabkan suku-suku lain
terusir dari lahannya. Menjelang
awal tahun 1900-an suku Dayak pengayau telah memasuki daerah
hulu Sungai Rajang, Kayan,
Mahakam dan Kapuas yang
terpencil.