Tampilkan postingan dengan label Banten. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banten. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 31 Agustus 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Sultan Maulana Hasanudin

Sultan Maulana Hasanuddin berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Banten. Ia mendirikan Kesultanan Banten sekaligus menjadi penguasa pertama di kerajaan Islam tersebut. Bagaimana sepak terjang Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan Islam di Banten? Ikuti kisahnya dalam cerita Sultan Maulana Hasanuddin berikut ini.


Tersebutlah seorang tokoh penyebar agama Islam di Banten bernama Hasanuddin dengan gelar Pangeran Sabakingkin atau Seda Kinkin. Gelar tersebut pemberian dari kakeknya, Prabu Surasowan, yang menjabat sebagai Bupati Banten. Hasanuddin sendiri merupakan putra kedua dari pasangan Nyi Kawung Anten (putri Prabu Surasowan) dengan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali (walisongo).
Ketika Prabu Surasowan wafat, kedudukannya sebagai Bupati Banten digantikan oleh putranya bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umum. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Banten Girang (Banten Hulu), yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, Prabu Pucuk Umum masih menganut agama resmi Kerajaan Pajajaran yaitu agama Hindu.
Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum, Syekh Syarif Hidayatullah harus kembali ke Cirebon untuk menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah wafat sebagai Bupati Cirebon. Sementara itu, Pangeran Hasanuddin lebih memilih menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren di Banten. Sejak itulah, ia dikenal sebagai Syekh Maulana Hasanuddin. Ketenarannya pun telah melampaui kharisma pamannya, Prabu Pucuk Umum, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis.
Meskipun menetap di Banten, Syekh Maualana Hasanuddin sering mengunjungi sang Ayah di Cirebon untuk bersilaturrahmi dan meminta petunjuk. Suatu ketika, ia mendapat tugas untuk melanjutkan tugas sang Ayah menyebarkan Islam di daerah Banten.
“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.
“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.
Setiba di Banten, Syekh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama para santrinya, ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
Dalam upaya penyebaran Islam ke seluruh daerah Banten, Syekh Maulana Hasanuddin tidak jarang mendapat hambatan. Salah satunya datang dari Prabu Pucuk Umum yang bersikukuh ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) sebagai agama resmi Kerajaan Pajajaran. Di lain pihak, Syekh Maulana Hasanuddin menginginkan kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan lancar.
Maka, Prabu Pucuk Umum menantang Syekh Maulana Hasanuddin untuk berperang, namun bukan duel di antara keduanya, melainkan beradu ayam jago. Hal ini dilakkukan demi menghindari jatuhnya banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.
“Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan Islam di daerah Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil memenangkan pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan kuserahkan kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.
“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.
Tempat adu kesaktian ayam jago itu akan dilaksanakan di lereng Gunung Karang karena dianggap sebagai tempat yang netral. Pada hari yang telah ditentukan, kedua pihak pun menuju lereng Gunung Karang. Prabu Pucuk Umum dan Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa ayam jago, tetapi juga membawa pasukan bersenjata untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Selain itu, Prabu Pucuk Umum tampak membawa golok yang terselip di pinggang dan tombak di genggamannya. Syekh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah keris pusaka warisan Wali Songo.
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umum mengambil tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syekh Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih di kepala.
Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu Pucuk Umum telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.
Di pinggir arena, kedua belah pihak tampak tegang. Syekh Maulana Hasanuddin bersama rombongannya yang terdiri dari para ustadz dan santri larut dalam doa memohon pertolongan dari Allah. Sementara itu, pihak Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari ratusan ajar (pendeta) dan punggawa (panglima) juga terlihat komat-kamit membaca mantra.
Dalam suasana tegang, salah seorang Punggawa yang mewakili kedua belah pihak masuk ke tengah arena untuk membacakan pengumuman:
“Yang Mulia Syekh Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umum, perkenankanlah kami membacakan pengumuman sebagai berikut:
Pertama, sebagaimana yang telah disepakati, bahwa apabila Prabu Pucuk Umum kalah, maka pihak Maulauna Hasanuddin akan diberi kebebasan untuk menyebarkan Islam di Banten. Sebaliknya, apabila Prabu Pucuk Umum yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.
Kedua, pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
Ketika, kepada yang hadir agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki arena selama pertandingan berlangsung.
Demikian pengumuman ini kami sampaikan.”
Begitu pengumaman selesai dibacakan, gong pun dibunyikan sebagai tanda pertandingan akan dimulai. Kedua ayam jago segera dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi ramai. Riuh rendah suara penonton pun membahana memberi semangat kepada kedua ayam jago yang akan bertarung.
Di tengah gelanggang, kedua ayam jago saling mendekat. Sesekali keduanya silih berganti berkokok dengan suara menantang. Pada saat berhadap-hadapan dengan jarak sekitar dua meter, keduanya saling menggertak dengan posisi miring sambil berputar-putar membentuk lingkaran. Mata keduanya saling menatap sangat tajam seolah-olah menyimpan dendam.
Selang beberapa saat kemudian, ayam jago Pujuk Umum berhenti lalu mundur setengah meter untuk mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, ia bergerak maju menyerang sambil mengerahkan tajinya ke arah dada lawannya. Ayam jago Maulana Hasanudian pun menyambut serangan itu. Tak ayal, saat benturan fisik terjadi, keduanya pun terpental ke belakang. Tubuh ayam jago Maulana Hasanuddin tidak mengalami luka sedikit pun.
Pertarungan semakin seru. Kedua ayam jago itu kembali berhadap-hadapan. Ayam jago Pucuk Umum kali ini tampak lebih beringas. Tatapan matanya semakin tajam dan memerah. Sementara ayam jago Maulana Hasanuddin tetap berusaha tenang setelah mendapat serangan pertama. Pertarungan semakin seru, sorak sorai penonton kembali bergemah menyemangati jagonya masing-masing.
“Hidup Prabu Pucuk Umum...! Hidup Syekh Maulana Hasanuddin..!”
Ketika kedua ayam jago itu mulai bertarung lagi, suasana pun kembali mencekam. Dengan gerakan liar, ayam jago Pucuk Umum menyerang lagi dan bermaksud merobek dada musuhnya. Mendapat serangan kedua itu, ayam jago Maulana Hasanuddin berkelit ke kanan dan ke kiri untuk menghindari taji keris berbisa itu. Jago Pucuk Umum pun mulai kehilangan kesabaran. Ia semakin kalap dan menyerang secara membabi buta. Tanpa diduga, tiba-tiba ayam jago Maulana Hasanuddin terbang tinggi ke angkasa. Jago Pucuk Umum pun menyusulnya sehingga terjadilah pertarungan sengit di udara. Semua pandangan penonton tertuju pada kedua ayam jago yang berada di udara.
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umum jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendudung Pucuk Umum pun menjadi bungkam, sedangkan pendukung Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:
“Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Akhirnya, Syekh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umum pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya. Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan kita, maka kini engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umum.
Setelah itu, Prabu Pucuk Umum berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umum, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.
Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syekh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syekh Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten. Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.
* * *
Demikian cerita Sultan Maulana Hasanuddin dari daerah Banten. Cerita di atas hanyalah sebuah cerita rakyat, bukan cerita yang berdasarkan fakta sejarah. Namun, di balik cerita ini tersimpan pesan-pesan moral yang dapat dipetik, salah satunya adalah bahwa para ulama dahulu menyebarkan agama Islam tidak selalu dilakukan dengan perang yang melibatkan kontak fisik.

Sabtu, 06 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Prasasti Munjul

Prasasti Munjul adalah sebuah prasasti bertuliskan aksara Pallawa yang terletak di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Prasasti dengan bahasa Sansekerta tersebut ditulis oleh raja ketiga Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman (395-434 M.). Menurut cerita, Purnawarman menulis prasasti itu untuk mengabadikan sebuah peristiwa besar yang terjadi di daerah Munjul. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Prasasti Munjul berikut ini.



Dahulu, perairan Ujung Kulon di sekitar Selat Sunda dikuasai oleh para bajak laut yang menjadi ancaman bagi para nelayan di daerah itu. Kaum perompak itu sering merampas ikan hasil tangkapan para nelayan. Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman, terdapat suatu gerombolan bajak laut yang beranggotakan 80 orang. Kelompok bajak laut yang  sering beraksi di perairan wilayah Kerajaan Tarumanegara itu dipimpin oleh seorang yang sakti, ia bisa berubah wujud sesuai kehendaknya. 

Pada suatu hari, gerombolan bajak laut itu sedang merampok perahu yang ditumpangi oleh tiga orang nelayan. Namun, baru saja para perompak itu memindahkan ikan hasil rampasan ke kapal mereka, tiba-tiba dari kejauhan terlihat sebuah kapal besar berbendera naga sedang menuju ke arah mereka. Kapal besar itu ternyata adalah kapal milik Kerajaan Tarumanegara. Pemimpin bajak laut justru merasa senang karena akan memperoleh harta rampasan yang banyak. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang kapal kerajaan itu.  

Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan kerajaan yang ada di dalam kapal dengan bajak laut. Pasukan kerajaan dipimpin oleh seorang menteri dengan dibantu oleh seorang laksamana. Dalam pertempuran itu, kubu bajak laut ternyata lebih kuat daripada pasukan kerajaan. Menteri, laksamana, dan sejumlah awak kapal kerajaan tewas, dan mayat-mayat mereka dilemparkan ke tengah laut. Semua harta benda yang ada di kapal pun dikuras habis oleh para begundal itu.

Seminggu berselang, terlihat dua nelayan sedang memancing di laut. Mereka adalah Wamana dan Bhimaparakrama atau Bhima. Ketika sedang asyik memancing, tiba-tiba Bhima melihat mayat yang mengapung di atas air.
“Hai lihat, ada orang hanyut!” seru Bhima yang segera menghampiri sesosok tubuh yang tertelungkup di atas sebuah tameng kayu itu. Ternyata orang itu masih hidup, hanya saja tubuhnya penuh dengan luka yang amat parah. Kedua nelayan itu pun segera membawa tubuh orang malang tersebut ke pantai untuk diberi pertolongan.
“Hai, sepertinya dia prajurit kerajaan,” kata Wamana saat melihat pakaian yang dikenakan orang itu.
“Kamu benar,” sahut Bhima. 

Setelah siuman, prajurit itu pun menceritakan peristiwa yang telah dialaminya mengenai kejadian perompakan seminggu yang lalu. Setelah mendengar cerita itu, Wamana dan Bhima segera mengantar prajurit itu ke istana untuk melapor kepada Raja Purnawarmana.
“Betul-betul kejam dan biadab para bajak laut itu!” kata Raja Purnawarman geram begitu mendengar laporan tersebut. “Dengan ini, aku menyatakan perang terhadap gerombolan bajak laut itu!” ucap sang Raja.

Keesokan harinya, puluhan kapal perang kerajaan bertolak meninggalkan pelabuhan dan dipimpin langsung oleh Raja Purnawarman yang didampingi oleh Panglima Cakrawarman, Senopati Arwajala, serta Nagawarman. Wamana dan Bhima pun ikut serta dalam rombongan itu. Setelah berlayar selama beberapa hari, pada suatu malam armada kerajaan tiba di perairan Ujung Kulon. Dalam kegelapan yang mencekam, tampak dua titik cahaya kecil di tengah lautan.
“Hai, lihat cahaya itu! Aku yakin itu adalah penerangan kapal bajak laut,” kata Panglima Cakrawarman kepada Senopati Arwajala. Bergegas mereka melaporkan hal ini kepada sang Raja.

Raja Purnawarman kemudian segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap-siap menyerang. Puluhan kapal perang perlahan-lahan mendekati kapal milik bajak laut itu dan lalu mengepungnya. 

Sementara itu, gerombolan bajak laut yang berada di dalam kapal itu tidak menyadari kehadiran pasukan kerajaan. Rupanya, mereka sudah terlelap, kecuali tiga orang yang terlihat masih terjaga. Itu pun mereka sedang asyik bermain judi di bawah penerangan lampu damar. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Ketika mereka hendak beranjak, ratusan mata tombak menyerbu ke kapal mereka.
“Kapal kita diserang... Kapal kita diserang!” seru ketiga bajak laut itu panik.

Pemimpin bajak laut dan anak-anak buahnya yang lain terbangun dari tidur mereka. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dengan melompat ke jendela untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Alangkah terkejut ia saat melihat puluhan kapal milik kerajaan telah mengepung kapal mereka.
“Kapal kita dikepung! Kapal kita dikepung!” teriaknya. 

Belum sempat mereka menyiapkan senjata, tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang menggema.
“Nguuunngggg..!!!  Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!!”  

Begitu terompet itu selesai berbunyi tiga kali, ratusan tombak dan anak panah meluncur ke kapal gerombolan bajak laut. Bersamaan dengan itu, suara-suara kayu hancur dan pekikan orang-orang yang terkena tombak dan anak panah pun terdengar. Tidak ada perlawanan yang berarti dari para bajak laut. Akhirnya, mereka pun dapat ditaklukkan sebelum pagi menjelang. Dari 80 anggota bajak laut tersebut, 27 orang di antaranya tewas, sedangkan sisanya menjadi tawanan kerajaan. 

Setelah suasana tenang, Wamana bersama Bhima dan beberapa prajurit lain segera naik kapal bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi, namun tidak seorangpun ditemukan. 

Ketika Wamana hendak turun dari kapal bajak laut, tiba-tiba terdengar suara yang mencurigakan. Cepat-cepatlah ia kembali masuk ke kapal. Ternyata dugaannya benar. Ia menemukan seorang pria yang berseragam prajurit kerajaan yang baunya amis sekali. Ketika Wamana menanyainya, prajurit itu justru melompat ke laut. Setelah kejadian itu, Wamana ke kapal untuk bergabung bersama pasukan kerajaan. 

Sementara itu, Raja Purnawarman dan para panglimanya sedang menanyai satu persatu para tawanan mengenai siapa pemimpin mereka. Setelah ditanya, tak seorang dari mereka yang mengetahuinya karena pemimpin mereka selalu berubah wujud. Namun, salah seorang dari tawanan itu memberitahukan mengenari ciri-ciri pemimpin mereka yaitu berbau amis dan berpenyakit asma. Wamana yang mendengar keterangan tersebut curiga terhadap prajurit yang melompat ke laut tadi dan menceritakannya kepada Raja.

Setelah mendengar keterangan itu, rombongan sang Raja segera bertolak menuju Pantai Teluk Lada. Selanjutnya mereka menyusuri aliran Sungai Cidangiang hingga masuk ke daerah pedalaman. Setiba di sebuah kampung di tepi sungai yang kini bernama Desa Lebak, mereka disambut meriah oleh tetua kampung dan para warga. Untuk merayakan keberhasilan para pasukan kerajaan dalam menumpas gerombolan bajak laut, pihak kerajaan dan penduduk kampung akan mengabadikan peristiwa tersebut. Para prajurit serta penduduk setempat segera mempersiapkan segala sesuatunya. Kaum laki-laki sibuk menyiapkan puluhan kerbau untuk disembelih. Sedangkan kaum perempuan bertugas memasak makanan.   

Saat tiba waktu makan siang, kaum perempuan terlihat sibuk mengantarkan makanan untuk para pekerja yang sedang beristirahat. Wamana dan Bhima terlihat berbaur dengan para pekerja lainnya yang duduk di dekat tangga pondok tetua kampung. Sang Raja bersama para panglimanya sedang beristirahat di dalam pondok itu. Tidak berapa lama, terlihat barisan wanita hendak mengantarkan makanan untuk sang Raja. Di antara mereka, tampak seorang gadis cantik berjalan di barisan paling belakang sedang membawa dua buah kendi air minum. 

Ketika gadis itu melewati tangga pondok itu, Wamana tersentak kaget. Sejenak ia terdiam sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Indra penciumannya merasakan bau amis persis yang pernah dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat berlari masuk ke dalam pondok dengan melompati beberapa anak tangga untuk menyusul gadis itu. 

Saat tiba di dalam pondok, Wamana langsung melompat dan merangkul si gadis yang baru saja meletakkan kendi di hadapan sang Prabu. Tubuh wanita itu pun terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana.
“Huh, kena kamu sekarang!” seru Wamana sambil menekan kepala gadis itu.

Setelah itu, Wamana segera menendang kendi air yang dibawa gadis tadi hingga terpental dan pecah. Semua terheran-heran melihat sikap Wamana, termasuk Bhima.
“Hai, Wamana! Apa yang kamu lakukan terhadap gadis itu? Hentikan leluconmu itu!” seru Bhima. 

Dengan nafas tersengau-sengau, Wamana menjelaskan bahwa kendi itu berisi air minum yang telah dicampur racun. Ia juga mengatakan bahwa gadis itu berbau amis.
“Masih ingatkah kalian keterangan para tawanan tadi? Bukankah ciri-ciri pemimpin bajak laut berbau amis dan dapat berubah wujud?” kata Wamana. 

Mendengar penjelasan tersebut, sang Raja langsung memerintahkan panglimanya untuk meringkus gadis jelmaan pemimpin bajak laut itu. Ketika hendak diringkus, tiba-tiba gadis itu berubah wujud menjadi pria bertubuh besar. Ia murka dan meronta-ronta sehingga Wamana yang berada di atas punggungnya pun terpental ke belakang. 

Secepat kilat Bhima maju dan mencekik leher pemimpin bajak laut itu lalu mengangkatnya ke atas hingga matanya melotot dan wajahnya memerah. Cekikan Bhima amat kuat membuat tubuh pemimpin perampok itu menjadi lemas. Bhima pun segera melepaskan cekikannya hingga tubuh pria itu terjatuh dengan lunglai ke lantai.
“Prajurit, cepat ringkus dia!” seru Bhima. 

Setelah itu, sang Raja memerintahkan para prajuritnya agar pemimpin gerombolan itu dihukum mati lalu dibuang ke laut. Dengan tewasnya pemimpin gerombolan itu, maka sempurnalah penumpasan gerombolan bajak laut oleh pasukan kerajaan. Untuk mengabadikan peristiwa ini, pasukan kerajaan bersama penduduk Lebak membangun prasasti di tepi Sungai Cidangiang. Prasasti itu ditulis langsung oleh Raja Purnawarman dengan menggunakan aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Bunyi prasasti itu antara lain seperti berikut:
“Vikrantayam vanipateh, Prabbhuh satyaparakramah, Narendraddhvajabutena crimatah, Purnnavarmmanah
Artinya:
(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman.

Hingga saat ini, prasasti tersebut masih dapat kita temukan di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Oleh masyarakat setempat, prasasti tersebut dinamakan Prasasti Munjul.
* * *
Demikian cerita Legenda Prasasti Munjul dari Banten. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka berbuat jahat seperti para gerombolan bajak laut tersebut akan menerima ganjarannya.

Jumat, 05 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Legenda Tanjung Lesung

Tanjung Lesung adalah sebuah nama kampung di daerah Pandeglang, Provinsi Banten. Kampung ini terletak di sebuah tanjung atau daratan yang menjorok ke laut. Menurut cerita, kampung ini dinamakan Tanjung Lesung karena sebuah peristiwa yang terjadi di daerah itu pada masa silam. Peristiwa apakah yang menyebabkan kampung ini dinamakan Tanjung Lesung? Ikuti kisahnya dalam cerita Legeda Tanjung Lesung berikut ini.



Alkisah, di pesisir Laut Selatan Pulau Jawa, ada seorang pengembara bernama Raden Budog. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Dalam pengembaraannya, ia selalu ditemani oleh seekor anjing dan kuda kesayangannya. Suatu siang, seusai mandi di pantai, Raden Budog beristirahat di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang. Buaian angin pantai yang sejuk membuat pemuda itu begitu cepat terlelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis cantik jelita. Kecantikan gadis itu membuat hatinya terpesona. Ia melihat gadis itu tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya. Namun, saat ia hendak menyambut uluran tangan gadis itu tiba-tiba sebuah ranting kering jatuh mengenai dahinya. Ia pun terkejut dan langsung terbangun dari tidurnya. Raden Budog membanting ranting itu keras-keras karena merasa geram tidak bisa melanjutkan mimpi indahnya.

Sejak peristiwa itu, hati Raden Budog tidak tenang karena senyum manis gadis itu selalu terbayang di pelupuk matanya. Walaupun hanya mimpi, namun ia merasa bahwa pertemuannya dengan gadis seperti kenyataan. Oleh karena penasaran, ia pun memutuskan pergi mengembara ke utara untuk mencari gadis impiannya. Setelah menyiapkan perbekalan secukupnya, Raden Budog memacu kuda kesayangannya menuju ke arah utara, sementara anjingnya berjalan di depan sambil mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. 

Setelah berhari-hari berjalan menapaki jalan-jalan terjal, tibalah Raden Budog di sebuah tempat tinggi yang dikenal bernama Tali Alas atau yang kini disebut Pilar. Dari tempat itulah, Raden Budog dapat melihat pemandangan samudera biru yang membentang luas dan pantai yang indah. Sejenak, ia beristirahat di tempat itu sambil menikmati bekalnya yang masih tersisa. Sementara itu, kudanya dibiarkan mencari rumput segar dan anjingnya asyik berburu burung puyuh yang banyak berkeliaran di antara semak-semak. 

Setelah dirasa cukup beristirahat, Raden Budog melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai, yakni yang dikenal dengan sebutan Pantai Cawar. Setiba di pantai itu, Raden Budog turun dari kudanya kemudian berlari menuju pantai dan terjun ke laut.
“Waaah, sejuk sekali air pantai ini!” ujar Raden Budog sambil membasuh mukanya dengan air laut.

Sejuknya air di Pantai Cawar benar-benar menghilangkan rasa lelah Raden Budog. Setelah badannya kembali segar, pemuda itu pergi ke muara sungai yang ada di sekitar pantai untuk membasuh tubuhnya dengar air tawar. Ia lalu menghampiri kuda dan anjingnya yang duduk di tepi pantai dengan maksud hendak melanjutkan pengembaraan. Tidak seperti biasanya, ketika melihat tuan mereka, kedua binatang tersebut segera menyapa dengan ringkikan atau gonggongannya. Namun, kali ini mereka tidak bergerak sedikit pun seolah tidak perduli ajakan tuan mereka. Raden Budog pun merasa heran melihat perilaku kedua hewan sahabatnya itu.
“Ayo cepat berdiri, kita lanjutkan perjalanan!” seru Raden Budog.

Anjing dan kudanya itu tetap saja tidak bergerak. Rupanya, kedua hewan tersebut sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang sehingga menggerakkan badan pun sulit mereka lakukan.
“Baiklah, jika kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini,” ucap Raden Budog dengan kesal.

Ucapan Raden Bodug itu rupanya menjadi kenyataan. Kuda dan anjingnya tiba-tiba menjelma menjadi batu karang. Akhirnya, Raden Budog terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki seorang diri. Tekadnya tetap membara. Yang ada dalam pikiran Raden Budog hanyalah sang gadis pujaan yang ditemuinya dalam mimpi itu. 

Raden Budog terus berjalan tanpa mengenal lelah. Ia juga tidak menghiraukan pakaiannya yang lusuh dan badannya kotor berdebu. Ketika tiba di sebuah sungai, ia terpaksa menghentikan perjalanannya karena sungai itu sedang banjir besar.
“Ah, lebih baik aku beristirahat dulu di sini sambil menunggu banjir itu surut,” gumam Raden Bugog seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu besar yang ada di tepi sungai. 

Baru saja Raden Budog merebahkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar bunyi lesung dari seberang sungai. Ia pun terperanjat dan hatinya berdebar kencang.
“Aku yakin, di seberang sungai ini terdapat kampung, tempat tinggal gadis itu,” ucapnya dengan penuh keyakinan. 

Raden Budog tidak sabar lagi menunggu banjir itu surut karena ingin segera bertemu dengan gadis pujaannya. Akhirnya, ia terpaksa menyeberangi sungai itu walaupun banjir belum surut. Dengan segenap tenaga yang dimiliki, ia pun berhasil menyeberangi sungai itu. Saat tiba di pintu masuk kampung tersebut, Raden Budog memutuskan untuk beristirahat sejenak guna memulihkan tenaganya sambil mengamati keadaan sekitar. 

Beberapa saat kemudian, alunan bunyi lesung yang merdu dari dalam kampung itu kembali terdengar. Hati Raden Budog semakin berdebar kencang karena merasa gadis itu semakin dekat di hatinya. Ia pun segera berdiri dan melangkah menuju ke sumber bunyi lesung tersebut. Semakin jauh ia masuk ke dalam perkampungan, bunyi lesung semakin keras terdengar. Begitu ia tiba di depan sebuah rumah, tampaklah gadis-gadis kampung sedang asyik bermain lesung atau ngagondang. Kebiasaan bermain lesung tersebut sudah merupakan tradisi penduduk kampung itu saat akan menanam padi. Namun, tradisi itu tidak mereka lakukan jika bertepatan hari Jumat, karena hari Jumat dianggap sebagai hari keramat. 

Sementara itu, Raden Budog terpesona menyaksikan tangan gadis-gadis tersebut yang begitu lincah dan terampil mengayunkan dan menumbukkan alu ke dalam lesung secara bergantian. Alangkah terpesonanya lagi saat ia melihat seorang gadis yang cantik jelita sedang mengayunkan tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya, gadis yang bernama Sri Poh Haci itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis yang bermain ngagondang.
“Itulah gadis yang pernah hadir dalam mimpiku,” Raden Budog membatin.

Betapa senangnya hati Raden Budog karena gadis yang selama ini ia cari kini ada di depan matanya. Ia pun terus memandang gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Sementara itu, Sri Poh Haci yang merasa ada yang memperhatikan segera memberikan isyarat kepada teman-temannya agar menghentikan permainan ngagondang. Gadis-gadis itu pun berhenti memainkan alu di tangannya seraya bergegas pulang ke rumah masing-masing, termasuk Sri Poh Haci. Setiba di rumahnya, Sri Poh Haci disambut oleh ibunya.
“Kenapa permainan lesungnya hanya sebentar, anakku?” tanya ibu Sri Poh Haci yang biasa dipanggil Nyi Siti.
“Tadi ada seorang pemuda tampan yang belum pernah aku lihat. Dia memperhatikanku terus saat bermain ngadondang. Aku kan jadi malu, Bu,” jelas Sri Poh Haci.

Baru saja mereka membicarakan pemuda asing itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu dan disusul suara seorang laki-laki.
Sampurasun..., permisi...”
Rampes...,” jawab ibu Sir Poh Haci seraya menuju ke ruang depan untuk membukakan pintu.

Begitu Nyi Siti membuka pintu, tampaklah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa sedang berdiri di depan pintu.
“Maaf kalau kedatangan saya mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ibu?” pinta pemuda itu yang tak lain adalah Raden Budog. 

Betapa terkejut Nyi Siti mendengar permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu.
“Maaf, kisanak ini siapa dan berasal dari mana? Mengapa kisanak ingin menginap di rumah saya? Kami belum mengenal kisanak,” tanya Nyi Siti curiga. Raden Budog pun lantas memperkenalkan diri.
“Nama saya Raden Budog, Bu. Saya seorang pengembara dan kebetulan mampir di kampung ini. Jika diperkankan, izinkanlah saya untuk menginap di rumah ibu,” pinta Raden Budog kembali.
“Maaf, Raden. Penghuni rumah ini hanya saya dan anak gadis saya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi jika menginap,” jawab Nyi Siti tegas seraya menutup pintu.

Rupanya, Nyi Siti tidak senang dengan sikap Raden Budog yang dianggap terlalu lancang ingin menginap di rumahnya. Sementara itu, Raden Budog merasa kesal karena permintaannya ditolak oleh perempuan paruh baya itu. Karena hari sudah mulai gelap, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bale-bale bambu yang berada di dekat rumah Nyi Siti.
“Ah, sebaiknya aku tidur di sini saja,” gumam Raden Budog seraya merebahkan tubuhnya di atas bale-bale bambu itu.

Pemuda pengembara itu pun tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi diizinkan menginap di rumah itu. Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci. Di tengah-tengah menikmati mimpi indahnya, tiba-tiba hidungnya merasakan wangi kopi yang menyegarkan. Begitu ia membuka matanya, tampak matahari sudah muncul di ufuk timur dan seorang gadis cantik berdiri di sampingnya.
“Silakan diminum kopinya, Raden!” kata gadis itu.
“Hai, nama kamu siapa? Dan dari mana kamu tahu namaku?” tanya Raden Budog pura-pura tidak tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.
“Namaku Sir Poh Haci, anak Nyi Siti,” jawab sang gadis memperkenalkan diri.

Rupanya, diam-diam Sri Poh Haci pun jatuh hati kepada Raden Budog yang tampan itu. Setelah beberapa hari tinggal di kampung tersebut, Raden Budog berhasil menjalin kasih dengan Sri Poh Haci dan mereka pun bersepakat untuk menikah. Sebenarnya, Nyi Siti tidak setuju jika anaknya menikah dengan pemuda yang tidak diketahui asal-usulnya. Apalagi, ia tahu bahwa pemuda itu keras kepala. Namun, karena tidak ingin mengecewakan hati anaknya, ia pun terpaksa merestui pernikahan mereka. 

Setelah menikah dengan Sri Poh Haci, Raden Budog pun menetap di kampung itu. Setiap kali istrinya bermain lesung bersama gadis-gadis kampung, ia selalu datang menyaksikannya karena senang mendengar nada lesung itu dan sesekali belajar memainkan lesung. Semakin lama, Raden Budog semakin senang bermain lesung sehingga terkadang lupa waktu. Saking senangnya, ia tetap bermain lesung walaupun pada hari Jumat. Padahal, istrinya sudah memberi tahu sebelumnya bahwa bermain lesung pada Jumat sangat dipantangkan. 

Berkali-kali para tetua kampung memperingatkan akan hal itu, namun Raden Budog yang keras kepala itu tidak menghiraukannya dan tetap bermain lesung di hari Jumat. Perilaku Raden Budog semakin menjadi-jadi, ia terus menabuh lesung sambil melompat-lompat kegirangan ke sana ke mari seperti seekor lutung (kera hitam berekor panjang).
“Lihat... lihat! Ada lutung bermain lesung!” teriak para warga.

Rupanya, Raden Budog tidak menyadari jika dirinya telah menjadi seekor lutung. Alangkah terkejutnya ia setelah melihat tangan dan kakinya telah penuh dengan bulu-bulu. Setelah meraba wajahnya dan merasa penuh dengan bulu, ia pun langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung tersebut. Sejak itu, Raden Budog menjadi lutung dan tidak pernah lagi kembali ke wujud aslinya sebagai manusia. 

Sementara itu, Sri Poh Haci merasa sangat malu atas peristiwa tersebut. Oleh karena tidak kuat menanggung malu, ia pun pergi dari kampung halamannya secara diam-diam dan hilang entah ke mana. Menurut cerita, Sri Poh Haci telah menjelma menjadi Dewi Padi. Untuk mengenang kemahiran Sri Poh Haci bermain lesung, penduduk setempat menyebut kampung itu dengan nama Kampung Lesung. Karena berlokasi di sebuah tanjung, maka kampung itu diberi nama Tanjung Lesung.


Demikian cerita Legenda Kampung Lesung dari daerah Banten. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang keras kepala seperti Raden Budog akan menanggung akibat dari sifat itu. Karena sifat keras kepalanya dan tidak mau mendengar nasehat para tetua kampung untuk berhenti bermain lesung pada hari Jumat yang dikeramatkan, akibatnya Raden Budog pun menjelma menjadi seekor lutung.

Kamis, 04 April 2019

Ayo Kita Sambut Dan Sukseskan
Gerakan Tagar "2019 GANTI PRESIDEN"
Mari Selamatkan NKRI Tercinta Ini
Dari Makar Jahat Kaum Sepilis Atheis
Serta Intervensi Asing Dan Aseng

Pangeran Pande Gelang Dan Putri Cadasari

Pande Gelang adalah seorang pangeran tampan dan sakti mandraguna. Suatu ketika, seluruh ilmu dan kesaktiannya dicuri oleh teman seperguruannya sendiri yang bernama Pangeran Cunihin. Dengan kesaktian tersebut, Pangeran Cunihin mengubah Pangeran Pande Gelang menjadi seorang tua karena ingin merebut kekasih Pangeran Pande Gelang yang bernama Putri Cadasari. Mampukah Pangeran Pande Gelang merebut kembali kesaktiannya dari Pangeran Cunihin? Ikuti kisahnya dalam cerita Pangeran Pande Gelang dan Putri Cadasari berikut ini.



Alkisah, di daerah Banten, ada seorang putri raja bernama Putri Arum. Wajahnya cantik nan rupawan. Kulit dan hatinya lembut selembut sutra. Tidak mengherankan jika banyak pangeran yang ingin menjadikannya sebagai permaisuri. Dari sekian banyak pangeran, tersebutlah dua orang pangeran yang ingin menjalin kasih dengan sang putri. Kedua pangeran tersebut adalah Pangeran Sae Bagus Lana dan Pangeran Cunihin. Mereka teman seperguruan, namun memiliki sifat yang berbeda. Sesuai dengan nama mereka, kata Sae Bagus Lana dalam bahasa Sunda berarti laki-laki yang baik hati, sedangkan Cunihin berarti laki-laki yang suka menggoda wanita. Mengetahui perawakan kedua pangeran tersebut, maka Putri Arum memilih Pangeran Sae Bagus Lana sebagai kekasihnya.

Rupanya, Pangeran Cunihin tidak rela menerima kenyataan tersebut. Secara diam-diam, ia iri hati dan dendam terhadap Pangeran Sae Bagus Lana sehingga timbullah niatnya untuk mencuri ilmu dan kesaktian Pangeran Sae Bagus Lana agar dapat merebut Putri Arum. Alhasil, Pangeran Cunihin berhasil melaksanakan niatnya. Dengan kesaktian tersebut, ia kemudian mengubah wajah Pangeran Sae Bagus Lana menjadi seorang tua dan berkulit hitam legam. 

Sementara itu, Pangeran Sae Bagus Lana yang sudah tidak berdaya datang menghadap kepada gurunya untuk meminta petunjuk. Ia pun disarankan oleh gurunya untuk membuat sebuah gelang besar yang bisa dilewati manusia. Gelang itulah yang dapat mengalahkan Pangeran Cunihin. Jika Pangeran Cunihin melewati gelang tersebut maka seluruh kesaktiannya akan lenyap dan kembali kepada Pangeran Sae Bagus.

Setelah mendengar nasehat sang guru, Pangeran Sae Bagus Lana pergi ke sebuah kampung untuk menjadi seorang pembuat gelang atau “pande gelang” tanpa sepengetahuan Putri Arum. Sejak itulah, ia pun dipanggil dengan nama Pande Gelang. Penduduk setempat akrab memanggilnya Ki Pande.

Suatu hari, ketika melintas di Bukit Manggis, Pande Gelang melihat seorang gadis cantik duduk termenung seorang diri. Rupanya, gadis itu tidak asing lagi baginya. Ia adalah Putri Arum yang sedang bersedih karena tidak ingin menikah dengan Pangeran Cunihin yang terkenal kejam dan bengis itu. Meskipun ia tahu kalau gadis itu kekasihnya, Pangeran Sae Bagus Lana tidak ingin membongkar penyamarannya agar sang kekasih tidak bertambah sedih.
Sampurasun!” sapa Pande Gelang.
Ra… rampes,” jawab sang putri dengan terkejut.
“Maaf jika hamba telah mengejutkan Tuan Putri,” kata Pande Gelang seraya memberi hormat.

Sang putri tidak segera menjawab. Ia hanya terpaku mengamati lelaki yang belum dikenalnya itu. Meskipun wajah lelaki yang berkulit legam itu tampak kusam, sang putri yakin bahwa orang itu berwatak baik. Ia mengumpamakan lelaki itu bagaikan buah manggis, walaupun hitam dan pahit kulitnya tetapi putih dan manis buahnya. Dengan keyakinan itu, sang putri tidak segan untuk menjawab sapaan lelaki setengah baya itu.
“Maaf, Aki siapa dan berasal dari mana?” tanya sang putri.
“Nama hamba Pande Gelang. Orang-orang memanggil hamba Ki Pande,” jawab lelaki itu. “Maaf Tuan Putri. Sekiranya hamba boleh tahu mengapa Tuan Putri tampak gundah gulana?” tanyanya.

Sang putri kembali terdiam sambil meneteskan air mata. Ia ingin menceritakan kegundaan hatinya, namun sungguh berat untuk mengungkapkannya. Sang putri merasa bahwa tidak ada gunanya menceritakan masalah kepada orang lain karena tak seorang pun yang dapat membantunya.
“Oh, maaf jika pertanyaan hamba tadi telah menyinggung perasaan Tuan Putri”, ucap Ki Pande seraya hendak berlalu.

Ketika Pande Gelang akan meninggalkan tempat itu, sang putri mencegah langkahnya.
“Tunggu, jangan pergi dulu Ki!” cegah Putri Arum. “Baiklah, Ki. Saya akan bercerita, tetapi sekadar untuk mengilangkan rasa penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena hanya akan sia-sia belaka,” kata sang putri.
“Mengapa Tuan Putri berkata demikian?” tanya Pande Gelang.
“Masalah yang saya hadapi saat ini sangat berat Ki,” ungkap sang putri.

Putri Arum kemudian bercerita bahwa dirinya sedang mendapat tekanan dari Pangeran Cunihin.
“Saya sangat sedih Ki, karena Pangeran Cunihin memaksa saya untuk menjadi istrinya. Meskipun ia tampan, tetapi saya tidak menyukai wataknya yang bengis dan kejam. Namun, saya tidak berdaya untuk menghadapinya karena ia sangat berkuasa dan sakti mandraguna,” ungkap Putri Arum.

Sejenak Pande Gelang tertegun. Hatinya sangat geram mendengar sikap dan perilaku Pangeran Cunihin yang semakin menjadi-jadi. Ia tidak sabar lagi ingin menghajar pangeran bengis itu. Meski demikian, ia tetap berusaha menyembunyikan amarah dan mencoba untuk menenangkan hati kekasihnya itu.
“Hamba turut bersedih, Tuan Putri,” ucap Pande Gelang berlinang air mata.
“Terima kasih Ki atas keprihatinannya. Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya,” ungkap Putri Arum.
“Maaf, Tuan Putri. Wangsit apa yang Tuan Putri maksud?” tanya Pande Gelang.
“Menurut wangsit yang saya terima melalui mimpi bahwa saya harus menenangkan diri di bukit ini. Kelak akan ada seorang pengeran yang baik hati dan sakti mandraguna yang datang menolong saya. Namun, harapan itu hampir sirna. Sudah sekian lama saya menanti kedatangan dewa penolong itu namun tak kunjung tiba. Padahal, tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang untuk memaksa saya menikah dengannya,” keluh Putri Arum. 

Pande Gelang kembali tertegun. Ia menyadari bahwa dewa penolong yang dimaksud sang putri adalah dirinya.
“Maaf, Tuan Putri. Kalau boleh hamba menyarankan, sebaiknya Tuan Putri mau menerima keinginan Pangeran Cunihin itu,” ujar Pande Gelang.

Mulanya sang putri menolak saran itu karena bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan Pangeran Cunihin yang sangat dibencinya itu. Namun, setelah lelaki itu menjelaskan bahwa sang putri tidak menerimanya begitu saja tetapi dengan syarat yang berat, akhirnya sang putri mau menerima saran itu. Syarat tersebut adalah Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat hingga bisa dilalui manusia. Selain itu, batu keramat itu harus diletakkan di sekitar pantai sebelum dilubangi. Untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut memerlukan waktu tiga hari. Dengan demikian, tentu saja setengah dari kesaktian Pangeran Cunihin akan hilang.
“Lalu, bagaimana selanjutnya Ki?” tanya Putri Arum setelah mendengar pejelasan itu.
“Tuan Putri tidak usah khawatir. Urusan selanjutnya serahkan kepada hamba,” ujar Pande Gelang.

Mendengar seluruh penjelasan Pande Gelang, maka semakin yakinlah sang putri untuk menerima saran tersebut.  Setelah itu, Pande Gelang kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya untuk mengatur siasat. Perjalanan menuju ke tempat tinggal Pande Gelang ternyata cukup jauh dan melelahkan sehingga membuat Putri Arum jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas saat akan tiba di kampung Pande Gelang. Mengetahui hal itu, penduduk kampung segera membantu Pande Gelang membawa Putri Arum ke salah satu rumah penduduk yang terdekat. Mereka pun merawat sang putri dengan penuh kasih sayang. Menurut tetua kampung, sang putri akan segera pulih jika ia meminum air gunung yang memancar melalui batu cadas itu.

Alhasil, setelah meminum air dari batu cadas tersebut, Putri Arum kembali sehat. Sejak itulah, penduduk kampung memanggil Putri Arum dengan sebutan Putri Cadasari. Setelah itu, sang putri segera mengatur siasat bersama Pande Gelang untuk mengelabui Pengeran Cunihin. 

Keesokan harinya, Putri Cadasari kembali ke istana dengan diantar oleh beberapa penduduk kampung. Sementara itu, Pande Gelang sibuk membuat sebuah gelang besar untuk dikalungkan pada batu keramat. 

Pada hari yang telah ditentukan, datanglah Pangeran Cunihin mengajak Putri Arum untuk menikah dengannya. Putri Arum pun mengajukan syarat sebagaimana yang disarankan oleh Pande Gelang.
“Kamu boleh menikahiku, tapi dengan satu syarat kamu harus membawa batu cadas ke pantai lalu melubanginya,” jelas Putri Arum.
“Ha, sungguh mudah syaratmu itu Tuan Putri. Tapi, apa maksud dari syaratmu itu?” tanya Pangeran Cunihin.
“Batu keramat itu untuk bulan madu kita Pangeran. Kita bisa duduk di atas batu itu sambil menikmati indahnya pemandangan laut. Bukankah itu sangat menyenangkan Pangeran?” jelas Putri Cadasari.
“Oh, sungguh bulan madu yang menyenangkan. Tuan Putri memang seorang putri yang romantis,” puji Pangeran Cunihin.

Tanpa perasaan curiga lagi, Pangeran Cunihin segera melaksanakan syarat itu. Dalam waktu tiga hari, ia berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan dan kemudian membawanya ke sebuah pantai yang indah. Setelah berhasil melubangi batu keramat itu, Pangeran Cunihin segera ke istana untuk menjemput Putri Cadasari.

Sementara itu, Pande Gelang yang sejak tadi bersembunyi di balik semak-semak mengamati semua tingkah laku Pangeran Cunihin, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera memasang gelang besar pada batu keramat yang berlubang itu. Namun, ketika ia hendak kembali ke tempat persembunyiannya, tanpa diduganya Pangeran Cunihin telah kembali bersama Putri Cadasari.
“Hai, tua bangka! Apa yang kamu lakukan di sini?” bentak Pangeran Cunihin.
“Saya datang kemari untuk merebut kembali kesaktian dan Puti Arum yang kamu rampas dariku,” kata Pande Gelang.
“Hai, bukankah aku pernah mengatakan bahwa kamu tidak pantas menjadi pemenang. Lihatlah sang putri telah menjadi milikku untuk selamanya, hahaha…!” ujar Pangeran Cunihin seraya tertawa terbahak-bahak.

Putri Cadasari sungguh heran mendengar pembicaraan kedua orang itu. Sepertinya mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Baru saja ia hendak menanyakan hal itu kepada mereka, tiba-tiba Pengeran Cunihin menarik tangannya untuk melihat batu keramat yang telah dilubanginya itu.
“Lihatlah, wahai Tuan Putri! Keinginan Tuan Putri terlah terwujud. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis untuk bulan madu kita,” kata Pangeran Cunihin.

Dengan sikap tenang, Putri Cadasari mencoba untuk menunjukkan kegembiraannya seraya menjalankan siasat yang telah diatur bersama Pande Gelang.
“Maaf, Pangeran. Barangkali saya terlalu gembira sehingga tidak bisa melihat lubang pada batu keramat ini. Sudikah Pangeran membuktikan bahwa batu ini telah berlubang?” pinta Putri Cadasari.

Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin segera berjalan melewati lubang pada batu keramat. Baru beberapa langkah ia berjalan di dalam lubang batu itu, tiba-tiba seluruh tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. Ia pun berteriak keras karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit. Begitu ia selesai melewati lubang itu, seluruh kekuatannya hilang sehingga ia hanya bisa duduk lemas tak berdaya. Beberapa saat kemudian, ia pun berubah menjadi seorang tua renta seolah telah melewati lorong waktu yang begitu panjang. 

Pada saat yang bersamaan, Pande Gelang merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Akhirnya, seluruh ilmu dan kesaktiannya kembali seperti semula. Wajahnya pun kembali seperti sediakala, yaitu wajah seorang pangeran yang tampan.

Putri Cadasari seolah-olah tidak percaya menyaksikan peristiwa ajaib itu. Ia baru sadar bahwa ternyata lelaki paruh baya yang telah menolongnya itu adalah kekasihnya sendiri, Pangeran Sae Bagus Lana.
Akang, bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanya Putri Cadasari dengan heran.

Pangeran Pande Gelang pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya mulai dari peristiwa Pangeran Cunihin mencuri kesaktiannya hingga peristiwa ajaib itu terjadi. Mendengar cerita itu, barulah sang putri sadar bahwa wangsit yang ia terima memang benar adanya. Akhirnya, mereka pun meninggalkan batu keramat itu. Beberapa waktu kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia.
* * *
Demikian cerita legenda Pangeran Pande Gelang dan Putri Cadasari dari daerah Pandeglang, Banten, Indonesia. Hingga saat ini, tempat Pangeran Cunihin mengambil  batu keramat dikenal dengan nama Kramatwatu, sedangkan pesisir pantai tempat di mana batu keramat yang berlubang itu berada dikenal dengan Karang Bolong. Sementara itu, tempat sang putri melaksanakan wangsit di Bukit Manggis dikenal dengan Kampung Pasir Manggu. Kata manggu yang berasal dari bahasa Sunda berarti Manggis, sedangkan kata pasir berarti bukit. Selanjutnya, tempat Putri Cadasari pingsan kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang. Sementara itu, tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang dikenal dengan nama Pandeglang.

Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa sifat iri hati akan membuat seseorang melakukan perbuatan jahat seperti Pangeran Cunihin. Oleh karena sifat iri hati dan dengki, ia tega melakukan perbuatan apa saja, bahkan menghianati temannya sendiri. Akibatnya, seluruh kesaktian Pangeran Cunihin hilang dan berubah menjadi seorang tua renta yang tak berdaya.