Semua orang tahu, hidup miskin itu tidak mudah untuk dijalani, karena banyaknya keinginan-keinginan yang tidak mampu dicapai. Apa sebenarnya kemiskinan itu? Hampir semua manusia di dunia ini mempunyai definisi yang sama tentang pengertian kemiskinan. Banyak orang yang menilai bahwa kemiskinan adalah sedikitnya harta yang dimiliki. Tidak jarang pula mendefinisikan kemiskinan itu ialah tidak lengkpanya nilai dalam kehidupan, baik dari harta-benda maupun ilmu pengetahuan.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang menyebabkan kemiskinan itu? Apakah kemiskinan itu adalah warisan, sumpahan, hukum alam, dan atau mungkin karena dari kita sendiri? Jawaban atas semua pertanyaan ini ada pada diri kita masing-masing. Tapi yang jelas, barangkali tidak ada orang yang memandang bahwa kemiskinan itu sesuatu yang positif. Siapa yang ingin hidup miskin? Orang gila pun kalau dia tahu dia gila, tentu tidak ingin menjadi orang gila. Tapi, dia tidak tahu kalau dirinya gila. Apalagi orang miskin. Orang yang menyadari dirinya miskin, tentu sekali tidak ingin hidup miskin. Hal inilah yang perlu disadari pula bahwa semua manusia berhak hidup kaya. Semua manusia berhak memperjuangkan kehidupan masing-masing. Semua manusia berhak meluruskan nilai kehidupan keturunan sendiri, agar tidak menjadi hamba kemiskinan.
Ada banyak jalan agar orang tidak menjadi hamba kemiskinan, di antaranya adalah kemauan untuk bekerja keras, tidak bermalas-malasan, atau mungkin tiba-tiba mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih yang tidak diduga-duga. Apakah itu langsung melalui tangan orang lain, atau mendapat ilham yang didapat melalui mimpi. Namun, tidak jarang pula orang yang telah mendapat rezeki, tidak tahu mensyukurinya. Orang yang tidak tahu mensyukuri nikmat, biasanya disebut sebagai orang yang serakah atau tamak.
Dalam sebuah cerita rakyat yang berkembang di Negeri Rantau Baru (sekarang Desa Rantau Baru, Pelalawan, Provinsi Riau, Indonesia), dikisahkan bahwa pada zaman dahulu kala, telah hidup sepasang suami-istri yang sangat miskin, tapi serakah. Pada suatu malam, sang Suami mendapat ilham melalui mimpinya. Dalam mimpi itu, ia bertemu dengan seorang kakek yang memberinya petunjuk agar ia pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan sesuatu benda yang sangat berharga. Benda berharga apakah yang dimaksud kakek itu? Berhasilkah sang Suami membawa pulang benda berharga itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Suak Air Mengubuk berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Negeri Rantau Baru, Pelalawan, Riau, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat miskin. Penghasilan mereka yang sangat kecil tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kadang makan kadang tidak. Pakaian pun hanya yang melekat di badanlah yang mereka miliki. Semakin hari kehidupan mereka semakin memprihatinkan.
Pada suatu malam, si Miskin bermimpi bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu memberikan seutas tali kepadanya seraya berkata, “Besok pagi bawalah sampan besar ke sebuah suak yang tak jauh dari Sungai Sepunjung.” Belum sempat si Miskin menjawab, kakek itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Si Miskin pun terjaga dari tidurnya. Ia mengusap-usap matanya tiga kali, seakan ia tak percaya yang baru saja dialaminya. “Apa maksud si kakek menyuruh saya ke suak itu?” tanya si Miskin dalam hati. Karena hari masih gelap, si Miskin pun melanjutkan tidurnya.
Keesokan harinya, si Miskin berangkat menuju suak seperti yang dikatakan si Kakek dalam mimpinya semalam. Tak lupa dibawanya sebuah sampan besar. Sambil mengayuh sampan, hati kecilnya terus bertanya-tanya, “Apakah ini pertanda nasib buruk saya akan segera berakhir?”. Pikiran-pikiran itu terus bergejolak dalam pikirannya. Tak terasa, sampailah si Miskin di tepi Sungai Sepunjung. Ia pun duduk di dalam sampannya sambil menunggu sesuatu yang dijanjikan si Kakek itu. Sesekali ia bermain air dan bersiul menirukan bunyi burung yang berkicau di sekelilingnya. Wajahnya yang tertimpa cahaya matahari pagi terlihat cerah mengharap datangnya suatu keberuntungan.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba si Miskin dikejutkan oleh seutas tali yang muncul dari dalam suak. Tanpa pikir panjang, ditariknya tali tersebut sekuat-kuatnya. Baru beberapa tarikan, sampailah ia pada ujung tali itu. Si Miskin tersentak kaget ketika ia melihat suatu benda yang berkilau-kilau ditimpa cahaya matahari. “Benar dugaanku, nasib burukku akan segera berakhir,” gumam si Miskin dengan senangnya, ketika ia melihat di ujung tali itu tedapat rantai emas tiga kaluk.
Tengah si Miskin menarik rantai itu, tiba-tiba dari atas pohon yang tak jauh dari tempat itu, terdengar pico seekor murai, “Potonglah cepat rantai itu! Hanya itu bagianmu!” Namun, si Miskin tidak menghiraukan picoan murai itu. Ia semakin cepat menarik tali itu dengan harapan akan mendapat rantai emas yang lebih banyak lagi. Dengan kekuatan yang dimilikinya, ia menarik tali itu terus, terus, dan terus.... tapi apa yang ditariknya itu semakin lama semakin terasa berat. Tiba-tiba muncul gelembung-gelembung air dari dalam sungai. Awalnya gelembung itu kecil, lama-kelamaan menjadi seperti gelombang. Tak dalam kemudian, terdengar suara gemuruh dari dalam air. Tanpa disadarinya, tiba-tiba gelombang besar muncul seperti bono dan langsung menghempas sampan si Miskin.
Tak ayal lagi, si Miskin pun terlempar keluar dari sampan dan jatuh ke dalam air. Bersamaan dengan itu, sampannya hanyut dan akhirnya tenggelam terbawa arus sungai. Dengan sekuat tenaga, si Miskin berusaha berenang menuju tepi sungai melawan arus gelombang air yang besar itu. Ketika ia sudah sampai di tepi sungai, air sungai yang tadinya bergelombang kembali menjadi tenang seperti semula. Tapi gelembung air masih saja tampak di permukaan sungai itu.
Setelah selamat dari hempasan gelombang besar itu, si Miskin pun pulang ke gubuknya dengan tangan hampa. Karena kecapaian, ia pun segera tertidur lelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi didatangi kakek itu lagi. “Hai, Miskin! Kamu memang tamak dan tidak pandai bersyukur. Mengapa rantai tiga kaluk itu tidak kau ambil? Bukankah sudah kuberi tahu lewat picoan murai?” ujar kakek itu.
“Maafkan saya Kek. Berilah saya kesempatan sekali lagi, saya berjanji tidak akan berbuat tamak lagi,” pinta si Miskin sambil menyembah-nyembah. “Apa boleh buat, Miskin! Kamu pantas menerima balasan itu atas ketamakanmu,” jawab si Kakek. Sesaat setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek itu menghilang. Tak berapa lama, ayam jantan pun berkokok menandakan waktu subuh tiba. Si Miskin pun terbangun dari tidurnya.
Pagi-pagi sekali, si Miskin kembali lagi ke tempat kejadian kemarin. Ia berharap akan menemukan sesuatu di sana. Lama dia menanti di tepian, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang diharapkannya. Di tepian, ia hanya duduk termangu melihat air suak itu mengubuk tak henti-hentinya. Setiap pagi si Miskin pergi ke tempat itu, karena masih berharap akan mendapatkan sesuatu dari sana. Namun, hanya air yang mengubuk itu yang ia temukan. Pepatah mengatakan “Menyesal kemudian tiadalah guna. Begitulah nasib si Miskin, ia hanya bisa menyesali ketamakannya itu.
Hingga kini, suak air yang mengubuk itu masih dapat kita saksikan di hilir Desa Rantau Baru, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, Indonesia.
Kamus kecil :
Suak : mata air di sungai
Kaluk : lengkung
Pico : kicau
Bono : gelombang besar yang terdapat di muara sungai
Mengubuk : memunculkan gelombang air
Kaluk : lengkung
Pico : kicau
Bono : gelombang besar yang terdapat di muara sungai
Mengubuk : memunculkan gelombang air
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang patut dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat tamak atau serakah. Sifat ini tercermin pada sifat si Miskin yang tidak bersyukur atas rezeki yang diberikan kepadanya melalui kakek itu.
Sifat serakah adalah salah satu penyakit hati manusia yang tidak akan pernah hilang di dunia ini, kecuali setelah maut menjemputnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Seandainya anak-cucu Adam mendapatkan dua lembah berisi emas, niscaya dia masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak pernah kenyang perut anak Adam kecuali setelah ditutup tanah (mati). Dan Allah SWT mengampuni orang-orang yang bertaubat.” (H.R. Ahmad). Hadis ini menjelaskan bahwa hanya maut yang dapat mengakhiri sifat serakah itu. Meskipun demikian, Allah SWT adalah Maha Pengampun. Setiap hamba yang bertaubat dengan sungguh-sungguh sebelum Malaikat Maut mencabut nyawanya, Allah SWT akan mengampuninya.
Yang dimaksud dengan serakah atau tamak adalah sikap yang tidak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapainya. Karena ketidakpuasannya itu, segala macam cara pun ditempuh. Seperti pada cerita di atas, meskipun si Miskin telah dinasihati oleh si Kakek melalui picoan muri, ia tetap saja tidak menghiraukannya. Sifat serakah memang selalu membawa kepada kondisi yang lebih baik. Namun, biasanya orang yang serakah tidak pernah berfikir apakah mengorbankan kepentingan orang lain atau tidak, yang penting kebutuhan nafsu syahwatnya terpenuhi. Oleh karena itu, sifat serakah ini harus segera dibersihkan, agar penyakit hati ini tidak menimbulkan malapateka bagi orang lain. Orang yang serakah, akan membuat mata hati dan pendengarannya menjadi buta dan tuli. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Cintamu terhadap sesuatu membuat kamu buta dan tuli.” (H.R. Ahmad).
Dalam konteks sekarang, salah satu sifat serakah yang mengakibatkan malapetaka besar adalah korupsi. Sifat korupsi tidak hanya dapat merugikan orang lain, akan tetapi juga bagi sebuah negara. Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris corrupt, yang berarti jahat, curang, atau rusak. Dikatakan demikian, karena pelakunya bermental jahat, curang dan buruk. Pertanyaannya adalah kenapa orang berbuat korupsi? Setidaknya ada dua faktor yang mendorong orang berbuat korupsi yaitu financial pressure (tekanan ekonomi) dan work related pressure (tekanan relasi kerja). Yang termasuk golongan pertama adalah serba kekurangan dan terdesak kebutuhan. Sementara golongan yang kedua adalah karena ketersinggungan harga diri atau prestasinya kurang dihargai. Bisa juga karena karir yang terlambat karena sesuatu alasan.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara sembuh dari penyakit serakah? Tunjuk Ajar Melayu senantiasa menganjurkan agar setiap anggota masyarakat tahu dan mau mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya. Orang tua-tua Melayu mengatakan, orang yang pandai bersyukur akan terhindar dari sifat loba, tamak, jauh dari sifat serakah dan kufur nikmat, serta terhindar dari keburukan lainnya. Berbagai ungkapan, syair dan pantun orang Melayu yang menganjurkan agar setiap anggota masyarakat tahu dan mau bersyukur, sehingga terhindar dari penyakit serakah. Tenas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan hal tersebut, di antaranya:
Dalam bentuk ungkapan dikatakan:
apa tanda orang semenggah,
menerima nikmat tiada serakah
menerima nikmat tiada serakah
Dalam untaian syair dikatakan:
wahai ananda banyakan bersyukur,
mengingat Allah dalam takafur
supaya menjauh sifat yang kufur
hidupmu tidak merasa takabur
mengingat Allah dalam takafur
supaya menjauh sifat yang kufur
hidupmu tidak merasa takabur
Dalam untaian pantun juga dikatakan:
wahai ananda hendaklah ingat,
siapa tak mau mensyukuri nikmat
hidupnya hina mati pun sesat
sepanjang masa dalam melarat
siapa tak mau mensyukuri nikmat
hidupnya hina mati pun sesat
sepanjang masa dalam melarat
EmoticonEmoticon