Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Agustus 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Cerita Pendek, Sapi

Cerita Pendek, Sapi
MEMEK Manipatri tidak bahagia. 
Semua orang tahu itu. Ia sendiri tahu tahu itu karenanya ia menunjukkan bahwa ia sangat bahagia dengan duduk di atas mimbar dan jadi juru tafsir dan juru kritik orang-orang. Peranan yang memungkinkan dan amat gampang karena ia adalah tukang sayur di kampung kami. Ambil lauk serta sayur dari pasar, menggelarnya di meja tinggi dan timbungan barang-barang, menghadapi orang-orang kampung yang tak punya uang dan setengah menjilat untuk memperoleh utangan. Para pendengar setia yang datang untuk "mengiyakan", yang tak begitu disadarinya dan dianggap sebagai anak-anak buah dari satu pertemuan Darma Wanita. Bisa jadi!

"Kamu itu" katanya, nyaris pada setiap orang. "kalau punya duit ya bayar utang-utangmu jangan malahan mencegat tukang sayur keliling (mencibirkan bibir). Kalau tak punya duit baru bergegas sini dan mengambil barang seperti barang mbok-de-me sendir. Perasaan dong! Dari mana aku punya modal? Kan labaku cuma selawe atau lima puluh perak. 

Orang-orang cuma diam saja. Menunduk. Saling melirik dan menahan senyum-terkadang saling menyepak perlahan-lahan jauh di bawah, tak terlihat oleh meja tinggi dan timbunan sayur dan lauk. Tak ada orang yang berani menyahut, Pura-pura salah saja, bagai para anak buah. Toh, menurut anggapan mereka, mereka mengalah untuk menang - untuk memperoleh utangan dan di saat punya kebebasan memilih mempergunakan kebebasan itu untuk memilih. Meski kadang-kadang, mbok-e Muji balik mengejeknya. "Ala...," katanya, "Wong duit mboke saja pakai gaya nagih ngamuk-ngamuk. Kamu dan aku itu sama saja, kere - suamimu pegawai negeri, suamiku juga pegawai negeri, bedanya cuma mbok-mu itu kaya dan murah hati..."

***
DAN karenanya Memek Manipatri tidak bahagia, meski ia mencoba menunjukkan bahwa ia sangat bahagia, Bilang bahwa keluarga suaminya merupakan keluarga klasik yang terpandang dan terhormat. 

"Mereka punya pemakaman keluarga, turun-temurun - ibunya Mas No malah sudah disediakan tempatnya, rendeng dengan bapaknya Mas No, katanya. 

Dengan kepala tengadah dimiringkan ke kiri, dengan mulut mencibir dan pandangan menghina - tidak sadar - ia mencemoohkan asal-usulnya sendiri. Ayah yang hanya petani dengan harta yang berupa sapi kereman - kini almarhum dan meninggalkan tanah, tegal dan sawah, yang disewakan tahunan - dan ibunya yang penjaja mracang di kampung, warung yang sudah berdiri sejak tiga puluh lima tahun yang lalu, dan menghidupkan omzet dengan hubungan emosi dengan penduduk kampung yang tak segan-segan mengutang. 

Bahkan, dengan omongannya yang menempatkan dirinya jauh di atas mimbar sebagai juru tafsir , ia kembali memutar balikkan fakta. Bahwa barang perhiasan (gelang, kalung, dan cincin), yang diberikan ibunya sebagai hadiah perkawinan dan dipinjam mertuanya untuk berobat, dan baru dikembalikan, diklaim dan diuar-uar sebagai hadiah dari mertuanya. 

"Ibunya Mas No itu...," katanya, kalau memulai akan omong membanggakan. 

"Tapi, sesungguhnya, tak ada trah apa-apa pada Mas No itu. Ia diambil anak ketika bapaknya - yang orang kebanyakan - kawin dengan ibunya yang keturunan cikal-bakal Kampung Su'ud itu serndiri, kini, cuma jejeran lima rumah yang tergusur waktu dan tampak rapuh, meski, pada masanya, sang cikal-bakal itu pernah berjaya menjadi lurah yang sangat kaya dan berkekuasaan. 

 Sayang anak-anaknya yang termanja serta selalu mengandalkan bapak tak jadi apa-apa. Orang kebanyakan yang tak punya pekerjaan tetap di pemerintahan, orang kebanyakan yang bingung  menghadapi sawah dan ladang, para priyayi yang hanya bisa mengupah orang dan perlahan ditelah oleh difisit karena mengupah orang. Dan salah satu anak gadisnya kawin bapaknya - dalam tanda kutip - Mas No; lalu memungutnya dari adik lelakinya yang baru cerai dan mau kawin lagi. Kemudian ia mengklaim dirinya sebagai trah, sebagai raden - orang-orang terkadang menyebutnya sebagai trah Raden Diman, bapak aslinya, dan bukan trah Mbah Ongso dari gadis ibu tirinya, tapi dengan santun, orang-orang mengangguk serta menunduk menyembunyikan senyum ketika Memek Manipatri bilang bahwa "Ibunya Mas No..."

"Yang di alas itu ..." celetuk batin orang-orang - sudah bukan rahasia lagi bahwa ibu asli Mas No itu merupakan anak magerarsaren di alas jati kaki Gunung Wilis. Memang! Dan karenanya orang-orang sangat percaya bahwa Memek Manipatri sesungguhnya tidak bahagia, sangat tidak bahagia. Meski ia bilang tanah rumahnya dibeli dengan menjual sepeda motor Mas No. Meski bilang bahwa rumah itu dibangun dengan tunjangan orangtua Mas No. Sungguh menantu yang baik dan sangat memuliakan mertua - yang diklaimnya sebagai trah raden. 

Tapi orang-orang - apakah ada rahasia di kampung? - tahu bahwa justru ibunyalah yang dipanggilnya mbok, yang memodali semua itu. Yang terbesar, maksudku. Dulu, kata orang, ketika tanah itu akan di beli, Mas No menawarkan akan menjual sepeda motornya tapi malu sehingga mertuanyalah yang menawarkannya. Tapi ketika tahu harganya amat murah maka ia tak mau menjualnya sehingga "terpaksa" sang mertualah yang melakukan transaksaksi dan membayar kontan. Ketika membangun rumah orangtua Mas No mengirim satu truk pasir, satu truk bata, satu truk batu pondasi, dan sepuluh sak semen - lalu mertuanyalah yang harus menutup semuanya, akan tetapi Memek Manipatri bilang bahwa, "Ibunya Mas No ...."

***
MEMEK Manipatri sesungguhnya tidak berbahagia meski ia memperlihatkan peran orang di atas mimbar yang lebih segalanya dari orang lain. Menafsirkan setiap peristiwa, mengomentari setiap tindakan, dan mengejek setiap orang. "Tak ada yang seperti aku, begitu rumusan filsafat hidupnya. 

Dan memang tak ada yang seperti dia, merangkul erat-erat mbok-annya dan menyusu sangat buas sambil curiga pada setiap saudaranya. Kakak-kakaknya - wanita semua - bersuami pegawai negeri dan jadi pegawai negeri; mapan di tanah rantau, yang sesekali datang menengok dan dicurigai Memek Manipatri sebagai meloni untuk mengambil warisan. Ia takut kekayaan mbok-e diminta saudaranya yang lain dan tidak tumpah-ruah padanya seorang. Ia juga sangat iri pada adiknya, tunggal, lelaki, yang dibangunkan rumah di samping rumah warisan. Tapi sesungguhnya ia ingin apa, ia ingin seberapa? Ataukah ia merasa bahwa ia sangat rapuh secara ekonomi dan karenanya berkutat  sekuatnya pada sandaran kekenyalan keuangan mbok-e?

Mas No itu sesungguhnya seorang peternak, saya tegaskan; "peternak'. Lima tahun ia jadi honores pemda dan karenanya hidup menumpang di rumah mertuanya. Setelah jadi pegawai tetap, PNS dengan dua anak, dan memiliki rumah, ia tetap membelanjani istrinya secara klasik - mendrop beras bagian (gaji) dan membiarkannya mencari lauk dan ongkos membayar listrik dan seterusnya sendiri. 

Ia sendiri setia pada hobinya. Mengeluyur. Memelihara burung dan segala hobi Klangenan lainnya. Pergi ke kantor, pulang untuk pergi lagi, dan balik pada saat pukul 22.00 malam untuk tidur. Tak risau pada anak-anaknya karena kedua anaknya dititipkan pada orangtuanya, di mana ia selalu menyempatkan diri mampir dan mencari makan enak. Tak risau memikirkan kesehatan mereka. Tak risau memikirkan perkembangan jiwa mereka. Tak risau memikirkan perkembangan akademik (SD) mereka. Tenang seperti seorang peternah, yang mempercayakan pertumbuhan sapi dan kambing pada padang rumput dan alam. 

"Anak lelaki tak akan pulang meteng," katanya. 

Dan filsafat peternak ini menjalar pada Memek Manipatri. Tak peduli pada apa pun, puas dengan meja tinggi dan tumpukan lauk serta sayur, serta beking kekenyalan keuangan mbok-e. 

***
TAPI Memek Manipatri tak bahagia. Semua orang tahu itu, dan ia sendiri tahu itu. "Kalau hamil jangan diumbar, jangan biarkan orok dalam perut membesar dan menjebol jalan lahir ketika keluar," katanya, "Nanti "anu"-mu diobrak-abrik dokter dan suamimu tak puas dan lari dengan wanita lain. Jangan seperti Bu Nenok!" 

Dan ia bicara begitu sambil menunjuk Ibu Nenok. Ibu Nenok tersenyum saja, karena ia tahu Memek Manipatri tidak bahagia dan mencoba menunjukkan yang lain lebih patut dikasihani serta tak tahu ilmu hidup, karena semua percaya bahwa Mas No baru saja kepincut anak gadis tukang kopi di terminal dan ke sana kemari berboncengan serta berpacaran. Tak heran kalau Memek Manipatri makin lantang serta makin kritis menilai dan mengejek orang lain, dan percaya orang lain akan lebih celaka dan akan lebih tak berbahagia dari ketidakbahagiannya, sebagai istri yang suaminya tak telaten, tak mengurusi, dan kini malahan pacaran lagi. 

Memek Manipatri memang tak bahagia, malam-malam ketika semua orang berkumpul dalam hangat kekeluargaan di rumah, dan karenanya terkadang ia terlihat duduk sendiri di beranda, atau menyapu-nyapu dengan pandangan kosong dan hampa, atau malam-malam menggedor rumah mbok-e untuk sekedar mencari teman omong dan lalu bergegas pulang karena takut Mas No keburu pulang. 

Memek Manipatri sesungguhnya tak bahagia. Ia seperti sapi yang tak ditelateni dan nelangsa dengan ketelantaran diri; meski terus lantang menilai dan mengejek orang lain. 

Dan orang-orang tahu bahwa Memek Manipatri memang tak bahagia. Sangat tak bahagia...! 

 Kompas, 17 April 1994

Sumber
Penulis : Beni Setia
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Selasa, 27 Juni 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Cerita Pendek, Paduan Suara

Cerita Pendek, Paduan Suara
SUGENG benar-benar merasa masygul. Selama sekian tahun berkarir di bidang musik dan dunia tarik suara, baru kali ini ia menghadapi persoalan yang begitu meletihkan. Rasa-rasanya ia lebih senang dibebani pekerjaan memimpin produksi sebuah konser akbar yang melibatkan ribuan pemain sekalian, misal, daripada mengurus cuma beberapa puluh orang, tapi harus berembel-embel perkara pelik yang tidak ada hubungannya dengan soal kesenian ini. 

Ah! awal kesalahan sebenarnya bersumber dari dia sendiri, juga kenapa dulu mau menerima pekerjaan ini. Tapi, sudahlah, menyesali yang telah lewat tak akan pernah menyelesaikan masalah. Lagi pula siapa sih yang mau menolak honorarium delapan ratus ribu rupiah sebulan, tanpa kontrak yang mengikat, hanya untuk melatih sebuah paduan suara seminggu sekali? 

"Kecuali kalau seumpama mau pada pagelaran, ya saya minta pengertian Dik Sugeng untuk meningkatkan frekuensi latihan. Bisa dua kali seminggu, atau kalau perlu malah tiap hari menjelang hari H-nya," begitulah penjelasan Ibu Gubernur waktu pertama kali memintanya menjadi koordinator sekaligus pelatih tunggal Paduan Suara Pemda 'Swara Budaya'. 

"Bisa, Bu. Bisa saja." 

"Tentu saja nanti akan ada insentif, di samping uang transpor tetap diberikan untuk tiap kedatangan Dik Sugeng." 

"Terima kasih, Bu. Terima kasih sekali." 

"Bukan apa-apa, Dik Sugeng. Sayang kan, kalau potensi-potensi kesenian yang ada di lingkungan pemda mubazir begitu saja. Banyak lho, karyawan-karyawati kita yang diam-diam pintar menyanyi. Tapi, itulah, beraninya ya cuma di kamar mandi, sebab kalau menyanyi di kantor takut dicap indisipliner. Susah, kan?" 

"Betul, Bu. Memang susah." 

"Makanya, bakat-bakat seperti itu harus kita himpun ke dalam satu wadah. Nah, wadah yang paling tepat saya pikir paduan suara itulah. Di samping menyalurkan bakat, lewat caranya sendiri paduan suara paduan suara kan merupakan saranan latihan kedisiplinan juga." 

"Persis, Bu." 

"Bandingkan saja dengan baris-berbaris. Seratus orang serentak mengikuti aba-aba belok kanan, tapi ada satu orang yang malah berbelok ke kiri, rusaklah itu barisan. Begitu pula paduan suara. Namanya saja paduan, ya harus terpadu. Seratus orang mulai menyanyi pada hitungan ketiga, tapi satu orang saja melakukan kesalahan dengan memulai pada hitungan kedua, kacaulah itu paduan." 

"Ya-ya-ya, pasti kacau." 

"Jadi, kegiatan paduan suara pada dasarnya ialah melatih kebersamaan secara benar. Dan kebersamaan yang benar adalah salah satu tujuan pelatihan disiplin itu sendiri. Artinya, kalau pemda menyisihkan sebagian dananya untuk keperluan ini sebetulnya tidak akan sia-sia, sebab secara tidak langsung paduan suara bisa menjadi salah satu sarana peningkatan kualitas sumber daya manusia." 

***

PROGRAM latihan "Swara Budaya" benar-benar mulai dari tahap paling awal, ialah pemilihan anggota paduan suara itu sendiri. Untuk itu Sugeng harus menyeleksi ratusan karyawan-karyawati dan juga para pejabat di lingkungan pemda, ditambah dari kanwil berbagai departemen, berikut anggota keluarga yang berminat menjadi anggota. 

Dan memang, ternyata banyak sekali bakat-bakat terpendam di lingkungan yang boleh jadi dalam kesehariannya sama sekali tak pernah berhubungan dengan urusan kesenian. Walhasil, proses seleksi yang dilakukan secara mencengangkan menghasilkan sebuah kelompok yang unik sekaligus amat potensial. 

Ada - misal - seorang karyawan di bagian penerimaan Pajak Pendapatan Daerah mengaku, waktu di SMP dulu pernah menjadi juara pertama menyanyi solo tingkat kabupaten. Juga seorang karyawati Kanwil Departemen Pertanian mengatakan pernah dikontrak oleh sebuah dealer organ Yamaha untuk menyanyi pada demonstrasi-demonstrasi penjualan produk tersebut di berbagai pusat perbelanjaan, sebelum dia diangkat menjadi pegawai negeri. Ada lagi seorang kepala bagian di Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi yang konon angker di kantor, ternyata bersuara bukan main merdu dan mengaku dirinya pelatih vocal-group Karang Taruna di kampungnya. 

"Benar kan Dik Sugeng, apa yang saya katakan dulu?" 

"Benar, Bu. Benar sekali." 

"Seleksi awal yang sudah Anda lakukan saya anggap berhasil."

"Terima kasih"

"Cuma... kalau boleh saya kepingin memberi sedikit catatan."

"Silakan, Bu"

"Setelah saya bicarakan dengan anggota pengurus yang lain, jumlah anggota yang enam puluh ternyata dianggap besar."

"Saya rasa tidak ada masalah Bu, Angka enam puluh cuma untuk mempermudah dalam pembentukan kelompok, tadinya saya membayangkan kelompok sopran, alto, tenor, dan bas masing-masing lima belas orang. Tapi, itu tidak mutlak. Seperti kelompok bas misal, nantinya memang tidak akan sebanyak ini, sebab kelompok pria bersuara rendah kalau jumlahnya sama dengan kelompok-kelompok lain akan cenderung dominan."

"Mungkin secara keseluruhan bisa dikurangi menjadi lima puluh, begitu?"

"Bisa, Bu. Bisa"

"Nah, dalam pengurangan nanti, tolonglah dipikirkan juga faktor-faktor yang bagi Dik Sugeng mungkin tidak begitu berarti, tapi bagi kami bisa menjadi.... apa ya?" Dibilang ganjalan sebenarnya kurang tepat juga begitu."

"Maksud Ibu?"

"To the point sajalah, ya? Coba kita lihat daftar yang Anda buat. Nah, seperti Pak Yadi ini. Dia kan... pesuruh kantor. Saya dengar juga masih honorer. Bukan maksud saya mau membeda-bedakan status, lho, tapi saya berpikir untuk kepentingan dia juga. Maksud saya, setelah seharian bekerja secara fisik, apa dia masih punya sisa tenaga untuk tarik suara?"

Saat itu ada desir halus menyentuh perasaan Sugeng.

"Juga si Umi. Saya tahu suaranya memang bagus. "Tapi suami dia juru ketik yang masih golongan I-a. Apa nantinya tidak kerepotan kalau harus bergaul dengan ibu-ibu yang lain? Dia masuk kelompok Sopran ya? Wah, di kelompok ini ada Bu Kun,lagi. Padahal Pak Kun itu kepala bagian di tempat kerja suami Umi. Artinya suami Umi itu bawahannya-bawahannya-bawahan Pak Kun. Kasihan Umi, kan, kalau harus berbincang-bincang dengan Bu Kun? Coba, mau ngomong apa dia nanti."

Sugeng tak berkomentar apa-apa.

"Nah, kalau Pak Krisno ini jangan ditarik. Kasihan dia, dari dulu kepingin sekali ikut. Dik Sugeng memberi nilai terendah, ya? Memang sih, suaranya tidak bagus-bagus amat. Tapi biarlah. Lagipula dia kasir pemda. Kalau ada urusan apa-apa bisa lancar."

Sugeng mengangguk-anggukkan kepalanya, semata-mata karena tak tahu lagi perbuatan apa yang paling pantas dilakukannya selain itu.

"Oh, ya! Sebelum lupa saya mau titip. Nanti ada yang namanya, Bu Monda. Belum masuk daftar, kan? Dia memang tidak ikut seleksi, tapi sebenarnya suaranya bagus sekali. Lima tahun yang lalu dia pernah masuk bintang radio."

"Memperoleh nomor?"

"Nggak, sih..., tapi dari situ saya melihat keberanian dan semangat dia yang luar biasa. Untuk itu saya minta pada Dik Sugeng, tolong deh, sepupu Bapak itu dimasukkan?"

 Begitulah, setelah melalui proses perampingan yang di dasarkan atas pertimbangan-pertimbangan jabatan, status, pangkat, pengaruh, maupun hubungan kekerabatan, jumlah anggota paduan suara "Swara Budaya" sempat berkurang menjadi empat puluh delapan orang. Atas pertimbangan-pertimbangan yang sama pula maka-kali ini setelah melalui proses "Peninjauan Kembali" - jumlah tersebut pada minggu pertama membengkak menjadi lima puluh delapan, dan selewat bulan kedua menjadi delapan puluh orang!

"Saya mohon Dik Sugeng bisa memahami perkembangan yang begitu dinamis ini," demikian Ibu Gubernur berujar. "Menghadapi keadaan seperti ini kita harus pandai-pandai bersikap dengan tetap mengingat bahwa bagaimanapun kita ini orang timur. Penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan di kita masih tinggi. Maka ketentuan yang kita buat pun kaku. Apalagi kalau cuma soal jumlah anggota. Yang penting kan kekompakan. Nah, soal mengatur kekompakan ini kan sudah menjadi keahlian Dik Sugeng."

 Dan, nyatanya sampai dengan tahap ini. Sugeng masih sanggup membentuk formasi yang cukup kompak. Anggota-anggota yang memang bervokal kuat diperselang-selingkan sedemikian rupa dengan anggota-anggota titipan yang giliran harus menyannyi kadang ikut membuka mulut kadang tidak, dan yang waktu membuka mulut pun kadang bisa mengeluarkan suara kadang tidak.

"Nah, satu hal lagi. Kalau ini saya cuma benar-benar cuma ingin membantu Dik Sugeng. Pergelaran perdana kita pada acara tujuh belas Agustusan di Balai kota nanti ada lagu Hamba Menyanyi, kan?"

"Ya, Bu."

"Ada bagian nyanyi tunggalnya?"

"Ada, Bu."

"Sudah ditentukan solis-nya siapa?"

"Baru saya seleksi."

"Tidak makan waktu terlalu lama? Nanti tidak keburu, lho?

"Sudah ada beberapa calon."

"Kalau begitu biar Eti sajalah."

"Eti yang... banyak bekas jerawatnya?"

"Iya, itu anak saya."

***
BAGAIMANA Sugeng tidak merasa masygul!
Selama ini Eti dia kenal sebagai anggota yang "lebih pantas menjadi pemain sepak bola saja daripada menyanyi. "Kualitas vokalnya dibawah standar, kecantikannya pun pas-pasan. Kalau di stimulir secara khusus sebenarnya dia bisa bersuara lantang, tapi nada dasarnya selalu menyimpang dari intro. Kalaupun tidak menyimpang-ketika harus masuk dengan nada C, misal-maka nada C yang dinyanyikannya bisa satu oktaf lebih tinggi dari yang seharusnya, hingga terdengar melengking di luar kendali. 

Dan ternyata anggota yang satu itu adalah putri Ibu Gubernur! Telah ditentukan harus menjadi solis pula!

Sempat terlintas dalam benak Sugeng untuk menghentikan semua itu. Bubar! Tapi apa kata orang nanti tentang dirinya? Tanggung jawabnya? Lagi pula kenyataannya ia sudah menerima bayaran besar. Atau dikembalikan saja uang itu? Ah, berat juga mengumpulkan lagi dua setengah juta rupiah lebih jumlah total honornya selama ini. Kalau toh uang itu masih ada, rasa-rasanya sayang pula melepasnya lagi. 

Akhirnya Sugeng memutuskan untuk jalan terus. Tidak bisa tidak ini harus diselesaikan. Minimal sampai dengan pergelaran pertama pada acara tujuh belas Agustusan di Balai Kota nanti.

Tak urung ia menderita stress teramat berat. Semula ia berniat cuek, main tak peduli, tapi nyatanya tetap ia peduli dengan suara Eti yang tak kunjung beraturan itu.

Satu-satunya jalan ialah: latihan habis-habisan. Atas permintaan sendiri, yang tentu saja sangat di duking oleh Ibu Gubernur-Sugeng menyelenggarakan les privat bagi Eti. Maka tiadalah hari yang berlalu tanpa latihan vokal. Di ruangan, di lapangan, di pantai, di tempat sunyi. Tak henti-henti. Hah! Hah! Hah! Hah! Do-re-mi-fa-sol-la-si-do do-si-la-sol-fa-mi-re-do!

Hasilnya?

Ternyata tak ada kemajuan. Sugeng pun pasrah. Kualitas pergelaran terbayang sudah. Paduan suara yang sebenarnya tidak terlalu buruk itu bakal kandas oleh suara solis yang serak-serak-pecah.

***
MENIT-MENIT terakhir menjelang pergelaran Sugeng tak bisa bertahan lagi. Perutnya mual. Kepalanya pusing. Dan persis giliran paduan suara "Swara Budaya" tampil di panggung. Ia bersembunyi di kamar kecil. Samar-samar terdengar alunan lagu pertama... lagu kedua... Dan begitu masuk lagu Hamba Menyanyi, buru-buru ia menutup sepasang telinganya, gentar untuk mendengar lengkingan suara Eti.Tapi Celaka! Suara dari panggung itu tetap saja bergaung. Lebih-lebih gemuruh teriakan yang membahana itu! Pastilah pekik kekecewaan! pastilah kegaduhan! Pastilah pelecehan!

Tapi bukan... Ternyata itu suara tepuk-tangan! Gemuruh seruan pujian! Begitu meriahnya! Ya, suara tepuk tangan yang terdengar seusai Eti menyanyi! Mimpikah ini? Halusinasikah? Bukan. Yang di dengarnya adalah kenyataan yang senyata-nyatanya. 

Sugeng lari ke tempat pertunjukan. Melongok ke arah penonton. Ya! Mereka benar-benar berdiri memberikan tepuk tangan! Sementara di panggung Sana Eti dan anggota paduan suara yang lain berkali-kali membungkukkan badan!

Begitulah, berangsur-angsur gemuruh tepuk tangan mereda pula. Sugeng menghembuskan napasnya keras-keras, lalu ikut duduk di samping seorang penonton. Ia pun mengambil sebatang rokok, menyalakannya hati-hati, menghisapnya pelan, mengepulkan asapnya penuh kenikmatan. "Bagus ya, Pak, paduan suaranya?" 

"Yah, bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah. Anak Pak Gubernur yang menyanyi, masa kita teriaki suruh turun." 

Sekonyong-konyong Sugeng tersedak, mirip orang baru belajar merokok. 
   
Yogyakarta, 1 Februari 1994
 Kompas, 27 Maret 1994

Sumber
Penulis : Jujur Prananto
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Selasa, 20 Juni 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Cerita Pendek 'Ziarah Lebaran'

Cerita Pendek 'Ziarah Lebaran'
PADA Lebaran pagi itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka makan hidangan khas yang dimasak Eyang Putri. Opor Ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk kedelai. Mereka makan dengan lahap karena masakan Eyang memang selalu enak. Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu. Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada Eko, anak tunggalnya., dia juga senang senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya. Kenapa tidak, desah Yusuf. Sejak Siti, istrinya, dan jauh sebelumnya mertua laki-lakinya meninggal, apalah kesibukan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu. 

"Eko mau paha sepotong lagi? Dan kau Sup, sambel goreng dan dendeng ragi lagi?"

"Tentu, Yang, pahanya satu lagi. Eko kan sukanya paha."

Yusuf melihat anaknya menyergap paha ayam yang ditawarkan eyangnya. Karena sergapan itu, kuah opor muncrat kesana kemari. Kalau Siti masih ada, pikirnya, pasti akan ditegurnya anaknya itu. Tetapi Eyang Putri...

"Sudah Bu. Sudah cukup saya. Semuanya seperti biasa enak. Nuwun, Bu."

"Lho, kok sudah, Sup. Tumben."

Sambil menggelengkan kepalanya Yusuf berpikir apakah betul dia menolak itu karena sudah kenyang, atau karena beban pikiran lain. Segera saja dia memutuskan pasti karena beban pikiran lain.

***

MULA-MULA, waktu keberaniannya sudah terkumpul dan dengus hawa hidungnya sudah terasa panas, begitu saja Yati, teman sejawatnya itu diciumnya. Waktu dilihatnya Yati tidak melawan dan hanya memejamkan matanya Yusuf menjadi lebih berani lagi. Diciumnya berkali-kali mulut dan pipi gadis itu. Naluri atau nafsu laki-laki yang sudah menduda tiga tahun itu, agaknya, sudah tidak dapat ditahan-tahan lagi. Dan sejak itu mereka semakin sering bertemu, berkencan melihat film, makan direstoran, bahkan sekali dua kali menginap di hotel. 

"Yat, kau suka anak kecil nggak?"

"Tergantung anaknya bagaimana dan anak siapa." 

"Wah"

Pelan-pelan, bertahap, Yusuf menyatakan cintanya kepada Yati. Diyakinkannya perempuan itu bahwa dia tidak mau hit and run dalam hubungan cinta mereka. Dia ingin mengawini Yati. Dia ingin Yati menjadi ibu Eko. Dan waktu Yati akhirnya menjawab: mau, mau,.... Yusuf memutuskan untuk mengakhiri masa dudanya dan menggendong kembali Eko ke rumahnya.

***

ACARA lebaran selalu sama. Sembahyang Ied di lapangan kompleks perumahan, sungkem bermaaf-maafan dengan Eyang Putri, makan pagi, ziarah ke makam ayah mertuanya dan makam Siti. Ziarah ke makam orangtuanya sendiri nyaris hanya sekali-kali dilakukan. Kenapa ya, pikirnya. Mungkin karena orangtuanya sudah lama meninggal, mungkin karena adik-adiknya (sembari mengumpatnya) yang selalu menziarahi dan mengurus makam-makam itu. Atau karena makam Siti, istrinya yang cantik berambut panjang sekali itu, lebih mengikatnya untuk menziarahi. Atau karena Eko yang diasuh ibu mertuanya? Melepas rindu kepada anak tunggal, yang hanya sempat dikunjungi setahun sekali lewat perjalanan kereta api yang melelahkan dan untel-untelan, bukankah juga sangat, sangat penting. 

"Wah, setiap tahun kok semakin banyak saja kere-kere berderet di kuburan," gumam ibu mertuanya. 

Di dalam hati Yusuf mengiyakan pernyataan itu. Kok di kota sekecil itu kere-kere bertambah, pikirnya. Mau dientaskan bagaimana itu, gumamnya. 

"Kok kere-kere yang di makam semuanya cacat, Yang?" 

Yusuf tersenyum bangga. Pikirnya, anaknya untuk usianya sangat tajam pengamatannya.

"Kalau tidak cacat tentu mereka bisa bekerja, tidak mengemis, Ko." 

Di makam Siti mereka mencabuti rumput-rumput yang di sana-sini tumbuh. Lantas mereka menabur bunga. Kemudian Eko mengambil alih upacara. 

"Karena Eko sudah biasa Al-Fatihah, Eko akan berdoa keras, Eyang Putri dan Bapak mengikuti." 

"Boleh, boleh, Ko." 

"Iyo, Le." 

Dan dengan lancar Eko, mungkin setengah pamer, mengucapkan Al-Fatihah diikuti Eyang Putri dan ayahnya. Sehabis itu Eko merangkul Eyang Putrinya dan Eyang Putrinya pun menciumi pipi cucunya. Sekali lagi Yusuf merasa bangga dan sadar juga bahwa anaknya memang sudah lebih besar daripada setahun yang lalu. Kemudian tanpa disangka Eko sambil menekuri makam ibunya berkata kepada makam ibunya.

"Ibu di sorga. Ini Eko, Bu. Eko sudah gede, Bu. Eko sekarang bisa jaga Eyang Putri di sini, Bu. Bapak jaga Eyang Putri dan Eko dari Jakarta, Bu. Oh, ya, Bapak bawa oleh-oleh mainan Nitendo. Baguus sekali, Bu..."

Yusuf bangkit dari jongkoknya. Rasanya tulang-tulangnya lebih ngilu. Dipandangnya anaknya yang masih jongkok dan masih juga terus dielus-elus kepalanya oleh neneknya yang nampak terisak-isak menangis. 

***

DALAM perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara pengap, gerah, keringat di tubuhnya terasa lengket. Bau apak dan penguk lagi. Mungkin tahun depan, pada Lebaran lagi, dia akan lebih punya nyali, punya keberanian yang lebih mantap lagi untuk mengemukakan itu semua kepada ibu mertuanya, kepada Eko. Bahwa dia akan mengawini Yati, bahwa dia akan menggendong Eko ke Jakarta. Ya, tahun depan. Pasti, tekadnya. 

Waktu dia menatap jendela kereta, dia berharap dapat menatap senyum Yati sekilas-sekilas yang dia harap juga akan merangsang berahinya. Tetapi tidak. Yang terlihat sawah-sawah kebanjiran, jembatan-jembatan putus, dan jalan-jalan yang semerawut oleh bus dan mobil.

 Kompas, 20 Maret 1994

Sumber
Penulis : Umar Kayam
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Selasa, 13 Juni 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Cerita Pendek "Yang Tersisa"

cerita pendek yang tersisa
TOHIR mau kemana setiap sore ngeluyur melulu?" 

"Ah 'Mak biasa jalan-jalan sore, bosan di rumah.!" 

"Kamu selalu jawab semaumu begitu, sekali-kali jaga adik-adik di rumah! lihat si Malik, Minah, Tumin masih kecil-kecil, ajarin pekerjaan sekolahnya... Kamu kan kakaknya! Tohir! Balik sini!" teriak Mak Suminah sampai serak.

Tohir tidak peduli, ia susuri gang demi gang sambil kadang-kadang membetulkan model rambutnya yang mulai gondrong.

"Saya capai dan gerah selalu ngurusin orang lain, nggak pernah kesampaian mau bergaul dengan teman, nikmati penghasilan sendiri tanpa dibagi-bagikan sama adik-adik, 'Mak, dan saudara-saudara lainnya. Urus si Lik, nungguin di WC umum sampai enek...Urus seluruh dunia! saya nekat mau pelit dan tidak akan peduli pada siapa pun mulai hari ini!" jerit Tohir di dalam hatinya. 

  ***
BANGUN pagi hari Tohir langsung mandi ke ujung gang, tempat pemandian umum. Buru-buru ia berpakaian dan langsung meninggalkan rumah tanpa basa-basi. Hitungan hari kedua, hari kebebasan untuk dirinya. Bebas tugas dari beban keluarga. Bekerja di sebuah percetakan sebagai tukang sapu merangkap kebersihan segala macam, office boy kerennya, dijalaninya sudah hampir tiga tahun. Satu hari mendapat uang makan sejumlah Rp 1.500 dan gaji bulanan sebanyak Rp 45.000, merupakan kenikmatan tersendiri baginya. Karena sebelum ia mendapat pekerjaan tetap, sudah beberapa kali ia berpindah-pindah kerja, menjadi kondektur, calo muatan, juga tukang parkir liar di pojok Matraman. Dan terahir ia diajak kawannya melamar ke kawasan industri, langsung gol dan cocok.

"Hir' Tohir ada yang nyari di depan!"

Dengan segan Tohir mendatangi gardu satpan dan menemukan Malik adiknya.

"Mau apa kamu ke sini! Sana pulang aku lagi kerja nanti dipecat ngobrol-ngobrol nggak keruan begini, pergi pulang!" usir Tohir ketus.

"Bang... Mak cariian, kok pagi nggak pamit, nggak ninggalin duit lagi...? Jadi kita di rumah nggak ada yang dimasak..."

"Duit! Saya nggak ada duit, tongpes... seluruh dunia sudah tahu aku lagi bokek, sana pergi!"

"Jadi bilang apa sama 'Mak, saya takut pulang, 'Mak tadi nangis kesal katanya Abang sudah dua hari ini nggak ngomong di rumah...., jawab Malik agak gemetaran.

"Mau ketawa, nangis, mau pergi, makan, tidur, jalan-jalan sore, itu urusan saya sendiri! saya capai ngeladeni kalian semua, Lik kamu juga sudah besar bisa bantu kita semua. Jangan saya melulu yang mesti mikirin makan kalian, baju si Minah, pekerjaan rumah si Tumin, uang sekolah kalian. Bangkrut! Untuk saya sisa apa, kamu kerja dong! Mikirin pingin sekolah ini itu, duit dari mana, cari duit mulai hari ini, aku nggak akan bantu lagi! Ingat ya Lik, saya sudah hampir sepuluh tahun ngurusin kalian yang manja-manja ini! Ah... sebodo kamu bilang apa di rumah!"
Malik sendiri bengong kebingungan.

***
HARI berganti, bulan pun bertambah. Tahun silih berlalu. Tohir masih kerja rutin di percetakan. Ia sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak. Menengok Ibu dan adik-adiknya tidak pernah sekali pun disempatkannya. Mak pun makin tua, mulai sakit-sakitan, ketiga adiknya mulai kocar-kacir tak terurus. Malik telah lama berhenti sekolah dan sudah bekerja sebagai pembantu di sebuah kios kecil Slipi menjual barang kelontong, peralatan rumah tangga. 

Keluarga kecil milik mereka sudah tidak utuh lagi. Walaupun tekad, impian maupun amanat suami Mak Suminah untuk tetap bersama dalam suka maupun susah, ternyata tidak tercapai. 

Tersisa kini sebuah rumah petak kusam berisikan beberapa manusia yang rapuh kehilangan semangat. 
***

"HIR... cepat bawa ini ke gudang, sebentar lagi ada pemeriksaan, kamu mulai malas kerjanya, mau saya laporin ya!" bentak Mandor Komar. 

"Jangan gitu Bos, saya selalu kerja rapi..." 

"Rapih apa, datang sering kesiangan, Izinmu sudah hampir satu minggu kalau dihitung-hitung, kerja nggak benar! Cari kerja tempat lain kalau malas... Kita nggak terima orang-orang yang loyo di sini!

"Bukan begitu Bos... saya belakangan ini kurang tidur, mana istri sakit-sakitan, mesti urus dua anak yang masih kecil-kecil . Kami masih numpang sama Agus warteg pojok sana. Mesti sering nemanin dia main kartu, begadang, namanya orang nebeng..." 

"Brengsek kamu Hir! Kerja sudah nggak becus dan ngaco! Saya masih kasih kesempatan satu bulan ini, kalau masih tidak disiplin langsung saya serahkan laporan harianmu ke personalia lantai empat, ngerti!" 

Mandor Komar pergi dengan geram.
***

"LIK... Malik cari Tohir, 'Mak kangen, bagaimana keadaannya...," jerit pilu Mak Suminah.

"Mak.. Bang Tohir sehat walafiat, nggak usah dipikirin. Sekarang kan Malik dan adik-adik yang ngurus 'Mak."

"Sudah lama 'Mak nggak ketemu, mungkin dia sakit Lik." 

"Mak saya sudah bilang... nggak ada yang sakit, nggak ada yang susah. Malah sekarang yang kurang sehat itu 'Mak dan kita semua perhatiin... Biar saja kalau Bang Tohir nggak sempat, mungkin dia sibuk, bisa saja dia lembur setiap malam, atau dia kerja keras cari duit untuk kita semua... Saya kan sudah bisa urus adik-adik...," jawab Malik menyenangkan hati ibunya.

"Tapi kamu cari kabar... kali-kali dia sakit... 'Mak kasihan kalau mesti nyusahin orang lain, dia masih saudara kamu, bagaimana kalau ada apa-apa, kita tidak diberi kabar ... Aduh... Tohir, di mana kamu Nak...,"Mak Suminah pun menangis.

'Mak..., nggak usah pikirin, Bang Tohir. Besok-besok juga balik pulang... Bawa uang, ketemu 'Mak, beri oleh-oleh banyak untuk Minah dan Tumin. Semua yang dia lakukan selama ini untuk kebaikan kita bersama... jangan diingat-ingat, nanti dia malah nggak benar kerjanya, gelisah...," Malik berusaha membujuk ibunya.

"Kenapa dia nggak pamit, marah sama 'Mak barangkali. Sudah hampir tiga tahun tidak ada kabarnya. Dia dari dulu ngurusi kita semua. Mungkin Mak salah, maksa dia berhenti sekolah untuk cari uang... Hir....," Mak merintih sedih.

"Kalau 'Mak begini terus saya dan adik-adik sedih, kita semua jadi sakit. Biarkan Bang Tohir menentukan apa maunya. Dia bilang mau hidup sendiri, nikmati hasil keringatnya, mungkin dia sudah berkeluarga, tidak peduli kita lagi... dia capai urus saya, Minah... Min..., biarin dia pergi, saya nggak mau bebani dia lagi, saya juga laki-laki bisa bantu 'Mak dan dan adik, biarkan Bang Tohir puasin dirinya, kita nggak perlu maksa untuk ingat rumah ini! Saya bisa 'Mak, saya anak 'Mak juga dan tidak akan meninggalkan 'Mak sampai kapan pun....," Malik mulai emosi.

Minah dan Tumin ikut duduk dekat ibunya yang terlentang beralas sehelai tikar, terisak bareng. Malik berdiri membenahi seadanya rongsokan nggak karuan pojok bilik mereka. Dia segan memperlihatkan air matanya yang sudah menetes.

Mak Suminah bingung mendengar keluhan Malik begitu bertubi-tubi. Kepalanya sakit dan jantungnya berdebar-debar.

"Maksud kamu apa Lik? Tohir ke mana? Ada apa sebenarnya kakakmu itu... Jangan bohong Lik..."

Perlahan-lahan Malik bersimpuh balik dekat ibunya, digenggam erat tangan ibunya, ditatapnya wajah tua tak karuan dan...

"Maaf... saya berbohong demi kebaikan kita semua, keluarga kecil ini. Bang Tohir sudah nggak mau ngurus kita semua. Dia mau bebas, dia bosan jadi orang miskin, dia punya pekerjaan dan ingin memilikinya sendiri... Tetapi nggak perlu rusuh, Bang Tohir pasti baik-baik saja. Biarlah begitu, dia sudah punya keluarga, tentu sekarang lebih mementingkan anak dan istrinya. Biarinlah! Kalau 'Mak sehat dan tabah kami semua senang."

"Tohir punya anak? Kapan Lik... kenapa nggak dibawa ke sini... Ada apa Lik.... Lik...," Mak Suminah bukannya kalem, malah makin nggak karuan, meraung-raung.

***

SUASANA rumah Malik makin memprihatinkan, Mak Suminah semakin parah sakitnya, dirawat seadanya. Minah juga mulai aneh, jarang bicara, melamun sepanjang hari. Tumin, apalagi malah menjadi berandalan di daerah mereka. Malik mulai panik, berusaha menghubungi Tohir.

Tetapi, selalu sia-sia, Tohir selalu menghindar dengan berbagai alasan. Hanya pesan lewat satpam, bahwa ia tidak punya uang. Malik mulai kalut, ia marah, karena kakaknya selalu curiga kedatangannya hanya untuk minta uang.

Malik mulai tidak konsentrasi dalam pekerjaannya lagi. Ia letih harus tampil tampak sebagai pahlawan di mata keluarga. Ia menjadi bimbang.

"Payah! Saya mulai nggak berguna di keluarga sendiri. Bos marah-marah, pikiran kalut begini, berantakan hidup ini, semua penuh perhitungan. Tohir main hitung-hitungan balas budi, mana si Min jadi preman, gila! Minah nggak waras bisanya bengong, Mak makin tua, ingatnya Tohir melulu! Tahun ke tahun tidak ada perubahan, saya kerja selama ini untuk keluarga tidak dianggap, saya ini apa!" keluh Malik blak-blakan dengan rekan kerjanya Sudin di sebuah warung.

Sudin hanya dapat diam, sambil pura-pura mengerti, mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bosan terlalu sering mendengar keluhan Malik.

"Lik... gini aja, daripada kamu ngomel-ngomel, mana duitmu pas-pasan ... Kerja dari pagi sampai malam, ngurus ibumu yang tua, urus adik-adik. Bagaimana kalau kamu juga cabut...! Pergi aja jauh, hidup sendiri, ngurus diri sendiri, kamu bisa puas beli apa saja. Sepertinya sekarang juga kamu harus ambil sikap... jangan kayak banci... mau ini itu takut!" nasihat santai dari mulut Sudin.

"Edan kamu!" teriak malik sambil menonjok muka Sudin. Orang-orang di warung lari kocar-kacir, menyelamatkan diri, karena perkelahian Malik dan Sudin tampak serius.

***

MEMANG segalanya berakhir tidak menggembirakan. Malik ditahan di sel polisi, karena tuntutan pemilik warung dan lagi pula Malik melukai Sudin sampai masuk rumah sakit, tampaknya parah dan mungkin tak tertolong lagi. 

Mak Suminah kehilangan seluruh anak-anaknya, yang semestinya merawat dan melindunginya. Keluarga Suminah berantakan, Tohir masih menjadi anak durhaka, Tumin lebih-lebih lagi bergabung preman kondang menguasai beberapa gang kumuh daerah rawan dan Minah satu-satunya anak perempuan pergi begitu saja bergabung dengan teman-teman seusianya dengan maksud mencari kerja, meninggalkan ibunya. 

***

MAK Suminah kini sendiri, ia bertahan hidup, walau dari belas kasihan para tetangga yang juga hampir serupa nasibnya. 

"Saya masih ingin hidup lama... Kalau Tuhan memberi kesempatan anak-anak untuk kembali.... entah apa saya bisa menerima mereka, entah... apa masih bisa mengenali mereka... entah... masih adakah kekuatan saya menjadi seorang ibu bagi empat orang anak....," pikir Mak Suminah terus sepanjang malam, sepanjang hari bertahun-tahun.

Jakarta, Desember 1993
 Kompas, 13 Februari 1994

Sumber
Penulis : Rayni N. Massardi
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Selasa, 09 Mei 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Cerita Pendek, Namanya Massa

Cerita Pendek, Namanya Massa
INI memang kota Jakarta! di kafe ini, saya ketemu massa, matanya bagus! Tapi, dia tak secantik maminya yang artis terkenal. Papinya sutradara andalam dalam dunia perfilman kita. Massa acuh tak acuh saja, kala Mas Beny, teman sama-sama wartawan mengajaknya ngobrol. Dia minum wiski (seperti minum air putih). Saya mungkin kelewat asyik melihatnya, sehingga Mas Beny berbisik,"Kalau kau sudah lama di Jakarta, ada banyak perempuan, seperti itu. 

Barangkali, sulit bagiku untuk menyesuaikan diri dengan watak kota Jakarta. Sejak ditugaskan sebagai wartawan di Jakarta, saya merasa sering sepi dan jenuh dengan pekerjaan yang sudah saya geluti selama tujuh tahun. Dalam malam yang hujannya rintik-rintik ini, di diskotik yang musiknya hingar bingar, saya temukan Massa yang mabuk. Saya antarkan dia sampai ke rumahnya. Saya memotret Massa yang sedang mabuk. Mengapa keinginan itu muncul? Karena, saya lihat anaknya Bony (menurut Mas Beny anaknya di luar nikah dengan salah satu pemain film papinya), yang mungkin baru berumur tiga tahun, biasa-biasa saja, melihat Massa yang sedang mabuk itu. 

Saya dan Mas Beny melihat hasil foto Massa yang mabuk. Mas Beny bilang, "Foto ini kelihatannya bisa dijual. Massa kan anaknya orang terkenal. Tanyakan ke redaksi apakah foto ini bisa dimuat di media kita. Kalau tidak, jual saja ke media itu, pasti laku! Karena, ada nilai beritanya." 

***
SEBELUM saya beranjak ke ruang redaksi, ada telepon dari Massa. "Ini alamat pengacara orangtuaku, kau kan butuh uang! Apa kau tidak butuh uangku? Lantas, apa kau ingin tidur denganku? Juga tidak! Kalau begitu jelaskan apa maumu, jangan berbelit-belit." 

Saya dengar suara Massa menangis, sebelum telepon ini diputusnya. Dan malam itu, saya ke rumahnya menemui Massa. Dia sedang minum wiski (dia minum seperti air putih), "Don, kalau foto ini tidak membahayakan kebahagiaan Boni kelak, saya tidak akan risi, sekalipun foto itu dimuat di media massa. Kau tanyakan siapa bapak Boni, saya sudah lupa. Sekarang saya adalah bapak dan ibunya Boni. Oleh karena itu, saya keras mendidiknya, agar kelak dia jadi laki-laki yang sehat jiwanya." 

Saya tahu, malam itu Massa ingin bercerita banyak (istriku tidak mau mengakui kalau saya bisa jadi pendengar yang baik). 
"Don kau tanyakan, apakah saya bahagia menjadi anaknya orang terkenal. Entahlah. Yang saya ingat, saya lebih sering di rumah hanya dengan pembantu. Don, waktu itu saya kelas dua SMP. Saya baru saja menceritakan kepada orangtuaku, kalau saya diangkat sebagai ketua rombongan paduan suara sekolah kami yang akan bertanding dengan SMP di luar Jakarta. Kala saya sedang sibuk mengatur ini dan itu, temanku bilang, "Massa, semalam kamu dimana? Kala orangtuamu mengumumkan perceraiannya, kok mau disuruh foto berdua, mesra lagi! Itu akting atau beneran sih?"

"Kamu bohong! Semalam orangtuaku shooting di luar kota. Dan sampai hari ini, mereka masih berada di tempat shooting. Ayahkku punya pengacara yang bisa menuntut orang yang menfitnah." 

"Don, seketika dia menyodorkan koran yang memuat perceraian orangtuaku. Yah, bukan hanya satu koran, tapi berpuluh koran. Saya seperti masuk ke sumur tanpa dasar. Sejak itu, saya malu bersekolah. Sekalipun orangtuaku bilang perceraian itu bisa terjadi pada pernikahan siapa pun, bahkan zaman sekarang, raja dan ratu pun bisa bercerai. Keluar dari sekolah dan masih berumur empat belas tahun, saya diterima bekerja sebagai penata lampu di sebuah diskotik. Karena bekerja di sana, saya berkenalan dengan banyak laki-laki. Pengalamanku dengan laki-laki itu, membuat saya cepat mengerti hidup ini. Kau tahu nama-nama ini kan? Mereka cuma bisa omong besar di luar ranjang. 

"Saya tahu sekarang pacarmu, ada tiga orang. Mengapa kau tidak menikah dengan salah satu dari mereka? Atau kalau kau mau kan bisa menikah denganku," saya berseloroh.

"Don, saya akan menikah kalau pacarku yang di Jerman sudah selesai sekolahnya. Dia tahu kelahiran Boni. Dia bisa bilang itu kesalahan manusiawiku. Sementara ketiga pacarku itu, sangat saya perlukan. Sebab yang satu bisa jadi Bapak Boni, dia dan Boni saling menyanyangi. Pacarku yang anak konglomerat adalah penyandang danaku. Uang saku dari orangtuaku tidak pernah cukup. Yang mahasiswa itu teman mengasah intelektual, kami cocok di ranjang." 

"Kau tanyakan, mengapa saya tidak jadi bintang film saja? Don, saya berbakat menjadi pelukis. Tapi orangtuaku tidak percaya. Cuma eyang yang tahu, waktu saya di Malang, Eyang menyuruhku belajar pada seorang pelukis. Eyang masih menaruh di kamarnya lukisanku waktu kecil. Don, kalau Boni sudah berumur empat tahun, saya akan jual rumah ini untuk biaya hidupku dengan Boni di mancanegara. Saya ingin belajar melukis di sana." 

Saya seperti mendengarkan sebuah imajinasi, tapi dongeng memang tidak harus sama dengan realitas ini. Saya lihat mata Massa melihatku lekat-lekat. "Massa, saya kira kau pasti bisa sama besarnya dengan orangtuamu." 

***

SUATU kali dengan alasan yang tidak jelass, redaksi marah kepadaku. Dia bilang beritaku kurang konfirmasi sekalipun aktual sehingga tidak layak muat. Dengan kesal saya keluar dari kantor. Di rumahnya, saya lihat Massa asyik nonton film di laser disk. "Kamu ini enak betul. Kalau setiap orang harus stres dalam mencari biaya hidup dan pekerjaannya, jam segini kau sudah bisa berleha-leha." 

Massa, menciumku. "Don, cobalah bir kalengan ini, ringan kok. Don, sebagai seorang seniman saya harus mencari pengalaman di mana saja, juga di film ini. Sebelum berkontemplasi. Tapi, kau tidak bisa seenaknya ke rumahku, kalau kelak saya sudah jadi pelukis, waktu itu untukku." 

"Saya kepingin punya koran sendiri. Koranku pasti bisa menjawab semua aspirasi masyarakat, karena apresiasi kami yang jujur dan intelek," kataku. 

Massa melebarkan matanya yang bagus, "Don, itu sebuah gagasan yang bagus. Sebabnya banyak media massa sekarang, beritanya seragam. Sehingga kita tidak tahu, apakah berita tersebut, dan siapakah sasaran pembacanya." 

Untuk pertama kali sejak kami berteman, malam itu kami tidur bersama. Setelah itu, tidak ada lagi percakapan, yang rasanya perlu kami ucapkan. 

***

SUATU kali, waktu liburan sekolah, saya minta cuti seminggu. Anakku Bunga dan istri mengajak liburan ke Toraja. Kami sangat menikmati liburan ini. Dan setelah cuti ini habis, dengan sangat malas saya kembali ke Jakarta untuk bekerja. Kala saya sedang mengetik berita, ada telepon dari Massa. "Don, saya perlu kamu. Bisa datang kan? OK, saya tunggu kamu." 

Massa memegang tanganku erat sekali. "Massa, ada yang bisa saya bantu?" 

Matanya basah. Massa merokok secara beruntun dan minum wiski (saya kira lebih dari kita yang suka minum air putih). 

"Don, tadi tanteku telepon dan bilang, Eyang sakit dan ingin sekali ketemu aku. Don, kau tahu kan sejak kelas dua SD sampai tamat SD saya ikut Eyang. Kalau saja mami tidak membawaku kembali ke Jakarta, pasti saya sudah jadi istri dan ibu yang baik seperti cita-cita Eyang. Don, Eyang memang tidak pernah diberitahu kalau saya sudah punya anak Boni. Kalau saya ke Malang tak mungkin meninggalkan Boni dengan susternya di sini. Saya khawatir kalau Eyang sedih, karena saya sekarang punya anak. Sering sekali diceritakan kepada orang yang dikenalnya, bahwa saya akan menjadi ibu dan istri saja. Dan tidak pernah ingin menjadi bintang film." 

"Massa pulang sajalah agar baik kau maupun Eyang tidak tambah stres. Saya memang belum mengenal Eyang, tapi saya kira dengan lapang dada beliau akan menerima anakmu." 

Massa menghapus air matanya pelan-pelan.

***

 SUATU kali saya pulang ke Malang untuk menengok anak dan istriku. Rini istriku yang dokter dan biasanya kelewat sibuk dengan pasien-pasiennya, bilang ingin berbicara denganku. "Don, saya kira kau sudah terlampau jauh dengan Massa. Maksudku kau mulai menyukainya. Kau sekarang bisa memilih salah salah satu diantara kami. Jangan berdalil seperti ini, "Rini, kamu sih tak mau saya ajak pindah ke Jakarta. Padahal kau tahu setiap laki-laki yang sudah berkeluarga, kalau pulang kerja kepingin pulang ke rumah di mana tempatnya yang paling aman itu ada istri dan anaknya. Don, sejak dulu kau tahu saya dosen dan dokter yang tak mudah untuk pindah kerja. Don, kalau kita berpisah saya tak akan meributkan harta bersama. Uangku cukup untuk membesarkan bunga. 

Saya kaget mendengarkan omongan Rini. Seharusnya dia tahu tidak ada hubungan khusus antara saya dan Massa. Saya kira kami cuma berteman biasa, dan rasanya memang tidak mungkin untuk membesarkan Bunga bersama Massa. Yah, waktu awal kenalan sudah saya ceritakan tentang Massa pada Rini. Waktu itu istriku cima tersenyum dan bilang," Don jangan sok tahu perasaan Massa. Kamu tidak pernah tahu perasaan perempuan, sekalipun saya sudah lama menjadi istrimu." 

"Rini, kamu salah paham dan argumentasimu kali ini lemah..." 

Rini melihat saya dengan kemarahan dan keras kepala. "Don, ini bukan forum diskusi, yang saya minta kau cepat menentukan pilihanmu. Buatku, cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Sorry, saya tak bisa lama-lama ngobrol denganmu. Ada pasien penting, Pak Walikota yang harus dicek terus-menerus kesehatannya." 

"Rini, kalau begitu kapan kau punya waktu? Agar saya bisa menerangkan persoalan ini." 

Rini tidak menjawab. Dengan bergegas dia masuk ke mobilnya. 

***

Saya benci sekali dengan sikap Rini kali ini. Sejak awal pernikahan, kita sudah sepakat untuk mendiskusikan secara terbuka yang terasa tidak enak di hati, agar tercapai titik temu di antara kami. Kami juga sepakat untuk bebas berteman dengan siapa saja. Bukankah Rini kelihatan akrab dengan teman sekerjanya, dokter Rudi. Saya tidak pernah marah  dia dan Rudi saling menelepon, keluar bersama untuk mengurus pekerjaan mereka. Saya berjalan ke sembarang arah. Tahu-tahu sudah memijat bel rumah eyangnya Massa. 

"Don, Suprise sekali kita bisa bertemu di Malang!" kata Massa sambil merangkulku. 

Saya lihat Massa, dan juga merasa surprise, di tempat eyangnya, Massa kelihatan polos sekali. Kemudian, dia memperkenalkan saya dengan eyangnya. Seorang perempuan yang tidak kehilangan kehangatannya, sekalipun sakit. 

"Gus, jadi kamu temannya Massa di Jakarta. Sekarang kan sama-sama di Malang. Sering-seringlah main ke sini, biar Massa punya teman ngobrol yang sama mudanya. Massa, tadi tamunya sudah dibikinkan air minum? Gus, jangan cepat-cepat pulang, kita makan siang bersama. Eyang kan bisa makan enak, kalau punya teman makan."

Saya memang sering ke sini. Dan merasa diterima dengan hangat di sini daripada di rumah. Sekalipun Rini tidak mengungkit-ungkit hubunganku dengan Massa lagi, tapi sikapnya yang dingin dan formal membuat saya tidak betah. 

Kala saya main lagi ke rumah eyangnya Massa, Eyang ingin bicara denganku. 

"Gus, saya ini sudah berumur delapan puluh lima tahun, sakit jantung sudah lama sekali. Eyang ingin mati, tapi tak mungkin bisa mati, karena nazarnya Eyang belum terlaksana. Gus, memang banyak sekali cucu-cucu Eyang. Tapi, yang paling menderita itu Massa! Waktu itu, Eyang merasa tidak enak hati dan ingin ke Jakarta saja. Tanpa memberi tahu siapa pun Eyang ke rumah maminya Massa. Yang saya temukan, Massa yang waktu itu berumur enam tahun dihajar oleh pembantunya sampai luka-luka. Langsung hari itu juga, Massa Eyang bawa ke Malang. Maminya, yang anakku itu memang keras kepala, setelah tamat SD dibawanya kembali Massa ke Jakarta. Akibatnya Massa membuat kekeliruan dengan melahirkan Boni. Gus, kalau kau belum punya istri, nikahlah dengan cucuku. Dia adalah perempuan yang baik, percayalah pada Eyang. Tapi jadi pengantinnya di sini saja, agar Eyang bisa membayar nazar." 

Setelah Eyang tidur, Massa mengajakku ke beranda. "Don, harusnya secara tegas kau tadi bilang begini kepada Eyang, "Eyang saya sudah punya istri! Saya ingin membesarkan Bunga dengan ibunya, agar jiwanya tidak pecah. Eyang, Massa cantik, pasti banyak yang mau menikah dengannya. Hubungan kami selama ini... cuma teman. Dan belum tentu, Massa mau menikah dengan saya yang cuma wartawan biasa. "Don, saya memang cuma ingin menikah dengan pacarku yang di Jerman. Kisah cinta kita lebih indah daripada sayap-sayap patahnya Khalil Gibran. Karena itu kami akan mengakhiri percintaan kami dengan pernikahan." 

Saya rikuh mendengarkan ucapan Massa, bagaimana dia tahu jalan pikiranku. "Massa, kita masih teman kan?" 

Massa seperti tidak berada di tempat ini. Dia di dunianya dan enggan berbagi dengan siapapun. Saya merasa tidak bisa ngobrol lagi dengannya. Tiba-tiba seperti ada yang putus...

***

SAYA sedang sibuk mengetik di muka personal komputer ini. Mas Beny dengan tergesa-gesa bilang, "Don, setengah jam yang lampau ayahnya Massa mati terbunuh! Kamu dan saya dapat tugas meliput di sana. Don, kamu kan akrab dengan Massa, koreklah darinya hal-hal yang bisa menarik pembaca. Ayolah, nanti keburu diliput oleh wartawan lain. Ini berita besar! Ayolah Don, tunggu apa lagi." 

Saya memasukkan tape ini ke tas. Tiba-tiba saya ingat omongan Rini, juga omongan Massa. "Don, kamu ini penggali berita yang handal. Tapi, kau sekarang tidak peka lagi dengan perasaan manusia yang seharusnya menjadi subyek dari tulisanmu di media massa." 

Saya termangu di muka personal komputer ini.


Kompas, 16 Januari 1994

Sumber
Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Kamis, 04 Mei 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Laki-Laki Yang Kawin Dengan Peri

Laki-Laki Yang Kawin Dengan Peri
Mau jadi anggota DPR? Boleh, asalkan dengar cerita ini. Namanya Kromo Busuk. Disebut busuk karena baunya, entah karena luka di kakinya atau keringatnya, wallahu'alam. Menurut ilmu hakekat, yang layak busuk itu hanya hati, tetapi maklumlah orang desa. Disebut kromo, atau suto atau noyo, itu sama saja, karena begitulah orang jawa diberi nama oleh orang sekitar. Kabarnya ia pernah kawin dan punya anak di desa lain. 

Pada mulanya, ia tinggal di tengah desa seperti orang-orang umumnya. Ia juga mempunyai sepetak sawah. Untuk yang tidak berkeluarga seperti dia cukuplah. Ia dapat berkebun, memelihara ayam, dan sesekali menukarkan hasil kebun ke pasar untuk garam dan pakaian. Dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun ia akan bisa bertahan, sebab ia tidak tergantung pada kebaikan hati pasar.

Tetapi rupanya ketenangan itu terganggu sejak tetangganya punya menantu orang luar desa. Menantu inilah yang mula-mula menyebabkan orang menuduh Kromo berbau busuk. Itu dimulai pada malam pertamanya. 

"Kau belum mandi sejak pagi," katanya pada istri. Itu sungguh diluar dugaan. Biasanya ia diam saja meskipun (calon) istri itu tidak mandi barang tiga hari. Ketika istrinya bersumpah bahwa sudah mandi, malah dikatakannya bahwa untuk menghadapi hari itu sengaja dipilihnya sabun yang paling . wangi, menantu itu pun mencari-cari sumber bau itu. Mula-mula mertuanya laki-laki. Laki-laki itu tersinggung, katanya lebih baik tidak punya menantu. Terpaksa orang banyak menyabarkannya. Untuk sementara menantu itu mengalah dan kamar pengantin itu tenang sekali. Tetapi kamar itu ribut ketika menantu minta istrinya untuk menanyakan apakah ibu mertua hari itu tidak lupa mandi. Tentu saja permintaan itu ditolak. Hanya ketika menantu itu mengancam akan menanyakan langsung, istri itu mengalah. Istri itu bisa membayangkan betapa ibunya akan marah, pengalaman dengan ayah yang disangkanya akan tersenyum dengan tuduhan itu sudah membuatnya berhati-hati. Ia tidak langsung menanyakan pada ibunya. Dengan berputar-putar akhirnya ia tahu bahwa ibunya sudah mandi.

Akan tetapi itu tidak membuat suaminya puas. Bau tidak juga hilang dari hidungnya. Maka di kamar itu terjadi lagi keributan. Sekarang giliran tetangga terdekat untuk ditanyai apakah mereka sudah mandi. Kemudian tetangga jauh mendapat giliran. Ternyata tidak juga mau menghilang bau itu.

"Ini sudah keterlaluan," kata ayah. Ketika kemarahan akan ditujukan pada menantu karena tuduhan yang tidak-tidak, tiba-tiba datang orang-orang dari Pos Kamling. Mereka juga menanyakan asal bau busuk itu.  Malam itu juga diadakan penggeledahan. Usaha itu ternyata tidak mudah, terbukti mereka tidak berhasil.

Begitulah, berkat orang-orang dari gardu, seperti kena tenung, tiba-tiba seluruh penduduk desa jadi sadar akan bau itu. Anak-anak di sekolah, di surau, di sungai saling menuduh teman-temannya. Bahkan mereka yang di ladang atau di sawah dapat menciumnya. Pendek kata, sedang bersama atau sendiri. Akhirnya diadakan penelitian dari rumah ke rumah. Pada waktu itu ketahuan bahwa sumber bau busuk itu itu ialah Pak Kromo. Sudah barang tentu hal itu tidak diakui Pak Kromo sendiri. Katanya ia sudah mandi, suruh pakai sabun sudah, suruh minum jamu juga sudah, padahal ia tidak luka sedikit pun.

 ***
DIAM-DIAM Kromo membangun gubug baru di pinggir desa dan pindah ke sana. Akan tetapi, ternyata hal itu tidak memecahkan masalah. Bau busuk tidak juga hilang dari hidung orang desa. Pada malam hari orang masih mengeluh. Ketika Kromo pergi ke warung, warung itu akan ditinggalkan pembeli. Demikian pula kalau dia nonton wayang, orang akan bubar dan tinggal dalang, pesinden, dan niyaga yang melanjutkan dengan menutup hidung sekenanya. Para gadis desa tidak laku, karena jejaka-jejaka takut dengan bau yang akan menghalangi. Malam bulan purnama juga sepi. Desa itu jadi sarang hantu. Pencuri berkeliaran dengan leluasa di malam hari, karena gardu ronda tidak dijaga 

Kromo menyadari hal itu. Malam hari dia akan keluar desa untuk tidur di tengah sawah yang berbatu-batu, dan tidak dikerjakan, karena orang percaya itu tempat angker. Kromo sudah bertekat karena mati pun tidak ada orang kehilangan. Orang sudah berusaha mencegahnya dengan mengatakan bahwa tempat tinggalnya yang di pinggiran desa itu sudah lebih dari cukup. Tetapi ia sudah bertekad bulat. Menjelang malam orang akan melihat dia mengempit selembar tikar usang menuju ke batu di tengah sawah untuk tidur. Baru pagi-pagi ia pulang. Praktis ia tidak bisa bekerja, sebab orang akan bubar untuk menjauhinya. 

Suatu malam, seorang wanita cantik tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Ia tidak tahu dari mana perempuan itu datang. 

"Jangan takut, kaki. Saya ingin tahu kenapa kenapa setiap malam kau di sini." 

Entah apa sebanya, tetapi rasa takutnya hilang. Maka ia pun bercerita tentang kesulitannya dengan orang. Ketika dia mengakhiri ceritanya perempuan itu berkata; 
" Sudah, kaki. Kalau bangsa manusia tidak mau mengerti, jangan susah." 

Malam berikutnya, ia dikawinkan di depan penghulu Naib Kecamatan yang sudah dikenalnya. Dihadirkan juga saksi-saksi. Perempuan yang dikawininya rasa-rasanya ia pernah ketemu sebelumnya tetapi ia lupa di mana. Ia enggan bertanya, pokoknya wanita itu cantik di luar bayangan orang yang paling gila sekalipn. Dan Malam itu dia memberikan kenikmatan yang luar biasa - yang tidak mungkin diceritakan demi sopan santun. 

Malam berikutnya, beberapa orang yang kurang pekerjaan mencoba mengikutinya. Tetapi mereka akan kehilangan jejak ketika Kromo sudah memasuki sawah berbatu-batu dan tak ditanami itu. 

Masih disaksikan oleh mereka angin bertiup sepoi-sepoi dan pucuk padi tertunduk teratur, seperti angin sedang berjalan diatasnya. Katak-katak berbunyi serempak juga kunang-kunang menuju tengah sawah. Udara menjadi dingin bukan main dan rasa kantuk yang tak tertahankan menyerang orang-orang dari gardu. Satu per satu mereka menguap dan tertidur di sembarang tempat. Kalau hari hujan dikabarkan bahwa tempat itu tidak kehujanan. 

***
BEGITULAH yang terjadi untuk beberapa lama. Kalau Kromo kesiangan, orang akan menemukannya sedang mendekap sebuah batu. Yang mengherankan ialah rambut Kromo yang tidak putih, meskipun orang sebayanya sudah. Adapun bau tidak juga hilang, malah lebih keras. Kalau dulu hanya di malam hari sekarang juga tercium di siang hari. Sampai-sampai anak-anak sekolah disuruh menimbuni sampah dan membersihkan semak-semak di sekitar sekolah. 

Pak Kromo hampir dilupakan orang, kalau tidak seseorang melihat orang itu tiba-tiba sudah tua renta. Komentar orang bermacam-macam. "Itu biasa karena sebayanya malah sudah mati". "Itu biasa, salahnya kawin dengan peri. Aku punya pengalaman daya sedot peri sungguh luar biasa, hingga tubuh bisa kering-kerontang kalau terlalu sering ketemu. Apalagi tiap malam." 

Pada suatu malam ada dua orang berpakaian seperti ketoprak datang di gardu ronda. Seorang dengan pakaian kesatria lengkap dengan kudanya, seorang lagi berpakaian lebih buruk tapi juga menunggang kuda. Nampaknya mereka pangeran dan pembantunya. Mereka menanyakan kenapa orang-orang desa menghina Pak Kromo, padahal dia orang baik-baik. Ia tidak pernah menyakiti orang, selalu berkata lembut, menundukkan muka, suka menolong, tidak sombong, dermawan dalam kemiskinannya, suka memberi dalam kefakirannya. Pendek kata ia termasuk orang-orang terbaik di desa. Tenta saja itu tidak butuh jawaban. Tidak seorang pun tahu ke mana para penunggang kuda itu pergi. Segera orang berkumpul. Perkara berkumpul tidak ada yang menandingi orang desa. Kemudian terdengar ledakan keras di tengah sawah, sementara bau wangi tercium di mana-mana. Mereka segera pergi ke sawah. Masih mereka saksikan asap membubung ke atas. Tahulah mereka bahwa Pak Kromo sudah meninggal dunia. Mereka hanya menemukan batu-batu, rumput, dan tikar. Mereka mengambil kesimpulan bahwa jenazah Pak Kromo dibawa ke dunia lelembut. Tiba-tiba orang merasa kehilangan. Sebagian orang merasa berdosa telah menyengsarakan Pak Kromo. 

Sejak itulah terjadi pageblug, epidemi, di desa. Tidak bayi, tidak remaja, tidak orang tua semua terkena. Pagi sakit sore mati, sore sakit pagi meninggal, siang masih mencangkul di sawah malam hari sakit, ibu-ibu kehabisan air susu. Orang sudah berusaha dengan membawa obor keliling desa, perempuan-perempuan telanjang mengelilingi rumah dan menyanyikan Dandanggula, "Ana kidung rumeksa ing wengi". Tapi keadaan tidak menjadi baik, malah sebaliknya yang terjadi. Habislah akal orang. 

Akhirnya datanglah kyai itu. Ia mengatakan kalau orang desa kurang bersyukur dan menganjurkan sedekah. Kemudian disepakati bahwa orang desa akan mengadakan kenduri dan mengaji sebagai layaknya orang menghormati yang sudah meninggal. Namun, yang mati tidak akan kembali lagi. Entah bagaimana nasibnya. Ada yang mengatakan dia jadi pengawal di sananya, ada yang mengatakan dia jadi pangeran di sana, ada yang mengatakan dia jadi sais di sana. Ada yang mengatakan dia jadi tukang rumput, dan ada pula yang mengatakan dia jadi rakyat biasa. Yang penting pakaiannya bagus-bagus dan dia jauh lebih muda. Ada yang pernah berjumpa, dan mengajaknya pulang. Betul dia menangis karena dunia ialah tempat yang sebaik-baiknya, meskipun penuh penderitaan, tetapi ia terikat perjanjian. 

Demikianlah cerita itu. Ibaratnya, jangan disia-siakan orang lemah, dia akan bekerja sama meski dengan siluman sekalipun. 
 
Yogyakarta, 14 April 1994
Kompas, 24 April 1994

Sumber: 
Penulis : Kuntowijoyo
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995

Jumat, 10 Februari 2017

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Bu Yati (Cerita Pendek)

Bu Yati (Cerita Pendek)
Oleh: Bre Redana

Bu Yati, guruku. Zaman kelihatannya berubah begitu hebat, tapi dihadapanmu aku sebenarnya tetap murid. Aku termangu-mangu seperti orang bodoh, sambil susah payah menahan agar air matai tidak runtuh. 

Mungkin orang bosan, setiap kali aku bercerita mengenai kota kelahiranku. Kini aku datang lagi ke kota kecil di Jawa Tengah ini untuk membawa pesan dari teman-teman di Jakarta yang berencana mengadakan reuni. Dalam rapat di rumah seorang teman yang hidupnya paling berhasil di kota besar ini, diputuskan guru-guru SD tempat sebagian dari kami bersekolah dulu akan diundang ke Jakarta. Berhubung jenis pekerjaanku mereka anggap paling bebas, akulah yang "ditugaskan" untuk pulang kampung, menghubungi guru-guru kami dulu. 

Udara kota kami serasa tak berubah. Tengah hari pun tetap sejuk tak terlalu panas. Gedung sekolah kami telah berubah, meski segera kukenali lay out dasar tak mengalami perubahan. Bangunan tembok itu mengganti bangunan lama, yang semasa kami sekolah dulu separo dinding terbuat dari gedek alias anyaman bambu. Sekarang, selain semua diganti dengan tembok, bangunan juga ditinggikan, dibikin bertingkat. 

Meski jalan utama di depan sekolah sudah diperlebar dan makin ramai, aku segera mengenali bahwa jalan-jalan kampung di seputar situ tempat kami dulu biasa berjalan kaki dan masuk lewat pintu belakang tetap tak berubah. Aku tak ingin terlalu menarik perhatian. Mobil kuparkir sangat jauh, dan aku menapaki jalan-jalan tanah yang menuju belakang gedung sekolah. 

Rumah-rumah di situ masih seperti dulu juga. Itu dulu rumah Endang, teman sekelas yang paling gendut. Ah....," aku menghela napa. Nasibnya tragis, dia tewas dibunuh perampok yang menyatroni rumahnya setelah dia berumah tangga. 

Setelah sekian tahun berlalu, aku yakin komposisi guru telah banyak berubah. Menurut seorang teman dalam rapat di Jakarta, kepala sekolahnya juga sudah bukan Pak Budi. Bahkan katanya ini sudah pengganti kedua setelah zaman Pak Budi yang kami cintai dan kami takuti dulu. 

Dalam jajaran guru-guru kami waktu itu, guru termuda adalah Bu Yati, guru kelas III. Kuputuskan untuk menemui Bu Yati saja, selain karena pertimbangan beliau pastilah masih ada, pada beliaulah aku merasa paling akrab. 

Kawasan belakang sekolah masih digunakan untuk para penjual jajanan. Bedanya, kalau dulu penjual paling populer adalah Lik Tin yang menjual lotek, singkong rebus, mie goreng dalam bungkusan daun pisang kering, sekarng yang kulihat penjual ice cream, burger, dan lain-lain. 

 "Bu Yati?" kata seorang penjual makanan ketika kutanya adakah Bu Hayati masih mengajar di situ. "Oh ya, masih. Guru kelas tiga," ujarnya sambil menengok jam tangannya. "Sebentar lagi juga akan bubaran. Kelasnya yang itu..." 

Berarti, ruang kelasnya pun masih ruang yang dulu, ketika kami duduk di bangku kelas III. Bu Yati yang pandai bercerita, adakah di siang menjelang bubar sekolah seperti ini, ibu masih seperti dulu, membuat murid tidak mengantuk dengan dongeng-dongeng yang masih kuingat sampai kini seperti dongeng Timun Mas, Anglingdarmo, Cindelaras, dan lain-lain. 

***
Kami sama-sama termangu. Bu Yati tengah mengemasi barang-barangnya ketika aku muncul di kelas, sementara seluruh murid sudah berhamburan keluar.
Telah berubahkah mataku? Semasa aku masih menjadi murid dulu, Bu Yati kami anggap paling cantik. Dalam ingatanku, Bu Yati selalu tampil dengan rambut disasak rap, senyumnya agak kenes, dan semenjak Bu Yati saat itu belum menikah, guru-guru pria yang dekat dengannya kami curigai, jangan-jangan mau memacarinya. Pak Manto, guru kelas VI, saat itu kami anggap "pacar" Bu Yati. 

Kini, Bu Yati kelihatan begitu renta, tidak lagi manis seperti pandangan mata kecil kami dulu. Ataukah mataku terlalu terkondisi dengan ibu-ibu ibu-ibu dan zus-zus di Jakarta? Rambutnya telah memutih. Ia seperti capai dengan tubuhnya yang tidak lagi langsing seperti ingatanku dulu. Sepengetahuan kami, sampai sekarang Bu Yati tidak menikah. 

Senyum dan pandangan matanyalah yang tak berubah. Aku seperti bisa mereguk seribu keteduhan berikut kenyamanan dan kedamaian dari cerita-cerita yang pernah dibawakannya. Ia menatapku dengan mata agak disipit-sipitkan. 

"Sopo yo?" ucapnya seolah pada dirinya sendiri sambil terus mengamat-ngamatiku. 

Aku hanya bisa berdiri takzim, dengan seluruh hati mencurahkan hormat. 

Dia melanjutkan dengan menyebut nama panggilanku semasa kecil, yang tak pernah disebut orang lagi sekarang. 

"Memang dalem Bu ...," ucapku sambil mendekat, memegang tangannya. 

Ia menarik tangannya ketika aku ingin menciumnya, dan merangkulku, mengusap-ngusap kepalaku. 

"Cah Bagus, ibu mimpi apa semalam kamu datang ..." 

Di hadapannya, aku benar-benar menjadi anak kecil lagi. 

****
Ruang kelas, papan tulis, lemari di sudut ruangan, bangku-bangku yang terasa kecil untuk ukuranku sekarang, di sinilah dulu aku banyak mendapatkan pekerti. Dadaku bergemuruh, seperti ada pusaran puting beliung yang mempertemukan diriku dengan masa lalu yang seakan ingin aku reguk lagi. 

Sudah berapa tahun jadi kamu meninggalkan sekolah ini Cah Bagus?" 

"Sekitar dua puluh lima tahun Bu." 

"Sekarang Ibu di mana?" ia menanyakan ibuku. "Dulu, aku menyesal sekai, ketika kakakmu meninggal aku tidak bisa datang, saat itu aku juga sedang sakit," lanjutnya. 

Aku tertunduk. Peristiwa itu sudah begitu lama, tapi beliau masih mengingatnya, bahkan masih bisa menyatakan penyesalannya hanya karena tidak bisa datang melayat. 

Betapa mulia hatinya. Sementara aku? Peristiwa yang mengitari diriku pun aku sudah banyak yang tidak ingat. Beberapa diantara guru-guruku yang lain sudah meninggal aku juga tidak tahu. Aku jadi malu, mengapa tadi tanya tentang Pak Budi, Pak Manto, Bu Darmi, Pak Ignatius, yang semuanya ternyata telah meninggal. 

"Aku bisa memaklumi. Kamu pastilah sangat sibuk," katanya. 

Tak ada suasana menyindir atau apapun. Semuanya kutangkap semata-mata sebagai pengertian dari kebesaran hatinya. 
 ****
Dalam hati, aku malu bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga terhadap seluruh teman-teman di Jakarta yang hendak mengadakan reuni dan menyuruhku kemari. Bahkan untuk membicarakan biaya pengangkutan guru-guru kami, sempat ada perdebatan, naik bus, kereta api, atau apa. Pesawat, katanya mahal. Bangsat. 

Aku pasti tak rela Bu Yati terseok-seok naik bus, atau terlalu lama dalam perjalanan kereta api. Apalagi, kini ia bahkan harus menopang tubuhnya dengan tongkat. Kuputuskan sendiri seketika itu, mengundang Bu Yati ke Jakarta dengan naik pesawat terbang, di Jakarta boleh memilih tinggal di hotel mana saja, meski kutawarkan aku akan lebih bahagia kalau beliau mau tinggal di rumahku. 

"Baru jatuh dari sepeda, dua minggu lalu. Untung sekarang sudah membaik, dan harus banyak latihan jalan, agar segera pulih," katanya mengenai keadaan kakinya. 

"Itu pula salah satu yang membuat dia harus berpikir-pikir untuk menerima undangan kami, meski aku sudah merayu-rayunya sedemikian rupa. 

"Lagi pula, ini bukan saat liburan. Aku tidak mungkin meninggalkan anak-anak. Kasihan kan, mereka...." 

Aku terdiam kehilangan kata-kata. Kecintaan seperti itulah yang pernah kunikmati dulu. 

"Tapi percayalah, meski ibu tidak bisa datang, doa Ibu untuk kalian tak pernah putus. Setiap malam, Ibu berusaha mengingat satu per satu anak-anakku, yang mudah-mudahan semua telah jadi orang. Itulah kebahagian terbesar Ibu," ujarnya. 

Serentak aku seperti merasakan malam-malamnya yang sunyi dan penuh doa. Aku hanya bisa tertunduk, sambil melirik tangannya. Rasanya, ingin sekali menciumnya. 

Sebelum kami berpisah siang itu, ia mengajakku berdoa, untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas pertemuan yang disebutnya sangat indah ini. Mataku yang terpejam dalam doa terasa hangat, tersentuh oleh seluruh kata-kata yang diucapkannya dalam doa. 

"Tuhan, betapa kerdilnya aku...," ucapku dalam hati. 

Aku hanya bisa memandang Bu Yati yang menolak kuantar pulang, karena beliau ingin melatih kakinya agar bisa segera baik kembali seperti sedia kala. Beliau mengundangku nanti malam untuk datang ke rumahnya - sekiranya aku belum pulang ke Jakarta. 

Jelas kubatalkan rencana pulang ke Jakarta sore ini. Aku berdiri di halaman sekolah yang benar-benar telah sepi. Seolah tak ingin lagi aku beranjak pergi. Di sini aku menemukan diriku yang sebenarnya ....
 Kompas, 18 Desember 1994
Sumber: 
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995