Tampilkan postingan dengan label Kisah Sembilan Wali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Sembilan Wali. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 Desember 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Suan Kalijaga

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Suan Kalijaga, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Kalijaga, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Diusir dari Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.
Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak. Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.

SUNAN KALIJAGA
Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Walau Raden Said putera seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.

Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah. Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka. Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu karena Raden Said melakukannya dimalam hari secara sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang yang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Said putera junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang. Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya. Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?

Sesudah keluar dari hukuman dia benar-beanr keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya? Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang. Harta hasil rampokan itu diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti Raden Said juga.

Pada suatu malam Raden Said baru saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa kampunya sedang djarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik memperkosa seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis tersebut.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdenganr suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten tuban tanpa sepengetahuan orang. Tentu saja sang adipati jadi murka. Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban. Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.

Sang adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala harapan sang adipati. Hanya ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.

Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur. Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.

Bukan tongkat ini yang kutangisi ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya. Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi. Hanyam beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa? Tanya Raden Said heran. Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab lelaki itu. Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari dihutan ini? Saya menginginkan harta? Untuk apa? Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu mendapatkannya yang keliru. Orang tua….apa maksudmu? Boleh aku bertanya anak muda? Desah orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar? Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.

Lelaki itu tersenyum, demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal. Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.

Banyak hal yang terkait dengan usaha mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Raden Said semakin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas. Raden Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.

Ketika sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya sudah tidak ada ditempat. Ucapan orang tua tadi masih terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan. Raden Said mengejar oarang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan. Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia baru bisa sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia harus menyeberang. Tunggu……, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. Sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murid…..pintanya. Menjadi muridku? Tanya orang tua itu sembari menoleh. Mau belajar apa? Apa saja, asal tuan manerima saya sebagai murid…. Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya? Saya bersedia….

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya ditepi sungai. Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.

Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia semakin yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali. Setelah lelaki tuan itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan tahun yang silam.

Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban? Karena lelaki berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para waliyullah. Dikemudian hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun kedalam kancah masyarakat jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha. Sunan Bonang mampu berjalan diatas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh prajurit tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke istana kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang. Untuk mengobati kerinduan sang ibu, tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan putera-puterinya yang sangat dicintainya itu. Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di jawa tengah hingga ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di sisi Allah.



Sabtu, 22 Desember 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Sunan Bonang

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Bonang, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Bonang, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Asal usul Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit. Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran. Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

Bijak dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya. Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Karya Satra Sunan Bonang
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

Kuburnya Sunan Bonang ada dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di Pulau Bawean. Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir. Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.

Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu. Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban. Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh khidmat.

Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.


Jumat, 21 Desember 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Sunan Giri

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Giri, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Giri, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

SYEKH MAULANA ISHAK
Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.

Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga. Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.

Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut. Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.

Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan. Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini. Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.

Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan. Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.

Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi..

Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat. Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.

Joko Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa. Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.

Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya. Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda. Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti. Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal. Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam. Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.

Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel. Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra. Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra. Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.

Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

Raden Paku
Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan. Setelah berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.

Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang. Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.

Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya. Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai. Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.

Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah. Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya. Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.

Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.

Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.

Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma? Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri. Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai? Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli. Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.

Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal. Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku. Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.

Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.

Perkawinan Raden Paku
Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.

Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah. Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel. Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel. Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku. Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah. Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.

Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara. Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.

Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.

Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung. Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.

Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.

Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas. Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

Peresmian Mesjid Demak
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri. Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata. Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.

Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa bahkan ke nusantara. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama. Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan : “Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, Dolanane na ing latar, Ngalap padhang gilar-gilar, Nundhung begog hangetikar.” (malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)

Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
  1. Sunan Dalem
  2. Sunan Sedomargi
  3. Sunan Giri Prapen
  4. Sunan Kawis Guwa
  5. Panembahan Ageng Giri
  6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
  7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
  8. Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.


Kamis, 20 Desember 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Sunan Ampel

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Ampel, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Ampel, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Asal usul Sunan Ampel
Tahukah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadist shahih. Disamarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermazhab syafi’I, beliau mempunyai seorang putera bernama Ibrahim, dan karena berasal dari samarqand maka Ibrahim kemudian mendapatkan tambahan nama Samarqandi. Orang jawa sukar menyebutkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah inilah yang dilaksanakan dan kemudian beliau diambil menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinan dengan Dewi Candrawulan maka Syekh Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putera yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putera bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat dengan Raden.

Raja Majapahit sangat senang mendapat isteri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga isteri-osteri yang lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah isteri yang bernama Dewi Kian, seorang puteri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang. Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar menggauli puteri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir kedunia. Bayi yang lahir dari Dewi Kian itulah yang nantunya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama “ Raden Patah “, salah satu seorang daru murid Sunan Ampel yang menjadi Raja di Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran Drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara. Dan para adipati banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi. Pajak dan upeti kerajaan tidak ada yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pra dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam ini diteruskan negara/kerjaan akan menjadi lemah dan jika kerajaan sudah kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.

Ratu Dwarawati, yaitu isteri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti, kata Ratu Dwarawati. Betulkah? Tanya sang Prabu . Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera dari kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini. Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu di Cempa Berkenan mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ini kata Prabu Brawijaya.

Ketanah Jawa
Maka pada suatu ketika diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan tersebut disambut gembira oleh Raja Cempa, dan Raja Cempa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali Rahmatullah adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga tidak langsung ke Majapahit, melainkan terlebih dahulu ke Tuban. Di Tuban tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggak dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik, Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati. Kapal layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya sendiri memeluknya erat-erat seolah-olah sedang memeluk kakak perempuannya yang di negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah memang sangat mirip dengan kakak perempuannya.

Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia!! Tanya sang Prabu kepada Sayyid Ali Rahmatullah setelah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka. Bagus! Sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Disanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.” “Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu puteri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmtullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu Raja Majapahit.

Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dahulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berati Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.

Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta. Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.

Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka. Cara itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa kembang kuning. Pada saat itu kawasan desa kembang kuning belum seluas sekarang ini. Disana sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang itu sekarang dirubah menjadi mesjid yang cukup besar dan bagus dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang Kuning. Ditempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.

Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepecayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun mesjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW saat pertama kali sampai di Madinah. Dan karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau orang yang berilmu tinggi. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.

Ajarannya Sunan Ampel yang terkenal
Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
  • Moh Main atau tidak mau berjudi
  • Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan
  • Moh Maling atau tidak mau mencuri
  • Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
  • Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit. Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

Sesepuh Wali Songo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.

Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh Demak Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah. “Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya sendiri. “Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang. “Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu Kertabumi”. “Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu. Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.

Kekhawatiran Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana kristen pembenci Islam. Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.

Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?
Karena pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498. Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis. Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (ggamelan), sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel. Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegin ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.

Penyelamat Aqidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung pleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di mesjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga Mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel. “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam, jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”

Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada ajaran Tauhid kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan hal ini terbukti, dikarekan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak tergelincir kelembah kemusyrikan. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel.

Murid-murid Sunan Ampel
Sebagaimana disebutkan dimuka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.

Kali ini kita tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan yaitu :

Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa. Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Disebelah timur mesjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan satu orang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh. Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah seorang tukang sapu mesjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di mesjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya. Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur didepan mesjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai mesjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh mesjid itu lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, bila Mbah Soleh masih hidup tentulah mesjid ini menjadi bersih.

Mendadak Mbah Soleh ada dipengimaman mesjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantaipun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya yang dulu. Mesjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggalkan dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.

Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa. Kisahnya demikian, pada waktu pembangunan mesjid Agung Ampel Mbah Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman mesjid tidak menghadap arah kiblat. Tapi setelah pembangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.

Apa betul letak pengimaman mesjid ini sudah menghadap ke kiblat? Demikian tanya orang meragukan pekerjaan Mbah Sonhaji. Mbah Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata, lihatlah kedalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?.

Orang-orang itu segera melihat kedalam lubang yang dibuat oleh Mbah Sonhaji. Ternyata didalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang ada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Mbah Sonhaji lagi. Dan sejak itu mereka bersikap hormat kepada Mbah Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.



Rabu, 19 Desember 2018

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Sunan Kudus

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Kudus, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Kisah Sunan Kudus, Kisah Wali Songo, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Asal Usul Sunan Kudus
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.

Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang. Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

Guru Sunan Kudus
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha. Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

Cara Berdakwah Sunan Kudus yang Luwes
Strategi Pendekatan kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :
  1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
  2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
  3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
  4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
  5. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri. Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.

Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar. Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.

Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya. Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi. Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus. Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :
  1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
  2. Mengambil keputusan yang benar
  3. Berkata yang benar
  4. Hidup dengan cara yang benar
  5. Bekerja dengan benar
  6. Beribadah dengan benar
  7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Selamatan Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih. Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan. Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah. Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina. Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Sunan Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya. Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis. Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir. Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat. Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini. Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq. Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka? Anda sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah. Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.

Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq. Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.