Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Indonesia. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, danau yang di tepiannya terdapat beberapa jenis anggrek ini dahulu merupakan sebuah aliran sungai yang di dalamnya hidup berbagai jenis ikan. Namun, karena terjadi peristiwa yang mengerikan. Sungai itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah yang menyebabkan sungai itu berubah menjadi danau? Kisahnya dapat kita ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Malawen berikut ini.
Alkisah, di tepi sebuah hutan di daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga di karuniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belahan jiwa untuk melengkapi keluarga mereka. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, usai memanjatkan doa, sepasang suami-istri pergi beristirahat. Malam itu, sang istri bermimpi di datangi oleh seorang lelaki tua. "Jika kalian menginginkan seorang keturunan, kalian harus rela pergi ke hutan untuk bertapa." ujar lelaki tua dalam mimpinya itu. Keesokan harinya, sang istri pun menceritakan perihal mimpinya tersebut kepada suaminya.
"Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?" tanya sang Istri.
"Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan," jawab sang suami.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?" Sang istri kembali bertanya.
"Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar", jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan perhatian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka terus melanjutkan melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya Tuhan Yang Maha Kuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka. "Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan! ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap tapa mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui berhari-hari penantian, akhirnya mereka mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang istri, merasa seluruh badannya tidak enak.
"Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal dan perutku mual-mual?" kata sang istri mengeluh.
"Wah, itu pertanda baik, istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil," jawab sang suami dengan wajah berseri.
"Benarkah itu, bang?" tanya sang istri yang tidak mengerti hal itu. Karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
"Benar, istriku!" jawab sang suami.
Sejak saat itu, selalu ingin makan buah-buahan yang asam dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
"Oh, Tuhan terima kasih!" ucap sang suami.
Usai mengucapkan syukur, sang suami mendekati istrinya dan mengusap-ngusap perut sang istri.
"Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!" ujar sang suami.
Waktu terus berjalan, usia kandungan sang istri genap berusia sembilan bulan, pada suatu malam sang istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan kemana pun pergi.
Wahai anak dengarlah petuah
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak
di sana langit di junjung
di mana air disauk
di sana ranting di patah di mana badan berlabuh
di sana adat dipatah
di mana badan berlabuh
di sana ada di patuh
apalah adat orang menumpang :
berkata jangan sembarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, Sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit. Seiring berjalannya waktu. Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan.
Pada suatu hari, Sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
"Maafkan Ayah, Anakku! ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit," kata sang Ayah dengan suara pelan.
"Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu," sahut sang Ibu.
"O Iya, Anakku! ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawen. Piring Pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja, " kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan ke pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan. Ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan Kepala Desa mengantar masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan dengan pagelaran tari.
Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju pada kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
"Wow, cantik sekali gadis itu," kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
"Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?" tanya ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orang tuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada orang tuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun, tanpa di sadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaran penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan. "Intan, maukah engkau menjadi kekasih, Abang?" tanya Kumbang Banaung. Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
"Ma... maafkan Aku, Bang!" jawab Intan gugup.
"Ada apa Intan? Katakanlah!" desak Kumbang Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengaku bahwa ia juga suka kepaanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
"Kita ini orang miskin, Anakku. Tidak pantas melamar anak orang kaya,"ujar sang Ayah.
"Benar kata Ayahmu, Nak! Lagipula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita," sahut Ibunya.
"Tidak Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku," tukas Kumbang Banaung.
"Jangan anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!" perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
"Intan, bagaimana kalau kita kawin saja," bujuk Kumbang Banaung.
"Iya, Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak," kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun, baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
"Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan," kata salah seorang warga.
"Iya benar! sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan," sahut seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui warga, Kumbang Banaung dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
"Ayo kita kejar mereka!" seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun makin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.
"Bang, apa yang harus kita lakukan. Orang-orang desa pasti akan menghukum kita," kata Intan dengan terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyeberangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghantam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma danau.
Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
Sumber:
"Bang! Benarkah yang dikatakan kakek itu?" tanya sang Istri.
"Entahlah, Dik! Tapi, barangkali ini merupakan petunjuk untuk kita mendapatkan keturunan," jawab sang suami.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Bang! Apakah kita harus melaksanakan petunjuk kakek itu?" Sang istri kembali bertanya.
"Iya, Istriku! Kita harus mencoba segala macam usaha. Siapa tahu apa yang dikatakan kakek itu benar", jawab suaminya.
Keesokan harinya, usai menyiapkan bekal seadanya, sepasang suami-istri itu pun pergi ke sebuah hutan yang letaknya cukup jauh. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat dan sunyi. Mereka pun membangun sebuah gubuk kecil untuk tempat bertapa.
Ketika hari mulai gelap, sepasang suami-istri itu pun memulai pertapaan mereka. Keduanya duduk bersila sambil memejamkan mata dan memusatkan perhatian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sudah berminggu-minggu mereka bertapa, namun belum juga memperoleh tanda-tanda maupun petunjuk. Meskipun harus menahan rasa lapar, haus dan kantuk, mereka terus melanjutkan melanjutkan pertapaan hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai pada hari kesembilan puluh sembilan pun mereka belum mendapatkan petunjuk. Rupanya Tuhan Yang Maha Kuasa sedang menguji kesabaran mereka.
Pada hari keseratus, kedua suami-istri itu benar-benar sudah tidak tahan lagi menahan rasa lapar, haus dan kantuk. Maka pada saat itulah, seorang lelaki tua menghampiri dan berdiri di belakang mereka. "Hentikanlah pertapaan kalian! Kalian telah lulus ujian. Tunggulah saatnya, kalian akan mendapatkan apa yang kalian inginkan! ujar kakek itu.
Mendengar seruan itu, sepasang suami-istri itu pun segera menghentikan pertapaan mereka. Alangkah terkejutnya mereka saat membuka mata dan menoleh ke belakang. Mereka sudah tidak melihat lagi kakek yang berseru itu. Akhirnya mereka pun memutuskan pulang ke rumah dengan berharap tapa mereka akan membuahkan hasil sesuai dengan yang diinginkan.
Sesampainya di rumah, suami-istri itu kembali melakukan pekerjaan sehari-hari mereka sambil menanti karunia dari Tuhan. Setelah melalui berhari-hari penantian, akhirnya mereka mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka. Suatu sore, sang istri, merasa seluruh badannya tidak enak.
"Bang! Kenapa pinggangku terasa pegal dan perutku mual-mual?" kata sang istri mengeluh.
"Wah, itu pertanda baik, istriku! Itu adalah tanda-tanda Adik hamil," jawab sang suami dengan wajah berseri.
"Benarkah itu, bang?" tanya sang istri yang tidak mengerti hal itu. Karena baru kali ini ia mengalami masa kehamilan.
"Benar, istriku!" jawab sang suami.
Sejak saat itu, selalu ingin makan buah-buahan yang asam dan makanan yang pedas-pedas. Melihat keadaan istrinya itu, maka semakin yakinlah sang suami bahwa istrinya benar-benar sedang hamil.
"Oh, Tuhan terima kasih!" ucap sang suami.
Usai mengucapkan syukur, sang suami mendekati istrinya dan mengusap-ngusap perut sang istri.
"Istriku! Tidak lama lagi kita akan memiliki anak. Jagalah baik-baik bayi yang ada di dalam perutmu ini!" ujar sang suami.
Waktu terus berjalan, usia kandungan sang istri genap berusia sembilan bulan, pada suatu malam sang istri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
Ketika Kumbang Banaung berusia remaja dan sudah mengenal baik dan buruk, mereka memberinya petuah atau nasehat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan kemana pun pergi.
Wahai anak dengarlah petuah
kini dirimu lah besar panjang
umpama burung lah dapat terbang
umpama kayu sudah berbatang
umpama ulat lah mengenal daun
umpama serai sudah berumpun
banyak amat belum kau dapat
banyak penganyar belum kau dengar
banyak petunjuk belum kau sauk
banyak kaji belum terisi
maka sebelum engkau melangkah
terimalah petuah dengan amanah
supaya tidak tersalah langkah
supaya tidak terlanjur lidah
pakai olehmu adat merantau
di mana bumi dipijak
di sana langit di junjung
di mana air disauk
di sana ranting di patah di mana badan berlabuh
di sana adat dipatah
di mana badan berlabuh
di sana ada di patuh
apalah adat orang menumpang :
berkata jangan sembarang-barang
berbuat jangan main belakang
adat istiadat lembaga dituang
dalam bergaul tenggang menenggang
Selain itu, Sang Ayah juga mengajari Kumbang Banaung cara berburu. Setiap hari ia mengajaknya ke hutan untuk berburu binatang dengan menggunakan sumpit. Seiring berjalannya waktu. Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan.
Pada suatu hari, Sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
"Maafkan Ayah, Anakku! ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit," kata sang Ayah dengan suara pelan.
"Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu," sahut sang Ibu.
"O Iya, Anakku! ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya piring malawen. Piring Pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja, " kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Kumbang Banaung pun mengambil piring pusaka itu dan menyelipkan ke pinggangnya. Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Sesampainya di hutan. Ia pun memulai perburuannya. Namun, hingga hari menjelang siang, ia belum juga mendapatkan seekor pun binatang buruan. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut. Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan dan tersesat di dalamnya.
Ketika mencari jalan keluar dari hutan, ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Desa itu tampak sangat ramai dan menarik perhatian Kumbang Banaung. Rupanya di desa tersebut sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan Kepala Desa mengantar masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa. Upacara adat itu diramaikan dengan pagelaran tari.
Saat ia sedang asyik menyaksikan para gadis menari, tiba-tiba matanya tertuju pada kepada wajah seorang gadis yang duduk di atas panggung. Gadis itu tidak lain adalah Intan, putri Kepala Desa Sanggu. Mata Kumbang Banaung tidak berkedip sedikit pun melihat kecantikan wajah si Intan.
"Wow, cantik sekali gadis itu," kata Kumbang Banaung dalam hati penuh takjub.
Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung pulang. Ia berusaha mengingat-ingat jalan yang telah dilaluinya menuju ke rumahnya. Setelah berjalan menyusuri jalan di hutan itu, sampailah ia di rumah.
"Kamu dari mana, Anakku? Kenapa baru pulang?" tanya ibunya yang cemas menunggu kedatangannya.
Kumbang Banaung pun bercerita bahwa ia sedang tersesat di tengah hutan. Namun, ia tidak menceritakan kepada orang tuanya perihal kedatangannya ke Desa Sanggu dan bertemu dengan gadis-gadis cantik. Pada malam harinya Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada orang tuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung. Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing.
Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun, tanpa di sadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaran penduduk setempat. Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Pada suatu hari, Kumbang Banaung mengungkapkan perasaannya kepada Intan. "Intan, maukah engkau menjadi kekasih, Abang?" tanya Kumbang Banaung. Mendengar pertanyaan itu, Intan terdiam. Hatinya sedang diselimuti perasaan bimbang. Di satu sisi, ia suka kepada Kumbang Banaung, tapi di sisi lain ia telah dijodohkan oleh ayahnya dengan juragan rotan. Ia sebenarnya tidak menerima perjodohan itu, karena juragan rotan itu telah memiliki tiga orang anak. Namun, karena watak ayahnya sangat keras, maka ia pun terpaksa menerimanya.
"Ma... maafkan Aku, Bang!" jawab Intan gugup.
"Ada apa Intan? Katakanlah!" desak Kumbang Banaung.
Setelah beberapa kali didesak oleh Kumbang Banaung, akhirnya Intan menceritakan keadaan yang sebenarnya. Intan juga mengaku bahwa ia juga suka kepaanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
"Kita ini orang miskin, Anakku. Tidak pantas melamar anak orang kaya,"ujar sang Ayah.
"Benar kata Ayahmu, Nak! Lagipula, tidak mungkin orangtua Intan akan menerima lamaran kita," sahut Ibunya.
"Tidak Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku," tukas Kumbang Banaung.
"Jangan anakku! Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!" perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasehat kedua orangtuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
"Intan, bagaimana kalau kita kawin saja," bujuk Kumbang Banaung.
"Iya, Bang, aku setuju! Aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah mempunyai anak," kata Intan.
Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu. Namun, baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka.
"Hei, lihatlah! Bukankah itu Kumbang dan Intan," kata salah seorang warga.
"Iya benar! sepertinya si Kumbang akan membawa lari si Intan," sahut seorang warga lainnya.
Menyadari niatnya diketahui warga, Kumbang Banaung dan Intan pun segera berlari ke arah sungai.
"Ayo kita kejar mereka!" seru seorang warga.
Kumbang Banaung dan Intan pun makin mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika sampai di sungai, mereka tidak dapat menyeberang.
"Bang, apa yang harus kita lakukan. Orang-orang desa pasti akan menghukum kita," kata Intan dengan terengah-engah.
Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyeberangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga. Namun, ketika sampai di tengah sungai, cuaca yang semula terang, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Beberapa saat berselang, hujan deras pun turun disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar. Gelombang air sungai pun menghantam piring malawen yang mereka tumpangi hingga terbalik. Beberapa saat kemudian, sungai itu pun menjelma danau.
Oleh masyarakat setempat, danau itu diberi nama Danau Malawen. Sementara Kumbang dan Intan menjelma menjadi dua ekor buaya putih. Konon, sepasang buaya putih tersebut menjadi penghuni abadi Danau Malawen.
Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)
EmoticonEmoticon