Dahulu kala, ada seorang penjual manik-manik bernama Mahbub. Ia punya seorang istri yang cantik, bernama Kubra. Suatu kali, ketika sedang menjual barang-barang di depan istana, sultan melihat mereka berdua. Ia sangat kagum dengan kecantikan Kubra.
"Duh, cantik sekali wanita itu. Kurasa, tak ada satu pun yang dapat menyamainya di istanaku. Aku harus bisa kawin dengannya."kata sultan dalam hati.
"Hai, Perdana Menteri," kata Sultan dengan suara yang tinggi. "Bawa kemari istri penjual manik-manik itu. Aku ingin ia jadi istriku. Suaminya, bunuh saja."
"Baik, Tuanku," jawab perdana menteri itu. "Aku akan berusaha membawa istrinya, tapi kita tidak perlu membunuhnya. Sebab kalau rakyat tahu, mereka akan memberontak dan Tuan bisa bahaya. Aku punya usul, Tuan. Panggillah dia, dan suruh dia membuat gorden panjang dan lebar untuk singgasana. Dia pasti tidak akan mau, karena dia tidak bisa. Kalau dia bersedia, katakan lagi padanya bahwa gorden tersebut harus selesai dalam waktu tujuh hari. Kalau dia tidak sanggup, suruh dia membayar denda. Dia pasti akan melarikan diri meninggalkan negeri ini, dan kita dapat mengambil istrinya dengan aman."
"Bagus, sekali idemu." jawab sultan. "Lakukanlah dengan segera."
Mahbub sedang menjajakan barang dagangannya, ketika sang perdana menteri sampai di sana.
"Manik-manik, dari Bukhara, dari Damaskus," kata Mahbub berteriak.
Sang Perdana Menteri datang mendekatinya. "Hai, Penjual Manik-Manik," sapa Sang Perdana Menteri. "Datanglah ke istana. "Sultan ingin memesan sesuatu kepadamu."
"Aku? Sultan ingin memesan sesuatu padaku? Mana mungkin?" tanya Mahbub.
"Sudahlah, tinggalkan daganganmu dan segera ikut kami," bentak Pengawal Istana.
Mahbub menyerahkan barang dagangannya pada istrinya. Sesampainya di istana Mahbub disuruh untuk membuat gorden untuk Singgasana dan segera mengukurnya. "Aku hanya penjual manik-manik biasa, tidak dapat memintal atau menganyam. Bagaimana aku bisa melakukannya?"
"Kau harus bisa menyelesaikannya dalam waktu tujuh hari. Jika pada waktunya, tidak dapat kau selesaikan, sangsinya kau akan dipenggal," kata Perdana Menteri itu.
Ketika Mahbub kembali, Kubra bertanya, "Apa yang diinginkan Sultan darimu?"
"Sri Baginda menyuruhku untuk membuat gorden yang sangat panjang dan lebar." Kata Mahbub dengan nada sedih. "Padahal aku tidak bisa. Apalagi dalam waktu tujuh hari. Karena itu, aku harus pergi, Pergi melarikan diri. Kalau tidak, aku bisa dipenggal.
"Jangan takut, suamiku, jangan takut. Aku akan mengatakan sesuatu padamu." kata Kubra menghibur suaminya.
Kubra pun mulai menjelaskan bahwa ia sebenarnya adalah saudara perempuan dari jin perempuan yang ada di sebuah sumur tua. "Pergilah ke sumur di samping pintu gerbang yang rusak itu, kemudian berteriaklah ke dalamnya, Hai saudara perempuan Kubra, Aku disuruh oleh saudaramu untuk meminta mesin pemintal ajaib dan alat penganyam yang bagus, karena dia sangat membutuhkan."
Setelah mendengar cerita istrinya, Mahbub pun pergi dengan segera menuju ke sumur rusak itu dan berteriak ke dalamnya seperti yang dikatakan oleh istrinya. Tidak lama kemudian, keluarlah dua buah alat yang disebutkan tadi di atas sumur itu, lalu ia bawa kedua alat itu kepada istrinya.
Oleh Kubra, kedua alat itu kemudian diletakkan di dalam sebuah kamar. Rupanya, dialah yang akan mengerjakan pesanan itu. Ia melakukan pekerjaan sepanjang malam. Setelah pagi, ketika ayam mulai berkokok, barulah ia tidur melepaskan lelahnya. Begitulah seterusnya ia lakukan selama enam hari.
Pada hari ke tujuh, Kubra keluar dari kamar itu dengan sebuah gorden yang sangat panjang dan lebar. Warnanya biru gelap, berkilauan seperti langit dengan ribuan bintang. Indah sekali. Mahbub sangat kagum dan senang melihat gorden itu.
"Oh, istriku, alangkah indahnya gorden itu?" kata Mahbub. "Gorden ini sangat cocok untuk jendela di istana Sultan. Oh, terima kasih istriku, atas bantuanmu hidupku jadi selamat.
Ketika matahari mulai meninggi, Mahbub pun pergi menuju ke istana dengan pakaian yang sangat bagus untuk menemui Sang Perdana Menteri. Sultan sangat kaget melihat apa yang dibawa oleh Mahbub dan menyuruh para pembantu istana untuk menggantung gorden itu di belakang singgasana. Mahbub pulang ke rumah dengan hadiah emas yang diberikan oleh Sultan kepadanya.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Sultan pada Sang Perdana Menteri. "Ternyata, penjual manik-manik itu lebih pintar dari kita. Sekarang, kita tidak bisa memberikan hukuman apa-apa padanya."
"Jangan takut, Sri Baginda, aku punya ide lain. Dia pasti tidak bisa melakukannya. Tapi, beri aku waktu lebih dari seminggu untuk melakukan ide ini."
Hari berikutnya, seperti biasanya, Mahbub dan istrinya menjajakan barang dagangannya kepada orang yang lewat. Pada saat itulah, Sang Perdana Menteri itu melakukan aksinya.
"Hai, penjual manik-manik. Sri Baginda memerintahkan kepadaku untuk memberitahukan padamu bahwa kau harus bisa melahirkan anak dalam jangka waktu tujuh hari dan pada hari ke tujuh anak itu harus dapat bercerita di hadapan Sultan. Jika tidak bisa, maka hidupmu akan menjadi dendanya."
Mendengar ancaman itu, Mahbub sangat kaget.
"Oh, istriku!" ucap Mahbub sambil menangis. "Sultan menyuruh kita lagi, tapi mustahil hal ini dapat kita lakukan. Bagaimana aku dapat menemukan seorang anak dalam waktu tujuh hari dan pada hari ke tujuh, anak itu harus dapat bercerita di hadapan Sultan. Jika aku tidak sanggup, maka, aku akan mati. O, istriku, relakanlah aku pergi meninggalkanmu."
"Jangan, jangan suamiku, dengarkanlah kataku," kata Kubra. "Bukankah kita bisa meminta bantuan pada saudaraku seperti sebelumnya? Pergilah ke sumur itu.
"Lalu, apa yang harus aku katakan," tanyanya.
"Katakan pada saudaraku, kirimlah seorang anaknya pada hari ke tujuh, kami hanya perlu untuk satu malam."
Mahbub hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya, tetapi ia tetap menunggu. Pada waktu yang ditentukan, datanglah ia ke sumur tua itu dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh istrinya.
Dalam waktu sekejab, keluarlah suara dari dalam sumur itu, "Bukalah keranjang di atas itu.
Dengan segera, Mahbub membuka keranjang itu. Ternyata benar, di dalamnya ada seorang bayi. Ia perlihatkan bayi itu pada istrinya di rumah.
"Inilah bayinya. Sekarang apa yang harus kulakukan?"
"Bawalah ia ke istana," kata Kubra, "karena Sultan dan para penghuni istana telah menunggu di sana. Hari ini adalah hari ketujuh."
Semua penjaga istana mempersilakan Mahbub masuk, ketika ia tiba di istana. Sultan duduk di singgasana, untuk melihat bayi yang diletakkan di atas bantal di hadapannya. Ketika suasana di ruang itu tenang, maka bayi itu pun mulai duduk dan membuka mulutnya.
"O, Sultan, bolehkan aku bicara?"
Sultan sangat kaget mendengar bayi itu, kemudian ia mengangguk tanda setuju. Anak itu pun memulai ceritanya;
"Suatu ketika, ada seorang laki-laki membeli sebuah melon di pasar, dengan harga satu buah koin tembaga. Ketika Melon itu dibuka, ia lihat ada sebuah kota di dalamnya, maka masuklah ia ke kota itu. Setelah berjalan-jalan ke sana ke mari, akhirnya sampailah ia pada sebuah halaman istana. Namun, ia melihat sesuatu yang aneh. Di sana, ayam betina dapat berkokok, ayam jago dapat bertelur. Kalau minum teh di kedai, tidak bayar, malah diberi emas, dan raja-raja tidak memakai baju bagus, melainkan baju yang compang-camping, sementara rakyatnya mengenakan baju bagus."
"Berhenti, Aku tidak percaya itu. Itu pasti cerita bohong," teriak Sultan.
"Sri Baginda," jawab bayi itu. "Siapa pula yang mau percaya jika ada seorang raja mau kawin dengan istri seorang penjual manik-manik."
Mendengar jawaban bayi itu, Sultan sangat malu, lalu ia putuskan untuk tidak mencintai istri penjual manik-manik itu lagi. Ia menyuruh Mahbub untuk membawa bayi itu pergi. Mahbub mengucapkan rasa syukur pada Tuhan karena telah melindunginya. Kemudian anak itu dikembalikan lagi kepada ibunya, Jin. Dan, penjual manik-manik itu pindah dengan istrinya yang cantik ke kota yang lain.
Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga
Penerbit: Zikrul Hakim - Jakarta
"Duh, cantik sekali wanita itu. Kurasa, tak ada satu pun yang dapat menyamainya di istanaku. Aku harus bisa kawin dengannya."kata sultan dalam hati.
"Hai, Perdana Menteri," kata Sultan dengan suara yang tinggi. "Bawa kemari istri penjual manik-manik itu. Aku ingin ia jadi istriku. Suaminya, bunuh saja."
"Baik, Tuanku," jawab perdana menteri itu. "Aku akan berusaha membawa istrinya, tapi kita tidak perlu membunuhnya. Sebab kalau rakyat tahu, mereka akan memberontak dan Tuan bisa bahaya. Aku punya usul, Tuan. Panggillah dia, dan suruh dia membuat gorden panjang dan lebar untuk singgasana. Dia pasti tidak akan mau, karena dia tidak bisa. Kalau dia bersedia, katakan lagi padanya bahwa gorden tersebut harus selesai dalam waktu tujuh hari. Kalau dia tidak sanggup, suruh dia membayar denda. Dia pasti akan melarikan diri meninggalkan negeri ini, dan kita dapat mengambil istrinya dengan aman."
"Bagus, sekali idemu." jawab sultan. "Lakukanlah dengan segera."
Mahbub sedang menjajakan barang dagangannya, ketika sang perdana menteri sampai di sana.
"Manik-manik, dari Bukhara, dari Damaskus," kata Mahbub berteriak.
Sang Perdana Menteri datang mendekatinya. "Hai, Penjual Manik-Manik," sapa Sang Perdana Menteri. "Datanglah ke istana. "Sultan ingin memesan sesuatu kepadamu."
"Aku? Sultan ingin memesan sesuatu padaku? Mana mungkin?" tanya Mahbub.
"Sudahlah, tinggalkan daganganmu dan segera ikut kami," bentak Pengawal Istana.
Mahbub menyerahkan barang dagangannya pada istrinya. Sesampainya di istana Mahbub disuruh untuk membuat gorden untuk Singgasana dan segera mengukurnya. "Aku hanya penjual manik-manik biasa, tidak dapat memintal atau menganyam. Bagaimana aku bisa melakukannya?"
"Kau harus bisa menyelesaikannya dalam waktu tujuh hari. Jika pada waktunya, tidak dapat kau selesaikan, sangsinya kau akan dipenggal," kata Perdana Menteri itu.
Ketika Mahbub kembali, Kubra bertanya, "Apa yang diinginkan Sultan darimu?"
"Sri Baginda menyuruhku untuk membuat gorden yang sangat panjang dan lebar." Kata Mahbub dengan nada sedih. "Padahal aku tidak bisa. Apalagi dalam waktu tujuh hari. Karena itu, aku harus pergi, Pergi melarikan diri. Kalau tidak, aku bisa dipenggal.
"Jangan takut, suamiku, jangan takut. Aku akan mengatakan sesuatu padamu." kata Kubra menghibur suaminya.
Kubra pun mulai menjelaskan bahwa ia sebenarnya adalah saudara perempuan dari jin perempuan yang ada di sebuah sumur tua. "Pergilah ke sumur di samping pintu gerbang yang rusak itu, kemudian berteriaklah ke dalamnya, Hai saudara perempuan Kubra, Aku disuruh oleh saudaramu untuk meminta mesin pemintal ajaib dan alat penganyam yang bagus, karena dia sangat membutuhkan."
Setelah mendengar cerita istrinya, Mahbub pun pergi dengan segera menuju ke sumur rusak itu dan berteriak ke dalamnya seperti yang dikatakan oleh istrinya. Tidak lama kemudian, keluarlah dua buah alat yang disebutkan tadi di atas sumur itu, lalu ia bawa kedua alat itu kepada istrinya.
Oleh Kubra, kedua alat itu kemudian diletakkan di dalam sebuah kamar. Rupanya, dialah yang akan mengerjakan pesanan itu. Ia melakukan pekerjaan sepanjang malam. Setelah pagi, ketika ayam mulai berkokok, barulah ia tidur melepaskan lelahnya. Begitulah seterusnya ia lakukan selama enam hari.
Pada hari ke tujuh, Kubra keluar dari kamar itu dengan sebuah gorden yang sangat panjang dan lebar. Warnanya biru gelap, berkilauan seperti langit dengan ribuan bintang. Indah sekali. Mahbub sangat kagum dan senang melihat gorden itu.
"Oh, istriku, alangkah indahnya gorden itu?" kata Mahbub. "Gorden ini sangat cocok untuk jendela di istana Sultan. Oh, terima kasih istriku, atas bantuanmu hidupku jadi selamat.
Ketika matahari mulai meninggi, Mahbub pun pergi menuju ke istana dengan pakaian yang sangat bagus untuk menemui Sang Perdana Menteri. Sultan sangat kaget melihat apa yang dibawa oleh Mahbub dan menyuruh para pembantu istana untuk menggantung gorden itu di belakang singgasana. Mahbub pulang ke rumah dengan hadiah emas yang diberikan oleh Sultan kepadanya.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" tanya Sultan pada Sang Perdana Menteri. "Ternyata, penjual manik-manik itu lebih pintar dari kita. Sekarang, kita tidak bisa memberikan hukuman apa-apa padanya."
"Jangan takut, Sri Baginda, aku punya ide lain. Dia pasti tidak bisa melakukannya. Tapi, beri aku waktu lebih dari seminggu untuk melakukan ide ini."
Hari berikutnya, seperti biasanya, Mahbub dan istrinya menjajakan barang dagangannya kepada orang yang lewat. Pada saat itulah, Sang Perdana Menteri itu melakukan aksinya.
"Hai, penjual manik-manik. Sri Baginda memerintahkan kepadaku untuk memberitahukan padamu bahwa kau harus bisa melahirkan anak dalam jangka waktu tujuh hari dan pada hari ke tujuh anak itu harus dapat bercerita di hadapan Sultan. Jika tidak bisa, maka hidupmu akan menjadi dendanya."
Mendengar ancaman itu, Mahbub sangat kaget.
"Oh, istriku!" ucap Mahbub sambil menangis. "Sultan menyuruh kita lagi, tapi mustahil hal ini dapat kita lakukan. Bagaimana aku dapat menemukan seorang anak dalam waktu tujuh hari dan pada hari ke tujuh, anak itu harus dapat bercerita di hadapan Sultan. Jika aku tidak sanggup, maka, aku akan mati. O, istriku, relakanlah aku pergi meninggalkanmu."
"Jangan, jangan suamiku, dengarkanlah kataku," kata Kubra. "Bukankah kita bisa meminta bantuan pada saudaraku seperti sebelumnya? Pergilah ke sumur itu.
"Lalu, apa yang harus aku katakan," tanyanya.
"Katakan pada saudaraku, kirimlah seorang anaknya pada hari ke tujuh, kami hanya perlu untuk satu malam."
Mahbub hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya, tetapi ia tetap menunggu. Pada waktu yang ditentukan, datanglah ia ke sumur tua itu dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh istrinya.
Dalam waktu sekejab, keluarlah suara dari dalam sumur itu, "Bukalah keranjang di atas itu.
Dengan segera, Mahbub membuka keranjang itu. Ternyata benar, di dalamnya ada seorang bayi. Ia perlihatkan bayi itu pada istrinya di rumah.
"Inilah bayinya. Sekarang apa yang harus kulakukan?"
"Bawalah ia ke istana," kata Kubra, "karena Sultan dan para penghuni istana telah menunggu di sana. Hari ini adalah hari ketujuh."
Semua penjaga istana mempersilakan Mahbub masuk, ketika ia tiba di istana. Sultan duduk di singgasana, untuk melihat bayi yang diletakkan di atas bantal di hadapannya. Ketika suasana di ruang itu tenang, maka bayi itu pun mulai duduk dan membuka mulutnya.
"O, Sultan, bolehkan aku bicara?"
Sultan sangat kaget mendengar bayi itu, kemudian ia mengangguk tanda setuju. Anak itu pun memulai ceritanya;
"Suatu ketika, ada seorang laki-laki membeli sebuah melon di pasar, dengan harga satu buah koin tembaga. Ketika Melon itu dibuka, ia lihat ada sebuah kota di dalamnya, maka masuklah ia ke kota itu. Setelah berjalan-jalan ke sana ke mari, akhirnya sampailah ia pada sebuah halaman istana. Namun, ia melihat sesuatu yang aneh. Di sana, ayam betina dapat berkokok, ayam jago dapat bertelur. Kalau minum teh di kedai, tidak bayar, malah diberi emas, dan raja-raja tidak memakai baju bagus, melainkan baju yang compang-camping, sementara rakyatnya mengenakan baju bagus."
"Berhenti, Aku tidak percaya itu. Itu pasti cerita bohong," teriak Sultan.
"Sri Baginda," jawab bayi itu. "Siapa pula yang mau percaya jika ada seorang raja mau kawin dengan istri seorang penjual manik-manik."
Mendengar jawaban bayi itu, Sultan sangat malu, lalu ia putuskan untuk tidak mencintai istri penjual manik-manik itu lagi. Ia menyuruh Mahbub untuk membawa bayi itu pergi. Mahbub mengucapkan rasa syukur pada Tuhan karena telah melindunginya. Kemudian anak itu dikembalikan lagi kepada ibunya, Jin. Dan, penjual manik-manik itu pindah dengan istrinya yang cantik ke kota yang lain.
Sumber: Buku Kisah Anak-anak dari Asia Tengah "Orang Bijak dan Muridnya"
Penulis: Males Sutiasumarga
Penerbit: Zikrul Hakim - Jakarta
EmoticonEmoticon