 Perang Uhud (Bahasa  Arab: غزوة أحد Ġazwat ‘Uḥud) berlaku pada hari Sabtu, 7 Syawal atau 11  Syawal tahun ketiga hijrah (26 Mac 625 M) adalah peperangan antara kaum  Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy  Mekah yang terjadi pada tahun 3  Hijriah di Gunung Uhud. Gunung kecil yang terdiri dari batu hitam  diselimuti oleh tanah kering ini tingginya 1050 meter, terletak di  sebelah barat laut Madinah, tepatnya 5 km arah utara dari Masjid Nabawi  dan arah selatan dari Gunung Tsur. Peristiwa pertempuran ini terasa  begitu dahsyat dan memberikan dampak emosional, 70 Orang Syuhada gugur  dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terluka. Berikut kami ulas secara  singkat  Kisah pertempuran Uhud dan hikmah dibalik musibah yang menimpa  kaum muslimin. Bismillahirrahmanirrahim..
Perang Uhud (Bahasa  Arab: غزوة أحد Ġazwat ‘Uḥud) berlaku pada hari Sabtu, 7 Syawal atau 11  Syawal tahun ketiga hijrah (26 Mac 625 M) adalah peperangan antara kaum  Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy  Mekah yang terjadi pada tahun 3  Hijriah di Gunung Uhud. Gunung kecil yang terdiri dari batu hitam  diselimuti oleh tanah kering ini tingginya 1050 meter, terletak di  sebelah barat laut Madinah, tepatnya 5 km arah utara dari Masjid Nabawi  dan arah selatan dari Gunung Tsur. Peristiwa pertempuran ini terasa  begitu dahsyat dan memberikan dampak emosional, 70 Orang Syuhada gugur  dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terluka. Berikut kami ulas secara  singkat  Kisah pertempuran Uhud dan hikmah dibalik musibah yang menimpa  kaum muslimin. Bismillahirrahmanirrahim.. 
Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja menyelimuti  kota Makkah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kaum Musyrikin Quraisy tak  mampu menyembunyikan duka lara mendalam perihal kekalahan telak mereka  pada perang Badar tahun ke-2 Hijriyah, hati mereka tersayat pilu tak  terkira. Berita kalahnya pasukan Quraisy terasa begitu cepat menyebar  keseluruh penjuru kota Makkah, bak awan bergerak menutupi celah celah  langit yang kosong di musim penghujan. Namun sangat disayangkan,  kekalahan telak kaum paganis Quraisy pada perang itu tak mampu merubah  sikap bengis mereka terhadap kaum muslimin. Dendam kesumat nan membara  tertancap kokoh dalam hati mereka, tewasnya tokoh-tokoh Quraisy  berstrata sosial tinggi pada peristiwa nahas itu semakin menambah kental  kebencian Quraisy terhadap kaum muslimin.
Persiapan pasukan Quraisy
Tokoh-tokoh Quraisy seperti  Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayah, dan Abu Sufyan bin Harb (sebelum mereka masuk Islam) bangkit sebagai pelopor-pelopor yang  sangat getol mengobarkan api balas dendam terhadap Islam dan pemeluknya.  Para orator ulung bangsa Arab tersebut menempuh langkah-langkah  strategis  untuk memuluskan program balas dendam tersebut, mula-mula  mereka melarang warga Makkah meratapi kematian korban tewas perang Badar  kemudian menunda pembayaran tebusan kepada kaum muslim untuk  membebaskan tawanan Quraisy yang masih tersisa di Madinah. Mereka sibuk  menggalang dana untuk menyongsong aksi balas dendam, mereka datang  kepada para pemilik kafilah dagang Quraisy yang merupakan pemicu utama  terjadinya perang Badar, seraya menyeru :
”Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh  Muhammad telah menganiaya kalian serta membunuh tokoh-tokoh kalian! Maka  bantulah kami dengan harta kalian untuk membalasnya! Mudah-mudahan kami  bisa menuntut balas terhadap mereka.”
Rencana tersebut mendapat respon hangat  dari masyarakat Quraisy, kontan dalam waktu yang sangat singkat  terkumpul dana perang yang cukup banyak berupa 1000 onta dan 50.000  keping mata uang emas. Sebagaimana yang Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir pada ayat ketigapuluh enam dari surat Al-Anfal:
Sesungguhnya orang-orang kafir itu mereka menginfakkan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah…
Hari demi hari tampak upaya mereka  mendapat hasil signifikan. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu satu  tahun saja mereka mampu menghimpun pasukan tiga kali lipat lebih besar  dibanding jumlah pasukan Quraisy pada perang setahun lalu (perang Badar)  ditambah fasilitas persenjataan yang memadai terdiri dari 3000 onta,  200 kuda dan 700 baju besi, jumlah total pasukan tidak kurang dari 3000  prajurit ditambah lima belas wanita bertugas mengobarkan semangat tempur  dan menghalau pasukan lari mundur kebelakang.
Bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan Quraisy adalah Abu Sufyan bin Harb, adapun pasukan berkuda dibawah komando Khalid bin Al Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal,  sementara panji- panji perang dipegang para ahli perang dari Kabilah  Bani Abdud Dar, dan barisan wanita dibawah koordinasi Hindun bintu  ’Utbah istri Abu Sufyan. Terasa lengkap dan cukup memadai persiapan  Quraisy dalam periode putaran perang kali ini, arak-arakan pasukan besar  sarat anarkisme dan angkara murka kini tengah merangsek menuju Madinah  menyandang misi balas dendam.
Sampainya kabar kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Beliau menerima surat rahasia dari Al Abbas bin Abdul Mutthalib paman beliau yang masih bermukim di Makkah. Kala itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berada  di Quba, Ubay bin Ka’ab diminta untuk membaca surat tersebut dan  merahasiakan isinya. Beliau bergegas menuju Madinah mengadakan persiapan  militer menyongsong kedatangan ’tamu tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita pergerakan  pasukan kafir Quraisy menyebar keseluruh penjuru Madinah, tak ayal  kondisi kota itu mendadak  tegang , penduduk kota siaga satu, setiap  laki-laki tidak lepas dari senjatanya walau dalam kondisi shalat.  Sampai-sampai mereka bermalam di depan pintu rumah dalam keadaan  merangkul senjata.
Majelis musyawarah militer
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan para sahabatnya sembari  bersabda :
”Demi Allah sungguh aku telah melihat pertanda baik, aku melihat seekor sapi yang disembelih, pedangku tumpul,  dan aku masukkan tanganku didalam baju besi, aku ta’wilkan sapi dengan  gugurnya sekelompok orang dari sahabatku, tumpulnya pedangku dengan  gugurnya salah satu anggota keluargaku sementara baju besi dengan  Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpendapat  agar tetap bertahan di dalam kota Madinah dan meladeni tantangan mereka  di mulut-mulut lorong kota Madinah. Pendapat ini disetujui oleh  Abdullah bin Ubay bin Salul, Abdullah bin Ubay  memilih pendapat ini  bukan atas pertimbangan strategi militer melainkan agar dirinya bisa  dengan mudah kabur dari pertempuran tanpa mencolok pandangan manusia.   Adapun mayoritas para sahabat, mereka cenderung memilih menyambut  tantangan Quraiys di luar Madinah dengan alasan banyak diantara mereka  tidak sempat ambil bagian dalam perang Badar, kali ini mereka tidak  ingin ketinggalan untuk ’menanam saham’ pada puncak amalan tertinggi  dalam Islam (JIHAD).  Hamzah bin Abdul Mutthalib sangat mendukung  pendapat ini seraya berkata :
”Demi Dzat Yang menurunkan Al Qur’an  kepadamu, sungguh Aku tidak akan makan sampai Aku mencincang mereka  dengan pedangku di luar Madinah.”
Dengan mempertimbangkan berbagai usulan para sahabat akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memutuskan untuk menjawab tantangan Quraisy di medan terbuka luar kota Madinah. Dan meninggalkan selera Abdullah bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H  beliau memberi wasiat kepada para sahabat agar bersemangat penuh  kesungguhan dan bahwasannya Allah akan memberi pertolongan atas  kesabaran mereka. Lalu mereka shalat Ashar dan Beliau beranjak masuk  kedalam rumah bersama Abu Bakar dan Umar bin Al Khathab, saat itu beliau  mengenakan baju besi dan mempersiapkan persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan sikap mereka yang terkesan memaksa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk keluar dari Madinah, tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam keluar mereka berkata :
”Wahai Rasulullah, kami tidak bermaksud  menyelisihi pendapatmu, putuskanlah sekehendakmu! Jika engkau lebih suka  bertahan di Madinah maka lakukanlah!”
Beliau menjawab:
”Tidak pantas bagi seorang nabi  menanggalkan baju perang yang telah dipakainya sebelum Allah memberi  keputusan antara dia dengan musuhnya.”
Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membagi  pasukan Islam menjadi tiga batalyon : Batalyon Muhajirin dibawah  komando Mush’ab bin Umair, Batalyon Aus dikomando oleh Usaid bin Hudhair  dan Batalyon Khazraj dipimpin oleh Khabbab bin Al Mundzir . Jumlah  total pasukan Islam hanya 1000 orang, dengan perlengkapan fasilitas  serba minim berupa 100 baju besi dan 50 ekor kuda (dikisahkan dalam  sebuah riwayat: tanpa adanya kuda sama sekali) dalam perang ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam disebuah tempat yang dikenal dengan 
Asy Syaikhan, Rasulullah 
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyeleksi  beberapa para sahabat yang masih sangat dini usia mereka diantaranya  Abdullah bin Umar bin Al Khathab, Usamah bin Zaid, 
Zaid bin Tsabit,  Abu Said Al Khudry dan beberapa sahabat muda lainnya, tak urung  kesedihan pun tampak di wajah mereka dengan terpaksa mereka harus  kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya ditolak oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam,  tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan aksi penggembosan  dalam tubuh pasukan Islam. Musuh Allah ini berhasil memprovokasi hampir  sepertiga jumlah total pasukan, tidak kurang dari 300 orang kabur  meninggalkan front jihad fisabilillah. ’Manusia bermuka dua’ ini memang  sengaja melakukan aksi penggembosan ditengah perjalanan agar tercipta  kerisauan di hati pasukan Islam sekaligus menyedot sebanyak mungkin  kekuatan muslimin.
Strategi militer Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sang  ahli strategi militer mengatur barisan pasukan dan membagi tugas serta  misi mereka. Beliau menempatkan 50 pemanah di bukit Ainan bertugas  sebagai sniper-sniper dibawah komando Abdullah bin Jubair bin Nu’man Al  Anshary, Beliau memberi intruksi militer seraya bersabda :
”Gempurlah mereka dengan panah-panah kalian!Jangan tinggalkan posisi kalian dalam kondisi apapun! Lindungi punggung-punggung kami dengan panah-panah kalian! Jangan bantu kami sekalipun kami terbunuh! Dan jangan bergabung bersama kami sekalipun kami mendapat rampasan perang!. Dalam riwayat Bukhari:jangan tinggalkan posisi kalian sekalipun kalian melihat burung-burung telah menyambar kami sampai datang utusanku kepada kalian!
Sesampainya di Uhud kedua pasukan saling  mendekat, panglima kafir Quraisy Abu Sufyan berupaya memecah persatuan  pasukan Islam, dia berkata kepada kaum Anshar: ”Biarkan urusan kami  dengan anak-anak paman kami (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan kaum Muhajirin)! Maka kami tidak akan mengusik kalian, kami tidak ada kepentingan memerangi kalian!”
Akan tetapi, upaya Abu Sufyan tidak  menuai hasil karena kokohnya keimanan kaum Anshar. Justru sebaliknya,  mereka membalasnya dengan ucapan yang amat pedas yang membuat panas  telinga orang yang mendengarnya.
Awal mula pertempuran
Thalhah bin Abi Thalhah Al Abdary  pemangku panji perang kafir Quraisy, seorang yang dikenal sangat mahir  dan pemberani maju menantang mubarazah (duel), secepat kilat  Zubair Ibnul Awwam menerkam dan membantingnya, Thalhah tak berdaya  melepas nafas terakhirnya dengan leher menganga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir dan bertakbirlah kaum muslimin.
Bangkitlah Abu Syaibah Utsman bin Abi  Thalhah mengibarkan kembali panji tersebut, dengan penuh kesombongan  menantang duel, secepat kilat pula Hamzah bin Abdul Mutthalib menghantam  pundaknya dengan sabetan pedang yang sangat kuat hingga menembus  pusarnya tak ayal tangan dan pundaknya terlepas, Utsman tersungkur tak  berdaya meregang nyawa. Berikutnya Abu Sa’ad bin Abi Thalhah mengambil  panji tersebut namun seiring dengan itu anak panah Sa’ad bin Abi Waqash  menembus kerongkongannya.
Musafi’ bin Abi Thalhah memberanikan  diri mengangkat kembali panji Quraisy namun ia tewas mendadak tersambar  runcingnya anak panah Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah. Berikutnya Kilab  bin Thalhah bin Abi Thalhah saudara kandung Musafi’ mengibarkan kembali  panji itu namun ia segera roboh ketanah mengakhiri hidupnya setelah  pedang Zubair bin Al Awwam menyambar badannya. Al Jallas bin Abi Thalhah  segera menopang kembali menopang panji itu, namun sabetan pedang  Thalhah bin Ubaidillah segera memecat nyawa dari tubuhnya. Keenam  pemberani tersebut berasal dari satu keluarga kabilah Bani Abdi Dar.
Kemudian Arthah bin Syurahbil maju namun  Ali bin Abi Thalib tak membiarkannya hidup lama menenteng panji dan  langsung melibasnya, realita yg sungguh spektakuler, tidaklah seorang  pun dari kaum musyrikin mengambil panji tersebut melainkan terenggut  nyawanya hingga genap sepuluh orang menemui ajalnya disekitar panji  perang musyrikin. Setelah itu tak ada seorang pun dari mereka yang  bernyali mengambil panji yang tergeletak di bumi Uhud.
Perang pun Berkobar
Genderang perang semakin nyaring saja  bunyinya, kucuran darah, ringkikan kuda, dencing suara pedang  beradu  semakin menambah warna kental suasana bumi Uhud saat itu. Perang  berkecamuk merata di setiap titik bak kobaran api menjalar membakar  rerumputan kering, jagoan-jagoan Islam benar-benar menampakkan kehebatan  dan kepiawaian mereka dalam putaran perang kali ini, militansi pasukan  Islam merupakan buah dari kekuatan iman yang merasuk dan terpatri kuat  dalam hati mereka, seakan-akan iman telah memenuhi setiap pembuluh darah  mereka, kecilnya jumlah tak menciutkan nyali para pejuang demi tegaknya  agama Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi. Mereka begitu  yakin bahwa kematian tidak akan dipercepat dengan perang dan tidak pula  diundur dengan meninggalkannya.
Bermodalkan iman dan semangat membaja mereka bertawakal kepada Rabbul Alamin menggadaikan nyawa mereka demi kenikmatan abadi disisi Allah subhanahu wa ta’ala –Al-Jannah (surga)–. Kala itu Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sebilah pedang seraya bersabda,
”Siapa yang hendak mengambil pedang ini sesuai dengan haknya?” Umar bin Al-Khathab 
radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib 
radhiyallahu ‘anhu, Az-Zubair bin Al-Awwam 
radhiyallahu ‘anhu dan  sejumlah para shahabat bergegas maju, berizin untuk mengambil pedang  itu. Namun, meski demikian, beliau  belum juga menyerahkannya kepada  salah seorang pun hingga 
Abu Dujanah Simak bin Kharasyah radhiyallahu ‘anhu maju, sembari berujar, ”Apa hak pedang itu wahai Rasulullah 
shallalallahu ‘alaihi wa sallam?” ”Engkau sabetkan pada musuh sampai bengkok,” jawab beliau 
shallalallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku yang akan mengambil dengan haknya, wahai Rasulullah,” pinta Abu Dujanah 
radhiyallahu ‘anhu. Barulah setelah itu, beliau 
shallalallahu ‘alaihi wa sallam memberikannya kepadanya.
Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu menuturkan: “Muncul dalam hatiku kekecewaan tatkala Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menolak  permintaanku, Aku berkata dalam hatiku, ’Aku adalah anak bibi beliau  Shafiyah bintu Abdul Muththalib. Aku dari bangsa Quraisy. Aku lebih  dahulu meminta pedang itu, namun justru beliau memberikannya kepada Abu  Dujanah dan menolakku. Demi Allah, aku akan perhatikan sepak terjang Abu  Dujanah!’ Maka aku selalu mengikutinya. Mula-mula ia memakai surban  merah. Kaum Anshar berkata, ’Apakah Abu Dujanah keluar dengan surban  kematian?’ Ia pun keluar sembari mendendangkan syair-syair.”
Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu melibas  setiap musuh yang menghadangnya, tidak ada satu musuh pun yang ia  lewati melainkan menjadi seonggok mayat, ia menggempur, menyibak barisan  musuh sampai menembus pertahanan Quraisy paling belakang yaitu barisan  prajurit wanita Quraisy. Kalau bukan karena kemuliaan pedang Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh seorang wanita, tentunya kepala Hindun bintu Utbah telah lepas dari badannya. Namun Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu menarik  pedang yang sudah berada tepat diatas kepala Hindun (sebelum masuk  Islam), ia menghindar dan meninggalkan komandan pasukan wanita Quraisy  itu sembari berkata, ”Allah subhanahu wa ta’ala dan RasulNya lebih mengetahui.”
Gugurnya Paman Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu sebagai Syahid
Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu seorang  yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela Islam, orang yang  tidak pernah merasa takut melawan kezhaliman, pemberani dan mahir dalam  perang menggempur jantung pertahanan musuh bak singa jantan menerkam  mangsa, mengamuk, menumbangkan setiap lawan tanpa hambatan, musuh  kocar-kacir bak daun-daun kering diterpa angin. Singa Allah subhanahu wa ta’ala dan  Singa RasulNya ini tak membiarkan satu lawan pun kecuali terlibas  olehnya, namun tanpa ia sadari tiba-tiba sebuah lembing tajam milik  Wahsyi bin Harb (yang pada waktu itu belum masuk Islam) telah lama  mengintainya, menusuk dan merobek perutnya. Ia gugur sebagai syahid.
Abu Bakar, Umar bin Al-Khathab, Sa’ad bin Abi Waqash dan seluruh pasukan Islam radhiyallahu ‘anhum mengerahkan  segala keberanian menggempur dan memporak-porandakan pertahanan lawan  yang semakin rapuh. Pasukan Quraisy kalang-kabut tak mampu memberi  perimbangan terhadap serangan pasukan Islam. Barisan musuh semakin  kacau-balau. Tak pelak, mereka lari centang-perenang meninggalkan medan  laga, dan lalai dengan ambisi buruk yang selama ini mereka impikan.  Prajurit wanita Quraisy lari terbirit-birit ke perbukitan sembari  menyingsingkan pakaian hingga tersingkap betis-betis mereka.
Begitulah Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya selama mereka menolong agamaNya.
Kesalahan Fatal Pasukan Pemanah
Kaum muslimin unggul diatas angin  menguasai medan laga. Tak ada perlawanan yang berarti dari Quraisy,  mereka lari terbirit-birit meninggalkan harta benda yang melimpah. Kaum  muslimin merasa telah keluar sebagai pemenang. Rasanya tak ada pekerjaan  lain, kecuali sibuk mengumpulkan harta rampasan perang yang tercecer.  Mulailah kecintaan terhadap dunia menghinggapi hati sebagian besar  pasukan pemanah. Mereka khawatir akan tidak mendapat bagian rampasan  perang. Mereka meninggalkan bukit strategis itu dan lalai terhadap wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Komandan pasukan pemanah, Abdullah bin Jubair Al-Ansharyradhiyallahu ‘anhu, mengingatkan mereka seraya berkata,
“Lupakah kalian dengan wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam?”
Namun apa daya, mereka tak mengindahkan nasehat sang komandan. Empat puluh orang pasukan turun meninggalkan tugas inti mereka.
Kini pertahanan inti kaum muslimin dalam  kondisi rawan. Jantung pertahanan pasukan Islam melemah tanpa mereka  sadari. Kholid bin Al-Walid, salah satu komandan pasukan berkuda  Quraisy, tak membiarkan kesempatan emas itu lewat begitu saja. Panglima  perang yang tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran baik ketika  masih kafir maupun setelah masuk Islam itu secepat kilat memutar haluan  arah pasukan kuda Quraisy. Ia memacu kudanya dengan segala ambisi  merebut posisi paling strategis, yaitu bukit para pemanah. Musuh  menyergap dan mengepung sisa pasukan pemanah. Para pemanah tak kuasa  menghalau serangan mendadak itu. Sepuluh orang pemanah gugur satu  persatu fi sabilillah berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala –semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka semua–.
Kuda Kholid bin Walid meringkik dengan  suara yang dikenali pasukan Quraisy. Seorang wanita Quraisy, ’Amrah  Al-Haritsiyyah, memungut dan mengibarkan kembali panji perang yang  tergeletak sejak awal pertempuran. Quraisy bersatu dan bangkit semangat  mereka untuk menyerang balik. Mereka mengepung kaum muslimin dari dua  arah. Posisi kaum muslimin terjepit dan dengan mudah mereka membantai  para mujahidin. Kini musuh mampu menguasai bukit. Kemudian mereka  merangsek menyerang sisa pasukan Islam yang lain. Posisi mereka seakan  berada diantara gigi-gerigi mesin penggilas. Pertahanan kaum muslimin  semakin rapuh. Kondisi berubah seketika.
Barisan pasukan Islam semakin kacau  balau. Susah membedakan antara kawan dan lawan. Bahkan ada diantara  mereka yang saling menyerang karena gaduh dan gawatnya kondisi. Ayah  Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma pun menjadi korban salah sasaran.
Kabar dusta kematian Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu,  duta Islam pertama di Madinah, salah satu pemegang panji komando, tewas  di tangan Ibnu Qim’ah. Setelah berhasil membunuhnya, ia berteriak,  ”Muhammad telah tewas!” karena menyangka bahwa Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu adalah Rasulullahshallalallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Mush’ab adalah seorang shahabat yang bentuk fisik dan perawakannya sangat mirip dengan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Teriakan itu kontan membuat semangat para shahabat radhiyallahu ‘anhum turun drastis. Di sisi lain, serangan Quraisy semakin membabi buta terhadap pasukan Islam hingga terbunuh sejumlah shahabatradhiyallahu ‘anhum.
Jiwa pasukan Islam lemah tak tahu kemana  mereka akan melangkah. Sebagian mereka terduduk tak tahu apa yang  ditunggu, bahkan sebagian mereka berpikir untuk menghubungi Abdullah bin  Ubay bin Salul –salah satu tokoh munafiqin– guna meminta perlindungan  keamanan dari Abu Sufyan (yang ketika itu belum masuk Islam).
Kala itu Anas bin An-Nadhri  radhiyallahu ‘anhu melewati mereka seraya berkata,
”Apa yang kalian tunggu?” Mereka berkata, ”Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam telah  terbunuh,” jawab mereka lemas. ”Apa yang kalian pikirkan terhadap  kehidupan sepeninggal beliau?! Bangkit dan matilah kalian diatas matinya  Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam!” Lalu ia berkata,  ”Ya Allah, aku meminta udzur atas sikap mereka (muslimin), dan aku  berlepas diri dari perbuatan mereka (musyrikin).” Lalu ia maju ke arah  musuh. ”Hendak kemana engkau, wahai Abu Umar?” tanya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu.  “Sungguh aku mencium bau Al-Jannah (surga) di bawah Uhud, wahai Sa’ad!”  ujarnya. Lalu ia maju menyerang musuh sampai gugur dengan lebih dari  delapan puluh luka di badannya. Tidak ada yang dapat mengenali  jenazahnya kecuali saudarinya yang mengenali jari-jemarinya.
Tsabit bin Ad Dihdah radhiyallahu ‘anhu menyeru,
“Wahai orang-orang Anshar, kalaupun  Muhammad telah mati, maka Allah tidak akan pernah mati! Beperanglah atas  nama agama kalian, niscaya Allah menolong kalian!” Majulah sekelompok  orang dari Anshar menyerang pasukan Khalid bin Walid namun semuanya  gugur fi sabilillah.
Setelah terbunuhnya Mush’ab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallammemberikan panji perang pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia pun menyerang musuh bersama sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum dan telah menghabiskan segala kemampuan.
Jagoan Quraisy menjadikan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai target operasi utama. Beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam hanya didampingi sembilan orang shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun pasukan muslimin yang lain tercerai-berai. Beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallammenyeru para shahabat dengan teriakan, ”Kemarilah! Aku adalah Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Namun, kaum musyrikin lebih dahulu  mendengarnya, secepat kilat mencari sumber suara, dan disitulah mereka  mendapatkan manusia mulia yang selama ini mereka berambisi besar untuk  membunuhnya. Gugur tujuh orang, yang kesemuanya dari kalangan Anshar,  dari sembilan orang shahabat yang melindungi Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun dua orang yang tersisa adalah dari kalangan Muhajirin, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhuma.
Saat itu, musuh dengan leluasa menyerang  Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Utbah bin Abi Waqqash melukai bibir beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam dengan lemparan batu. Abdullah bin Shihab Az-Zuhry menciderai pipi beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Qim’ah menyabetkan pedangnya pada pundak beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyebabkan rasa sakit lebih dari sebulan, namun sabetan tersebut tidak berhasil menembus baju besi beliaushallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak puas dengan itu, Abdullah menyabetkan kembali pedangnya tepat di pipi beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam.
”Rasakan ini! Aku adalah Ibnu Qim’ah!” teriak Abdullah bin Qim’ah bengis. Topi besi beliau
s hallalallahu ‘alaihi wa sallam rusak. Pecahan rantainya menembus pipi  hingga pecah gigi seri beliau 
shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak ayal darah membasahi wajah suci manusia termulia itu 
shallalallahu ‘alaihi wa sallam. 
Thalhah bin Ubaidillah dan 
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhuma menghabiskan tenaga melindungi Rasulullah 
shallalallahu ‘alaihi wa sallam hingga putus beberapa jari-jemari Thalhah 
radhiyallahu ‘anhu.
Akhir Pertempuran
Jumlah korban kaum muslimin dalam  periode perang kali ini memang lebih banyak dibanding jumlah korban kaum  musyrikin. Oleh karena itu, mayoritas ahli sejarah menyatakan bahwa  kaum muslimin mengalami kekalahan dalam pertempuran Uhud.
Hikmah yang Terkandung di dalamnya :
- Memahamkan kepada kaum muslimin betapa buruknya akibat kemaksiatan dan mengerjakan apa yang telah dilarang Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika barisan pemanah meninggalkan pos-pos mereka yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.
- Sudah menjadi kebiasaan bahwa para Rasul ‘alaihimus salam juga  menerima ujian dan cobaan, yang pada akhirnya mendapatkan kemenangan.  Di antara hikmahnya, apabila mereka senantiasa mendapatkan kemenangan,  tentu orang-orang yang tidak pantas akan masuk ke dalam barisan kaum  mukminin sehingga tidak bisa dibedakan mana yang jujur dan benar; dan  mana yang dusta. Sebaliknya, kalau mereka terus-menerus kalah, tentulah  tidak tercapai tujuan diutusnya mereka. Sehingga sesuai dengan  hikmah-Nya terjadilah dua keadaan ini.
- Ditundanya kemenangan pada sebagian  pertempuran, adalah sebagai jalan meruntuhkan kesombongan diri. Maka  ketika kaum mukminin diuji, lalu mereka sabar, tersentaklah orang-orang  munafiqin dalam keadaan ketakutan.
- Allah subhanahu wa ta’ala mempersiapkan  bagi hamba-Nya yang beriman tempat tinggal di negeri kemuliaan-Nya yang  tidak bisa dicapai oleh amalan mereka. Dia tetapkan beberapa sebab  sebagai ujian dan cobaan agar mereka sampai ke negeri tersebut.
- Bahwasanya syahadah (mati syahid) termasuk kedudukan tertinggi bagi para wali Allahsubhanahu wa ta’ala.
- Perang Uhud ini seakan-akan persiapan menghadapi wafatnya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala meneguhkan mereka, dan mencela mereka yang berbalik ke belakang, baik karena Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh atau meninggal dunia.
- Hikmah lain adalah adanya pembersihan terhadap apa yang ada di dalam hati kaum mukminin. (Lihat Fathul Bari, 7/433)
Wallahu Ta’ala A’lamu bish Shawab.
EmoticonEmoticon