Tampilkan postingan dengan label Cerita Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Legenda. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 11 Juni 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Asal Mula Kanjeng Kyai Plered

Dahulu kala, ada seorang tumenggung bernama Wilatikta. Sang tumenggung mempunyai dua orang anak bernama Raden Sahid dan Rasa Wulan. Ketika kedua orang anaknya itu telah menginjak dewasa, Tumenggung Wilatikta memanggil mereka berdua. Kepada anak laki-lakinya, Tumenggung Wilatikta berkata, “Sahid, kau sekarang sudah dewasa, nak. Ayahmu telah tua. Kaulah yang harus menggantikan kedudukan ayahmu menjadi tumenggung, bila ayah sudah tidak mampu melaksanakannya.”

Raden Sahid mendengarkan kata-kata ayahnya dengan cermat. Dia duduk bersila di hadapan ayahnya. Kepalanya menunduk menandakan hormat kepada ayahnya.

“Untuk itu, aku dan ibumu mengharapkan agar engkau segera beristeri, Sahid. Kawinlah sebelum engkau menggantikan kedudukanku menjadi tumenggung. Katakanlah, gadis mana yang cocok dengan pilihanmu. Nanti akulah yang akan melamarkan untukmu.”

Mendengar kata-kata ayahnya itu, merenunglah Raden Sahid. Sebenarnya dia belum memiliki rencana untuk beristeri. Di dalam hati dia menolak suruhan ayahnya untuk beristeri, tetapi akan menolaknya secara terus terang, dia tidak memiliki keberanian, khawatir akan membuat sedih hati ayah dan ibunya. Beberapa saat lamanya Raden Sahid diam saja, dalam kebimbangan.

“Mengapa engkau diam saja, Sahid?” kata Tumenggung Wilatikta. “Apakah kau menolah suruhanku?”

“Ampun ayahanda,” kata Raden Sahid dengan hormatnya. “Sama sekali saya tidak bermaksud menolak perintah ayahanda.”

“Tetapi, mengapa engkau diam saja?” kata Tumenggung Wiltaikta. “Mengapa engkau tidak segera menjawab?”

“Ampun, ayahanda,” kata Raden Sahid. “Soal isteri, hamba tak dapat melaksanakannya dengan segera.”

“Jadi engkau menolak perintah ayahmu!” Tumenggung Wilatikta membentak.

“Bukan begitu, ayahanda,” kata Raden Sahid. “Sampai saat ini hamba masih dalam taraf menimbang-nimbang, gadis mana yang cocok untuk menjadi menantu ayahanda.”

“Baiklah kalau begitu,” kata Tumenggung Wilatikta. “Pertimbangkanlah masak-masak. Dan hati-hatilah kau memilih calon jodohmu.”

Sesudah itu Raden Sahid lalu diperkenankan mundur dari hadapan Sang Tumenggung. Selanjutnya, kepada anak perempuannya, yaitu Rasa Wulan, Tumenggung Wilatikta juga menyuruh agar segera mempersiapkan diri untuk menerima lamaran orang lain. Rasa Wulan tanpa membantah menyanggupi suruhan ayahnya, lalu minta diri mundur dari hadapan ayahandanya.

Malam harinya, Raden Sahid senantiasa gelisah. Sampai larut malam dia tak dapat tidur. Sedih hatinya, mengingat suruhan ayahnya untuk segera beristeri, padahal sama sekali belum punya niat untuk itu.

“Aku harus pergi dari sini, untuk menghindari paksaan ayah.” Begitu pikir Raden Sahid. Dengan tekad demikian, maka pada waktu larut malam, ketika seisi ketumenggungan sedang lelap beristirahat (tidur), diam-diam Raden Sahid keluar dari dalam kamarnya, lalu pergi.

Pagi harinya, Rasa Wulan mengetahui bahwa Raden Sahid tidak ada di kamarnya. Dia khawatir, jangan-jangan kakaknya itu minggat. Dengan harap-harap cemas Rasa Wulan mencari kakaknya kemana-mana. Setelah tidak berhasil menemukannya meski sudah mencarinya ke berbagai tempat, maka yakinlah Rasa Wulan, bahwa kakaknya telah meninggalkan rumah. Dia mengetahui alasannya mengapa sang kakak pergi, tidak lain ialah agar terhindar dari paksaan ayahnya untuk beristeri.

“Mengapa dia tidak mengajak aku,” kata Rasa Wulan dalam hati. “Aku juga bermaksud pergi dari sini, supaya terhindar dari paksaan ayah untuk segera bersuami.” Kemudian Rasa Wulan masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian. Setelah itu ia pun pergi menyusul kakaknya.

Malam harinya barulah orang-orang seisi rumah ketumenggungan mengetahui, bahwa Raden Sahid dan Rasa Wulan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua orang anaknya pergi, terkejutlah Tumenggung Wilatikta. Cepat-cepat ia menyebar bawahannya ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan Raden Sahid dan Rasa Wulan. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun dilakukan pelacakan, tetapi usaha untuk menemukan kedua orang anak Tumenggung Wilatikta itu tidak menemukan hasil.

Bertahun-tahun Raden Sahid mengembara, mengalami pahit dan getirnya penderitaan, serta menghadapi berbagai macam cobaan, sehingga di kemudian hari ia dikenal sebagai seorang wali yang sangat mashur, bernama Kanjeng Sunan Kalijaga.

Adapun Rasa Wulan, di dalam pengembaraannya mencari Raden Sahid, setelah bertahun-tahun tidak berhasil menemukan kakaknya itu, akhirnya dia bertapa di tengah hutan Glagahwangi. Di hutan itu Rasa Wulan bertapa ngidang1.

Di dalam hutan itu ada sebuah danau bernama Sendhang Beji. Tepat di tepi danau itu tumbuhlah sebatang pohon yang besar dan rindang. Batang pohon itu condong dan menaungi permukaan danau. Pada salah satu cabang yang menjorok ke atas permukaan air danau Sendhang Beji itu, ada orang yang sedang bertapa. Orang itu bernama Syekh Maulana Mahgribi. Pada cabang pohon besar itu, Syekh Maulana Mahgribi bertapa ngalong2.

Pada suatu siang yang cerah, datanglah Rasa Wulan ke Sendhang Beji itu untuk mandi, karena matahari memancarkan sinarnya yang sangat terik. Perlahan-lahan Rasa Wulan menghampiri Sendhang Beji yang airnya jernih dan segar. Sama sekali ia tidak tahu bahwa di atas permukaan air sendhang itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa. Karena mengira tak ada orang lain kecuali dia sendiri di tempat itu, maka dengan tenang dan tanpa malu-malu Rasa Wulan membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dalam keadaan telanjang bulat, dengan perlahan-lahan Rasa Wulan berjalan menghampiri danau. Dengan tenangnya dia mandi di Sendhang Beji itu. Kesejukan air danau itu membuat kesegaran yang terasa sangat nyaman pada tubuhnya.

Sementara itu, Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas air danau tempat Rasa Wulan mandi, memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan wajah dan kemontokan tubuh Rasa Wulan yang sedang mandi tepat di bawahnya, bangkitlah birahi Syekh Maulana Mahgribi. Meneteslah air mani Syekh Maulana Mahgribi, jatuh tepat pada tempat Rasa Wulan mandi.

Karena peristiwa itu, maka hamillah Rasa Wulan. Rasa Wulan tahu, bahwa orang laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itulah yang menyebabkan kehamilannya.

“Mengapa kau berbuat demikian?” Rasa Wulan memprotes, dengan menunjuk-nunjuk ke arah Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa engkau menghamiliki?”

Menerima dampratan demikian itu, Syekh Maulana Mahgribi diam saja, seakan-akan sama sekali tidak mendengar apa-apa.

“Kamulah yang menghamiliki”, kata Rasa Wulan. “Kamu harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu.”

“Mengapa kau menuduhku”, tanya Syekh Maulana Mahgribi.

“Lihat! Aku hamil”, kata Rasa Wulan. “Dan kamulah yang menghamili.”

“Kamu yakin bahwa aku yang menyebabkan kamu hamil?” tanya Syekh Maulana Mahgribi.

“Ya. Aku yakin”, kata Rasa Wulan. “Aku yakin bahwa kamulah yang menyebabkan aku hamil.”

“Mengapa?” tanya Syekh Maulana Mahgribi. “Mengapa aku yang kau tuduh menghamili kamu?”

“Di tempat ini tidak ada orang laki-laki lain kecuali kamu,” kata Rasa Wulan. “Maka kamulah yang kutuduh menghamiliku.”

Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, maka Syekh Maulana Mahgribi lalu mencabut kemaluannya. Kemudian ia menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa dia tidak punya kemaluan, berkatalah Syekh Maulana Mahgribi, “Lihatlah, aku bukan laki-laki. Mana mungkin aku menghamilimu.”

“Bagaimana pun, aku tetap menuduh bahwa kamulah yang menghamili diriku” kata Rasa Wulan. “Maka kamu harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang kukandung ini.”

“Aku harus bertanggung-jawab?” tanya Syekh Maulana Mahgribi.

“Ya. Kamu harus bertanggung-jawab,” kata Rasa Wulan. “Kamulah yang harus mengasuh dan memelihara anak ini kelak setelah lahir.”

Syekh Maulana Mahgribi tidak lagi dapat mengelak. Setelah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, lalu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Kandungan Rasa Wulan, yang setelah lahir diserahkan kepada Maulana Mahgribi, diberi nama Kidangtelangkas. Keturunan Kidangtelangkas itu kelak secara turun-temurun menjadi raja di tanah Jawa.

Namun terjadi suatu keajaiban. Kemaluan Syekh Maulana Mahgribi yang dicabut itu berubah wujud menjadi sebilah mata tombak. Tombak yang terjadi dari kemaluan Syekh Maulana Mahgribi itu, akhirnya menjadi “sipat kandel” (senjata andalan) raja-raja Jawa. Tombak itu dinamakan Kanjeng Kyai Plered.

Secara turun-temurun tombak Kanjeng Kyai Plered itu diwariskan kepada raja-raja yang bertahta. Pada waktu Dhanang Sutawijaya berperang tanding melawan Arya Penangsang, Dhanang Sutawijaya dipersenjatai tombak Kyai Plered, dan dengan senjata andalan itu pula Sutawijaa berhasil membunuh Arya Penangsang. Selanjutnya Dhanang Sutawijaya menjadi Raja Mataram, dan Kanjeng Kyai Plered merupakan senjata pusaka kerajaan Mataram. Saat ini tombak Kanjeng Kyai Plered itu menjadi senjata pusaka di Keraton Yogyakarta.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

1 “Ngidang” berasal dari kata “kidang” yang berarti kijang. Jadi ngidang berarti seperti kijang. Tapa ngidang artinya bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasuk makan makanan yang biasa dimakan oleh kijang.

2 Tapa ngalong berarti bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon.
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Danang Sutawijaya

Pada saat Sultan Hadiwijaya bertahta di Kerajaan Pajang, beliau merasa prihatin atas penderitaan Nyai Kalinyamat yang bertapa di Trunawaja lantaran dendamnya terhadap Arya Penangsang. Oleh Sultan Hadiwijaya, Nyai Kalinyamat lalu dibujuk agar mau pulang ke Pajang. Namun, Nyai Kalinyamat menolaknya. Ia baru bersedia kembali ke Pajang asalkan Arya Penangsang dibunuh. Sultan Hadiwijaya menyanggupi permintaan tersebut, tetapi Nyai Kalinyamat diminta pulang dulu ke Pajang.

Ketika telah berada di Pajang, segeralah Kanjeng Sultan (Sultan Hadiwijaya) memikirkan cara yang akan ditempuh untuk mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Pekerjaan itu tidak mudah, sebab Arya Penangsang terkenal sangat sakti dan mempunyai keris pusaka yang sangat ampuh bernama Kyai Setan Kober. Tiap hari Kanjeng Sultan selalu memikirkannya, tetapi belum juga menemukan cara yang dianggap baik. Akhirnya, setelah sekian lama tidak juga menemukan caranya, lalu dipanggillah kedua patihnya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi, untuk diajak berunding.

Setelah keduanya menghadap, Kanjeng Sultan mulai menceritakan persoalannya. Singkat cerita, di hadapan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi, Kanjeng Sultan menjanjikan ganjaran berupa tanah di Pati dan tanah yang terletak di hutan Mentaok apabila mereka berhasil membunuh Arya Penangsang atau Arya Jipang.

Setelah itu, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi kemudian berunding. Dalam perundingan itu, Ki Ageng Pemahanan menyampaikan pendapatnya kepada Ki Penjawi, bahwa tidak ada orang lain yang mampu membunuh Arya Penangsang selain Danang Sutawijaya. Ki Penjawi pun sependapat dengan Ki Ageng Pemanahan. Danang Sutawijaya sebenarnya adalah anak kandung Ki Ageng Pemanahan, tetapi sejak kecil telah dijadikan sebagai anak angkat oleh kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ia adalah seorang pemuda yang cakap, serta menguasai olah kanuragan.

Kemudian, Ki Ageng Pemanahan memanggil Danang Sutawijaya untuk memberinya tugas membunuh Arya Penangsang. Danang Sutawijaya pun menyetujuinya. Dalam percakapan tersebut Ki Ageng Pemanahan memberikan nasihat-nasihat agar Danang Sutawijaya dapat memenangkan pertarungan melawan Arya Penangsang. Nasihat-nasihat tersebut adalah: (1) janganlah sekali-kali mendahului lawan mencebur Sungai Bengawan, apalagi menyeberanginya. Apabila ia nekat mendahului mencebur Sungai Bengawan, maka ia pasti kalah. Konon, apabila terjadi peperangan di Sungai Bengawan, pihak yang lebih dahulu turun ke sungai akan kalah; (2) jangan mudah terpancing oleh lawan. Bagaimanapun tingkah laku Arya Penangsang, Danang Sutawijaya harus tetap berada di pinggir Kali Bengawan; dan (3) harus memakai kuda betina.

Setelah itu, Danang Sutawijaya diberi senjata pusaka berupa sebuah tombak yang bernama Kyai Plered. Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawa dan Danang Sutawijaya kemudian berunding untuk mencari cara agar Arya Penangsang dapat ditaklukkan. Dalam perundingan itu dicapailah kesepakatan bahwa Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi akan pergi ke Jipang untuk memancing Arya Penangsang agar bersedia bertarung di Sungai Bengawan. Sementara Danang Sutawijaya disuruh untuk bersiap-siap menghadapi Arya Penangsang di tepi Sungai Bengawan.

Keesokan harinya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi berangkat ke Jipang untuk memancing kemarahan Arya Penangsang. Sampai di sana mereka bertemu dengan seorang pekatik (pemelihata kuda) yang sedang mencari rumput. Kebetulan pekatik yang ditemui itu adalah orang yang mengurusi kuda milik Arya Penangsang atau Arya Jipang. Melihat pekatik itu Ki Ageng Pemanahan memanggilnya dan langsung mengikatkan sepucuk surat di telinga si pekatik. Sesudah itu si pekatik disuruh pulang untuk menyerahkan surat tersebut kepada Arya Penangsang. Adapun isi surat itu adalah tantangan kepada Arya Penangsang untuk bertarung di Sungai Bengawan.

Ketika si pekatik tersebut telah sampai di tempat tinggal Arya Penangsang, kebetulan Arya Penangsang sedang mengadakan pasewakan bujana andrawina. Surat dari Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi lalu disodorkan oleh si pekatik kepada Arya Penangsang. Melihat cara mengirimkan surat saja Arya Penangsang sudah marah. Apalagi ketika ia membaca isinya. Dengan tidak mengambil pertimbangan lagi ia segera mengambil keris saktinya yang bernama Kyai Setan Kober dan langsung mengendarai kuda jantan andalannya yang bernama Gagang Rimang menuju ke Sungai Bengawan.

Kuda yang bernama Gagak Rimang ini adalah kuda andalan Arya Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar tetapi lincah sekali. Warna bulunya yang hitam mengkilat, menjadikannya tampak berwibawa.

Saat Arya Penangsang sampai di pinggir kali Bengawan, ternyata Danang Sutawijaya telah menunggunya di seberang sungai. Sesuai dengan pesan ayahnya, Danang Sutawijaya datang dengan berkendaraan kuda betina serta membawa tombak Kyai Plered.

Melihat Danang Sutawijaya telah berada di seberang sungai, Arya Penangsang lalu mulai berteriak-teriak menantangnya. Untunglah Danang Sutawijaya tetap tenang. Karena sudah beberapa lama berteriak-teriak tetapi tidak mendapat tanggapan, akhirnya ia menjadi marah. Ia tidak dapat lagi mengendalikan emosinya, sehingga dengan tidak berpikir panjang Arya Penangsang terus mencebur ke sungai.

Danang Sutawijaya sangat bersenang hati melihat Arya Penangsang telah mendahului mencebur sungai. Ia lalu turun menyusul ke sungai. Di tengah Sungai Bengawan itu terjadilah perang tanding antara Arya Penangsang di satu pihak melawan Danang Sutawijaya di lain pihak. Arya Penangsang mengendarai Gagak Rimang, seekor kuda jantan, sedang Danang Sutawijaya mengendarai kuda betina. Akibatnya kuda jantan milik Arya Penangsang menjadi birahi. Selanjutnya, Gagak Rimang hanya mengekor si kuda betina, sehingga gerak-geriknya sulit dikendalikan. Dan, Arya Penangsang pun menjadi kewalahan.

Arya Penangsang menjadi agak lengah karena perhatiannya sebagian dicurahkan kepada Gagak Rimang yang sedang berontak itu. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Danang Sutawijaya. Dengan tombak Kyai Plered ditusuklah perut Arya Penangsang. Akibatnya perut Arya Penangsang menjadi robek dan usunya terburai.

Walaupun ususnya telah menjulur keluar dari perut, tetapi Arya Penangsang masih tetap hidup. Bahkan kelihatan lebih gigih menyerang lawannya. Dan, supaya tidak mengganggu gerakannya, maka usus yang menjulur itu lalu disampirkan pada pendok kerisnya. Peperangan pun terus dilanjutkan. Kali ini Arya Penangsang malah kelihatan semakin ganas, sedang Danang Sutawijaya posisinya mulai terdesak.

Melihat keadaan Danang Sutawijaya yang kurang menguntungkan itu, maka Ki Ageng Pemanahan yang dari awal telah bersembunyi di atas bukit, segera menggunakan siasatnya. Ia pura-pura memihak Arya Penangsang. Dengan lantang ia meneriakkan kata-kata, “Bunuh saja Danang Sutawijaya!”

Siasat itu ternyata berhasil. Arya Penangsang menjadi lebih bersemangat lagi menyerang. Dengan membabi buta dan tanpa perhitungan ia terus maju. Namun, karena terbawa emosi maka ia kurang berhati-hati, sehingga kerisnya malah mengenai dan memutuskan ususnya sendiri. Arya Penangsang tewas seketika.

Setelah Arya Penangsang tewas, maka Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi kemudian menghadap Kanjeng Sultan Pajang, melapor bahwa Danang Sutawijaya telah berhasil membunuh Arya Penangsang. Mendengar berita ini, Sultan Pajang sangat gembira. Singkat cerita, setelah kedua patih itu berhasil melaksanakan tugasnya, mereka dihadiahi tanah Pati dan Mentoak, seperti apa yang telah dijanjikan sebelumnya.

Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi lalu berunding. Dalam perundingan itu diperoleh kata sepakat bahwa Ki Penjawi mendapat tanah di Pati, sedang Ki Ageng Pemanahan mendapat tanah Mentoak. Sesudah kesepakatan dicapai, keduanya lalu menuju ke tempat bagiannya masing-masing.

Sewaktu akan berangkat ke Mentoak, Ki Ageng Pemanahan mengajak Danang Sutawijaya untuk ikut serta pindah ke sana. Demikianlah, tanah Mentoak yang semula berwujud hutan belantara yang mengerikan dan membahayakan, akhirnya berubah menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Nyai Andan Sari dan Kyai Guru Soka

Di daerah Gunung Kidul, tepatnya di wilayah Dawung, terdapat dua buah sendang yang cukup terkenal yaitu Sendang Beji dan Sendang Mole. Sampai sekarang penduduk di sana sekali dalam setahun, bertepatan dengan hari Jumat Legi bulan Suro tidak pernah absen menyelenggarakan selamatan nyadran di kedua tempat tersebut. Adapun asal mulanya selamatan nyadren di kedua sendang itu, konon ceritanya adalah sebagai berikut.

Pada zaman dahulu kala di Desa Jepitu daerah Tepus, Gunung Kidul tinggallah sebuah keluarga yang sangat miskin. Keluarga ini terdiri dari suami, isteri, dan dua orang anaknya (seorang laki-laki dan yang seorang lagi perempuan). Suami-isteri itu bernama Kyai dan Nyai Goa Soka, sedang anaknya yang laki-laki bernama Guru soka dan yang perempuan bernama Andan Sari.

Kemiskinan yang dialami oleh keluarga Kyai/Nyai Goa Soka ini, terjadi setelah keduanya menikah. Apalagi setelah kedua anaknya lahir, kehidupan mereka semakin susah. Lama-kelamaan, karena sudah tidak tahan menderita lebih lama lagi, maka Kyai Goa Soka memutuskan untuk bertapa, mencari wahyu agar kehidupan rumah tangganya lebih baik. Singkat cerita, niat bertapa itu segera ia laksanakan.

Setelah beberapa bulan Kyai Goa Soka meninggalkan anak-isterinya untuk pergi bertapa. Selama itu pula keluarganya tak pernah sekali pun mendengar kabar beritanya. Hal ini membuat anak-isterinya merasa cemas. Tiap hari Guru Soka dan Andan Sari selalu menangis dan mengajak ibunya segera mencari ayah ayahnya. Mendengar kedua anaknya yang selalu merengek tersebut, Nyai Goa Soka akhirnya tidak tahan juga dan mengajak mereka untuk mencari Kyai Goa Soka.

Karena mereka belum tahu di mana Kyai Goa Soka berada, maka arah perjalanannya pun hanya kira-kira saja. Namun, setelah beberapa hari berjalan, akhirnya mereka berhasil juga menemukan tempat pertapaan Kyai Goa Soka yang terletak di Sendang Sureng. Pertemuan ini sangat menggembirakan mereka berempat. Beberapa hari kemudian, setelah pertemuan itu dirasa cukup, maka Nyai Goa Soka bersama kedua anaknya lalu kembali ke Jepitu lagi, sedang Kyai Goa Soka tetap meneruskan tapanya.

Lebih dari satu tahun kemudian, ternyata Kyai Goa Soka belum juga kembali dari tapanya. Selama itu pula keluarganya selalu menunggu dengan hati cemas. Dan, akhirnya Nyai Goa Soka bersama kedua anaknya lalu menyusul lagi ke Sendang Sureng untuk melihat keadaan suaminya.

Sampai di Sendang Sureng mereka merasa heran karena Kyai Goa Soka tidak ada di situ. Dalam keheranan dan sekaligus kebingungan itu, tiba-tiba mereka mendengar suara Kyai Goa Soka, tetapi tidak melihat orangnya. Kata Kyai Goa Soka: “Sudahlah jangan cemaskan aku. Mulai hari ini kalian tetaplah menunggu di tempat ini. Akulah yang akan mencari sandang dan pangan untuk kedua anak kita serta untukmu juga, Nyai.”

Setelah suara itu menghilang, Nyai Goa Soka dan kedua anaknya tiba-tiba melihat ujud Kyai Goa Soka. Selanjutnya, Kyai Goa Soka lalu membawa isteri dan anak-anaknya menghilang ke suatu tempat. Sejak itu penduduk Desa Jepitu tidak dapat melihat lagi ujud Kyai Goa Soka sekeluarga. Mereka menganggap bahwa Kyai Goa Soka sekeluarga telah menjadi gaib (kajiman).

Pada suatu hari Kyai Goa Soka menyuruh kedua anaknya agar mereka menjelajahi serta menghitung semua sendang yang ada di daerah Gunung Kidul. Jika telah diketahui jumlahnya, keduanya harus tinggal di sendang pada hitungan terakhir dan satu hitungan sebelum sendang terakhir.

Guru Soka dan Andan Sari lalu berangkat melaksanakan perintah ayahnya untuk menghitung jumlah seluruh sendang di Gunung Kidul. Setelah semua sendang yang ada selesai dikunjungi, maka diketahuilah bahwa jumlahnya ada 31. Pada waktu itu untuk menyebut angka 31 dipakai istilah beji yang berasal dari kata behji. Sendang itu oleh Guru Soka kemudian dinamakan Sendang Beji. Dan, di Sendang Beji inilah Guru Soka akan menetap untuk selamanya, seperti yang diperintahkan oleh ayahnya.

Setelah berada di sedang terakhir (Sendang Beji) ini, Andan Sari mengatakan bahwa ia akan mulih (pulang) ke sendang yang telah diperuntukkan baginya, yaitu sendang yang berada satu hitungan sebelum sendang terakhir. Dari perkataan mulih itu, sendang tempat Andan Sari menetap kemudian dinamakan Sendang Mole, yang letaknya berdekatan dengan Sendang Beji. Demikianlah asal mula kedua sendang itu dinamakan Sendang Beji dan Sendang Mole.

Setelah beberapa lama Guru Soka menetap di Sendang Beji dan Andan Sari di Sendang Mole, maka Kyai Goa Soka dan Nyai Goa Soka bermaksud mencari kedua anaknya. Kedua suami-isteri itu pun segera mencari anak-anaknya di seluruh sendang yang ada di wilayah Gunung Kidul. Akhirnya mereka menemukan Guru Soka dan Andan Sari di Sendang Beji dan Sendang mole. Melihat sendang yang ditempati kedua anaknya itu, Kyai dan Nyai Goa Soka merasa cocok dan puas. Kyai Goa Soka lalu berkata kepada kedua anaknya:

“Tempatmu ini kelak akan banyak dikunjungi orang. Dan, di antara orang-orang itu tentu ada yang datang meminta agar dikabulkan permohonannya dan ada pula yang datang namun bertindak sembrono dengan tidak mematuhi aturan-aturan yang berlaku di tempat ini. Nah, dari mereka inilah kalian akan memperoleh sandang dan pangan. Berbuatlah jail pada orang-orang yang sembrono ini.”

“Maksudnya bagaimana, Romo?” tanya kedua anaknya.

“Seandainya di tempatmu ada orang berbuat tidak senonoh dan tidak sopan, ataupun kurang menghormati tempatmu ini, ganggulah dia, tapi jangan sampai mati! Sebab kalau sampai mati mereka tidak dapat memberimu sandang atau pangan. Ganggu sajalah mereka sampai mengadakan peruwatan (selamatan) dan syukuran. Syukuran juga akan dilakukan bagi orang-orang yang merasa permohonannya dikabulkan. Nah, dari situlah kalian dapat memperoleh sandang serta pangan,” kata Kyai Goa Soka.

Bertahun-tahun kemudian, setelah wilayah Gunung Kidul menjadi ramai, Sendang Mole dan Sendang Beji pun banyak dikunjungi orang. Melihat hal ini, Guru Soka memberi wangsit pada seorang penduduk yang bertempat tinggal dekat Sendang Mole dan Sendang Beji, bernama Ki Serah. Dalam wangsit itu Ki Serah diberi kepercayaan untuk menjaga kedua sendang dan melayani segala kehendak atau permintaan orang-orang yang datang. Sejak saat itu Ki Serah lalu menjadi jurukunci di kedua sendang tersebut. Kalau ada orang datang minta berkah maka Ki Serah yang menjadi perantaranya dengan membakar kemenyan sambil menyebut nama Ki Guru Soka dan Nyai Andan Sari. Dan, apabila telah terkabul keinginannya, maka mereka akan mengadakan syukuran dengan menyembelih kambing di kedua sendang tersebut. Syukuran itu waktunya biasanya bersamaan dengan “nyadran”, yaitu Jumat Legi pada bulan Suro.

Setelah Ki Sareh meninggal dunia maka jabatan juru kunci digantikan oleh anaknya yang bernama Ki Krama Menggala. Pada masa Krama Menggala ini upacara nyadran dilaksanakan dengan selamatan sederhana, yaitu menyembelih kambing untuk kemudian dimakan bersama dengan penduduk setempat. Sebelum upacara nyadran dilaksanakan, terlebih dahulu Sendang Beji dan Sendang Mole harus dikuras.

Sendang Mole dan Sendang Beji memiliki mata air yang sangat besar. Karena besarnya mata air di sana maka dikhawatirkan pada saat musim hujan akan menimbulkan bencana banjir bagi warga di sekitar sendang tersebut. Untuk menjinakkan agar airnya jangan sampai meluap diperlukan seorang pawang. Satu-satunya orang yang dianggap mampu menjadi pawang di tempat itu hanyalah Wonotaruno, adik Kromo Manggala. Oleh Wonotaruno disarankan agar mata air tersebut disumbat dengan ijuk. Ternyata setelah disumbat, air itu tetap melimpah.

Karena tidak berhasil menyumbat mata air di kedua sendang itu, maka penduduk yang berada di sekitarnya menjadi resah. Melihat keresahan penduduk tersebut, Kyai Guru Soka kemudian memberi wangsit kepada salah seorang penduduk untuk menyediakan sesaji berupa gamelan komplit dengan wayangnya, agar sendang tidak terlampau melimpah airnya.

Penduduk lalu bergotong-royong untuk menyediakan sesaji berupa gamelan yang komplit dilengkapi dengan wayangnya. Konon, seketika itu juga gamelan dan wayang menghilang. Sebenarnya gamelan dan wayang itu tidak hilang, tetapi hanya tidak dapat terlihat oleh pandangan mata biasa. Pendapat ini dibuktikan dengan selalu terdengarnya bunyi gamelan yang datangnya dari arah sendang pada tiap malam Jumat.

Pada suatu malam ada salah seorang penduduk yang menerima wangsit yang mengatakan bahwa apabila ada orang yang membutuhkan gamelan serta wayang maka Kyai Guru Soka dan Nyai Andan Sari bersedia meminjamkan, asalkan setelah selesai segera dikembalikan.

Sejak saat itu banyak penduduk yang akan punya hajad selalu meminjam gamelan dan wayang ke sana. Namun sayang sekali, pada suatu ada seorang penduduk yang berbuat khilaf, dengan tidak mengembalikan salah satu perangkat gamelan yaitu kempul. Mulai saat itu penduduk sudah tidak dapat lagi meminjam gamelan, di samping itu suara yang sering terdengar menghilang sama sekali. Sedangkan, orang yang lupa mengembalikan kempul itu lalu menanggung akibat yang cukup berat. Anaknya mati semua, juga ternak peliharaannya.

Saat Ki Krama Manggala meninggal dunia, kedudukannya sebagai kuncen digantikan oleh Ki Panca Manggala. Selanjutnya Ki Panca Manggala digantikan oleh Ki Mangun Taruno. Orang inilah yang sampai sekarang biasa melakukan upacara nyadran di Sendang Mole dan Sendang Beji.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jumat, 10 Juni 2016

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Retna Lestari

Dahulu kala, hiduplah seorang raksasa bernama Kyai Bakuh, di sebuah hutan belantara. Sesuai dengan namanya, Bakuh, yang dalam bahasa Jawa berarti kuat dan kokoh, maka raksasa itu bertubuh kokoh dan kekar. Perawakannya tinggi besar. Kalau berdiri tegak, seakan-akan kepalanya menjulang hingga menjangkau langit. Lengan dan kakinya besar-besar. Kedua matanya memancarkan sinar menyilaukan. Bila dia membelalakkan matanya, orang akan silau memandangnya. Mulutnya lebar dan besar, dipagari gigi-gigi dan taring yang tajam. Suaranya keras menggelegar bagai guntur di langit. Setiap kali suara dahsyat itu terdengar, orang-orang dari tempat yang jauh pun tahu, bahwa suara itu asalnya tidak lain ialah dari Kyai Bakuh.

Kyai Bakuh banyak memangsa binatang yang ada di dalam hutan, sehingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang. Binatang apapun yang terlihat oleh Kyai Bakuh tak akan mampu menghindar atau melarikan diri, karena akan langsung disambar dan dimakannya. Akan melarikan diri, tak mungkin. Gerak si raksasa Bakuh luar biasa cekatannya. Rusa dan kijang yang terkenal kencang larinya, dengan mudahnya dapat disambar oleh tangan kekar Kyai Bakuh.

Binatang-binatang yang tidak sempat menjadi mangsa Kyai Bakuh akhirnya banyak yang mengungsi dan masuk ke kampung-kampung di sekitar hutan itu, atau ke hutan-hutan lain, yang dirasa lebih aman. Lama-kelamaan, hutan belantara yang semula penuh sesak dihuni oleh binatang-binatang hutan yang beraneka ragam jenisnya itu, makin menjadi lengang.

Karena merasa makin sulit mencari mangsa di dalam hutan tempat tinggalnya, sesekali Kyai Bakuh pergi ke luar hutan, mencari mangsa ke kampung-kampung sekitar hutan. Apa saja yang dapat ditangkap di perkampungan itu, baik binatang maupun manusia, akan dimakan oleh Kyai Bakuh. Orang-orang yang hidup di perkampungan di sekitar hutan itu pun menjadi takut dan resah.

Melihat kekacauan yang diakibatkan oleh Kyai Bakuh, membuat para dewa di kayangan marah. Para dewa kemudian mengadakan rapat, dan akhirnya mereka sepakat mengutus seorang bidadari cantik bernama Retna Lestari untuk menghukum Kyai Bakuh.

Singkat cerita, suatu hari ketika Kyai Bakuh sedang berjalan-jalan di tengah hutan untuk mencari mangsa, ia melihat sang bidadari yang sangat cantik sedang bermian-main di dekat rumpun bunga. Kyai Bakuh tertarik memandang perempuan cantik itu.

“Makhluk dari manakah engkau ini, hai perempuan cantik?” tanya Kyai Bakuh.

“Aku penghuni hutan ini,” jawab bidadari itu sambil membelai bunga.

“Mustahil,” kata Kyai Bakuh. “Telah sekian lama aku menjelajahi hutan ini, baru kali ini aku melihatmu.”

“Sebenarnya engkau sering berjumpa dengan aku,” kata bidadari itu. “Sering sekali aku melihatmu, bahkan hampir saja perpapasan denganmu. Tetapi, karena perhatianmu hanya terpusat kepada binatang-binatang yang akan kau makan, sehingga engkau tidak melihat aku.”

“Benarkah begitu?” tanya Kyai Bakuh.

“Benar,” jawab si wanita. “Setiap kali kau lewat di dekatku, aku cepat-cepat lari bersembunyi.”

“Mengapa kau bersembunyi?” tanya Kyai Bakuh.

“Aku takut akan kau bunuh dan kau makan.” Jawab bidadari itu.

“Tidak,” kata Bakuh. “Aku tak akan membunuhmu. Kau cantik sekali, sayang kalau aku jadikan santapan.”

“Tetapi aku tetap takut dengan engkau,” kata wanita itu.

“Tak usah takut,” kata Bakuh. “Siapa namamu?”

“Namaku Retna Lestari,” jawab bidadari cantik itu.

“Alangkah indahnya namamu itu. Maukah kau menjadi isteriku?” tanya si raksasa Bakuh.

“Tidak! Aku takut,” jawab Retna Lestari.

“Mengapa takut?”

“Takut akan kau bunuh dan kau makan, seperti binatang dan penduduk yang ada di sekitar hutan ini.”

“Tidak. Kau tak akan kubunuh. Kau akan kujadikan isteriku.”

“Betulkah?”

“Percayalah padaku!” kata Kyai Bakuh bersungguh-sungguh. “Aku cinta padamu!”

“Apa buktinya kau cinta padaku?” tanya Ratna Lestari.

“Apa saja yang kau pinta akan kuberikan, karena aku sangat cinta kepadamu.”

“Betulkah begitu?”

“Betul. Engkau minta apa, aku sanggup memberi.”

“Aku minta mega yang berawan kemerah-merahan,” kata Retna Lestari.

“Mega yang kemerah-merahan?” tanya Kyai Bakuh.

“Ya. Mega kemerah-merahan yang mekar tiap senja hari menjelang matahari terbenam,” jawab Retna Lestari.

“Baiklah,” kata si raksasa. “Sekarang hampir senja, bila mega kemerahan itu tampak mekar di langit, akan kuambilkan untukmu.”

“Jangan,” sela Retna Lestari. “Jangan engkau yang mengambil. Aku khawatir mega-mega itu robek bila kau renggut dengan tanganmu yang kuat itu. Biarlah aku sendiri yang mengambilnya.”

“Tetapi tubuhmu pendek, tanganmu pun juga pendek,” kata si raksasa. “Mega itu melekat tinggi di langit. Tak akan sampai tanganmu menjangkaunya.”

“Tetapi aki ingin mega itu jangan sampai rusak. Jangan robek-robek,” kata Retna Lestari.

“Bagaimana kalau tubuhmu kuangkat tinggi-tinggi, agar kau dapat meraih sendiri mega itu dengan tanganmu?” tanya Kyai Bakuh.

“Tidak,” kata Retna Lestari. “Aku takut cengkeraman kukumu yang tajam.”

“Lalu, bagaimana caranya kau dapat meraih mega itu?” tanya si raksasa.

“Lebih baik kau menelungkup di tanah,” kata Retna Lestari. “Selanjutnya, aku akan berdiri di atas punggungmu. Dengan demikian aku akan dapat mencapai mega itu.”

“Baiklah kalau begitu usulmu,” kata Kyai Bakuh, sambil segera menelungkupkan dirinya di tanah.

Melihat si raksasa telah menelungkup di tanah, Retna Lestari lalu naik dan berdiri di atas punggung raksasa itu.

“Sampaikah tanganmu ke langit?” tanya Kyai Bakuh.

“Kurang sedikit,” jawab Retna Lestari. “Aku akan mengambil beberapa buah batu, untuk tumpukan kaki, agar aku berdiri lebih tinggi lagi.” Kemudian, Retna Lestari turun dari atas punggung Kyai Bakuh, lalu mengambil batu besar, diletakkannya di atas punggung raksasa itu.

“Sudah dapatkah tanganmu menjangkau mega itu?” tanya si raksasa.

“Belum. Kurang sedikit lagi,” Jawab Retna Lestari. “Akan kutambah lagi batunya.”

Begitulah seterusnya, setiap kali Retna Lestari mengambil batu-batu besar, lalu ditumpukkannya di atas punggung raksasa itu. Lama-kelamaan tumpukan batu di atas punggung si raksasa makin bertambah tinggi, bertambah besar, sampai kepala raksasa itu tertimbun oleh batu-batu. Hanya kaki si raksasa yang menendang-nendang, menghindarkan diri dari timbunan batu.

“Kau jangan banyak bergerak. Nanti aku jatuh.”

“Tapi nafasku sudah sesak menahan beratnya timbunan batu ini,” kata Kyai Bakuh.

“Sabarlah,” kata Retna Lestari. “Dengan berdiri di atas batu-batu ini, aku dapat mencapai langit.”

“Kalau begitu, lekaslah kau meraih mega itu. Nafasku sudah terasa sesak karena tertimbun batu,” kata Kyai Bakuh.

“Nanti dulu,” kata Retna Lestari. “Aku harus menanti beberapa saat lagi. Mega itu belum mekar. Belum berwarna kemerah-merahan. Sabarlah sebentar lagi.”

Beberapa saat kemudian, berkatalah Retna Lestari, “Hai, Bakuh. Aku tak tahan lama berdiri dengan sebelah kaki saja. Aku perlu tumpukan batu satu lagi untuk berpijak kakiku yang sebelah lagi.”

Tanpa menunggu persetujuan Kyai Bakuh, Retna Lestari cepat-cepat turun mengambil batu-batu lagi untuk ditumpuk pada bagian kaki si raksasa, sehingga membentuk dua buah gunung di punggung dan kaki Kyai Bakuh.

“Sudah kau petikkah mega itu?” tanya Kyai Bakuh.

“Sabar dulu,” jawab Retna Lestari. “Mega-mega itu sekarang sudah hampir mekar berwarna kemerah-merahan. Sebentar lagi pasti aku ambil.”

“Lekaslah kau turun bila sudah berhasil mengambil mega merah itu,” kata Kyai Bakuh. “Aku sudah merasa kepayahan menahan beratnya tumpukan batu-batu ini.”

Retna Lestari tidak menjawab kata-kata Kyai Bakuh itu, bahkan ia tetap sibuk menambah lagi batu-batu pada tumpukan di atas tubuh raksasa itu.

“Hai, mengapa kau diam saja,” raksasa itu berteriak. Retna Lestari tetap tidak menyahut, bahkan cepat-cepat pergi meninggalkan Kyai Bakuh. Berulang kali Kyai Bakuh memanggil-manggil nama Retna Lestari, tetapi sama sekali tak ada jawaban. Lama-kelamaan tahulah Kyai Bakuh, bahwa ia telah ditipu oleh Retna Lestari. Ia meronta dengan sekuat tenaga, namun batu-batu yang tertumpuk di atas tubuhnya tetap tidak bergerak.

Tumpukan batu yang menimbun Kyai Bakuh itu akhirnya menjadi dua buah gunung. Tumpukan yang terletak di bagian kepala Kyai Bakuh menjadi Gunung Merapi, sedangkan tumpukan yang berada di bagian kaki menjadi Gunung Merbabu. Apabila sesekali terdengar suara menggelegar dari Gunung Merapi, maka orang mengatakan bahwa itu adalah suara si raksasa Kyai Bakuh yang sedang marah, berteriak-teriak dan menympah-nyumpah. Dan, apabila sesekali tanah terasa bergetar di sekitar gunung itu, maka orang pun mengatakan bahwa Kyai Bakuh sedang meronta-ronta akan membebaskan diri dari timbunan batu-batu itu.

Sumber:

Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Kisah Begawan Selapawening

Menurut cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat Desa Pamancingan, nama desa ini diambil dari tempat di mana Begawan Selapawening dan Syekh Maulana Maghribi melakukan pertandingan memancing. Begawan Selapawening adalah salah seorang dari sekian banyak putera-puteri raja Majapahit, Prabu Brawijaya terakhir. Nama Begawan Selapawening itu mungkin bukan nama sebenarnya, melainkan hanya nama samaran untuk menutup kenyataan bahwa ia sebenarnya adalah putera raja Majapahit.

Adapun sebab-musabab kepergian Begawan Selapawening dari Kerajaan Majapahit (wilayah Jawa Timur) sampai ke pesisir selatan (wilayah Yogyakarta), menurut cerita ada hubungannya dengan mulai meluasnya pengaruh ajaran agama Islam di wilayah Jawa. Karena pengaruh meluasnya ajaran agama Islam, bahkan sampai ke pusat kerajaan Majapahit, maka yang tidak rela melepaskan agama yang telah mereka anut menjadi terdesak, lalu menyingkir atau melarikan diri ke daerah yang dianggap lebih aman dan bebas.

Begawan Selapawening beserta para pengikutnya yang tidak bersedia memeluk Islam, memilih melarikan diri menyusuri pantai selatan Pulau Jawa. Pada saat rombongan tiba di pantai selatan wilayah Yogyakarta (sekarang dikenal sebagai obyek pariwisata dengan nama Parangtritis), Begawan Selapawening sebagai pemimpinnya, melihat dua buah bukit yang dirasa cocok untuk bermukim. Di tempat itu ia bersama para pengikutnya mendirikan sebuah padepokan.

Pada suatu ketika, datanglah Syekh Maulana Mahgribi ke daerah padepokan Begawan Selapawening, dengan maksud untuk menyebarkan ajaran Islam di sana. Agar usahanya berhasil tanpa hambatan, maka Syekh Maulana Mahgribi bukan langsung menyebarkan ajaran agama kepada para penduduk di wilayah desa itu, melainkan lebih dahulu menemui penguasa atau orang yang berpengaruh di desa itu untuk meminta izin. Syekh Maulana Mahgribi kemudian menemui Begawan Selapawening di padepokannya, sebab tahu betapa besar pengaruh Begawan Selapawening terhadap masyarakat di sekitarnya.

Kepada Begawan Selapawening, Syekh Maulana Mahgribi mengutarakan maksudnya akan menyiarkan ajaran agama Islam di wilayah itu. Secara terus-terang Syekh Maulana Mahgribi mengharapkan kesediaan Begawan Selapawening melepaskan agama yang kini dianutnya, dan menerima ajaran Islam. Atau setidak-tidaknya bersedia memberikan keleluasaan kepada para anak buah dan pengikutnya memeluk agama Islam.

Namun diluar dugaan, Begawan Selapawening tidak menyetujui permohonan izin Syekh Maulana Mahgribi. Begawan Selapawening baru akan menyetujui apabila kesaktian Syekh Maulana Mahgribi mampu menandingi kesaktiannya. Untuk mengukur ketinggian kesaktian masing-masing, maka harus diadakan pertandingan adu kesaktian.

Pertandingan pertama adalah “dhelikan” atau bersembunyi. Begawan Selapawening dipersilahkan bersembunyi lebih dahulu dengan mengerahkan kesaktiannya, sampai ibarat seribu pasang mata tak akan dapat melihatnya. Tetapi ternyata Syekh Maulana Mahgribi berhasil menemukan Begawan Selapawening di tempat persembunyiannya. Sebaliknya pada waktu Syekh Maulana Mahgribi bersembunyi, Begawan Selapawening tidak mampu menemukannya, meskipun telah mengerahkan segenap kemampuan atau kesaktiannya.

Pertandingan selanjutnya ialah pertandingan memancing. Pelaksana pertandingan memancing itu diselenggarakan di muara Sungai Opak di pantai “Segara Kidul”[1]. Begawan Selapawening diberi kesempatan lebih dahulu menunjukkan kemahirannya atau kesaktiannya dalam bidang memancing. Dengan tenang dan dengan gaya yang mantap Begawan Selapawening melemparkan mata pancingnya ke dalam air. Dalam waktu singkat ditariknya pancing itu. Ternyata pancing itu telah mendapatkan seekor ikan yang sangat besar. Semua orang yang hadir dan menyaksikan peristiwa itu menyatakan kekaguman dan keheranannya. Mereka semua mengakui bahwa Begawan Selapawening adalah orang yang sakti.

Sampailah kini giliran Syekh Maulana Mahgribi menunjukkan kemahiran atau kesaktiannya memancing. Orang-orang yang menyaksikan pertandingan itu menduga bahwa sukarlah bagi Syekh Maulana Mahgribi untuk menandingi atau mengungguli kemampuan Begawan Selapawening.

Pada waktu Syekh Maulana Mahgribi melemparkan mata pancingnya ke dalam air dan dengan cepatnya Syekh Maulana Mahgribi menarik pancingnya kembali. Sesuatu benda pun turut tertarik pada mata pancing itu, dan begitu ditarik lalu tergeletak di samping Syekh Maulana Mahgribi.

Benda itu tidak lain ialah ikan besar yang telah matang. Siapa yang menginginkan dapat langsung memakannya begitu saja, sebab ikan itu sudah masak. Bau segar ikan yang telah masak itu menusuk hidung setiap orang yang hadir di sana.

Akhirnya Begawan Selapawening menyadari, bahwa kesaktian Syekh Maulana Mahgribi melebihi kesaktian yang dia miliki. Begawan Selapawening lalu mengakui kekalahannya. Padepokan yang didirikannya itu lalu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi dan ia sendiri lalu pindah ke tempat lain, yang letaknya lebih rendah dari padepokannya semula (puncak Bukit Sentana).

Oleh Syekh Maulana Mahgribi bekas padepokan itu lalu dijadikan pondok pesantren, tempat untuk menampung mereka yang akan memperdalam ajaran agama Islam dan ilmu kanuragan. Sedangkan walesan (tangkai kail) yang dahulu dipergunakan untuk memancing waktu diadakan pertandingan dengan Begawan Selapawening, oleh Syekh Maulana Mahgribi ditancapkan di kebun belakang padepokan yang kini telah dijadikan pondok pesantren. Ternyata walesan yang terbuat dari bilah bambu itu setelah ditancapkan di kebun oleh Syekh Maulana Mahgribi, lalu tumbuh menjadi rumpun bambu yang rimbun, dan masih ada sampai sekarang. Bambu yang berasal dari rumpun itu disebut “bambu Sentana” atau “bambu Pamancingan”. Menurut kepercayaan, bambu sentana atau bambu Pamancingan itu keramat.

Di dalam pondok pesantren, Syekh Maulana Mahgribi juga membuat pancuran air, untuk mandi dan wudhu para santrinya. Pancuran air yang dibuat oleh Syekh Maulana Mahgribi itu, sampai sekarang masih ada, dan dikenal dengan nama Segara Muncar. Tempat diadakannya pertandingan memancing antara Syekh Maulana Mahgribi dengan Begawan Selapawening ini akhirnya disebut sebagai Desa Pamancingan.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Segara Kidul adalah nama lain untuk menyebut Samudera Hindia, atau Samudera Indonesia. Menurut cerita rakyat, di Segara Kidul inilah bersemayam Nyi Rara Kidul yang menjadi ratu, penguasa makhluk-makhluk halus.
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Syekh Belabelu

Di daerah pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, dekat pesisir yang kini dikenal dengan nama Parangtritis, terdapat dua buah bukit yang letaknya berdekatan. Dua buah bukit itu, yang sebuah dikenal dengan nama Bukit Sentana dan yang sebuah lagi bernama Bukit Pamancingan.

Dahulu kala, menurut cerita, di puncak kedua bukit itu masing-masing terdapat bangunan rumah untuk pondok. Yang tinggal di Pondok Pamancingan ialah Syekh Belabelu, sedang yang tinggal di pondok Bukit Sentana ialah Syekh Maulana Mahgribi.

Kedatangan Syekh Belabelu di Bukit Pamancingan itu jauh lebih dahulu dari kedatangan Syekh Maulana Mahgribi di Bukit Sentana.

Syekh Belabelu mula-mula bernama Raden Jaka Bandem. Dia adalah putera Raja Majapahit, Prabu Brawijaya terakhir. Dengan berdirinya kerajaan Islam di Jawa Tengah di bawah pemerintahan Radeh Patah, maka kekuasaan dan pengaruh kerajaan Majapahit menjadi terdesak. Wilayah kekuasaannya makin lama makin menjadi sempit, dan agama Buddha yang dahulu merupakan agama yang dianut oleh hampir seluruh rakyat, menjadi terdesak pula, oleh datangnya pengaruh ajaran agama Islam.

Kekuasaan kerajaan Majapahit runtuh, kerabat dan keluarga keraton Majapahit, yang masih hidup dan tidak mau memeluk Islam, lalu meninggalkan keraton untuk menyelamatkan diri.

Raden Jaka Bandem, salah seorang dari putera Prabu Brawijaya terakhir, beserta para pengikutnya sempat lolos dari keraton. Dengan maksud akan menyelamatkan diri, maka dicarinyalah tempat yang diperkirakan tidak mungkin terjangkau oleh pengaruh kekuasaan kerajaan di bawah pimpinan Raden Patah itu.

Lalu ditempuhnyalah perjalanan menyusuri pantai selatan menuju ke arah barat, sehingga akhirnya mereka sampai di suatu tempat, yang dikenal dengan nama Parangtritis. Raden Jaka Bandem lalu mengakhiri pengembaraannya.

Raden Jaka Bandem beserta para pengiringnya menetap di daerah itu. Mereka lalu mendirikan padepokan di puncak Bukit Pamancingan, dan Raden Jaka Bandemlah yang menjadi sesepuhnya.

Setelah berlangsung lama Raden Jaka Bandem menetap di padepokan yang terletak di puncak Bukit Pamancingan, datanglah Syekh Maulana Mahgribi ke wilayah pantai selatan. Syekh Maulana Mahgribi adalah seorang penyiar agama Islam yang diperintahkan oleh Raden Patah untuk menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah ini. Di dalam pemerintahan kerajaannya, Raden Patah memiliki banyak sekali penyiar agama Islam. Syekh Maulana Mahgribi adalah salah seorang diantaranya.

Setelah menyaksikan keindahan alam di Pantai Parangtritis itu, tertariklah beliau untuk menetap di sana. Lebih-lebih lagi setelah diteliti lebih lanjut, ternyata puncak Bukit Sentana itu sesuai sekali dipergunakan untuk mendirikan pondok. (Mengenai asal usul pendirian pondok di tempat ini, lihat cerita Begawan Selapawening).

Bersama-sama dengan para pengikutnya, mulailah Syekh Maulana Mahgribi mengerjakan pembangunan pondok di puncak Bukit Sentana itu. Setelah pondok itu selesai dibangun, kemudian beliau mengumpulkan orang-orang ke dalam pondok barunya. Kepada orang-orang yang berkumpul di pondoknya itu, Syekh Maulana Mahgribi menyiarkan ajaran-ajaran agama Islam. Banyaklah orang tertarik akan ajaran-ajaran itu dan memeluk agama Islam. Bahkan Raden Jaka Bandem yang menjadi sesepuh di Padepokak Bukit Pamancingan, merasa terpikat pula oleh ajaran yang disiarkan oleh Syekh Maulana Mahgribi.

Setelah mempertimbangkan masak-masak, pada akhirnya dengan kebulatan hati Raden Jaka Bandem lalu masuk Islam. Dengan masuknya Raden Jaka Bandem menjadi pemeluk Islam, maka seluruh anak buah, pengikut, dan murid yang menutut ilmu di padepokan Bukit Pamancingan itu, secara serempak bersama-sama menerima ajaran Islam dan memeluk agama Islam.

Setelah Raden Jaka Bandem dan segenap pengikutnya masuk Islam, maka Padepokan Bukit Pamancingan itu berubah fungsinya menjadi pondok, sedang Raden Jaka Bandem, yang semula menjadi sesepuh padepokan itu, dengan sendirinya menjadi sesepuh pondok, dan namanya diganti menjadi Syekh Belabelu.

Menurut cerita, karena kesibukannya tidak ada lain kecuali hanya makan, maka tubuh Syekh Belabelu menjadi gemuk sekali. Karena dalam satu hari berkali-kali dia menanak nasi dan hal semacam itu dilangsungkan bertahun-tahun, maka “kerak nasi” terkumpul banyak sekali. Kerak nasi yang tidak sedikit jumlahnya itu lalu dijajarkan pada atap rumahnya dan pada dinding pondoknya.

Sejak masih muda, Raden Jaka Bandem yang sekarang telah berganti nama Syekh Belabelu, memiliki kegemaran atau kebiasaan tirakat atau bertapa. Bahkan setelah menjadi Syekh sekalipun, kebiasaannya bertapa itu masih tetap dipelihara dan dilanjutkan.

Cara Syekh Belabelu bertapa bernyata lain dari yang lain. Orang lain biasa melaksanakan puasa dengan jalan menjauhkan diri dari kenikmatan, setidak-tidaknya mengurangi segala macam kesenangan duniawi, misalnya makan dan tidur. Sedangkan Syekh Belabelu dalam pelaksanaan tapanya seakan-akan hanya mementingkan kepuasan dirinya pada soal makan saja. Di sepanjang hari kerjanya tidak ada lain kecuali hanya menanak nasi dan makan. Kalau nasi sudah masak dia makan sampai nasi itu habis dan setelah habis lalu menanak nasi lagi. Begitulah seterusnya. Versi lain menceritakan, Syekh Belabelu mengupas butir-butir padi satu persatu. Setelah terkumpul beras secukupnya, mulailah dia menanak beras itu menjadi nasi. Setelah nasi masak lalu ditebarkannyalah ke pasir. Kesibukan selanjutnya ialah memunguti butir-butir nasi itu satu persatu. Dibersihkannya pasir yang melekat pada butir-butir nasi itu, lalu mulailah dia memakannya. Dengan demikian maka tak pernah dia sempat beristirahat dan tidur.

Pada suatu ketika Syekh Maulana Mahgribi berkata kepada Syekh Belabelu, “Mengapa anda melaksanakan tapa dengan cara yang tidak lazim dilakukan orang?”

“Saya kira, dengan cara semacam inipun saya akan berhasil mencapai tujuan. Biarlah orang lain menjalankan dengan cara lain, sebaliknya biarkanlah saya menempuh dengan cara saya sendiri”, begitu jawab Syekh Belabelu. “Kalau anda masih menyangsikannya, marilah kita uji dan kita buktikan hasilnya. Anda bertapa dengan cara anda, dan saya dengan cara saya sendiri. Setelah kita laksanakan dalam waktu satu bulan, coba kita uji, mana yang lebih berhasil.”

Setelah itu, mulailah mereka berdua menjalankan tapa atau tirakat dengan cara mereka masing-masing. Setelah selang satu bulan, mulailah mereka akan mengetahui atau menguji, tapa siapakah yang lebih berhasil. Setelah itu mereka akan mengadakan perlombaan.

Perlombaan itu ialah mengadu kecepatan dalam menempuh jarak tertentu. Adapun jarak yang ditentukan harus ditempuh ialah dari pantai Parangtritis sampai ke Mekkah untuk sholat Jumat.

Pada hari yang telah ditentukan, Syekh Maulana Mahgribi pagi-pagi datang ke pondok Syekh Belabelu. Sesampai di sana, ternyata Syekh Belabelu masih sibuk menanak nasi, sama sekali tidak nampak adanya persiapan akan bepergian jauh.

“Bukankah telah ditentukan bahwa pagi ini kita akan ke Mekkah untuk sholat Jumat di sana?” kata Syekh Maulana Mahgribi.

“Ya, saya tidak melupakan ketentuan itu”, kata Syekh Belabelu. “Tetapi saya belum dapat berangkat sebelum makan. Silahkan anda berangkat dahulu. Selesai makan nanti saya segera menyusul.”

Kemudian berangkatlah Syekh Maulana Mahgribi menuju Mekkah. Sedang Syekh Belabelu dengan santainya makan nasi yang ditanaknya. Sama sekali tidak menampakkan raut muka cemas atau khawatir akan kalah dalam pertandingan melawan Syekh Maulana Mahgribi.

Sesampai di Mekkah, Syekh Maulana Mahgribi melihat telah banyak orang yang datang untuk sholat Jumat. Begitu masuk ke ruang masjid, Syekh Maulana menoleh ke kanan dan kiri, untuk mencari tempat duduk yang nyaman.

Tiba-tiba Syekh Maulana Mahgribi menjadi terkejut dan heran, setelah dilihatnya Syekh Belabelu telah duduk bersila di dalam ruangan masjid itu, di tempat yang tidak jauh dari tempat dia berdiri. Dengan tenangnya Syekh Belabelu tersenyum, melambaikan tangan dan memberi isyarat agar Syekh Maulana Mahgribi duduk di sampingnya. Syekh Maulana Mahgribi akhirnya duduk dan mengatakan bahwa dia mengakui keunggulan Syekh Belabelu.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Alas Bantal Watu

Pada saat Prabu Brawijaya bertahta di Kerajaan Majapahit, di daerah Jawa Tengah tumbuh kerajaan baru di Demak yang bercorak Islam. Kerajaan Demak ini semakin lama semakin besar dan pengaruhnya, tarutama agama yang dianutnya, meluas hingga ke pusat kerajaan Majapahit. Hal ini menyebabkan kekuasaan Kerajaan Majapahit menjadi terdesak dan memaksa orang-orang yang tidak mau diislamkan melarikan diri dari keraton. Mereka melarikan diri tidak dalam satu kelompok besar, tetapi terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil.

Salah satu diantara sekian banyak kelompok kecil tersebut adalah kelompok Prabu Brawijaya dan Permaisurinya beserta beberapa pengawalnya. Dalam kelompok ini Sang Prabu juga membawa anjing kesayangannya yang berwarna hitam. Kelompok kecil yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya ini melarikan diri menyusuri pantai selatan Pulau Jawa, ke arah barat, hingga sampai di daerah Gunung Kidul, yang sekarang termasuk dalam wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dalam pelarian tersebut, agar tidak diketahui oleh siapa pun, lebih-lebih oleh pasukan Kerajaan Demak yang mengejarnya, maka Prabu Brawijaya dan Permaisuri, selalu “matur kawula” (menyamar sebagai rakyat jelata).

Pada suatu ketika, Sang Prabu dan Permaisuri di menemukan sebuah goa, di tepi Sungai Maja. Setelah masuk ke dalam goa, Sang Prabu merasa bahwa goa tersebut sangat cocok untuk tempat bersembunyi, karena tempatnya terpencil dan di dalamnya memiliki sebuah sendang (sumber air, danau kecil). Sendang ini oleh Prabu Brawijaya dinamakan Sendang Tuban[1]. Dengan adanya sendang di dalam goa itu, bila sewaktu-waktu Sang Prabu dan Sang Permaisuri memerlukan air, tidak usah keluar dari dalam goa tempat mereka bersembunyi.

Setelah beberapa waktu lamanya menetap di dalam sebuah goa tersebut, Sang Prabu dan Permaisuri beserta anjing hitam kesayangannya, lalu pindah mencari tempat persembunyian yang lain lagi, yang diperkirakan lebih aman. Untuk tempat bersembunyi berikutnya, Sang Prabu memilih sebuah goa lagi, yang letaknya tidak jauh dari tempat persembunyian Sendang Tuban.

Pada suatu hari, ada seseorang yang sedang mencari kayu di sekitar goa tempat Prabu Brawijaya bersembunyi. Saat itu ia melihat anjing hitam kesayangan Prabu Brawijaya sedang bermain. Setelah diikutinya, ternyata si anjing masuk ke dalam goa. Berita tentang keberadaan anjing hitam di dalam goa, segera ia sampaikan kepada penduduk yang bermukim di sekitar hutan itu. Keesokan harinya, mereka secara beramai-ramai menuju goa untuk menangkap anjing hitam itu.

Setelah berhasil menggiring si anjing hitam hingga masuk ke dalam goa, mereka kemudian mengikutinya masuk. Namun ketika berada di dalam, si anjing yang mereka giring itu tidak mereka jumpai. Yang ada di dalam goa itu hanyalah sebuah sendang, yang airnya melimpah dan sangat jernih. Mereka heran. Mereka melihat dengan mata mereka sendiri, bahwa anjing hitam itu tadi masuk ke dalam goa. Tetapi, kini di dalam goa itu tidak mereka jumpai apa-apa, kecuali sebuah sendang.

Melihak kejadian ini, diantara mereka ada yang menduga, bahwa anjing hitam itu menghilang karena ia kajiman (segala sesuatu yang berhubungan dengan jin). Dan, ada pula yang mengira bahwa si anjing telah berubah menjadi sendang. apapun alasannya, berkat anjing hitam itu akhirnya mereka menemukan sendang yang sangat jernih yang airnya melimpah. Sendang itu oleh mereka dinamakan Sendang Sureng.

Dari Sendang Sureng itu, Sang Prabu dan Sang Permaisuri mencari tempat persembunyian yang lain lagi. Dengan menyusuri pantai selatan, mereka berjalan ke arah barat, yang diikuti pula oleh anjing hitam kesayangannya.

Pada suatu ketika, sampailah mereka di sebuah desa yang bernama Gebang Sawar. Saat itu ada salah seorang pemduduk di Desa Gebang Sawar yang sedang mempunyai hajat dengan menanggap wayang. Sang Prabu dan Permaisurinya yang telah lama tidak menyaksikan hiburan, menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan wayang di Desa Gebang Sawar tersebut.

Namun, setelah segala perlengkapan yang diperlukan sudah siap, sang dalang belum belum datang juga. Menurut berita, si dalang mendadak sakit. Hal ini tentu saja membuat orang yang punya hajat itu menjadi bingung dan cemas. Betapa besar rasa malunya nanti, bila pergelaran wayang itu sampai gagal.

Mengetahui penyebab yang mencemaskan orang yang punya hajat itu, Prabu Brawijaya mendekatinya, dan berkata: “Kalau Ki Sanak mau pertunjukan yang ala kadarnya, saya sanggup menggantikannya.”

Orang yang nanggap wayang itu semula ragu-ragu. Apakah orang yang dihadapinya itu benar-benar dapat “ndalang”. Kalau hanya sekedar dapat saja, dia belum puas. Dia nanti akan mendapat malu di depan para tamunya, bila menampilkan dalang yang biasa-biasa saja. Namun, karena dalang yang ditunggu tidak kunjung datang, akhirnya dia terpaksa menerima tawaran orang yang belum dikenal itu, daripada gagal sama sekali.

Setelah Prabu Brawijaya yang menyamar menjadi dalang mulai mendalang, ternyata para tamu undangan dan semua orang yang menyaksikan pementasan wayang itu sangat terpesona dan kagum menyaksikan kemahirannya. Pesindennya, yang diperankan oleh Permaisuri, juga bagus dan suaranya sangat merdu. Belum pernah mereka mendengar suara semerdu itu.

“Dalang dari manakah itu?” tanya seorang tamu kepada yang lainnya.

“Saya tidak tahu,” jawab yang ditanya. “Bagus sekali dia mendalang.”

“Ya, bagus sekali,” yang lain lagi menyambung. “Belum pernah saya menyaksikan permainan wayang sebagus ini.”

“Pesindennya juga bagus,” sela tamu lainnya.

“Ya. Bagus sekali,” lainnya menambah. “Dari manakah pesindennya itu?”

“Menurut tuan rumah, pesindennya adalah isteri Ki Dalang,” tamu yang lain lagi menerangkan.

Selesai mendalang, orang yang disebut Ki Dalang dan pesindennya tadi cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Oleh tuan rumah mereka ditahan agar mau makan-minum, tetapi Ki Dalang tidak mau. Diberi imbalan, juga tidak mau menerima.

Beberapa saat setelah Ki Dalang dan isterinya pergi, berbicaralah si tuan rumah kepada isterinya: “Aneh sekali sikap Ki Dalang itu. Sama sekali dia tidak mau menerima imbalan.”

“Padahal bagus sekali dia mendalang,” sahut isterinya.

“Ya. Bagus sekali,” sambung suaminya.

“Siapa namanya Ki Dalang itu?” tanya isterinya.

“Aduh, saya lupa menanyakannya,” jawab suaminya. “Yang jelas, dia bukan penduduk di desa-desa sekitar sini. Saya belum pernah berjumpa dengan orang itu.”

“Padahal jasanya besar sekali,” kata isterinya.

“Benar. Jasanya besar sekali. Berkat kemahiran dia mendalang, maka kita tidak jadi mendapat malu di depan tamu-tamu yang kita undang.”

“Kita perlu mengucapkan terima kasih kepadanya,” kata isterinya.

“Aduh, mbokne, aku sampai lupa menyampaikan ucapan terima kasih,” kata si suami bagai seseorang yang terjaga dari lamunannya. “Baiklah, akan aku susul mereka. Bagaimana pun, aku harus mengucapkan terima kasih.”

Setelah berkata begitu, cepat-cepat si suami berangkat untuk menyusul perjalanan Ki Dalang. Namun, setelah berkeliling mencari hingga ke batas desa, akhirnya ia kembali ke rumahnya karena Ki Dalang dan sindennya sudah tidak tampak lagi.

Perjalanan Prabu Brawijaya dangan Permaisuri, yang menyamar sebagai Ki Dalang dan pesindennya, dari Desa Gebang Sawar diteruskan menuju ke arah barat laut. Saat berada di tengah hutan, beristirahatlah mereka karena merasa sangat lelah akibat mendalang semalaman. Tak lama kemudian suami-isteri itu pun tidur pulas.

Pada waktu terjaga dari tidurnya, tahulah Sang Prabu dan Permaisuri, bahwa yang dipergunakan untuk bantal waktu tidur tadi, sebenarnya hanyalah batu. Meskipun bantalnya hanya batu, tetapi ternyata mereka dapat tidur dengan nyenyak. Sejak itu, maka hutan tempat Prabu Brawijaya tertidur pulas itu lalu dinamakan “Alas Bantal Watu” atau Hutan Bantal Batu.

Dari hutan itu, Sang Prabu, Permaisuri beserta anjing kesayangannya melanjutkan perjalanan ke arah tenggara, hingga sampai di sebuah pantai yang sekarang dikenal dengan nama Kukup. Dari Pantai Kukup Sang Prabu Brawijaya dan Sang Permaisuri lalu melanjutkan perjalanannya berkelana hingga akhirnya mereka berdua mangkat dengan “muksa” (hilang tanpa bekas). Ada pula yang mengatakan, bahwa Sang Prabu sampai di Gunung Kawi, dan mengganti namanya menjadi Kyai Jugo atau Mbah Jugo.

Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

[1] Sendang Tuban terletak di daerah Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta.